Chapter 8
"Okaa-san dan Itachi-nii baik-baik saja? Bagaimana kesehataan okaa-san?" ucap Sasuke seraya menatap layar ponsel yang memperlihatkan wajah ibunya. Kali ini Sasuke memutuskan untuk melakukan video call ketika ia sedang memiliki waktu senggang.
"Kami baik-baik saja. Bagaimana konsermu? Kau makan dengan teratur disana, kan? Kau terlihat lelah dan lebih kurus."
Sasuke tak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum tipis dihadapan ibunya. Seandainya rekan-rekannya melihatnya begini, ia pasti sudah menjadi bahan ejekan nanti. Ia beruntung karena mendapat kamar sendiri sehingga bebas melakukan apapun tanpa dilihat oleh orang lain.
Sasuke tak mengira kalau ibunya menyadari perubahan pada dirinya. Padahal sebelumnya ia sengaja memakai foundation dan bedak yang lumayan tebal untuk menutupi kantung mata yang menghitam meski ia tak pernah memakai riasan jika tidak tampil di hadapan publik. Selain itu ia sendiri bahkan tidak sadar kalau berat badannya mungkin menurun.
"Mungkin hanya perasaanmu saja, kaa-san. Konserku baik-baik saja dan aku juga makan dengan teratur."
Mikoto tersenyum dan Sasuke menatap ibunya lekat-lekat. Ia merasa seolah melihat pantulan dirinya sendiri dalam wujud wanita setiap kali ia menatap ibunya, dan bahkan cara mereka tersenyum juga agak mirip.
Sasuke menyadari kalau ibunya tampak tidak sehat. Wajah wanita itu lebih pucat dibanding biasanya. Dan ia tak ingin berbasa-basi.
"Wajahmu terlihat pucat. Kau sungguh baik-baik saja? Minggu ini kau sudah pergi ke rumah sakit untuk dialysis bersama Sakura, hn?"
Mikoto menyadari kalau Sasuke pasti benar-benar khawatir sampai bicara panjang lebar begini. Sebetulnya kondisi ginjalnya memburuk dan dokter memintanya untuk melakukan dialysis dua kali seminggu sementara menunggu donor ginjal. Namun ia tak ingin mengatakannya pada Sasuke dan membuat lelaki itu khawatir dan malah tidak bisa tampil di konser dengan baik.
"Aku baik-baik saja, kok. Tak kusangka ternyata putraku berubah menjadi secerewet ini. Apa kau mulai tertular Naruto-kun?"
Sasuke menggeleng. Mana mungkin ia tertular dari Naruto? Buktinya terkadang ia merasa lelah setelah berbicara terlalu banyak. Berbeda dengan Naruto yang sepertinya malah semakin semangat setelah berbicara.
Terdengar suara bel dan Sasuke segera mengernyitkan dahi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan ia sudah berkata kalau ia berniat langsung tidur. Siapa yang menekan bel kamarnya?
"Tunggu sebentar. Seseorang menekan bel kamarku," ucap Sasuke seraya meninggalkan ponselnya begitu saja dan berjalan menuju pintu.
Sasuke merasa waspada dan ia memutuskan melihat terlebih dulu ke lubang pengintip yang terpasang di pintu. Ia mendapati Naruto berada di depan pintu dengan membawa bantal dan selimut.
Sasuke segera membuka pintu dan menjulurkan kepalanya keluar, "Ngapain kau di depan kamarku?"
Naruto tak menjawab apapun dan ia langsung mendorong pintu kamar Sasuke dengan sekuat tenaga sehingga Sasuke tak sempat menghindar dan pintu yang didorong Naruto menjepit tubuhnya di dinding.
Naruto langsung meringsek masuk dan ia segera menuju kasur Sasuke. Ia menatap ponsel yang terbuka begitu saja dan melihat ibu Sasuke di seberang telepon.
Sasuke menutup pintu dan berkata, "Oi, dobe! Keluar dari kamarku sekarang juga!"
Naruto tak menghiraukan Sasuke dan ia kini memegang ponsel Sasuke. Ia tersenyum dan melambaikan tangan, "Halo, Mikoto-obasan. Bagaimana kabarmu?"
Mikoto tersenyum pada Naruto, putra sahabatnya yang memiliki sifat berlawanan dengan Sasuke.
"Halo. Awas Sasuke dibelakangmu, tuh."
Baru saja Mikoto selesai bicara, mendadak Sasuke berusaha menarik ponsel miliknya yang dipegang Naruto. Ia benar-benar kesal dan berseru, "Kembalikan ponselku, dobe!"
"Tidak mau. Aku juga mau video call bersama Mikoto-obasan."
Sasuke mendengus kesal pada Naruto, "Kembalikan ponselku dan kembalilah ke kamarmu sendiri. Aku tidak mau tidur bersamamu!"
"Tidak mau! Lampu di kamarku mendadak kedap-kedip. Lalu temperatur kamar mandiku rasanya lebih dingin dibanding biasanya. Jangan-jangan ada han-" Naruto tak melanjutkan ucapannya. Bulu kuduknya meremang dan ia memeluk dirinya sendiri sambil bergetar ketakutan.
Sasuke berdecak pada sahabatnya yang penakut sejak dulu. Lelaki itu begitu mudah takut dan tidak pernah mematikan lampu rumahnya sekalipun. Naruto bahkan pernah menginap di apartemennya hanya karena lampu di kamarnya mati pada malam hari dan ia tidak bisa langsung meminta orang untuk mengganti bohlamnya.
"Telpon saja resepsionis dan minta mereka mengganti lampu kamarmu."
"Ayolah. Hari ini aku kan sudah menyuapimu dan bahkan membantumu min-"
Seluruh tangan Sasuke terasa benar-benar pegal hingga ia kesulitan mengangkat gelas dan memotong daging untuk makan. Naruto menawarkan diri untuk membantunya dan pada akhirnya ia mengiyakan tawaran Naruto meski merasa malu dan canggung. Namun untungnya kini tangannya tidak lagi terasa pegal seperti sebelumnya.
Sasuke teringat kalau ia masih video call dengan ibunya dan ia cepat-cepat menutup mulut Naruto. Ia tak ingin membuat ibunya khawatir jika mendengar apa yang diucapkan Naruto.
"Mmph... pfff...."
Mikoto tertawa di seberang telepon. Ia merasa geli melihat putra bungsunya yang masih juga tak berubah sejak pertama kali mengenal Naruto. Bahkan ketika keduanya diletakkan di boks bayi yang sama, entah bagaimana keduanya bisa terlihat bertengkar dan menangis bersama.
Rasanya menggemaskan melihat dua lelaki yang bertengkar sejak kecil dan masih juga bertengkar seperti anak-anak meski kini keduanya sudah menjadi lelaki dewasa.
"Aku harus mematikan telepon sekarang. Jaga kesehatanmu baik-baik," ucap Sasuke pada ibunya di seberang telepon.
"Kau juga, Sasuke. Jangan lupa makan teratur dan istirahat yang cukup."
Sasuke mematikan telepon sesudah mengucapkan selamat malam pada ibunya. Ia baru melepaskan tangannya yang menutup mulut Naruto ketika ia sesudah mematikan telepon.
"Uh... tanganmu bau," keluh Naruto tepat ketika Sasuke melepaskan tangannya.
Sasuke tak menjawab. Ia sudah mencuci tangannya dengan sabun sehingga tidak mungkin tangannya bau. Naruto pasti sengaja mengatakan seperti itu padanya.
"Jangan bilang apapun soal kondisiku di depan ibuku, bodoh."
Naruto menundukkan kepala. Ia mengerti kalau Sasuke tak ingin menambah kekhawatiran ibunya dan ia segera menundukkan kepala, "Gomen."
Sasuke tak menjawab. Entah kenapa ia merasa kalau ibunya sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Wajah ibunya juga tampak pucat dan ia pikir kondisi kesehatan ibunya pasti memburuk.
Sebagai seorang anak, Sasuke berpikir untuk memberikan yang terbaik bagi ibunya, termasuk pelayanan kesehatan terbaik. Karena itulah ia bersikeras membawa ibunya berobat ke rumah sakit pemerintah yang katanya terbaik di Jepang meski harganya juga tidak murah.
Sejak dua tahun yang lalu dokter sudah menyarankan ibu Sasuke untuk melakukan transplantasi ginjal, namun belum ada ginjal yang sesuai. Saat itu Sasuke bersikeras melakukas tes kecocokan antara ginjal miliknya dan ibunya. Hasilnya cocok, namun Mikoto menolak dengan alasan Sasuke akan kesulitan jika harus memberikan satu ginjalnya karena ia tidak bisa lagi bekerja keras hingga kelelahan. Sasuke menyarankan agar Itachi juga menjalani tes kecocokan, namun Mikoto menolak.
Setidaknya kini Sasuke sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk operasi transplantasi. Pemasukannya meningkat berkali-kali lipat setelah ia mulai populer dan mendapat tawaran untuk menjadi tampil di cover majalah dan menjadi bintang iklan sehingga ia bisa melunasi hutang-hutang ayahnya, kredit apartemen yang lebih besar dan memiliki uang untuk operasi ibunya. Namun Mikoto masih tak bisa menjalani operasi hingga saat ini karena belum ada ginjal yang sesuai.
"Kau marah, teme?"
Sasuke tak menjawab. Ia segera menggeser bantal yang semula ia letakkan di tengah-tengah kasur menjadi ke sisi kanan. Ia meletakkan salah satu bantal lainnya di tengah-tengah kasur dan berkata sambil menunjuk bantal di tengah kasur, "Sebelah kiri bagianmu. Jangan melewati batas itu."
Naruto meletakkan bantalnya di sebelah kiri dan tak berbicara apapun. Setidaknya ia bersyukur karena Sasuke memberinya tumpangan malam ini dan ia tidak harus tidur sendirian.
Sebetulnya Naruto bahkan tak berpikir untuk pergi ke kamar anggota band lainnya meski ia juga akrab dengan mereka. Ia tahu kalau Sasuke pasti tidak langsung tidur sesudah kembali ke kamar dan pasti akan memberikan tumpangan padanya meski dengan wajah masam.
Naruto menatap Sasuke yang kini sedang berbaring dengan mengenakan salah satu telapak tangannya sebagai alas kepala. Kening lelaki itu berkerut dan Naruto yakin ada sesuatu yang dipikirkan lelaki itu. Kening Sasuke selalu berkerut setiap kali ia sedang memikirkan sesuatu atau merasa terganggu.
"Jangan letakkan tanganmu begitu, teme. Bisa-bisa nanti lenganmu semakin pegal karena diangkat begitu."
Sasuke menjauhkan tangannya dari kepalanya dan ia berbaring memunggungi Naruto. Ia segera berkata, "Aku mau tidur. Jangan ajak aku bicara."
"Kau kenapa, sih? Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan?"
"Aku tidak mau membahasnya."
Naruto tahu kalau ia seharusnya tak mendesak Sasuke. Namun ia benar-benar mengkhawatirkan sahabatnya dan tak akan diam begitu saja melihat Sasuke menderita.
"Tidak masalah, sih. Tapi kurasa sebaiknya kau bercerita saja padaku kalau kau memang sudah tidak tahan. Aku yakin kau pasti berada di posisi yang berat karena keluargamu dan posisimu sebagai pemimpin band kita."
Sasuke hanya terdiam. Ia memang berada di posisi yang berat saat ini, namun ia sama sekali tak bisa melarikan diri. Sebagai pemimpin band, ia lah yang akan ditanyai pertama kali setiap kali ada masalah yang berkaitan dengan anggota band atau band itu sendiri. Dan ialah yang biasanya menjadi 'perwakilan' untuk berhubungan dengan direktur management.
Siang ini manager band memanggil Sasuke terkait keluhan pihak promotor mengenai Sasuke yang seenaknya memberi encore. Karena encore, konser berakhir lebih lama dan pihak promotor harus membayar ekstra biaya untuk sewa venue. Berkat itu, Sasuke mendapat peringatan untuk tidak lagi memberi encore di seluruh sisa konser kecuali untuk konser mendatang yang sebelumnya sudah dibahas bersama pihak promotor.
Sasuke tak begitu memikirkan mengenai teguran yang didapatnya. Toh pihak management juga tidak akan berani memberikan sanksi, apalagi memecatnya. Pihak management cukup pintar untuk mengetahui bahwa mereka baru saja membuang sumber pendapatan yang besar seandainya mereka memecat atau setidaknya melarang Sasuke untuk berakitivitas dalam beberapa bulan kedepan. Lagipula apa yang dilakukan Sasuke malah membuat imagenya semakin baik di mata fans.
Sasuke mengkhawatirkan kondisi ibunya. Seandainya ibunya meninggal, bagaimana ia mengurus Itachi sendirian? Dengan kesibukannya saat ini, ia tak bisa mengurus lelaki itu seperti dulu.
"Aku baik-baik saja."
Naruto berbalik posisi dan balas memunggungi Sasuke. Ia tak perlu memaksa lelaki itu untuk berbicara. Ia pasti akan segera mengetahui masalah lelaki itu nanti.
.
.
Malam ini Sakura baru sja kembali dari kantonya setelah lembur. Ia mengusap rambutnya yang masih basah dengan handuk dan menatap jam. Jam menunjukkan pukul delapan malam dan ia berpikir untuk menelpon Sasuke dengan video call.
Baru dua minggu berlalu, namun Sakura mulai merasa rindu dengan Sasuke. Rasanya sudah lama ia tak melihat lelaki itu dan ia sendiri juga tidak begitu sering berkirim pesan karena sedang sibuk.
Seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Sakura, mendadak ponsel Sakura berdering. Terdapat sebuah notifikasi bahwa Sasuke ingin melakukan video call dan Sakura merasa terkejut. Tumben sekali lelaki itu melakukan video call.
Sakura menatap wajahnya sendiri di cermin. Ia tidak memakai riasan wajah sedikitpun, namun untunglah wajahnya tidak tampak pucat karena ia bukanlah orang yang terbiasa memakai makeup tebal.
Sakura segera mengangkat telepon itu dan ia mendapati Naruto yang berada di seberang telepon.
"Ohayou, Sakura-chan," sapa Naruto sambil menguap. Wajah lelaki itu masih tampak kusut, begitupun dengan rambutnya. Tampaknya lelaki itu baru saja bangun tidur.
"Disini sudah malam, Naruto."
"Tapi disini masih pagi, tuh."
Sakura tak mengerti kenapa ia merasa sedikit kecewa karena bukan Sasuke yang menelpon. Padahal ia benar-benar ingin melihat Sasuke.
"Kenapa kau menelpon dengan handphone Sasuke?"
Naruto terdiam sesaat sebelum berkata, "Umm... itu... sebetulnya semalam ponselku tertinggal di kamar. Lampu nya kedap-kedip. Jadi aku menumpang di kamar si teme."
Sakura tertawa. Ia juga tahu kalau sahabatnya adalah seorang penakut, sangat berbeda dengan Sasuke. Rasanya ia tak bisa membayangkan bagaimana seandainya Naruto memiliki kekasih yang juga penakut.
Terdengar suara Sasuke yang berteriak di seberang telepon seraya menghampiri Naruto, "Oi, dobe! Apa lagi yang kau lakukan dengan ponselku, hn?"
Wajah Sakura sedikit memerah ketika ia menatap ke arah Sasuke yang berada di seberang telepon. Lelaki itu tampaknya baru saja selesai mandi. Rambut lelaki itu masih basah dan bagian atas tubuh lelaki itu tak tertutup sehelai benanpung sehingga memperlihatkan otot-otot yang terbentuk sempurna. Saat ini tubuh Sasuke bahkan hanya ditutupi handuk yang melilit pinggangnya.
Tak hanya Sakura, tubuh Sasuke pun sudah banyak berubah dibanding kali terakhir Sakura melihatnya. Tubuh lelaki itu terlihat jauh lebih maskulin dengan otot di tubuhnya, sangat berbeda dengan Sasuke yang dulu pernah mandi bersamanya ketika usia mereka tak lebih dari lima tahun.
Naruto menatap Sasuke dan menyahut, "Oh, aku sedang video call dengan Sakura-chan, nih."
"Kembalikan ponselku!" seru Sasuke seraya bergegas menghampiri Naruto dan berniat merebut ponselnya yang dipegang Naruto.
Namun ketika Sasuke berniat mengambil ponselnya yang sedang dipegang Naruto, mendadak handuk yang melilit pinggang Sasuke terjatuh karena Sasuke tidak memasangnya dengan benar.
Sasuke tampak terkejut dan wajahnya bersemu merah karena menyadari Sakura pasti melihatnya di seberang telepon. Kini sesuatu yang menonjol diantara kedua pahanya dan hanya ditutupi dengan celana dalam terlihat jelas dan ia merasa sangat malu.
Sakura sendiri terkejut dengan apa yang ia lihat. Wajahnya agak memerah, namun Ia malah membelalakan mata dan tak mengalihkan pandangannya.
Sasuke langsung berjongkok di lantai secara refleks dan mengambil kembali handuknya serta memakainya di sekitar pinggangnya. Ia segera berteriak, "Dobe! Matikan video call nya sekarang!"
Naruto tertawa melihat reaksi Sasuke yang sebetulnya cukup polos untuk ukuran seorang lelaki dewasa. Di saat lelaki lain malah mengirimkan foto kejantanannya pada orang yang tak dikenal di internet, Sasuke malah merasa malu karena tubuhnya yang hanya tertutup celana dalam dilihat oleh Sakura.
"Dia masih polos, ya?" ucap Naruto pada Sakura yang dibalas wanita itu dengan anggukan sambil tertawa.
Sasuke segera menghampiri Naruto dan merebut ponselnya serta mematikan video call itu tanpa mengucapkan apapun.
Sakura tertawa ketika video call itu dimatikan. Meski Ia tak bisa melihat secara langsung, ia yakin Sasuke pasti akan bertengkar dengan Naruto.
Terkadang Naruto seolah lupa kalau Sakura adalah seorang wanita. Lelaki itu terkadang membahas hal-hal kotor yang seharusnya hanya dibahas dengan sesama pria dan memuatnya mendapat tatapan tajam serta pukulan dari Sakura meski ia sendiri memaklumi kalau lelaki memang cenderung cabul.
Berbeda dengan Naruto, Sasuke bahkan tak pernah terlihat tertarik dengan hal semacam itu hingga Sakura terkadang khawatir kalau Sasuke sebetulnya gay atau aseksual. Bahkan Sasuke menghentikan Naruto yang membahas hal semacam itu di depan Sakura.
Sakura baru saja berniat tidur ketika ponselnya ketika Sasuke kembali menelpon dengan video call.
Sakura segera mengangkat telepon dan ia mendapati Sasuke yang kini berada di seberang telepon.
Kini Sasuke telah memakai pakaian lengkap dan ia hanya diam saja. Sakura merasa senang hanya karena melihat Sasuke di seberang telepon.
"Konbawa, Sasuke-kun... atau harus kubilang 'ohayou'?"
"Kau baru pulang kerja, hn?"
Sakura terkejut dan ia menatap Sasuke lekat-lekat, "Kok tahu?"
Sasuke menyadari dari rambut Sakura yang masih basah. Wanita itu pasti baru saja selesai mandi. Maka Sasuke berpikir kalau wanita itu baru saja pulang kerja.
"Hn."
Sakura tahu kalau Sasuke tak berniat membahasnya lagi jika sudah menjawab seperti ini. Maka ia memutuskan bertanya, "Bagaimana konsermu? Baik-baik saja, kan?"
"Hn."
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga baik-baik saja," ucap Sakura sambil tersenyum. "Kau pasti lelah menghadapi si baka Naruto, kan?"
Sebetulnya Sasuke tak pernah benar-benar jengkel dengan Naruto meski terkadang ia meringis karena tingkah laku Naruto yang sangat konyol dan naif. Ia sendiri bahkan bingung bagaimana bisa ia berteman dengan Naruto selama bertahun-tahun. Namun di sisi lain ia merasa hidupnya lebih lengkap dengan keberadaan Naruto yang cerewet dan jahil.
"Begitulah. Okaa-san dan anikiku baik-baik saja?"
Sakura terdiam sesaat. Sebetulnya Mikoto tampak kurang sehat sejak tadi sore. Ia terlihat sangat lelah hingga harus berpegangan pada dinding ketika akan berjalan ke kamar. Namun Mikoto telah memintanya untuk tak mengatakan apapun pada Sasuke mengenai kondisinya.
"Sepertinya baik-baik saja,"
"Sejujurnya aku tak merasa begitu. Bisakah kau memperhatikannya untukku?"
Sakura mengangguk, tentu saja ia akan melakukannya meski tanpa diminta Sasuke sekalipun.
Di antara sekian banyak lelaki, Sakura menganggap Sasuke adalah sosok lelaki yang langka. Sebetulnya ia berharap bisa mendapatkan lelaki yang peduli pada keluarga seperti Sasuke ketika ia menikah suatu saat nanti. Namun ia tak berani berharap memiliki lelaki itu meski sebetulnya ia merasa nyaman bersama Sasuke. Rasanya ia bisa bercerita apa saja jika ia bersama dengan Sasuke.
"Tentu saja. Aku akan melakukannya tanpa kau suruh sekalipun."
Sasuke tersenyum tipis dan berkata, "Apa yang kau inginkan untuk oleh-oleh? Kudengar kau juga bisa membeli ponsel dengan harga murah disini."
Sakura menggeleng, "Sudah kubilang tidak usah. Ketimbang membeli ponsel untukku, sebaiknya gunakan saja untuk yang lain."
"Sebutkan saja. Aku tidak tahu apa yang kau suka."
Sakura tersenyum. Ia mengerti kalau Sasuke pasti sibuk dan belum tentu sempat pergi membeli oleh-oleh untuknya. Sebetulnya ia merasa senang ketika lelaki itu kembali meski tanpa membawa oleh-oleh sekalipun.
"Tidak usah juga tidak apa-apa. Kau belum tentu sempat membelinya."
Bagi Sasuke, Sakura adalah wanita yang unik. Wanita itu bahkan tak menuntut banyak darinya dan berusaha memahami kondisinya. Tidak semua wanita bisa memahami kondisi seorang pria, khususnya lelaki dengan kehidupan yang kompleks sepertinya.
"Cokelat? Biskuit?" Sasuke menebak dengan asal.
Sakura terlihat senang ketika mendengar kata 'cokelat' dan Sasuke menyadarinya. Biasanya wanita menyukai makanan manis, walaupun kakak lelakinya juga menyukai makanan manis.
"Boleh, sih. Kalau kau tidak sempat beli, jangan memaksakan diri untuk membelinya, ya."
"Hn."
Baik Sasuke maupun Sakura tak lagi bicara setelahnya. Namun tak seorangpun diantara keduanya yang berniat mematikan telepon. Mereka berdua menikmati momen saling menatap meski tanpa saling bicara ditemani debaran jantung yang semakin keras dan perasaan yang tak terungkap di antara mereka.
-TBC-
----------------------------------------------------------------------
Author's Note :
----------------------------------------------------------------------
Di chapter selanjutnya, perasaan Sakura terhadap Sasuke bakal dibahas lebih mendalam. Kemungkinan bakal ada cerita flashaback juga.
Trims udah baca fanfict ini. Mohon kritik dan sarannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro