1: Bad Day, Good Luck
Bekerja di hari pertama sebenarnya nggak seseram curhatan orang-orang di media sosial.
Itu yang ada dalam kepalaku. Setidaknya, tiga jam yang lalu, saat aku dipilih untuk ikut bersama Mbak Santi, Bang Jinan, dan Dion, untuk meliput dan mewawancarai band—yang kalau mau jujur—merupakan band kesukaanku.
I still use "kesukaan" there, karena aku nggak ngikutin banget dan belum semaniak itu. But of couse, I got my favorite member there.
Sebagai seorang fresh-graduate, dapat tawaran pekerjaan langsung bahkan sebelum wisuda itu seperti memenangkan boneka dari mesin yang ada di Timezone. Dan aku jelas harus benar-benar bersyukur karena yang menawariku adalah HypeMe, portal berita yang sedang ramai dibicarakan—luckily in a positive way—bahkan di saat aku masih kuliah. Dan sebenarnya ini kantor yang aku idam-idamkan. Sumpah!
Aku pernah magang di sini untuk mengisi satu semesterku yang kosong karena sudah sidang duluan, tapi waktu itu aku hanya magang di divisi marketing. Tapi siapa sangka, di hari terakhir waktu magangku habis, aku dipanggil ke kantor pimred, hanya sekadar ngobrol basa-basi sih, tapi seminggu kemudian ada telepon yang masuk dan menawarkanku untuk bekerja di bagian editorial setelah wisuda.
YA KALI NGGAK GUE AMBIL, BAMBANG! GILA GUE KALAU NOLAK!
Itulah yang menjadi awal bagiku, Hanandika Arasya ini, untuk menjadi junior journalist di HypeMe. Dan itu jugalah yang menjadi alasan kenapa aku ada di sini, di luar pangung, hampir setengah jam penuh menunggu untuk diperbolehkan melewati backstage dan menemui Beat Up, band yang jadi narasumberku malam ini.
Yah, harusnya begitu.
"HypeMe memang media partner kami, Mbak, tapi untuk masuk ke sini harus ada backstage pass. Kami selalu kasih satu untuk tiap media partner." Begitu kata salah satu bagian keamanan yang mendekatiku, mungkin bosan juga karena aku menunggu terus di sini.
Itu bahasa halus untuk menyatakan bahwa aku dicurigai hanya sekadar ngaku-ngaku menjadi bagian dari HypeMe, dan itu berarti aku nggak bisa menyelesaikan tugasku dan mengajukan satu pertanyaan pun. Nggak mungkin juga, kan, aku mewawancarai mereka dengan bertanya menggunakan Toa dari luar sini? Bisa-bisa malah diusir satpam.
Padahal Mbak Santi bilang aku tinggal masuk aja. Dia bahkan sudah menelepon kru dan bilang padaku kalau aku bisa langsung ke backstage, meliput, kemudian kembali pulang dengan selamat. Kalau beruntung, aku bisa minta foto bareng Taran, gitaris Beat Up.
Tapi lihat aku sekarang. Boro-boro mau foto, kru dan bagian keamanan mungkin mengira aku sekarang fans keras kepala yang mau nyelondong masuk dengan membohongi bagian keamanan.
Gimana caranya supaya aku bisa meyakinkan mereka? Masalahnya aku ke sini hanya dengan seragam, buku catatan, dan recorder. Dompet dan barang-barang yang lain aku tinggal di mobil.
Putus asa, aku merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel. Aku benar-benar terkejut karena mendapat bom notifikasi dari Bang Jinan. Ada 10 pesan Whatsapp dan 15 missed calls. Aku sama sekali nggak sadar saking frustrasinya diam dan nggak diperbolehkan masuk ke dalam.
Sudah selama ini dan aku belum mendapat apapun untuk jadi bahan laporanku.
Jinan Agaswara
Sya, lo lagi di mana?
Ini kita udah pada mau balik.
Mbak Santi udah kelar wawancarain Taran.
Sya.
Sya!
Asya!
P
P
Nggak jawab pulang ke rahmatullah ya lo
Weh syaaa! Kalau lama ditinggal nih ah!
Lho? Kok malah jadi Mbak Santi? Bukannya Mbak Santi bilang dia nggak bisa meliput karena perutnya nggak enak? Dan dia malah mewawancarai Taran? That awesome Taran? Yang benar aja!
Tapi... tunggu deh, tunggu. Kenapa malah jadi begini?
Aku berdiri di sini, setengah jam sampai kaki keram, takut kalau hari ini bakal dimarahin karena nggak bawa berita apapun, tapi sekarang semuanya ternyata aman-aman saja?
Apa aku harus bersyukur karena Mbak Santi menyelamatkan semua ketakutanku ini atau aku harus mulai mengevaluasi semua yang sudah terjadi dan menyimpulkan kalau aku... ketipu?
Rasanya semua yang aku pelajari di bangku kuliah, semua informasi yang aku dapat, menonjok diriku sendiri.
"Bawa identitas saat meliput. Bawa surat izin atau pass yang didapat dalam tiap liputan dan wawancara. Dan karena kamu masih baru, usahakan jangan sendirian, Asya. Coba lihat dulu senior yang lain ngelakuinnya gimana. Mengamati juga pengalaman."
Itu yang dikatakan Mas Andra, supervisor editorial. Dan aku sadar kesalahanku sekarang.
Aku bodoh.
Ngatain senior boleh nggak sih? Ini bahkan baru hari pertama. Ini liputan juga wawancara pertamaku. Tapi aku lihat sendiri Mbak Santi menelepon...
Apa yang itu juga bohong?
Sejak awal aku memang membuang-buang waktu dan tenagaku dengan berdiri di sini, bahkan mempermalukan diri dengan ngotot bisa masuk.
Dengan langkah kecil dan beraturan, aku menjauh dari pagar, mundur pelan-pelan dari area yang dijaga petugas keamanan. Mungkin aku harus cosplay burung unta dan memasukkan kepalaku ke lubang sekarang. Mengubur rasa malu bisa nggak sih?
Untuk beberapa saat rasa malu seperti menguasai otakku, membuatku linglung. Aku mungkin benar-benar memasukkan kepalaku ke dalam tanah jika saja ponselku tidak kembali berkedip, memunculkan panggilan masuk dari Bang Jinan.
Baru saja mau aku angkat, ponselku justru tiba-tiba mati. Baterai merah muncul di layar sebelum layarnya benar-benar mati total.
Oh, ampun! Kenapa malah habis baterainya sekarang, sih? Ya Kanjeng Gusti! Salah apa aku sampai bisa sial begini? Sudah malu, sekarang aku mau ditinggal? Serusak ini hari pertama bekerja. Apa memang setiap hari pertama bekerja bakal seburuk ini?
Kalau besok bakal begini, aku mending jadi burung unta aja!
Begitu berjalan menjauh dari penerangan super di area penjagaan, aku berjongkok, menyandarkan punggung di pohon terdekat untuk menyangga tubuh saking pegalnya. Syukurnya kakiku ternyata tidak selemah itu untuk lepas begitu saja. Sekarang aku persis preman pangkalan yang menunggu orang lewat untuk dipalak.
Apa aku ubah profesi aja jadi tukang palak, ya?
Ugh, padahal zaman SMA dulu justru aku yang beberapa kali kena palak, premannya hanya anak SMP lagi. Mengingatnya malah membuat keadaanku makin terasa miris.
Dalam-dalam aku menghela napas, mencoba untuk menenangkan diri. Persetan dengan posisi begini, dikata preman juga masa bodoh deh. Kalau mau sial, sial aja sekalian, biar stok sial hidup ini habis dalam sehari.
"Siapa?"
Aku spontan berdiri karena terperanjat. Ada orang? Apa aku mau diusir?
"Bentar, bentar. Saya bakal balik kok. Saya—"
"Lo cewek?"
Suara itu memotong lagi, membuatku menoleh ke kiri. Dari area minim cahaya, ada sosok yang berjalan mendekat.
Ini bukan bagian keamanan yang sengaja mengejar sampai sini buat ngusir, kan? Atau aku malah mau ditangkap karena dikira stalker yang terlalu berani untuk melakukan penipuan?
"Sa-saya pergi, kok. Tenang, tenang, oke? HypeMe ternyata sudah wawancara—"
"Sini, ikut gue."
Sebelum sempat bergerak, cowok itu justru menarik tanganku, malah berjalan menjauh dari area keamanan. Langkah kakinya juga begitu cepat, membuatku kesusahan menyesuaikan. Duh, ampun! Jangan siksa kakiku lagi! Bisa rontok semua ini tulang!
Selama beberapa saat cowok ini nggak mengatakan apapun, dia hanya membawaku menjauh sebelum berhenti di salah satu mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan belakang dari area panggung.
"Lo ngapain di sini deh, Asya?"
Dia tahu namaku?
"Eh, bentar," aku menyipitkan mata memandangi wajah cowok di depanku, kepalaku seperti membuka beberapa laci usang memori. Dan butuh beberapa detik sampai aku bisa mengingatnya, ditambah dengan cahaya dari layar ponsel yang dia arahkan padaku.
"Lho... Arjuna?" []
*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro