17: War Ware
Sebelum Juli abis, aku apdet ini due to banyak yang nyariin ehehe. Naskah lombaku juga udah selesai, jadi selagi nunggu hasil, aku balik aktif lagi.
-
Dulu adikku pernah bilang Google merupakan jalan pintar paling mudah dan cepat untuk menyelesaikan masalah. Kalau orang dulu punya dukun, anak zaman sekarang punya Si Mbah virtual yang satu itu.
Konyol? Yah, mungkin perumpamaan Hassan agak ngawur. Tapi nggak lebih konyol daripada apa yang kulakukan dengan mesin pencari itu sekarang.
Aku yakin siapa pun punya pengalaman mencari sesuatu yang konyol, mulai dari 'Cara Masak Indomie'—for your information, di belakang bungkusnya juga sudah tercantum—sampai mencari lirik lagu yang entah apa liriknya sementara yang terdengar di telinga hanya 'Tante, feel the Tante'.
Pencarian terakhirku di Google lewat laptop isinya: Cara Cepat Memaafkan Seseorang. Yang, serius deh, semua hasilnya nggak berhasil aku terapkan. Katanya disuruh menerima, berdamai, lalu move on.
Kenapa hasil pencariannya justru terkesan seperti saran yang dibutuhkan istri-istri tersakiti dalam sinetron? Aku sama Juna sama sekali tidak ada dalam hubungan seperti itu. Pada akhirnya aku hanya bisa diam, mengalihkan perhatian untuk tetap berfokus pada martabak, satu kacang dan kotak lainnya rasa ketan hitam, ketimbang presensi Juna yang terasa ganjal di kosanku.
Bohong namanya kalau aku mengaku bisa memaafkan Juna semudah itu. Bagaimanapun, aku masih kesal karena dibentak. Bukannya ketumpahan kopi itu kejadian menyenangkan, hanya saja menuduh dan berteriak begitu membuatku merasa seperti melakukan kesalahan fatal. Semua kesialan hari ini seperti menyentilku untuk meledak, menjadikan cowok satu ini sebagai umpan pelampiasan.
Tawaran itu rasanya menggiurkan, tapi jangankan marah, mengobrol pun tidak. Kami hanya diam di tempat sempit ini, sibuk mengunyah sementara aku membersihkan history pencarianku, menggantinya dengan deretan tutorial membetulkan ponsel rusak.
"Hape lo matinya gimana, Sya?" Juna akhirnya bersuara.
Aku agak kelabakan, tapi sebisa mungkin kutiru sikap santainya. "Yah, gitu. Mati total."
"Udah coba charge?"
"Udah tuh." Kutunjuk colokan di dekat meja. "Nyala sih, tapi pas dinyalain lagi, hapenya mati gitu. Cuma mamerin logo doang terus hitam lagi."
Juna memanggut, beranjak dari "Kayak gue dulu berarti. Gue lihat boleh?"
Aku memang mengangguk, hanya saja pertanyaan itu membuatku mengerjap beberapa kali sembari memerhatikannya. Telingaku yang salah atau dia minta izin tadi? Karena kalau iya, itu lebih mengherankan.
"Lo ada backup data, nggak?" tanya Juna lagi. Mendadak ekspresinya kelihatan serius, memegang dan meneliti ponselku seperti profesor dalam film-film yang memandangi tube eksperimennya.
Melihatnya begitu memancingku untuk mendekat, meletakkan laptop di kasur lebih dulu dan merangkak ke arah Juna. "Otomatis deh kalau nggak salah. Dari cloud bawaan hape sama Drive."
"Kalau gue reset gimana?"
"Eh, reset?"
Juna manggut-manggut, masih fokus pada ponselku. "Dulu hape gue juga pernah begini. Masalahnya kalau nggak di sistem, ya baterai. Kalau di-charge juga nggak bisa nyala. Kalau beruntung, pas reset masih bisa dipakai, walaupun jatuhnya data balik lagi kayak awal."
"Kalau nggak?"
"Yah ...." Juna mengendikkan pundak, membuatku meringis. Aku nggak akan bilang jago matematika sih, tapi kalau urusan uang, kepalaku seperti punya tombol otomatis untuk langsung menghitung semua kebutuhan dan pengeluaran. Dan, sialnya, perhitunganku kali ini memberikan hasil yang sama sekali tidak aku inginkan.
Belum gajian, masih harus sisihin uang untuk makan, bayar kosan, dan hal-hal lainnya. Kalau semuanya habis hanya karena mengganti satu batangan logam. Oke, bukan hanya. Pekerjaanku membutuhkan itu.
"Jadi gimana, Sya? Mau coba aja?" tanya Juna lagi.
Yang masalah bukan datanya, tapi fungsi ponselnya. Aku masih membutuhkannya menyala dan bisa digunakan, setidaknya sampai aku dapat rezeki dadakan atau ada sultan yang melamarku sampai aku kaya tujuh turunan.
Aku hanya mengangguk, menggenggam tangan sendiri sambil berdoa. Duh, doa untuk buat alat elektronik kembali waras ada nggak, ya? Atau aku coba cari Google—
"Santai dulu, Sya. Belum dicoba," tukas Juna menghamburkan kepanikanku. Aku cuma bisa tersenyum kecil dan membiarkan Juna bekerja. "Gue lupa-lupa ingat sih kalau betulin hape, udah lama banget."
"Lo pernah jadi mamang service hape?" tanyaku spontan, dan Juna langsung melempar tatapan tak percaya.
"Mamang banget nih sebutannya?" Aku tidak tahu dia protes atau hanya tidak percaya, tapi raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kemarahan. Biasanya kan dia digangguin sedikit responsnya sudah persis macan. "Gue kan anak teknik informatika. Nggak spesifik belajar beginian sih, tapi sempat dapat pelatihan karena butuh sertifikat penunjang nilai."
Aku hanya manggut-manggut. Di sisi lain, aku nggak paham, tapi aku cukup terkejut. Ternyata dia ambil jurusan itu? Aku sama sekali nggak tahu. Well, I barely know him afterall, sebenarnya ketidaktahuanku nggak semengejutkan itu.
"Lo nggak diajarin gitu bikin hape betul lagi?" Aku bergeser mendekat, melihat Juna melepas baterai lebih dulu, menunggu beberapa saat sebelum memasangnya kembali dan mulai menekan tombol volume dan tombol tengah di ponselku.
"Diajarin ngerusak sih. Namanya juga pemula."
"Juna, ah! Yang betul!" Tanganku terangkat untuk memukulnya, tapi begitu sadar, aku menariknya lagi, mengalihkan pandangan karena kikuk. Kenapa kesannya kami akrab begini deh? Aneh.
Selama beberapa saat, hanya keheningan ada di antara kami. Sesekali aku memerhatikan Juna dengan raut seriusnya, sama sekali tidak mengucapkan apa pun. Begitu melihatnya menghela napas, aku malah resah.
"Kenapa, Jun?" tanyaku. "Bisa nggak?"
Lebih dulu dia menyodorkan ponselku yang masih tersambung pada charger. Begitu aku menerimanya dan menyalakan, ternyata layar menunya sudah muncul, meski semua setting seperti wallpaper dan locksreen terganti. Aplikasi yang tersedia pun kembali seperti awal.
"Baterai lo bocor juga kayaknya, Sya. Mending diganti nanti. Kalau dipakai sebentar-sebentar masih bisa."
"Berarti gue masih punya hape nih? Tinggal ganti baterai aja? Nggak perlu beli baru, kan?"
"Bisa, Sya. Bisa." Juna mengacak rambutku, dan dia tersenyum. Maksudku dia... benar-benar tersenyum. Jangan tanya kenapa, aku juga tidak tahu. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat ini hanya diam, hingga tatapan kami bersirobok, dan aku sadar butuh sedikit gerakan lagi hingga hidung kami saling bergesekan.
"Thank you, Jun," kataku cepat sambil berdiri usai meletakkan ponselku. Gimana ceritanya bertatapan saja bisa terasa seperti ikut lomba marathon?
"Baterai nggak mahal-mahal banget kok buat hape lo, Sya. Volt-nya juga nggak gede. Ke BEC aja nanti, di counter biasa juga paling ada. Lebih murah juga."
Juna kini ikut berdiri, menjejalkan tangan ke dalam saku dan berpaling ke dinding, sepertinya melihat jam. "Udah jam 8 lewat ternyata. Gue balik, ya, Sya."
Tadinya hal itu yang paling kuinginkan sejak Juna menginjakkan kaki ke dalam sini. Hanya saja sekarang aku seperti meragukan keinginanku. Butuh beberapa detik hingga akhirnya aku mengangguk. Juna membungkuk untuk membereskan kotak-kotak martabak, tapi aku buru-buru menariknya.
"Biar gue aja," sambarku cepat. Aku buru-buru tersenyum sambil mengangguk-angguk. "Kan gue ikut makan. Sampahnya biar gue aja—"
"Sya," Juna tiba-tiba memotong, mendekat dan tiba-tiba memelukku.
Pikiranku tiba-tiba blank. Pelukannya seperti vacuum yang menyedot habis otakku, dibuang entah ke mana, menghilangkan kendaliku untuk mengendalikan detak jantung sendiri. Mungkin begini rasanya jadi ikan cupang yang terus mangap-mangap cari oksigen. That's exactly what I am right now. Bicara terasa sulit sekali.
"Lo masih marah sama gue, ya?" tanya Juna. "I really shouldn't have done that. Sorry, Sya."
"Emang." Percayalah, mengucapkan satu kata itu seperti menyusun pidato untuk lomba. Yang kalau boleh jujur, nggak pernah kumenangkan.
"Kalau lo mau balas teriakin gue sekarang, nggak apa-apa," Juna menambahkan. "Tapi besok jangan kikuk lagi sama gue, ya? Kita... balik kayak biasa lagi, ya? Jadi Asya yang gue kenal lagi. Mending lo marah daripada nyuekin gue."
Kalau saja Juna menawarkan semua itu beberapa menit yang lalu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Itu yang ingin kulakukan tadinya, sebelum kami jadi kikuk begini dan terjebak dalam keadaan seperti ini.
Tidak akan bisa, terlebih ketika Juna kembali berkata, "Lo orang terakhir yang gue harapkan menjauh, Sya. Tolong maafin gue, ya?"
Kurasakan pelukannya mengencang, namun alih-alih merasa tak nyaman, aku merasa diriku diselubungi kehangatan. Ganjil, hanya tidak membuat risi. Entah aku yang lelah atau memang pelukan Juna senyaman itu.
Eh, tunggu. Ini nggak benar. Kenapa kesannya aku betah dipeluk?
"Apologize accepted," aku membalas dan menepuk punggungnya, mendorongnya pelan dan menciptakan ruang kecil di antara kami. "Lain kali jangan gitu lagi, Jun. Gue nggak mau kita ribut lagi."
"Kita damai berarti?" tanya Juna lagi selagi melerai pelukan, dan aku mengangguk.
"Damai."
Juna menghela napas lega dan tersenyum, membungkuk sebelum bergumam, "Thank God. Gue bisa tidur nyenyak malam ini."
Aku tidak paham apa maksud kalimatnya, juga masih berusaha untuk memungut kewarasanku yang tercecer sementara Juna menggenggam tanganku sekali lagi sebelum pamit pulang. Sesaat aku mengangguk, balik tersenyum dengan kehangatan yang masih terasa di permukaan kulitku, memandanginya yang kembali melajukan motor ke jalan raya hingga erangan Cantik di pojok dinding terdengar, matanya menyipit galak seakan mencoba memberitahuku sesuatu.
Aku bukan hanya lupa memberinya makan, tapi tersenyum terus selama memandangi Juna.
Dan menyadari itu membuatku merasa bodoh mendadak. Kenapa kelakuanku jadi ganjen begini? Nggak banget!
*
Kukira kemarin merupakan hari terakhir Beat Up ke kantor redaksi. Ternyata mereka masih ke kantor hari ini untuk menonton hasil final edit untuk episode yang akan ditayangkan. Kalau semuanya sudah oke, berarti selama satu bulan ke depan aku resmi bisa berpangku tangan—setidaknya untuk segala urusan yang melibatkan Beat Up. Pekerjaan sih jalan trus.
Hari ini tugasku hanya membereskan peralatan-peralatan. Sama sekali tidak berhubungan dengan mereka, karena ruanganku dipindah ke lantai dua. Baru saja keluar untuk berkemas, sudah ada suara yang menyapa.
"Eh, Sya. Ngapain?"
Aku menurunkan tumpukan kardus di depanku, mendapati Taran muncul. Dia berjalan mendekat dan mengambil satu dus yang kubawa. "Eh, Kak. Biar saya aja."
"Berat, Sya. Aku yang lihat doang aja ngeri liatnya," balasnya, tapi dia tersenyum. "Mau pindahan nih? Pakai bawa dus-dus segala."
"Kantorku pindah ke atas, Kak. Lantai ini buat anak magang nanti," jelasku. "Di atas juga lebih luas. Siapa tahu kubikel aku bisa buat rebahan, kan?"
"Kerja, Sya. Bukan rebahan." Kalimatnya mungkin terdengar seperti teguran, hanya di saat yang sama kesannya ramah sekali, seakan-akan Taran mau bilang, "Can relate."
Pede banget aku sampai menyamakan diri dengan Taran. Dari wawancara saja, kesannya dia yang paling aktif dibanding yang lain. Kabarnya saja dia sudah menandatangani beberapa kontrak untuk main film atau mengisi soundtrack drama. Jauh bangetlah sama aku yang kalau punya waktu kosong di sela liputan malah mengajak Bang Jinan jajan di pedagang kaki lima terdekat.
"By the way, Sya, kemarin aku chat. Kamu offline?" tanya Taran lagi.
Sebenarnya dia orang ke sekian yang mengatakan hal itu padaku. Tadi pagi, Bang Jinan protes karena chat-nya nggak kubaca, Maya yang menelepon tapi tidak berjawab, hingga terakhir Mas Andra juga bertanya karena sebelumnya sempat mau memintaku mengerjakan liputan baru, yang akhirnya diberikan ke anak magang.
Bukannya aku mau bolos dari pekerjaan, sayangnya ponselku nggak mendukung. Ponselku memang masih bisa digunakan selama di-charge, sayangnya hanya selang beberapa menit, dia sudah kembali hibernasi.
"Hapeku rusak, Kak. Sorry," ujarku sambil menyengir kecil. "Nggak bisa on terus jadinya."
"Rusak? Kok bisa?"
"Aku nggak tahu sih kenapa persisnya. Tiba-tiba aja gitu mati. Kemarin Juna bilang—"
"Yo, Sya."
Belum menyelesaikan kalimatku, suara lain terdengar dari belakang Taran. Ada Juna di sana dengan jaket bomber. Padahal sekarang sudah hampir siang. Melihatnya saja aku jadi gerah.
Yah, tetap ganteng sih. Dan, tunggu dulu. Tadi itu Juna menyapaku, ya?
Aku masih belum bisa merespons ketika dia tiba-tiba mengambil kardus yang kubawa begitu saja, kemudian bertanya, "Ini mau dibawa ke mana?"
"Lantai dua."
"Yang di pojok bukan? Tadi gue lihat teman-teman lo di sana."
Aku mengangguk, tapi belum juga bicara, dia sudah angkat kaki, melangkah begitu saja menaiki tangga yang tak jauh dari kami. Dia nggak kelihatan marah sih. Hanya, yah, tetap saja aneh. Apa ini semacam bantuan darinya? Kok nggak bilang apa-apa?
"Asya?"
Aku langsung menoleh, menyadari Taran sudah menatapku. Apa aku yang terlalu memerhatikan Juna, ya? "Eh, sorry Kak. Kenapa?"
Anehnya Taran justru tersenyum kemudian menggeleng. "Nggak apa-apa. Senang aja ngelihat kamu udah kayak biasa aja sama Juna."
Dan apa maksudnya "kayak biasa" itu? []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro