Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12: Bit of Him

Panjang neh. Ramekan ya.
Biar aku nggak pundung kayak Juna 😏

-

-

Ingatkan aku untuk nggak banyak-banyak buat dosa hari ini.

Aku belum siap untuk jadi orang jahanam yang auto masuk neraka hanya karena dosa yang bertumpuk lebih dari biasanya. Aku bukan orang bersih atau suci sih, tapi setidaknya aku lebih suka nabung uang—sekalipun aku payah dalam hal menabung—daripada nabung dosa dan kejahatan.

Karena sekarang, jatah dosa hari ini harus dialokasikan cukup pada satu titik. Pada skenario pacar bohongan yang harus aku mainkan bersama dengan Juna di hari ulang tahun Tante Mira.

Gila, ya, orang lagi ulang tahun malah ditipu? Aku yang bukan anaknya saja sudah merasa durhaka bukan main.

Aku jadi penasaran, sebetulnya apa sih yang ada dalam pikiran Juna sampai berbohong begini? Sekarang justru aku lebih mirip orang bego, sudah tahu salah, tapi masih dilakukan.

Tapi, oh, gimana caranya juga aku bisa mengakui kalau aku dan Juna ini nggak sama sekali pacaran ketika Tante Mira menyambutku dengan ekspresi cerianya, betul-betul mencerminkan bagaimana bahagianya dia hari ini?

Aku nggak tega. Sumpah!

Baru saja sampai dan masuk ke area halaman, Tante Mira sudah melangkah mendekat dan memelukku. "Asya, makasih banyak udah datang!"

Sesaat aku memandangi Juna yang ada di sampingku, tapi dia hanya mengendik santai.

"Selamat ulang tahun, Tante." Aku balik memeluk, sebisa mungkin menghilangkan rasa canggung dan bersalah yang membebani pundak.

Tante Mira mengurai pelukan dan Juna kemudian balik memeluk, mencium pipi sang Mama. "Selamat ulang tahun, Ma. Sehat terus, panjang umur."

"Iya, anak Mama. Makasih, ya."

Juna kemudian menyodorkan paperbag berwarna biru pastel. "Ini dari aku sama Asya."

"Duh, kalian milihin kadonya bareng nih? Spesial dong, ya?"

Aku cuma bisa menyengir, berusaha tidak mengeluarkan reaksi yang berlebihan. Kado itu sebetulnya sederhana, hanya satu paket sprei yang aku rasa bakal cocok sama selera Tante Mira—sebetulnya aku bayanginnya pakai selera Ibu sih—tapi untuk membeli hadiah itu saja aku sampai harus berdebat dulu sama Juna.

"Ngapain sih beli kado? Kan udah gue bilang, datang aja."

Ini anak durhaka banget sama orangtua, ya? Heran!

Tentu saja aku menolak. Masa iya cuma datang bawa tangan kosong?

Dan setelah beberapa sesi debat, Juna pun mengiyakan, dengan syarat dia juga mau ikut berpartisipasi, alias aku nggak dibolehin bayar sendirian.

Aku jadi curiga Juna melarangku karena cari teman untuk nggak bawa kado.

"Ya udah yuk, yuk. Sini, Tante kenalin ke yang lain."

Aku sama sekali nggak sempat membalas karena Tante Mira sudah lebih dulu menggenggam dan menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang rumah, dan Juna sama sekali nggak berniat mengikuti, justru dengan santai menyakukan tangan, ikut menyusul dengan langkah kecil dan berhenti begitu dua anak kecil berlari mendekat ke arahnya sambil berteriak, "Om Juna!"

Telingaku seperti digelitiki. Om Juna. Haha, Om!

Mau mengejek, tapi aku seperti nggak dikasih kesempatan. Karena ketimbang bicara dengan Juna, aku sudah dibawa Tante Mira untuk bertemu dengan orang-orang asing yang nggak aku kenal. Satu laki-laki dan perempuan, kelihatannya masih umur 30-an melihat rupanya nggak jauh beda dengan pimredku. Mungkin hanya beberapa tahun lebih tua

Kelihatannya mereka pasutri sih, melihat bagaimana si perempuan menyuapi kue ke si laki-laki, dan nggak ada yang protes soal itu. Aku tahu ini agak nggak masuk akal, tapi... pernah nggak ngerasain mesranya suami istri itu beda sama lovey-dovey ala orang pacaran? Itu yang aku lihat dari dua orang ini.

Ketika Tante Mira membawaku mendekat ke arah mereka, keduanya kompak berbalik, si perempuan meletakkan piring kue ke kursi yang ada di belakangnya kemudian tersenyum memandangiku.

"Oh, ini toh pacarnya Juna?"

Arasya—pacarnya Juna—Hanandika. Apa begitu namaku sekarang?

"Namanya Asya." Tante Mira memperkenalkanku sembari menepuk pundakku. "Teman sekelasnya Juna dari dulu. Asya ini suka datang jengukin Juna kalau nggak masuk, Kin."

"Pacarannya udah lama dong?" Perempuan itu kembali bertanya padaku.

Aku hanya bisa cengar-cengir. Ya ampun, mau jawab bagaimana ini? Nanti kalau cerita aku beda sama Juna, gimana? Ketahuan banget bohongnya.

Nyatanya, tanpa perlu menjawab pun perempuan ini tampaknya sudah membuat kesimpulan sendiri, dengan senyum yakin kepalanya beralih ke Tante Mira. "Udah kubilang kan, Kak, Juna tuh pasti punya pacar. Betulan belum mau ngaku aja."

Tante Mira manggut-manggut sebelum merespons, "Duh, Kinara. Kakak juga ragu Juna bakal cerita. Pas nyari Juna habis konser aja baru ketemu dia sama Asya lagi makan bareng. Iya, kan, Sya?"

"Hehe, iya, Tante."

Lame response. I know. Tapi aku lebih memilih dan fokus, mencoba menyimak. Dia adiknya Tante Mira? Jauh juga jarak umurnya.

Perempuan itu—Tante Kinara berarti ya?—tertawa sambil menyikut laki-laki di sampingnya, setengah tergelak. "Dulu juga aku sama Sean kan gitu, Kak. Mami sama Papi nggak tahu kami pacaran, baru tahu pas lamaran. Siapa tahu Juna juga kayak gitu, kan?"

"Bagusnya dikenalin dulu ke orangtua dong, main lamar gitu aja bikin yang tua syok." Tante Mira geleng-geleng, tapi tak lama kembali melihatku sambil tersenyum. "Cuma kalau Asya sih aku udah kenal. Memang perempuan baik-baik kok."

"Juna naksirnya masih sama anak baik, Kak." Kali ini laki-laki di samping Tante Kirana yang menyeletuk.

"Juna memang baik, Sean, nggak kayak kamu dulu," seloroh Tante Kirana. Tangannya kemudian terarah ke sudut lain ruangan, dan mataku secara spontan mencari apa yang ditunjuknya.

Begitu menoleh ke belakang, aku sadar yang Tante Kirana maksud itu Juna. Dua anak kecil yang aku lihat sebelumnya masih bersamanya, tapi yang satunya sudah naik di pundak Juna, menjadikan itu sebagai singgasananya, sementara satu anak lagi protes dan memukul-mukul paha Juna.

Dugaan awalku, Juna bakal kelihatan marah-marah dengan mode sensi seperti biasanya. Tapi aku justru menemukan kebalikannya. Dia sama sekali nggak marah. Yang ada, Juna tertawa, menunduk sebelum ikut menggendong anak kecil yang memukulnya tadi, mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas sementara anak keci yang ada di pundak Juna melingkarkan leher ke kepalanya, nyaris menutup mata Juna.

Sumpah, Juna nggak marah sekali, seakan dua anak itu bukan membuatnya susah, tapi menghibur.

"Sean, coba bantu Juna. Takut jatuh nanti si Adit tuh," kata Tante Kinara. Om Sean tak membalas dan langsung mendekat ke arah Juna, membantu mengambil si anak kecil yang ada di pundak Juna, dan anak itu kelihatannya protes.

"Adit sama Dito senang banget main sama Juna," ujar Tante Kinara lagi, kali ini dia tertawa, sejurus kemudian tatapannya terlempar padaku. "Calon suami baik itu, Sya. Siapa tahu mau serius."

Aku pun terpukau dengan bagaimana Juna kelihatan bersenang-senang dengan anak kecil itu. Dia kelihatan. apa ya, lebih sedap dipandang, mungkin? Tapi jadi "calon suami baik"? kayaknya itu kejauhan, deh.

"Duh, Tante," aku menggeleng pelan, berusaha tetap sopan meskipun ingin langsung membantah, "aku masih terlalu muda. Baru juga beberapa bulan lulus kuliah."

"Eh, baru?"

Aku mengangguk, dan untungnya Tante Mira menambahkan, "Asya baru lulus memang, Kin. Jadi jurnalis kan, Sya?"

"Iya, Tante."

Kali ini Tante Kinara yang manggut-manggut. "Juna kalah kalau gitu. Dia skripsian aja belum kelar."

"Nggak papa, lah. Dia bilang juga semester depan baru mau mulai lagi. Masih lagi cuti," sahut Tante Mira.

Kalau soal kuliah, aku baca keterangannya di salah satu situs web soal Beat Up. Katanya Juna memang kuliah, tapi belum lulus. Aku pikir Juna memilih untuk fokus pada karirnya, mengingat Beat Up juga sudah sukses sendiri.

Dosenku dulu bilang, mahasiswa yang sudah bisa mencari uang sendiri memang biasanya lebih memilih pekerjaan daripada pendidikan mereka. Di wawancara sebelumnya juga, Juna nggak menyinggung apapun soal pendidikan mereka, dan aku nggak merasa perlu bertanya karena info seperti itu sudah ada sebelumnya di situs-situs internet, bukan informasi ekslusif lagi.

Well, sekarang aku dapat info baru.

Tante Kinara kelihatannya masih mau mengatakan sesuatu, tetapi dua anak kecil yang tengah diurus Juna dan Om Sean menangis, dan Tante Kinara pun berbalik, ikut mendekat ke sana dan menggendong salah satunya.

Butuh beberapa saat buatku untuk sadar kalau mereka ternyata anak kembar, sekalipun potongan rambutnye berbeda. Mungkin itu anaknya Tante Kinara kali ya?

Jadi, hanya tinggal aku dan Tante Mira yang tersisa. Kami berdua hanya memandangi tiga orang itu mengurusi dua anak kecil yang kelihatannya tengah bertengkar, dan Tante Mira tertawa. Kurasa tawanya bukan karena dua anak itu, tapi karena Juna yang justru sibuk menghibur salah satunya, kembali membiarkan anak itu duduk di bahunya.

"Makasih ya, Asya." Aku menoleh karena namaku tiba-tiba dipanggil, mendapati Tante Mira tersenyum untuk yang ke sekian kalinya ke arahku. Aku pikir Tante Mira mau berterima kasih lagi untuk kadonya, tapi ternyata bukan. "Makasih sudah mau jadi pacarnya Juna. Tante lega karena itu kamu."

Jangan tanya, aku heran sendiri di tempat. Bingung mau merespons apa. Tersenyum pun rasanya sudut bibirnya malah hanya sekadar berkedut.

"Tante yakin Juna bakal baik-baik aja kalau sama kamu."

Sekarang aku jadi makin heran.

Mungkin Tante Mira sadar kalau aku kebingungan—atau memang Tante Mira yang memang belum selesai bicara—jadi dia lanjut bercerita.

"Tahun lalu tuh Juna... duh, Tante bingung bilangnya. Jadi aneh. Dia nggak kuliah, manajernya sampai nyariin dia di mana, padahal Tante kira dia sibuk sama bandnya. Baru ketahuan setelah ada yang telepon dan bilang Juna tabrakan karena ikut balapan liar."

Entah kenapa aku nggak kaget kalau Juna ikut balapan liar. Dari SMA kan dia memang suka begitu, mungkin Tante Mira yang nggak tahu soal itu.

"Terus Juna gimana, Tante?" tanyaku.

"Karena kecelakaan itu, Beat Up jadi istirahat dulu, semua jadwal selama 3 bulan mereka dibatalin karena Juna yang sakit." Tante Mira melanjutkan. "Teman-teman bandnya bilang, terakhir Juna bilang dia mau ketemu temannya doang, jadi nggak tahu kalau Juna malah ikut balapan liar. Dari dulu Juna suka bilang punya pacar, tapi nggak pernah ngenalin ke Tante, cerita ke Jeni juga nggak."

Kalau soal Beat Up yang istirahat 3 bulan itu, aku pernah dengar. Salah satu teman kosanku naksir berat sama Beat Up, dan sewaktu tahu kabar itu, dia menangis keras-keras karena tadinya sudah menabung untuk konser Beat Up di tahun itu. Tapi aku baru tahu kalau alasannya karena Juna dan kondisinya.

"Juna sempat nggak mau keluar, nggak mau ngomong sama orang, apalagi perempuan. Tante aja harus nyamperin supaya bisa ngomong sama dia," kata Tante Mira lagi seraya menghela napas. "Kamu tahu, kan, Tante sama Om Keva bercerai?"

Agak canggung sih, tapi aku mengangguk. Hampir satu kelas kami tahu itu. Kabarnya cukup mengejutkan, dan bikin makin heboh karena kelakuan Juna yang ajaib, yang akhirnya kami maklumi karena alasan: "Lagi stres sama keluarganya kali."

"Tante kira karena itu Juna nggak suka punya hubungan, sampai bohong-bohong gitu. Apalagi sebelumnya sempat ada fans Juna yang bikin ulah dan ngaku jadi pacar Juna. Jadi Tante mikirnya mungkin Juna enaknya dikenalin ke anak teman-teman Tante, siapa tahu bisa membantu."

Aku menahan diri untuk berkomentar. Apa ini maksud Juna dari "disuruh taaruf sama nyokap"?

Tapi kalau dipikir lagi, kayaknya apa yang Juna ceritakan agak berbeda dengan keterangan dari Tante Mira. Waktu itu Juna bilang Tante Mira melakukan semua ini karena Juna yang sering bareng cewek, tapi ide Tante Mira ini muncul karena Juna seperti menutup diri soal hubungannya dan perempuan.

Yang mana nih yang benar?

Aku hanya bisa diam, manggut-manggut sekalipun kepala sibuk membandingkan semua informasi yang aku terima dari Juna juga Tante Mira.

Tangan Tante Mira bergerak mengelus punggungku sementara dia tersenyum. "Biasanya yang jagain pasangannya itu kan cowok, tapi untuk ke depannya, boleh Tante minta tolong sama kamu untuk jagain Juna, Arasya? Tolong perhatiin Juna biar jadi lebih baik."

Nggak ada jawaban lain yang bisa kuberikan kecuali mengangguk. Sebetulnya aku juga nggak tahu apakah ini jawaban yang tepat untuk diberikan, karena kenyataannya aku dan Juna bukan pasangan. Semua yang Tante Mira tahu hanya sekadar kebohongan kecil.

Namun, aku lebih nggak tega untuk membiarkan senyum Tante Mira harus kutepis dengan penolakan. Membayangkan diri melakukan hal itu membuatku merasa lebih berdosa.

Kalau hanya harus memperhatikan Juna, nggak jadi pacar pun bukan masalah, kan?

Karenanya aku mengangguk, membalas senyum Tante Mira. "Aku bakal perhatiin Juna, Tante. Juna aslinya baik kok."

"Amin," balas Tante Mira.

Setelahnya, tak ada lagi percakapan di antara kami, namun perhatian kami tertuju ke arah yang sama—pada Juna. Semakin dipikir-pikir, semakin aku sadar kalau mungkin aku nggak tahu banyak soal Juna. Entah Juna yang memang sudah banyak berubah sejak terakhir kali kami bertemu, atau memang aku yang sejak awal nggak tahu apa-apa soal dia.

Pandanganku masih tertuju pada Juna, melihatnya berbalik. Aku nggak tahu Juna melihat ke arahku atau ke Tante Mira, tapi kemudian dia berjalan mendekat sementara salah satu anak kecil yang dia gendong sudah pindah tangan ke Tante Kinara.

"Oh, Juna ke sini." Tante Mira kembali bersuara. "Kalau gitu Tante ke yang lain dulu, ya?"

Padahal kupikir Juna ke sini karena Tante Mira, tapi aku justru ditinggal sendiri. Juna kelihatan memperhatikan Tante Mira yang menjauh, kemudian berdiri di sampingku, agak menunduk.

"Seru banget kayaknya lo ngegosip sama Nyokap," katanya.

Aku pengin bilang bukan menggosip, tapi aku memang bergosip sih, dan Juna jadi topik utamanya. Jadi aku hanya mengendik tak acuh. "Lo juga kayaknya asik banget tuh sama dua anak itu. Mereka kembar, ya?"

"Adit sama Dito," Juna menyebut dua nama yang sudah sempat aku dengar sebelumnya, "anaknya Tante Kinara sama Om Sean. Yang ngobrol bareng lo tadi."

"Udah kenalan kok tadi."

"Masih banyak yang harus lo kenal, Sya."

"Hah?"

"Tuh." Telunjuk Juna mengarah ke kumpulan orang yang berkerumun di pintu masuk, juga beberapa orang di meja taman yang tengah mengobrol dengan Tante Mira. "Masih banyak."

Bulu kudukku meremang, aku menatap Juna horror. "Ya kali sih dikenalin sebanyak itu? Kalau mereka pada tahu lo punya pacar, gimana kalau ada yang bocor—"

"Nggak kok, Nyokap paling hanya ngenalin ke saudara-saudaranya aja, kayak Tante Kinara," potong Juna. dia malah cekikikan. "Panik lo lucu, ya? Segitu takutnya orang tahu lo pacar gue?"

"Gue nggak mau digebukin fans lo," semburku cepat. "Lagian kita nggak pacaran betulan. Makin gawat kalau—eh, apa nih?"

Aku menengadah ketika merasakan tangan Juna di kepalaku. Telapak tangan kanannya menyapu sejumput rambutku, seakan mengambil sesuatu.

"Kenapa deh rambut gue?" tanyaku, spontan meraba rambut. "Berantakan? Ada yang nempel?"

"Nggak kok."

"Terus?"

"Nggak papa, pengin megang aja."

Kutatap Juna dengan kening berkerut. Namun seolah belum cukup membuatku heran, Juna tiba-tiba menunduk, mencium puncak kepalaku sebelum berbisik, "Lo suka red velvet, kan? Biar gue ambil dulu, kata Tante Kina masih ada satu kue lagi di dapur."

Juna baru saja menciumku—mencium kepalaku, dengan orang banyak yang ada di sekeliling kami. Dalam sekejap aku merasa kadar rasa maluku naik sampai ke puncak, panas menjalari seluruh tubuh, bahkan sampai ke ubun-ubun.

Sialnya aku nggak sempat bilang apa-apa karena Juna sudah beranjak, meninggalkanku yang rasanya mau sembunyi begitu melihat Tante Kinara yang tersenyum ke arahku sambil mengangguk kecil. Beberapa orang memandangiku, tapi kelihatannya Tante Mira nggak melihat.

Karena tak tahan, aku memilih untuk beranjak, balik menyusul Juna dengan langkah cepat.

Sumpah, Juna betul-betul perlu dijitak! Bikin malu aja sih! []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro