Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9

"Memangnya dahiku ini lebar, ya?" tanya Sakura dengan wajah muram sambil menatap Sasuke dan Naruto.

Sakura merasa ingin menangis setelah terus menerus dikatai 'jelek' dan berdahi lebar sejak hari pertama masuk sekolah. Bahkan kata teman-temannya, dahi nya jenong dan seperti ikan louhan.

Ledekan teman-teman sekolah Sakura begitu parah. Mereka bahkan menyuruh Sakura untuk tidak bernafas dengan paru-paru karena menurut mereka seekor ikan tidak seharusnya bernafas dengan paru-paru.

Naruto menatap Sakura sejenak sebelum memandang Sasuke. Sebetulnya ia sendiri berpikir kalau dahi Sakura lebar, namun baik ayah maupun ibunya mengajarinya untuk menghargai perasaan wanita dengan tidak mengatakan apapun yang akan menyakiti perasaan. Maka ia memutuskan untuk menatap Sasuke dengan tatapan yang seolah berkata 'bagaimana, nih?'.

"Hn."

Sakura terlihat semakin muram dan ia meletakkan telapak tangan nya untuk menutupi dahinya, "Dahi lebar itu jelek, kan? Kata teman-teman dahiku lebar seperti ikan louhan."

Naruto merasa kaget melihat reaksi Sasuke. Ia lupa kalau Sasuke adalah orang yang sangat blak-blakan. Sebetulnya Ia sendiri juga sama, sih. Tapi ia menuruti kata orang tuanya untuk tidak mengatakan apapun yang menyakiti perasaan sehingga ia berusaha menjaga perkataannya.

"Teme-" desis Naruto sambil menatap Sasuke dengan tajam sebelum ia menatap Sakura dan tersenyum, "Tidak. Menurutku dahi Sakura-chan tidak lebar, kok. Teme pasti salah lihat. Iya, kan?"

Sasuke menatap Naruto dengan jengkel. Ia tak mengerti kenapa akan itu harus berbohong? Padahal kata orang tuanya, berbohong itu bukan hal yang baik.

"Kenapa kau bohong, dobe? Dahi Sakura memang lebar, tuh."

Sakura semakin muram dan kini air matanya mulai mengalir. Tangis gadis kecil itu meledak dan Naruto merasa panik seketika. Kalau ibunya sampai mendengar Sakura menangis, bisa-bisa ia dimarahi karena membuat anak orang lain menangis.

Naruto berniat menghampiri Sakura yang menangis dan menyuruh gadis itu untuk diam. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan Sakura. Namun Sasuke sudah terlebih dahulu menghampiri Sakura dan membuatnya semakin khawatir. Ia takut kalau Sasuke malah mengucapkan sesuatu yang membuat tangisan Sakura semakin keras.

Sasuke menatap dahi Sakura lekat-lekat dan berkata, "Kenapa harus menangis, hn? Dahimu kan memang lebar."

Air mata Sakura mengalir deras dan ia menjawab di sela-sela isakannya, "K-kata t-teman-teman aku jelek dan mereka tidak mau berteman dengan orang jelek sepertiku. Aku ingin tukar wajahku dengan kalian saja. Kalian 'kan tidak jelek."

Sasuke meletakkan kedua jarinya di kening Sakura, seperti yang dilakukan sang kakak padanya setiap kali ia terlihat muram.

"Memang kau mau punya rambut mencuat mirip bokong ayam sepertiku? Atau punya tanda lahir mirip kumis kucing seperti si dobe?"

"Tapi setidaknya kalian punya teman, kan?"

Naruto segera menyahut, "Memangnya Sakura-chan tidak punya teman? Kita berdua temanmu, kok. Iya kan, teme?"

Sasuke mengangguk pelan dan Ia tersenyum pada Sakura, "Lagipula menurutku Sakura tidak jelek, kok."

Sasuke bukanlah tipe orang yang suka berbasa-basi dan ia jujur mengatakannya. Ia tidak merasa kalau wajah Sakura jelek. Sebetulnya wajah gadis kecil itu cantik dan enak dilihat.

"Sasuke-kun bohong, kan?"

Sasuke menggelengkan kepala dan menatap Sakura dengan mata hitamnya yang bundar. Ucapan Sasuke telah membuat perasaan Sakura terasa jauh lebih baik.

.

.

Sakura tersenyum ketika ia menatap sebuah foto lama yang terpajang di bingkai foto rumah Sasuke. Foto itu merupakan foto lama ketika Sasuke masih berumur sekitar dua tahun bersama dengan Naruto dan dirinya.

Rasanya waktu benar-benar berlalu dengan sangat cepat. Sasuke dan Naruto adalah teman pertama yang dikenalnya sejak masih memakai popok dan belum bisa berjalan atau bicara. Kini sudah lebih dari dua puluh tahun berlalu sejak ia mengenal Sasuke dan Naruto.

Sejak dulu kepribadian Sasuke dan Naruto sudah bertolak belakang. Naruto lebih banyak biara dan lebih aktif. Ibunya bahkan sampai harus berteriak karena Naruto begitu nakal, berbeda dengan Sasuke yang lebih pendiam dan tidak begitu nakal dibanding Naruto. Meskipun begitu, Sasuke begitu manja pada kakaknya saat kecil dan cenderung blak-blakan saat bicara. Dibanding sekarang, dulu Sasuke jauh lebih ramah dan lebih banyak bicara.

Namun Sakura selalu merasa kalau Sasuke adalah tempat curhat yang menyenangkan. Ia masih ingat ketika ia menangis karena dikatai jelek karena dahinya lebar. Saat itu Sasuke menemaninya dan menyuruhnya memakai pita seperti gadis lain saat ke sekolah dan besikap cuek. Dan saran Sasuke berhasil sehingga anak-anak lain berhenti meledek Sakura.

Sakura menatap wajah Sasuke yang saat itu tampak sangat polos dengan pipi yang gembil, berbeda jauh dengan sekarang. Kini wajah lelaki itu terlihat menawan dengan pipi yang tirus dan membuat para wanita dan pria yang memiliki selera yang berbeda dengan lelaki normal ikut meleleh.

Sakura merasa dirinya benar-benar aneh. Ia merasa satu bulan begitu lama dan berharap agar konser Sasuke cepat-cepat berakhir sehingga ia bisa segera bertemu dengan lelaki itu. Rasanya aneh karena ia tinggal di rumah lelaki itu namun sama sekali tak bertemu dengan nya.

Tangan Sakura secara refleks meraih ponsel dan berniat menghubungi Sasuke. Ia hanya ingin menatap lelaki itu secara langsung atau setidaknya mendengar suaranya meski apa yang ia lakukan terkesan egois. Ia mungkin saja menganggu Sasuke yang baru saja tiba di negara selanjutnya dan kini sedang berlatih.

Sakura merasa dirinya begitu licik ketika Itachi mendadak menghampirinya dan Sakura segera berkata, "Kau rindu Sasuke? Mau berbicara dengannya, tidak?"

Sakura tahu kalau Itachi pasti akan mengiyakan dengan antusias dan ia ingin menjadikan lelaki itu sebagai alasan untuk menelpon Sasuke. Lelaki itu langsung tersenyum dan seketika tampak sangat riang.

Sakura tersenyum, sebagian karena ia mendapat alasan untuk menelpon Sasuke. Ia segera menekan tombol untuk menghubungi Sasuke dan ia menunggu telepon terhubung.

Telepon terhubung dan Sasuke mengangkatnya. Wajah Sasuke terlihat agak lelah dan ia sedang berada di dalam sebuah kamar yang terlihat sangat mewah dibandingkan kamar di rumah Sasuke. Kamar itu juga terlihat sangat luas.

"Ah, apa kau sedang memiliki waktu luang, Sasuke-kun?"

"Hn."

"Kau baru saja tiba di Berlin? Kau sedang tidak sibuk, kan?"

"Tidak. Hari ini semua anggota bandku sedang ingin beristirahat dan aku mengiyakan karena aku juga mengantuk."

Sakura membelalakan mata. Tumben sekali Sasuke yang biasanya 'keras' kini malah bersantai.

"Wah, tumben sekali. Aku tidak salah dengar, kan?"

"Aku meminta mereka semua mulai berlatih pukul setengah empat pagi."

Sakura tersenyum. Ia merasa ingin tertawa hanya dengan membayangkan reaksi Naruto dan Kiba. Mereka berdua pasti sedang marah-marah sambil merengut karena harus bangun ekstra pagi untuk berlatih.

"Sepertinya kini aku mengerti mengapa Kiba dan Naruto sering mengeluh. Aku bersyukur tidak pernah menjadi anggota bandmu."

"Dobe terlalu malas."

Sebetulnya orang normal manapun pasti bisa merasa malas. Namun Sasuke yang gila bekerja tidak akan mengerti seperti apa rasa malas yang terkadang dirasakan orang-orang pada umumnya. Sasuke terlalu fokus untuk bekerja dan berlatih hingga hidupnya terlihat begitu monoton dan membuat Sakura khawatir.

"Kurasa itu karena kau terlalu gila bekerja. Sebaiknya kau beristirahat dan memperhatikan kondisi fisik dan mentalmu. Kau bisa stress kalau bekerja berlebihan, lho."

"Hn. Sebenarnya kau menelponku untuk apa?"

Sakura terdiam sebelum menjentikkan jarinya secara refleks. Ia merasa tidak enak mengatakannya, namun ia merasa ingin berbicara dengan Sasuke. Bagaimanapun juga, cepat atau lambat Sasuke harus mengetahuinya.

"Okaasan mu menyuruhku untuk tidak mengatakannya padamu. Kuharap kau tidak terus menerus memikirkannya sampai mempengaruhi kondisimu."

"Kondisi kesehatannya memburuk?"

Sakura terkejut karena Sasuke bahkan bisa mengetahuinya sebelum ia sempat berbicara apapun.

"Kau... bagaimana bisa tahu?"

"Aku sudah merasa aneh sejak terakhir kali video call dengannya."

Sakura merasa tidak enak, namun ia segera berkata, "Dokter menyuruhnya untuk meningkatkan frekuensi dialysis dalam seminggu dan menaruh nama okaasan mu dalam daftar teratas pasien yang membutuhkan donor."

Sasuke terdiam dan raut wajahnya terlihat sulit untuk dipahami. Biasanya lelaki itu sama sekali tak berekspresi. Namun kini baik sorot mata maupun ekspresi wajahnya berubah.

Jika biasanya Sakura mendapati sosok Sasuke yang terkesan dingin dan sinis, Sakura malah menangkap kerapuhan yang tersirat dibalik tatapan Sasuke.

Pada akhirnya Sasuke kehilangan ketenangan yang selama ini dipertahankannya. Matanya tampak berkaca-kaca dan ia hanya diam.

"Sasuke-kun?"

Sasuke mengangkat ponselnya dengan satu tangan sehingga Sakura tak bisa melihatnya sedangkan ia membenamkan kepalanya di atas bantal. Air matanya mengalir dan pertahanannya sudah hancur.

Namun ia merasa harus menjaga image sebagai lelaki dewasa dengan tidak menangis atau memperlihatkan kerapuhan. Ia harus terlihat tegar dan kuat agar tidak membuat orang-orang di sekelilingnya khawatir.

"Sasuke-kun? Kau baik-baik saja? Bicaralah padaku."

Sasuke meletakkan ponselnya dan ia menatap Sakura serta berkata, "Aku baik-baik saja."

"Bohong!" seru Sakura ketika ia melihat mata Sasuke yang masih berkaca-kaca. "Matamu saja masih berkaca-kaca begitu."

Sasuke bukanlah orang yang emosional, namun ia tak bisa mengendalikan dirinya. Ia tak perlu siapapun untuk mendengarkan atau mengerti dirinya. Namun kini ia merasa tidak tahan lagi dan menginginkan seseorang mendengarkannya.

"Kalau terjadi sesuatu pada okaasan, aku harus bagaimana?"

Sasuke terlihat kalut dan sorot matanya yang sedang menatap Sakura seolah memohon agar gadis itu menolongnya.

Sakura menatap Sasuke dan mengarahkan jarinya ke layar ponsel. Seandainya ia bisa menyentuh Sasuke sekarang, ia pasti akan memeluk lelaki itu dengan erat.

Sebelumnya Sakura tak pernah mengira akan tiba saat dimana ia membalas budi pada Sasuke. Sebelumnya ia selalu datang pada Sasuke dan menceritakan segala masalahnya dan Sasuke akan duduk diam mendengarkannya serta meletakkan kedua jarinya setelah Sakura selesai bercerita. Ia pikir Sasuke tak akan mungkin bersikap emosional sehingga ia tak bisa membalas perlakuan Sasuke padanya, namun pada akhirnya Sasuke juga menunjukkan sisi emosional padanya.

Sasuke benar-benar takut jika ibunya meninggal. Bukan berarti ia depnden pada ibunya. Sebetulnya ia tak masalah hidup sendirian. Hanya saja ia memerlukan ibunya untuk membantu menghadapi kakaknya. Ia tak cukup sabar untuk menghadapi lelaki itu sendirian. Ia terlalu sibuk untuk mengurusnya dan lelaki itu sangat kekanakan dan emosional, berbanding terbalik dengannya.

Sebetulnya Sasuke sudah memikirkan solusi atas masalahnya sejak lama. Menurutnya, solusi terbaik adalah mengecek kecocokan ginjal Itachi dan melakukan transplantasi ginjal jika cocok. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada lelaki itu, sebetulnya hal itu malah bagus karena beban Sasuke dan ibunya akan menghilang secara otomatis. Namun Sasuke merasa kalau itu adalah rencana yang jahat dan ibunya juga tidak akan setuju.

Sasuke merasa ingin pergi ke tempat yang sangat jauh dan beristirahat untuk sejenak. Ia ingin melarikan diri dari tanggung jawab sebagai pemimpin band, sebagai kepala keluarga, sebagai seorang putra dan sebagai seorang adik yang harus mengurus kakaknya. Kalau perlu, ia ingin melarikan diri untuk selamanya. Namun logikanya mencegahnya untuk melakukan hal itu.

"Kau bisa meminta bantuan seseorang untuk mengurus kakakmu kalau kau kesulitan. Kau bisa menelponku kalau kau mau."

Sasuke mengangguk. Ia tahu kalau ia memiliki Sakura dan Naruto yang bisa ia hubungi kapanpun ketika ia membutuhkan bantuan. Namun ia memilih untuk melakukan segalanya sendiri jika tidak sangat terpaksa.

Bibir Sasuke terkatup rapat dan ia hanya menatap Sakura yang kini juga sedang menatapnya. Sasuke merasa kalau ia mungkin saja kehilangan kewarasannya jika terus seperti ini. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah menjalani kehidupan untuk dirinya sendiri dan tak akan pernah bisa selama ia masih memiliki ibu dan kakak yang menjadi tanggungannya.

"Kuharap ibumu baik-baik saja. Akan kucoba membicarakan solusi mengenai hal ini padanya."

"Tidak perlu. Itu bukan urusanmu."

Sakura menggelengkan kepala, "Bukankah selama ini kau selalu peduli padaku? Kenapa kau malah melarangku untuk membantumu kali ini?"

"Aku tak ingin okaasan khawatir karena aku sudah mengetahui kondisinya."

Sakura mengangguk. Ia mengenal Sasuke dan ibunya sehingga ia bisa melihat dari dua sisi yang berbeda. Ia mengerti kekhawatiran Sasuke, begitupun kekhawatiran ibunya.

"Aku mengerti, kok. Pokoknya aku akan berusaha membahasnya dengan caraku sendiri agar dia tidak sadar kalau kau sudah tahu. Tenang saja, serahkan padaku."

Sasuke menatap Sakura yang kini tersenyum padanya. Ia tak menyesal telah menunjukkan sisi emosionalnya pada Sakura dan berbagi cerita mengenai kekhawatirannya. Kini ia merasa lebih baik berkat gadis itu.

Mendadak Sasuke malah berpikir kalau ia berharap dapat memiliki pendamping hidup yang bisa memahami dan menerima dirinya apa ada nya seperti Sakura. Ia merasa dirinya benar-benar egois dengan keinginannya yang terkesan tak tahu diri.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro