Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11: Reason of Reason

Aku lupa banget update ini, sungguh. Udah ada di draft padahal. Bear with me yaa~

Karena Pak Ethan udah tamat (ih sedih, tapi jan lupa ikutan PO Pak Ethan gais wkwk), jadi aku bakal mulai fokus ke Juna. Semoga bisa selesai dalam waktu dekat!

-

Buat siapapun yang bilang cewek itu lebih sulit dimengerti, mungkin sekarang bisa merevisi kalimatnya, atau paling tidak berpikir dua kali untuk menyebutkan itu. Karena, sumpah, Juna jelas lebih sulit dimengerti!

Pertanyaan-pertanyaan dalam kepalaku nggak bisa kujawab, dan aku hanya bisa pasrah dengan menghilangkan pertanyaan itu, dan bilang pada Mas Andra bahwa Juna memintaku untuk nggak bertanya soal itu.

Well, he didn't exactly say that, tapi aku rasa itu jalan lebih aman daripada ribut. Aku sama sekali nggak paham. But better safe than sorry.

Karena kemarin, aku memilih untuk pulang sendiri dengan ojol ketimbang diantar Juna. Lagi pula Juna juga nggak banyak bicara setelahnya, dan aku lebih baik haha-hihi dengan supir ojol daripada diam-diam di mobil bareng Juna.

Dan bukan hanya kemarin, hari ini juga aku bingung harus bersikap bagaimana ke Juna. Aku mendadak ciut. Tadinya aku malah sempat minta orang lain untuk menggantikan aku bertanya, tapi semuanya menolak. Beberapa bahkan nggak sungkan bilang kalau Juna lagi mode galak.

Pada akhirnya, aku nggak bisa menghindar. Meski kikuk, sebisa mungkin aku mengajukan semua pertanyaan yang sebelumnya kusiapkan tanpa menanyakan satu pertanyaan itu, kemudian sesi rekaman interview selesai, berganti ke room tour.

Untungnya kali ini ada Bang Jinan yang membuat suasana lebih enak ketimbang jadi kaku, paling tidak kru lain—termasuk aku—bisa diajak tertawa daripada tegang karena takut salah-salah sama Juna. Dan sebenarnya, cara bicara Juna saat interview maupun saat menjelaskan ruangan-ruangan di apartemennya cukup asik sih, kalau saja aku melihat ini di televisi, aku nggak akan berpikir bahwa Juna yang asli ini lagi mode siap terkam.

Yah, banyak hal terjadi di balik layar dan nggak diketahui pemirsa di rumah.

Begitu selesai, kami masih memeriksa hasil rekaman dan memeriksa ulang semuanya sekaligus membereskan set yang dibuat untuk interview, bahkan ada juga yang masih melihat-lihat sekeliling studio sambil makan roti. Yah, aku nggak menduga Juna akan menjamu kami seperti di apartemen Taran kemarin sih, tapi ternyata Juna menyiapkan beberapa bungkus roti di ruang makan untuk para kru.

Dan ternyata, bukan hanya aku yang merasa studio ini lebih luas. Beberapa kru masih membeo dengan wah-wah kecil selagi memandangi studio pribadi Juna yang bisa dibilang cukup lengkap ini. Maya bahkan sampai bisik-bisik padaku, "Ini ceritanya Juna tuh anak tajir atau memang penghasilannya lebih gede atau gimana?"

Aku juga nggak tahu. Tadi pas tour ke bagian garasi saja, aku bisa melihat ada tiga mobil dan dua motor gede. Juna bukan anak sultan sih, but maybe he lives his life as one. Apa begini yang namanya hidup artis kaya raya?

Aku sih jangankan punya mobil, motor saja aku tinggal untuk dipakai adik di rumah orang tua.

"Asya."

Mau tak mau aku mengalihkan perhatian pada Juna selagi dia berjalan mendekat. Jujur aku masih agak kikuk, tapi kelihatannya bukan hanya aku yang merasa begitu. Juna berhenti di depanku, tangannya bergerak menggaruk tengkuk dengan bibir yang merapat sesaat.

"Habis ini lo bakal ke mana?" tanya Juna.

"Ng... kantor." Aku bukannya bohong, tapi nada bicaraku malah terdengar ragu. Kaget aja sih tiba-tiba diajak ngobrol Juna begini.

Juna manggut-manggut. "Pulangnya kayak kemarin juga?"

Aku mengangguk. "Kenapa?"

Pandangan Juna terarah padaku. Aku nggak tahu ini pantas aku sebut lucu atau nggak sih, tapi baru kali ini aku melihat Juna malah kelihatan canggung di depanku.

"Pengin ngobrol," kata Juna cepat. "Ada yang pengin gue bilang, sekalian ada—"

"Sya, ini ditelepon sama Pak—eh, sori."

Baik aku maupun Juna sama-sama menoleh, mendapati Bang Jinan di depan pintu yang memandangi kami berdua. Bang Jinan justru cengir, menjauhkan ponsel di tangannya kemudian menunjukku.

"Sori, Jun, itu Asya-nya boleh dipinjam dulu? Dicariin SP*," ujar Bang Jinan, suaranya agak pelan.

(*supervisor)

Juna hanya mengangguk kemudian menoleh ke arahku. Dia sepertinya mau bicara banyak, tapi waktunya nggak tepat. Dan aku malah nggak tega melihat Juna begini.

Duh, Juna, kok bisa banget kamu bikin aku marah, bingung, dan sekarang kamu malah buat aku ngerasa bersalah?

Aku berusaha untuk tersenyum dan berbisik, "Ngobrol habis gue pulang ngantor deh. Kayak kemarin. Jemput gue bisa?"

"Bisa."

Aku nggak tahu memang telingaku yang salah atau nada bicara Juna yang terdengar antusias. Karena Bang Jinan masih memandangiku, tangannya bahkan masih bergerak di dekat pahanya, seolah mau memanggil ayam buat dikasih makan. Memang benar-benar deh.

Karena nggak bisa berlama-lama, kutepuk pundak Juna untuk pamit.

"Gue tunggu jemputannya, Juna."

*

Butuh waktu untuk membiasakan diri dengan Juna.

Yah, bukannya aku pendendam sih, hanya saja kepalaku masih membayangkan reaksi Juna tempo hari. It's not that easy to forget how he reacted. Masalahnya, Juna belum pernah kelihatan tersinggung—atau aku belum pernah melihatnya. Aku merasa bahwa pertanyaanku penyebabnya, tapi aku nggak tahu bagian mana dari kalimatku yang menyinggung.

Rasanya kayak aku sadar diri melakukan kesalahan, tapi nggak tahu salahnya di mana.

Oh, God! Does this even make sense?

Begitu aku keluar kantor, mobil Juna sudah ada di luar gerbang kantor redaksi. Atas saran Juna, kami pun meneruskan perjalanan ke Big Boss dan makan di sana.

Selama perjalanan kami berdua hanya diam, kadang Juna bertanya soal aktivitasku hari ini, dan aku menjawab seadanya. Yah, obrolan basa-basi yang standar. Tapi ini Juna nggak ngajak aku makan hanya buat nanya beginian, kan?

Juna memintaku untuk menunggu sementara dia ke membawa list pesanan ke kasir. Sementara menunggu, aku memperhatikan suara-suara tawa juga lemparan bola bowling. Tepat di samping kiri dari meja yang kutempati, ada area bowling.

"Lo mau main ke sana, Sya?"

Aku agak kaget karena tahu-tahu Juna sudah kembali dan duduk di sisi lain meja. Betulan jin kali ya cowok satu ini.

Berusaha untuk nggak bereaksi berlebihan, aku menggeleng menanggapi pertanyaan Juna. "Nggak deh, gue nggak bisa."

"Nggak pernah main?"

"Nggak pernah."

"What a boring life you have, Arasya."

Aku mendelik karena komentar Juna barusan. Yah, pardon for my boring life deh. Tapi aku bukan manusia yang nggak punya kerjaan dan memilih buat main bowling. Jangankan main bowling, buat makan tiga kali sehari aja susahnya setengah mampus. Waktunya nggak ada.

"Gue sibuk, maaf," balasku agak dongkol. Tapi nampaknya Juna nggak terpengaruh akan itu.

"Mau coba main?"

Tawaran tiba-tiba dari Juna membuatku mengerjap heran. "Hah? Apaan?"

"Ke sana, main," ulang Juna, menunjuk ke area bowling. "Coba main, Sya. Kalau mau gue bisa ngajarin—"

"Nggak deh, mau makan aja," balasku cepat sambil menggeleng.

Kini Juna menatapku dengan alis yang terangkat. "Yakin nggak mau?"

Dih, kenapa aku berasa kayak anak kecil yang lagi digangguin mau terima tawaran permen atau nggak?

Kepo sih, tapi....

"No, thanks." Aku menjawab singkat. "Capek."

"Capek apa malu karena nggak bisa?" tanya Juna lagi.

Mengganggu orang lain memang benar-benar keahlian Juna, ya? Aku jadi kesal sendiri. Dia benar-benar menawariku atau tadi itu hanya cara nggak elit Juna untuk bercanda, sih?

"Bodo amat lah, Jun. pulang nih gu—"

"Wait."

Aslinya sih aku cuman bercanda. Aku bukan bermaksud mau mengancam sama sekali. Dongkol sih, tapi aku nggak berniat pulang sendiri. Di luar juga sebetulnya kelihatan agak mendung. Tapi kelihatannya Juna menanggapi ini sedikit lebih serius, sampai-sampai dia menahan tanganku yang ada di meja.

Serius, aku terkejut karena ini.

"Jangan pulang dulu, ada yang mau gue omongin," kata Juna lagi.

Sesaat kami saling bertatapan. Entah ini hanya perasaanku saja atau memang Juna kelihatan agak waswas. Mau menebak-nebak sendiri, aku jadi ikutan waswas. Sebetulnya Juna mau ngomong apa?

Berusaha untuk memasang ekspresi datar, pelan-pelan aku menarik tanganku. Nampaknya Juna agak kaget, tapi tidak menghalangi.

"Mau ngomongin apa?"

"Soal kemarin."

Aku berusaha mengingat. "Maksudnya? Yang di apartemen lo?"

Anggukan kepala Juna menjadi jawaban. "Sorry. Salah gue karena mendadak jadi sensitif gitu."

Oke, oke. Sekarang ini mengejutkan. Aku nggak menyangka kalau Juna akan minta maaf. Tapi aku lebih nggak percaya lagi dia minta maaf sambil melabeli dirinya dengan "jadi sensitif".

Ini bukan aku yang salah dengar, kan?

Beberapa kali aku mengerjap, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar dan kulihat. Aku yakin betul yang ada di depanku ini Arjuna Kalandra yang aku kenal, but I didn't expect all of this. I swear.

"Reaksi gue mungkin berlebihan, tapi... gue nggak mau jawab pertanyaan itu di depan kamera." Juna merapatkan bibir, membuat pinggiran yang terlihat jadi agak memutih. "Alasan gue main drum sebetulnya nggak lebih karena drum jadi pelampiasan amarah gue waktu Bokap dan Nyokap cerai."

Aku bungkam seketika. Dalam hitungan detik, ada keinginkan dalam diri untuk nggak menanyakan pertanyaan itu pada Juna. Nyatanya, pertanyaan standar sekalipun punya sesuatu yang sebegitu nggak ingin dibicarakan.

"Sorry, Jun. I didn't know that," ucapku pelan. "Gue harusnya nggak nanya ...."

"Lo nggak akan tahu, karena memang nggak ada yang tahu." Juna menjawab santai sambil mengangkat bahu. Seorang waiter datang membawa pesanan kami, membuat Juna dan aku diam sebentar. Begitu waiter tersebut beranjak, Juna kembali melanjutkan, "Gue dikenalin sama drum pas lagi masa-masa kacau, dan alat itu yang jadi escapism buat gue. Itu yang membuat gue tertarik sama drum. Dan gue nggak bisa ceritain itu untuk ditulis atau jadi bahan liputan siapapun. Nggak ada yang mau Juna versi rusak."

Aku betulan nggak tahu harus merespons hal ini bagaimana. Tapi aku betul-betul merasa nggak enak, rasanya aku menyinggung hal yang sensitif tapi protes dan mengumpat Juna karena itu.

"Can I trust you to keep this as a secret?" tanya Juna, satu sudut bibirnya terangkat, menciptakan satu senyum kecil yang kikuk. "Cukup lo aja yang tahu soal gue dan drum. Anggap aja informasi ekslusif."

"Su-sure."

Jawabanku kedengaran ragu, tapi ini bukan karena aku yang nggak bisa jaga rahasia. Jelas saja hal seperti ini nggak bisa kubagikan ke siapapun, apalagi media. Semua yang sekarang aku bicarakan dengan Juna ini off-record.

Juna tersenyum, kali ini senyumnya betul-betul terbentuk, dan manis—if I may add.

"Lo nggak marah kan, Sya?"

Aku menggeleng. "We're cool. Iya, kan?"

"Cool." Juna mengangguk, menarik lemon smoothies dan pisang cokelat keju mendekat ke arahnya, sementara aku menarik es krim durian dan waffle yang jadi pesananku.

Beberapa menit terlewat dengan kami yang menyantap makanan masing-masing. Nggak satu pun dari kami memesan makanan berat, jadi tak butuh waktu lama, hampir setengah piring makanan kami sudah habis. Juna bahkan sudah menghabiskan tiga perempat dari smoothies-nya.

"Anyway, minggu depan ulang tahun Nyokap."

Juna menyelesaikan kalimatnya sesingkat itu. Dan sebenarnya dia nggak perlu menjelaskan lebih lanjut, karena aku sudah mengerti maksudnya. Tatapannya bahkan seperti membenarkan

"Kapan?" tanyaku.

"Weekend. Sabtu siang, di rumah yang di Margahayu."

Awalnya aku ingin tanya kenapa aku harus ikut, tapi sebelum sempat mengajukan pertanyaan, aku sendiri sudah tersadar. Kebohonganku dan Juna kan belum berakhir di mata Tante Mira.

Dan kalau aku datang... berarti aku ikut merayakan ulang tahunnya sambil membohongi Tante Mira. Kurang dosa apa coba aku?

Menghela napas, aku mencoba untuk menyingkirkan pikiran negatif—yang sebetulnya benar. Kalau Tante Mira mengundang, rasanya agak kurang sopan untuk menolak, apalagi aku libur. Dan mungkin itu juga kenapa Juna bilang "weekend". He knows my days-off.

"Gue harus bawa apa?"

Alih-alih menjawab, Juna justru mengangkat bahu cepat, kembali menusuk pisang keju di piringnya. Dia memandangiku sesaat sebelum akhirnya bicara. "Lo datang juga nyokap gue pasti udah senang kok."

"Tapi masa iya gue datang tangan kosong?"

"Terserah lo kalau gitu. Nyokap pasti mau-mau aja dikasih apa juga."

Aku nggak tahu maksud Juna menjawab begitu karena ini ingin menenangkanku atau apa, tapi itu membuatkut makin kepikiran. Sumpah!

Lebih dulu kuteguk lemon splash yang tersisa, mencoba menenangkan pikiran. "Kalau lo bawa apa, Jun?"

"Bawa diri."

"Jun, ih! Yang betul!"

Juna justru nyengir. "Ya iyalah, bawa diri."

"Masa lo nggak bawa hadiah sih?" Aku mengernyit.

"Gue bawa kok."

Aku mendengus, sebal karena Juna malah bercanda begini. "Terus lo bawa apa? Kasih saran dong, biar gue bisa—"

"Hadiah gue ke nyokap itu lo," jawab Juna cepat, dan aku hanya bisa menganga lebar di tempat. Butuh waktu sampai aku bisa mencerna semuanya.

Aku jelas mau protes, tapi Juna sudah lebih dulu beranjak dengan cengiran jahilnya, tangannya mengacak puncak kepalaku.

"Gue pintar banget kan ngasih hadiah ke nyokap? I know she gonna loves you. Jadi lo tinggal datang aja, Sya. Pasti itu udah lebih dari cukup. Udah deh ya, gue mau cuci tangan dulu."

Kemudian Juna pergi begitu saja, berjalan ke arah toilet setelah meninggalkan satu senyum kecil. Aku hanya bisa merapatkan bibir, ingin tersenyum tapi merasa malu juga.

Why does the idea of his mom accepting me make me this happy? []

*

Enak apdet hari apa ya?
Jawab tiap hari aku getok pake stik drum Juna nih 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro