13: Haphazard Beau
Maunya apdet malming, tapi suka kelupaan. Keasikan ngejomlo LOL. Ya intinya mah updatenya weekend weh lah ya. Moga bisa tiap minggu, bikos semua kuliah dan bimbingan onlen ini membunuhqu~
BTW, kangen Juna? :)
-
Goodbye weekend, and hello workweek of hell.
Aku nggak bisa bohong kalau datang ke ulang tahun Tante Mira sebetulnya kesempatan yang menyenangkan. Bukan hanya karena aku bisa pulang kenyang, tapi aku juga berhasil membawa beberapa makanan juga camilan yang bisa kelihatan bisa jadi teman ngemil selama dua hari. Bukan hanya sepotong, tapi aku dikasih sepiring red velvet utuh yang belum dipotong.
Maaf nih. Aku nggak bungkus, ya. Dibungkusin. Tengsin juga kali kalau minta bawa pulang.
Intnya, Tante Mira memang top.
Hanya saya, ulang tahun Tante Mira hanya berjalan selama satu hari. Bahkan belum juga ganti hari—tepatnya jam 7 malam setelah aku dan Juna pulang dari rumah Tante Mira, Bang Jinan sudah merusuhiku dan bilang bahwa tim kreatif minta rough script untuk recording episode berikutnya dari tayangan soal Beat Up, karena untuk episode kali ini, harus ada script lain untuk voice-over di dalam tayangannya.
Masalah memberikan rough script itu sih bukan masalah, karena sebetulnya aku sudah menyiapkannya dari kemarin. Tapi aku baru tahu untuk episode kali ini yang jadi pengawasnya bukan Mas Andra, tapi Bu Vita. Hanya sementara sih, karena Mas Andra sibuk mengurus acara pertunangannya.
Dan aku baru tahu, kalau Bu Vita itu banyak mau, dan karena ide awal dari bagian kreatif diganti, itu berarti pertanyaan yang kusiapkan juga butuh penyesuaian. Pada akhirnya porsi red velvet yang kukira bisa untuk dua hari langsung habis setengahnya sebagai partner begadang.
Kelar revisi bisa-bisa aku diabetes kali. Sudah diabetes, kurang tidur lagi. Kelar hidup ini.
Seharian ini, pekerjaanku nggak lebih dari otak-atik script sekalian bolak-balik ke bagian kreatif. Semuanya jadi kejar-kejaran, terlebih karena jam 1 nanti akan mulai sesi recording pertama. Untungnya kali ini Beat Up yang datang ke redaksi, sekaligus untuk voice over. Kalau aku harus pergi ke agensi mereka, bisa-bisa tepar betulan badan ini.
"Aduh, kasihan banget adik kecil ini. Capek, hm, capek?"
Aku ogah menoleh dan meluruskan punggung. Aku betulan mau rebahan, sekalipun aku hanya bisa merebahkan punggung di meja kerja saja untuk saat ini. Lagi pula, aku sudah tahu suara ejekan itu pasti berasal dari satu orang.
Siapa lagi kalau bukan Bang Jinan?
Aku hanya menggeram pelan, sama sekali nggak beranjak dari kursi. "Lo lagi nggak ada kerjaan makanya gangguin gue, ya? Mending minta kerjaan sama Bu Vita gih. Enyah."
Bang Jinan merengut, ketimbang imut malah gemas pengin nabok sih. "Jahat banget sih."
"Lo yang jahat, datang-datang banyak gaya."
"Harusnya lo berterima kasih sama kedatangan gue, Sya."
Keningku mengernyit. "Dih, ngapain? Kayak lo datang bakal bikin perut gue kenyang aja."
"Gue ke sini mau manggil lo makan, konsumsi lagi dibagiin tuh sama DropUs. Ayo ambil bareng."
Aku diam lebih dulu. Bukan karena kebaikan dalam tanda kutipnya Bang Jinan, tapi lebih karena....
"Kok konsumsinya bisa dari DropUs?"
Bang Jinan manggut-manggut seolah mengerti kenapa aku heran. Yah, dia mungkin mengerti sih. Biasanya kami punya konsumsi sendiri-sendiri, makan juga di luar.
"Pak Suma bawain tadi. Katanya dari anak-anak Beat Up. Dengar-dengar sih Taran yang minta supaya kru ditraktir makan siang." Bang Jinan menjelaskan, membuatku langsung mengangguk, rasanya mau nyengir karena mendengar nama Taran.
"Taran tuh emang baik banget, ya? Gila sih. Idaman banget."
"Mulai deh tuh halunya," ujar Bang Jinan. "Kayaknya seisi kantor ini pada fansnya Beat Up apa gimana deh?"
Aku cuman bisa menyengir sebelum berdiri dari kursi, mengangguk mantap ke arah Bang Jinan. "ya udah, yuk. Gue juga lapar."
"Semangat banget lo." Bang Jinan geleng-geleng tapi tetap berbalik untuk keluar ruangan. Aku hanya mengikuti Bang Jinan hingga kami berbelok ke ruangan staf. Ternyata di dalam ada Taran, dengan jaket juga topi yang sengaja dia pakai terbalik.
"Oh, ada Asya."
Disapa gini aja aku mau senyum lebar banget. Jadi fangirl memang susah, ya?
Duh, Asya. Ingat. Lagi kerja.
Aku menahan diri untuk tidak mengeluarkan reaksi berlebih dan menunduk. "Hai, Kak."
Taran tersenyum. Sebetulnya dia sendiri bilang supaya aku memanggilnya langsung, nggak perlu pakai embel-embel. Tapi rasanya aneh kalau langsung panggil "Taran". Lagi pula aku sudah terbiasa menyebut "Kak Taran" tiap kali kami ngobrol via chat.
"Kayaknya aku baru lihat kamu deh. Baru ngantor?" tanya Taran.
Baru saja aku mau membalas, Bang Jinan justru sudah lebih dulu mengimbuhi, "Dia kalau di kantor seringnya leha-leha, makanya baru kelihatan."
"Itu lo kali, Bang," desisku, tapi Bang Jinan justru mengedikkan pundak tak acuh, dan yang ada Taran tertawa.
"Oh, ya. Nih, makan dulu." Taran membuka plastik besar yang ada di kursi, mengambil dua kotak dari dalam dan menyodorkannya padaku dan Bang Jinan.
"Thanks, Tar," kata Bang Jinan. Awalnya aku berniat untuk ikut balik ke ruangan bareng Bang Jinan, tapi yang ada dia menepuk pundakku sambil manggut-manggut, ada senyum janggal di bibirnya. "Gue duluan, ya. Ngobrol aja dulu sama Taran, mumpung lagi makan siang. Sekalian juga kan lo yang wawancara Taran nanti?"
Aku terbelalak—agak malu juga sebetulnya. Belum sempat membalas pun, Bang Jinan sudah pergi begitu saja, meninggalkanku dan Taran sendirian di ruang staf.
"Oh, dari HypeMe kamu lagi yang disuruh wawancara, Sya?"
Suara Taran membuatku mengalihkan perhatian kembali ke arahnya. Aku terkekeh kecil sambil mengangguk untuk nggak terlihat terlalu kikuk. "Iya, Kak."
Taran kali ini manggut-manggut.
"Bosan, ya, aku terus yang wawancara?"
Asli deh, ini cuma sekadar lelucon selipan agar suasana lebih cair. Tapi aku sama sekali nggak menyangka Taran justru membalasnya dengan, "Nggak kok, bareng kamu ngobrolnya lebih asik. Udah kenal juga, kan? Jadi bisa lebih santai."
Aku seharusnya bersikap biasa saja. Masalahnya Taran tersenyum, dan itu manis banget. Ya Tuhan! Gimana caranya supaya nggak meleleh di tempat?
Aku hanya bisa haha-hehe, berusaha untuk nggak bereaksi berlebihan. Aku datang sebagai jurnalis, bukan fans. Keprofesionalan harus dijunjung tinggi. Urusan pribadi sama kegemaran aku jelas harus dipisah.
Tapi gimana nggak ngejerit kalau senyumnya Kak Taran manis banget sampai bikin meleleh gini?
Duh, Sya! Sadar!
"Wawancaranya nanti kan?" tanya Taran lagi. "Mending makan dulu, yuk. Tadi Pak Suma udah beliin makanan. Kita makan bareng sekalian ngobrol soal wawancara nanti."
"Eh, Kak, nggak udah. Kalau misalnya mau makan dulu, makan aja. Aku tunggu di luar nanti."
"Ya jangan di luar dong. Mending makan bareng aja sekalian ngobrol santai, biar lebih akrab." Taran mencoba meyakinkan. "Biasanya kan kita cuma chatting-an dang. Aku pengin ngobrol bareng kamu, tapi di luar formalitas pekerjaan. Boleh, kan?
Ya Tuhan! Mimpi apa ini aku? Sudah ngobrol sama Taran—iya, Taran yang itu, yang suara serak-serak basah seksinya di tiap lagu Beat Up sukses bikin aku eargasm, belum lagi ditambah cara dia senyum tiap main gitar—sekarang aku juga diajak makan bareng?
Subhanallah. Keterlaluan banget ini kalau nolak. Hanya sekadar ngobrol juga bukan berarti aku nggak profesional, kan? Tawaran begini kok ditolak.
Ya jelas dong, aku langsung mengangguk, tapi sebisa mungkin bersikap tetap santai. "Oh,boleh, Kak. Ini nggak papa aku ikut di—"
"Makan kan bisa sendiri, nggak perlu ngajak Asya, Tar. Lo nggak perlu disuap lagi."
Suara itu menghentikan kalimatku. Begitu aku menoleh, ternyata Juna sudah muncul di depan pintu. Tiba-tiba dia mendekat dan langsung menarikku mundur dari dekat Taran. Dan lagi, tatapannya itu....
Serius deh, Juna punya dendam kesumat apa sama Taran?
"Gue nggak minta Asya suapin gue sih, cuma ngajak dia makan bareng," balas Taran, tatapannya pada Juna menggambarkan keheranannya. "Santai, Jun. Nggak ada masalah, kan? Apa yang bikin gue nggak boleh makan bareng Asya?"
Ini hanya perasaan aku saja atau mendadak suasananya jadi agak mencekam, ya?
Mendadak aku hanya bisa diam, memandangi Juna dan Taran bergantian. Tak lama, Juna jutsru berdecih, entah kenapa matanya langsung menyipit memandangiku. Sesaat aku merasa seperti ditatap serigala yang siap untuk menyantapku hidup-hidup.
Lagian dia juga sih. Kok muncul-muncul mendadak pakai mode sensi?
"Nggak usah bikin isu yang aneh-aeh," celetuk Juna. Dia kemudian mengambil kotak makanan begitu saja. Tanpa mengatakan apapun apa-apa lagi dia berjalan menjauh, meninggalkan aku dan Taran.
Juna tuh kenapa sih? Serius deh. Dia marah sama aku? Kalau iya, aku betul-betul nggak tahu kenapa. Perasaan semuanya baik-baik kok. Kami pulang dari rumah Tante Mira juga tanpa ada perdebatan apa-apa.
Dan apa yang Juna maksud dengan "isu"? Bukannya dia justru yang bikin isu dengan ....
Duh, nggak, nggak. Aku masih aman kok. Yang tahu soal hubungan pura-pura kami juga hanya keluarganya Juna.
Taran kelihatan heran. Dia melepaskan topi dari kepalanya sembari menggaruk tengkuk.
"Sya."
"Iya?"
"Kamu sama Juna tuh ada... sesuatu?"
Aku mengerjap. Agak kaget sebetulnya, dan pertanyaan itu menonjokku, seakan-akan apa yang aku pikirkan sebelumnya. Namun sebisa mungkin aku bersikap tenang, haha-hehe lagi sambil menggeleng.
"Nggak kok, Kak. Kebetulan dia teman SMA aku. Itu aja."
"Ah, Juna juga sempat bilang itu," Taran membalas sambil manggut-manggut, tapi masih agak heran. "Kaget juga sih, tiba-tiba dia jadi galak gitu."
"Dia memang suka gitu, Kak. Aku juga heran."
"Ya udah deh, yuk. Kita makan aja," putus Taran akhirnya, dan aku hanya bisa mengangguk.
Syukurnya Taran nggak bertanya lebih jauh, karena sebetulnya aku juga nggak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
Aku juga bukannya bohong. Juna memang teman SMA-ku. Dan kalaupun kami punya hubungan, jelas kami bukan memiliki hubungan yang begitu.
It's quite complicated to be explained.
Juna juga kelihatannya nggak mau teman-temannya tahu, bukan? Kami sama-sama nggak mau punya isu apapun. Taran juga lebih baik nggak tahu.
*
Baru juga ditinggal sehari, tapi aku betulan kangen Mas Andra. Dan aku yakin bukan hanya aku yang merasa begini. Hampir semua kru yang kerja hari ini protes, sampai-sampai ada yang bilang, "Mas Andra bisa nggak sih pertunangannya nanti aja? Mending kita diawasin sama Mas Andra aja."
Harapannya agak rada-rada sih, tapi aku juga paham kenapa. Masalahnya, Bu Vita sukses membuat kami semua lembur karena urusan recording dan voice over hari ini. Bu Vita juga meminta kami untuk sebisa mungkin merapikan konsep untuk episode berikutnya karena akan kejar tayang, mengingat jadwal tur Beat Up ke beberapa kota sudah keluar dan kami tak ingin penayangan Days With Beat Up terhenti. Alhasil, kami semua masih di redaksi sekalipun jam 5 biasanya kami sudah cabut semua.
Berhubung dari semua kru hanya aku yang sedikit lebih punya waktu luang, akhirnya aku kebagian menjadi kurir dadakan untuk membeli kopi dan makan malam di kafe seberang redaksi. Seharusnya aku bareng Bang Jinan, tapi baru saja keluar, Bang Jinan justru dipanggil Bu Vita.
Sumpah, ya, Bu Vita ini... duh, niatnya baik sih. Tapi bikin repot.
Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan keluar sendirian. Aku pun berdiri di pinggiran jalan untuk menyeberang.
"Tumben masih ngantor, Sya."
Bohong kalau aku bilang tidak terkejut. Juna ini betulan jin apa, ya? Tiba-tiba muncul.
"Lo ngapain?" tanyaku, berusaha untuk tidak menjerit tiba-tiba. Ini betulan Juna, kan? Kalau sudah malam begini, siapa tahu kan yang ada justru....
"Ngelihat gue biasa aja dong, gue bukan setan," celetuk Juna, ketimbang menjawab pertanyaanku, dia justru bertingkah seakan bisa membaca isi pikiranku.
Aku jadi takut sekarang.
"Lo yang bikin kaget," balasku sewot. "Kalau mau datang tuh Assalamualaikum dulu gitu, jangan tiba-tiba nyelondong."
"Sekalian gue ketuk pintu gitu? Tok, tok, tok." Juna memutar matanya malas, menggerakkan tangan seakan tengah berpantomim mengetuk pintu.
"Lagian lo ngapain di sini?" tanyaku. "Perasaan Beat Up udah pulang dari jam 5 tadi. Kan udah nggak ada apa-apa lagi."
"Gue nungguin lo," jawab Juna anteng.
"Hah?"
"Gue nungguin lo," ulang Juna lagi. "Lo nggak tuli, kan?"
Bukan masalah tuli, tapi ini soal kalimatnya. Ngapain juga Juna nungguin aku?
"Nungguin gue untuk apa? Kok lo nggak bilang?"
"Biasanya cewek suka kejutan, kan?"
Spontan aku mengernyit. Ini Juna tuh niatnya mau ngapain sih? Mau ngasih kejutan ke siapa maksudnya? Aku? Kok dia random begini?
"Nyokap ada titipan buat lo, gue belum ngasih. Masih ada di mobil," kata Juna akhirnya. "Jadi gue nungguin lo. Soalnya dari tadi lo sibuk banget. Makan siang juga lo kan sama Taran."
Sekarang kenapa jadi ke Taran?
Masih berkutat dengan kebingungan sendiri, Juna lagi-lagi bersuara, mengajukan pertanyaan baru. "Lo mau ke mana?"
Aku masih belum puas dengan jawaban Juna sih, tapi aku memilih untuk menjawab, "Beli kopi buat yang lain."
"Jadi lo lembur jadi babu gitu?"
Allahuakbar. Kok nyebelin banget cowok yang satu ini?
Aku mau balik membalas, tapi Juna sudah lebih dulu menggenggam tanganku, menuntunku menyeberangi jalan. Aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berkomentar karena Juna sibuk menggerakkan tangannya untuk menghentikan mobil-mobil yang melaju. Pada akhirnya aku hanya bisa mengikuti hingga kamu berhasil sampai di seberang jalan, tepat di depan kafe tujuanku.
"Thanks, Jun," kataku, dan dia hanya membalas dengan gumaman pelan.
"Lo butuh diteman...."
Anehnya kalimat Juna justru nggak selesai. Yang ada dia diam, tiba-tiba berbalik membelakangi kafe, menunduk dengan tangan yang bergerak menyeka wajah—atau sebenarnya akan lebih pas aku sebut dengan menutupi wajah.
Bingung, aku terpancing untuk menoleh ke arah kafe. Tapi tidak ada apa-apa. Sama sekali. Kafenya juga biasa saja, malah hanya ada seorang perempuan—kelihatannya seusia Maya, atau mungkin sedikit lebih tua—yang baru saja keluar dengan dua kotak besar di dalam plastik bening yang tengah dia tenteng.
Nggak ada yang aneh kok, tapi kok Juna kelihatan seperti baru saja melihat hantu?
Duh, aku nggak boleh mikir yang aneh-aneh.
"Ya udah. Tunggu di sini," kataku akhirnya. "Lo mau nitip sesuatu nggak?"
"Nggak usah," balas Juna cepat. "Udah, buruan."
Aku hanya bisa mengangguk dan beranjak. Sebelumnya aku merasa Juna berniat menawarkan diri untuk menemaniku ke dalam, tapi tiba-tiba dia diam dan bersikap seperti patung.
"Ya udah, gue ke dalam dulu."
Apa Juna melihat sesuatu? Duh, jangan bikin aku ikut merinding dong. Udah malam, nih! []
-
Juna liat apa hayo 👀
Cie digantung~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro