Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15: Wishy Washy

Keknya jadwalnya bakal rendem tapi aku usahain dalam minggu berikutnya untuk ada apdetan, terlepas hari apa pun itu. Kudunya part ini panjang, tapi aku bagi dua. Kenapa? Mau aja :)))) Biar ada bahan apdet lagi (eh)

Btw aku juga ikutan The Writer Show-nya Gramedia Writing Project. Bantu ramein ya. Bisa baca di bit.ly/asmaralokarata atau klik link di bio instagram aku. Selama 2 bulan ke depan aku mungkin fokus ke sana ngejar deadline wkwk. Tapi moga Pak Sena nggak kalah menarik 🌚

Anw, enjoy!

Beat Up Playlist tersedia di Spotify

-

Berinteraksi dengan Juna menjadi hal yang betul-betul aku antisipasi saat ini.

Bukannya tanpa alasan, aku hanya mencoba menyiapkan diri kalau tiba-tiba dia marah dan bilang aku pencuri, yang sayangnya nggak bisa aku sangkal.

Yah, aku nggak akan bilang membawa pulang sobekan kertas kusut yang lebih mirip sampah sama dengan mencuri lukisan berharga sih, tapi aku memang mengambil sesuatu yang bukan milikku. Aku mencuri sesuatu dari Juna.

Sebelumnya aku mengira bisa sedikit memahami lirik yang Juna buat. But I didn't. Yang ada aku justru aku seperti orang bodoh—mengambil hal yang bahkan tidak aku pahami. Mungkin lagu baru untuk Beat Up, itu sebabnya liriknya seperti berbunga-bunga begitu.

Apa juga yang aku pikirkan, sih? Aku sendiri bingung. Juna kelihatannya bukan tipikal yang bakal menulis lagu waktu jatuh cinta. And he doesn't seems like one, though. Tindakanku malah nggak ada esensinya sama sekali kecuali merugikan batin dan ketenangan hidup.

Ternyata begini, ya, rasanya hidup jadi pencuri? Ke mana-mana berasa diteror pikiran sendiri.

Tapi sejauh ini aku aman. Aku tidak banyak bertemu dengan Juna. dalam dua minggu ini pun kami hanya bertemu karena sesi wawancara. Redaksi makin sibuk, dan Beat Up juga lebih banyak latihan untuk tour mereka nanti.

Yang ada aku bukannya sering berkomunikasi dengan Juna, tapi dengan Taran, bahkan sampai saat ini. Dan, oh, tentu saja, aku mana mungkin sebal karena ini.

Ini sih namanya rezeki anak soleha.

Mahawira Tarandika

Hari ini latihan lagi, buat lagu baru.

I can spoil some to you

Kalau mau ;)

Hanandika Arasya

Reeeaaalllly?

Tapi nanti fans yang lain marah

Mahawira Tarandika

Special benefit karena kenal aku haha

Anw, siang ini lowong gak?

Hanandika Arasya

Kerjaan kantor lagi lumayan full sih sebenarnya

Kenapa, Kak?

Mahawira Tarandika

Just wondering if we can have a lunch together

Kayaknya lagi ribet ya?

Kalau kita makan dekat kantor kamu gimana?

Aku yang nyamper.

Makan siang aja kok

Oh. My. God. Seriusan?

Sudah diajak, dia yang datang juga? Dan... ini betulan Taran, kan?

Jangan tanya. Masa tawaran begini ditolak?

Hanandika Arasya

Boleh boleh!

Tapi gpp? Kesannya Kak Taran bolak balik gitu

Mahawira Tarandika

Cuman bolak balik sekitar Bandung ini kok

Santai aja sya

Jadi gimana? Oke?

Hanandika Arasya

Sure!

Mahawira Tarandika

Aku balik latihan dulu kalau gitu

See u ASAP Asya! ;)

Aku tahu ini kedengarannya konyol. Tapi, sumpah deh, kenapa balasan Taran kesannya manis banget, ya? Pakai emoticon segala, jadi lucu banget!

"Sya, gue butuh telepon orang nggak nih?"

Suara di belakang membuatku menoleh. Ternyata Bang Jinan. Dia masuk ke ruangan dan meletakkan tas kamera di sofa pojok kemudian duduk di kubikelnya, tepat di sampingku. Tumben sebelum makan siang sudah kembali ke kantor.

"Mau nelepon siapa?" tanyaku. Lagian, dia yang mau telepon kok nanyanya ke aku?

"RSJ. Kayaknya lo butuh deh."

Aku melongo, terlebih kali ini Bang Jinan justru memandangiku dengan raut serius, bahkan khawatir. Mungkin ini semacam metode barunya menjahiliku. Tapi apa pun metodenya, hasilnya tetap sama menyebalkannya.

"Apaan sih, Bang! Datang-datang ngegangguin!" omelku. "Pergi aja sana lo."

"Lo juga ngapain senyum-senyum sendiri?" Kalimatnya lebih mirip seperti tuduhan, menatapku sambil menyipit. Begitu melihat ponsel di tanganku, senyum jahil langsung terukir di bibirnya. "Oh, pantas. Lagi bucin, ya? Sama yang mana?"

"Sama yang mana?" Aku membeo. "Maksudnya?"

"Ah, pura-pura nggak tahu," balas Bang Jinan, tangannya bergerak menepis angin di depan wajah. "Cinta lama atau Kakak Gitaris nih?"

"Ya Allah, Bang. Kan udah gue bilang Juna tuh teman lama doang!" sentakku sebal, tapi yang ada tawa Bang Jinan semakin besar. Kelihatannya dia sengaja datang ke sini untuk menggangguku dan bawa-bawa Juna ke dalam obrolan. Aneh. "Jahilin gue emang sebegitu membahagiakannya, ya?"

"Mau bohong atau jujur?" Dia balik bertanya. Kalau begini sih enaknya dicuekin aja.

Aku kembali membenarkan posisi, meletakkan ponsel dan menghadap laptop, meneruskan pekerjaanku. Suara Bang Jinan pelan-pelan mereda. Dia diam sejenak, menggeser kursinya mendekat ke arahku. Aku sadar kalau sedang diperhatikan, tapi sebisa mungkin aku tak mengacuhkan.

"Duh, Neng Asya. Jangan marah dong."

"Neng Asya, cantik deh."

"Asya, noleh dong noleh."

Percaya deh, lebih mudah mengabaikan rombongan geng motor dengan suara berisiknya daripada seorang Jinan Agaswara. Sudah suaranya menggelikan begitu, tangannya juga ikut bermain, mencolek lengan beberapa kali seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru. Tapi Bang Jinan sama sekali bukan anak kecil. Dia terus memelas dan memanggilku dengan 'Neng Asya' berulang kali. Diabaikan justru membuatnya makin menyebalkan.

"Bang Jin, ah!"

Dia justru menyengir lebar, puas karena akhirnya aku bersuara. "Yah maaf sih, Sya. Bercanda doang."

"Nggak lucu," semburku garang.

"Nah biasanya kalau galak begini malah jadi dipertanyakan."

"Serah lo dah, Bang. Serah." Aku memutar mata malas. "Udah, ah. Pergi sana. Gue masih ada kerjaan."

Aku nggak akan heran kalau ucapanku itu dijadikan bahan jahil lagi, tapi ternyata Bang Jinan hanya bergumam sambil meluruskan punggung, ikut memandangi laptop. "Recording Beat Up berapa kali lagi, Sya? Dion sama Maya, mana?"

Nampaknya mode jahiliyah-nya sudah berganti. "Sekali lagi, besok. Habis itu kita hanya tinggal naikin episode-episode lain aja. Mereka bakal konser 10 hari, nggak bisa diganggu," jawabku. "Yang lain lagi sama Mas Andra, katanya dipanggil Pak Sam."

Harusnya aku juga ke sana, tapi karena masih mengurusi rough script untuk tim kreatif, aku dibiarkan untuk tetap di tempat.

"Baru ingat gue. Konsernya kapan deh?"

"Minggu depan kalau nggak salah."

Bang Jinan manggut-manggut, memandnagi laptop lebih serius. "Lo nggak ikut?"

"Ikut ke mana?" Aku mengernyit heran. "Memang kita ada kerjaan baru?"

"Ke konser Beat Up dong! Kan lo bisa minta tiket ke cinta masa lalu—"

"Bang Jinan!"

Drrtttt.

Pandanganku teralih ke ponsel yang bergetar, layarnya menyala dan memampangkan kontak Whatsapp Juna. Kemudian ada batuk-batuk rekayasa yang menusuk pendengaranku.

"Eh, panjang umur," selorohnya sambil menoleh ke arahku. Buru-buru aku mengambil ponsel dan menjauh, berjalan ke arah pintu. Bang Jinan hanya bersiul tapi tidak mengikuti. Sengaja aku keluar sebelum mengangkat telepon Juna.

"Sya, sibuk?"

Nggak ada sapaan sama sekali ternyata. Tak mau basa-basi dengan menyindir, aku memilih untuk langsung merespons, "Lagi kerja sih."

Juna bergumam di ujung sana. "Siang nanti lagi ada waktu kosong?"

"Makan siang maksudnya?"

"Iya. Gue pengin ketemu lo. Penting."

Mampus. Mampus. Mampus.

Mendadak kerongkonganku terasa kering. Dia nggak mencari aku karena sadar ada coretannya yang hilang, kan? Satu kertas itu nggak akan membuatnya tiba-tiba marah padaku sampai mencariku begini, kan?

Aku butuh kemampuan acting sekarang. Pura-pura saja nggak tahu. Dia juga nggak punya bukti untuk menuduhku, kan?

"Kenapa deh, Jun?" tanyaku. "Penting apaan?"

"Lusa ternyata keponakan gue ulang tahun, jadi Nyokap minta tolong beliin kado," Juna menjelaskan, tapi aku hanya bisa mengerjap. Ulang tahun? Keponakan? Kado? Jadi nggak ada hubungannya nih dengan kertas yang aku bawa pulang? "Nanti siang bantuin gue nyari kado, Sya. Kosong, kan?"

Rasanya agak salah sih, tapi aku lega sekarang. Berarti aku belum ketahuan. Membantunya saat

"Gue udah ada janji tapi siang ini, Jun. Sorry."

"Janji?"

Aku berdeham mengiyakan. "Sebelumnya gue udah janji mau ketemu nanti jam 12 sekalian makan siang. Nggak enak kalau tiba-tiba dibatalin, orangnya juga datang ke sini."

"Taran?" Suara Juna tiba-tiba jadi cuek. Tanpa melihatnya pun, kepalaku begitu saja membayangkan bagaimana ekspresinya saat ini. "Dia izin buat ketemu lo ternyata."

Kok Juna tahu? Dan Taran izin hanya supaya bisa keluar dan makan denganku nih?

"Ya udah. Makan aja sana sama Taran lo itu. Gue bisa sendiri."

Kemudian sambungan telepon terputus begitu saja, dan aku hanya bisa melongo di tempat.

Beberapa detik sebelumnya aku merasa tersanjung karena Taran ternyata sampai sebegitunya. Tapi dengan perlakuan Juna barusan seperti meniup semua itu. Aku bahkan nggak tahu harus apa sekarang.

Serius deh, Jun, kenapa mau senang rasanya susah banget kalau kamu tiba-tiba bertingkah begini sih?

Dia sudah biasa marah begini, seenaknya jadi cuek dan meninggalkan kesan begini. Juna memang begini. Mengiyakan permintaannya bukan tanggung jawabku. Aku seharusnya tidak begitu peduli.

But... it's harder than I think.

*

Catatan baru untuk Juna: Enthusiasm sucker.

Sebelumnya aku senang bukan main karena diajak makan bareng Taran, bahkan aku nggak perlu berbuat apa-apa kecuali menunggu. Tapi begitu Juna datang dengan perlakuannya, rasanya aku jadi negara air yang diserang negara api. Antusiasmeku hilang.

Berharapnya sih Taran bisa jadi avatar buat menyelamatkan suasana hati, tapi ternyata aku masih resah. Benar-benar deh, Juna!

Meski begitu, aku nggak bisa menjadikan Juna sebagai alasan untuk membatalkan makan siang dengan Taran, pun aku nggak seharusnya mengikuti mood jelek. Sebisa mungkin aku bersikap seadanya, menekan pemikiran soal Juna yang marah—untuk apa juga dipedulikan deh—dan menikmati makan siang. Kalau kata Ibu, nutrisi itu bukan hanya dari makan, tapi dari otak. Jangan sampai deh Juna juga mencuri nutrisi makananku. Udah kayak cacing aja.

Taran menghubungi sekitar jam 12.15 dan kami bertemu di kafe seberang redaksi. Kami memesan makanan lebih dulu kemudian dia permisi sebentar untuk salat. Yang aku nggak tahu, Taran ternyata mampir juga ke kasir dan membayar semuanya, padahal harusnya dibayar setelah makan. Aku sadar karena melihatnya memasukkan struk ke dalam saku jins.

"Aku yang ngajak, jadi aku aja yang bayar." Taran memasang cengiran sambil duduk di sisi lain meja. "Jangan protes, ya?"

Sudah dilarang protes duluan. Bukannya aku nggak suka ditraktir sih, cuma segan jadinya, apalagi aku merasa belum jadi teman yang sedekat itu untuk dapat traktiran dari Taran.

"Next time kamu traktir aku cendol atau apa gitu," imbuh Taran lagi. Kalau sudah begini sih aku pasrah dan berterima kasih. Anggap saja rezeki anak soleha part dua.

"Makasih buat traktirannya," kataku.

"Makasih juga udah ngeiyain ajakan aku." Taran membalasku dengan kedipan. Geli sih, tapi itu juga yang membuatku tertawa. "Hari ini di kantor kamu ngapain aja, Sya?"

"Ngurusin Days With Beat Up. Semuanya mau dirampungin lebih cepat. Besok jadi tinggal minta kalian untuk voice-over sama sekali recording lagi aja."

"Nanti pas kami konser berarti kami libur?"

Oh, libur. Harapanku juga begitu sebetulnya. Tapi pekerjaanku bukan hanya ini saja. "Aku balik lagi ke kerjaan biasa, Kak. Setelah kalian konser, baru aku balik lagi ngurus acaranya."

"Sayang dong, ya? Kirain bisa libur, biar nonton konser Beat Up." Taran pura-pura mencebik. Di saat yang sama minuman pesanan kami diantar. Ada jus mangga untuk taran dan es jeruk untukku. "Makasih, Mas," kata Taran pada si pelayan, kemudian dia bicara lagi padaku. "Banyak lagu baru yang bakal dibawain pertama kali di konser lho."

Penasaran sih, tapi lebih banyak faktor tidak memungkinkan untuk ikut konser. Aku nggak pernah sama sekali melihat konser siapa pun secara langsung, palingan juga hanya modal Youtube. "Aku nunggu di Spotify aja lagunya deh. Pasti kudengarin kok."

"Aku senang hati bakal ngasih spoiler, kalau kamu mau." Taran cekikikan sambil memainkan alisnya naik turun. Pengin ngeiyain, tapi tawaran sebelumnya sudah aku tolak. Nanti kesannya labil lagi. "Kami masing-masing buat lagu solo buat kali ini."

"Kalian masing-masing?" Aku mengulang, dan Taran mengangguk. "Berarti Juna... dia juga suka bantu untuk buat lagu dong?"

Taran menyeruput jus mangganya sambil mengangguk. "Dari kami semua sebetulnya dia sama Revan yang paling banyak buat lagu. Mereka biasanya sering kontak-kontakan sama produser malah."

Itu fakta baru. Ternyata Juna produktif juga, toh?

"Kirain Juna yang paling malas," sahutku, dan Taran langsung terkikik.

"Jujur, aku juga nggak ngira dia bakal serajin itu," lanjut Taran. "Tapi setahu aku terakhir kali Juna nyumbang lagu untuk album tuh tahun lalu. For some reason, dia berhenti buat lagu sendiri."

"Berhenti?"

Kali ini Taran mengangguk. "Sekarang pun kalau ikutan biasanya dia hanya main di aransemen aja, nggak nyentuh lirik sama sekali. Padahal Pak Suma selalu bilang lirik buatan dia bagus-bagus. Sering dijadiin quote di Instagram fans tuh."

Aku hanya bisa manggut-manggut. Sewaktu kuliah dan pertama kali mendengar lagu Beat Up, banyak teman kuliahku yang memakai lirik-lirik lagu untuk caption Instagram atau status Facebook. Nggak mengherankan sih, karena menurutku liriknya relatable dan bagus. Tapi aku masih cukup terkejut karena dari semua itu ada hasil karya Juna.

Dan kalau diingat-ingat, coretan liriknya yang aku bawa pulang juga ....

"Kenapa gitu, Sya?" tanya Taran, meski tidak begitu kentara, sorot matanya seperti mencerminkan keingintahuan—atau mungkin curiga. Aku tak tahu mana yang lebih pas.

Aku pengin bilang kalau sewaktu sakit Juna kelihatannya sibuk membuat lagu. Tapi... entahlah. Mungkin dia hanya mau buang sampah atau semacamnya. Dan sekarang aku makin yakin kalau mungkin nggak mengenal Juna sama sekali.

"Gakpapa, Kak," balasku sambil tersenyum kecil. "Hanya penasaran aja kerjaan Juna ngapain aja selain bikin rusuh."

Dia terlalu membingungkan untukku. []

*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro