Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3

Sore ini Sasuke mengajak Sakura untuk bertemu di salah satu coffee shop yang menyediakan private room yang biasa disewa oleh artis terkenal atau orang-orang tertentu untuk menikmati segelas kopi dan bersantai tanpa gangguan.

Coffee shop ini terkenal dengan menu red wine coffee, yakni perpaduan antara kopi dengan red wine yang menghasilkan cita rasa yang unik dan tidak dapat ditemukan di coffee shop lainnya. Bahkan ada juga menu minuman yang terbuat dari red wine dan coklat.

Coffee shop yang dikunjungi Sasuke sore ini adalah tempat favoritnya. Terkadang ia datang bersama rekan-rekan satu bandnya setelah latihan atau untuk membahas proyek lagu baru mereka.

Tempat ini sangat terkenal di kalangan artis karena memberikan kenyamanan kepada para tamu tanpa mengesampingkan privasi. Di dalam setiap private room terdapat kaca satu arah yang memungkinkan pelanggan melihat pemandangan di luar, namun orang yang berada di luar tidak bisa melihat ke dalam. Selain itu terdapat tema yang berbeda di setiap ruangan private room, misalnya saja ada ruangan bertema Jepang tradisional, tema industrial, monochrome dan beberapa tema lainnya.

Sasuke menyalakan rokok mint nya dan menghisapnya serta menghembuskan asap yang tampak seperti sekumpulan awan putih dari mulutnya. Ia mengalihkan pandangan dan mendapati Sakura yang tampak jengkel.

"Sudah kubilang jangan merokok. Itu tidak baik untuk kesehatanmu."

"Maaf," sahut Sasuke. Ia menarik sebatang rokok yang berada di bibirnya dan bersiap mematikan api pada rokok itu dengan menekan ujungnya ke asbak, namun Sakura menahan jemari Sasuke.

"Habiskan saja rokokmu. Tapi ini yang terakhir."

"Hn."

Sasuke kembali meletakkan rokok itu di bibirnya dan menghisap batang nikotin itu. Sakura selalu bereaksi sama setiap kali ia merokok dan sejujurnya wanita itu terdengar seperti wanita menjemukan yang terlalu mencampuri urusannya. Namun ia mengerti kalau wanita itu sebetulnya selalu memeduikan dan mengkhawatirkannya sebagai seorang sahabat sehingga ia tidak keberatan sama sekali.

Sakura benar-benar khawatir pada Sasuke. Ia sudah mengenal lelaki itu selama lebih dari dua dekade dan mengetahui banyak hal mengenai lelaki itu. Namun belakangan ini Ia merasa Sasuke mulai berubah.

Sasuke yang dulu dikenal Sakura tidak akan melakukan hal bodoh untuk mencelakai dirinya sendiri. Lelaki itu bukanlah tipe orang yang menggilai alkohol, nikotin, obat terlarang ataupun seks. Lelaki itu berusaha hidup sehat dan mempertahankan imagenya.

Namun Sasuke berubah semenjak kematian ayahnya. Lelaki itu mulai merokok dan meningkatkan frekuensi minum alkohol serta membuat tattoo di tubuhnya. Dan Sasuke juga mulai membuat beberapa tindik di telinganya. Penampilannya yang dulu terlihat sangat rapi dan formal kini terlihat seperti personil band rock pada umumnya, yakni cenderung sangar.

Sakura berpikir kalau inilah cara Sasuke menghilangkan stress dan berusaha membiarkannya. Namun ia tetap saja khawatir kalau lelaki itu bersikap berlebihan.

Sudah lima belas menit berlalu dan Sasuke hanya diam saja. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan kalau ia berniat mengatakan sesuatu pada Sakura. Namun lelaki itu tidak kunjung mengatakan apa yang ingin ia katakan sehingga pada akhirnya Sakura kehilangan kesabarannya.

"Katakan saja apa yang ingin kau katakan padaku."

Sasuke terkejut karena Sakura seolah bisa membaca pikirannya. Dan ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulutnya.

"Bolehkah aku meminta bantuanmu, Sakura?"

Sakura tersenyum tipis. Ia merasa lega karena Sasuke akhirnya bicara. Selama ini lelaki itu bukanlah tipe yang menunjukkan apa yang ia pikirkan atau maksud dari tindakannya secara gamblang dan terkadang membuat Sakura agak bingung.

"Tentu saja. Apa yang kau butuhkan, Sasuke?"

"Bisakah kau menginap di rumahku selama satu bulan? Aku akan pergi ke beberapa negara untuk konser dan aku butuh seseorang untuk menjaga anikiku serta memperhatikan ibuku."

Sakura masih tetap tersenyum dan ia menganggukan kepala tanpa berpikir panjang, "Tentu saja bisa. Kupikir kau ingin mengatakan sesuatu yang mengejutkan hingga terlihat ragu begitu."

Sasuke merasa sedikit lega. Awalnya ia merasa bingung karena orang-orang terdekat yang bisa ia percayai hanyalah Sakura dan rekan satu bandnya. Seandainya Sakura sampai menolak, ia tidak tahu kemana harus meminta bantuan.

Menjaga Itachi membutuhkan kesabaran yang sangat besar. Menghadapi lelaki itu sama saja menghadapi anak berumur enam tahun dengan kecerdasan yang terbatas. Sikap lelaki itu juga sama seperti anak kecil yang suka bermain dan terus mengulangi kesalahan meski sudah diperingatkan berkai-kali.

Sedangkan ibu Sasuke juga tidak bisa sepenuhnya diharapkan untuk menjaga Itachi. Wanita itu mengalami gagal ginjal dan membutuhkan dialysis rutin setiap minggu. Menurut dokter, akan lebih baik kalau wanita itu segera melakukan operasi transplantasi ginjal. Namun untuk itu diperlukan uang dalam jumlah besar serta ginjal yang cocok.

Karena itulah Sasuke merasa ragu pada awalnya meski biasanya ia cenderung berterus terang dalam berbicara atau bertindak. Ia merasa tidak enak begitu merepotkan Sakura selama satu bulan, apalagi wanita itu bukan keluarganya.

"Berapa uang yang kau inginkan sebagai kompensasi?"

"Bodoh!" desis Sakura sambil menepuk lengan Sasuke dengan keras hingga lengan lelaki itu terasa panas dan ia secara refleks mengusapnya.

Sakura sama sekali tidak berubah dibanding dulu. Wanita itu masih tetap mengerikan dengan tenaga yang sangat kuat. Bahkan sepertinya wanita itu semakin kuat dibandingkan dulu. Pukulan wanita itu terasa sakit, namun sebetulnya wanita itu bahkan tidak memakai sepuluh persen tenaganya.

Sasuke masih ingat ketika kaki Naruto jatuh dari sepeda dan telapak kakinya entah bagaimana terjepit roda sepeda hingga ia tak bisa berjalan saat berlibur bersama keluarga masing-masing. Sebelum Sasuke sempat menawarkan diri untuk menggendong Naruto, tiba-tiba saja Sakura sudah menggendong Naruto dengan cara bridal style dan Sasuke langsung terkejut setengah mati.

"Daripada memberikan kompensasi untukku, lebih baik kau pakai uangmu untuk pengobatan ibumu. Bukankah kau bilang ibumu membutuhkan transplantasi ginjal?"

Ucapan Sakura membuat kening Sasuke berkerut secara refleks. Membahas transplantasi membuatnya teringat kalau ia harus mengumpulkan uang untuk biaya operasi.

Black Ash memang semakin populer belakangan ini dan secara otomatis penghasilan Sasuke juga meningkat. Bahkan setelah mereka konser di Tokyo Dome, undangan untuk tampil secara on air dan off air juga semakin membludak.

Namun untuk transplantasi ginjal juga diperlukan donor ginjal yang sesuai. Sasuke pernah meminta dokter untuk melakukan tes dan ginjal miliknya cocok dengan sang ibu. Namun dokter mengatakan jika orang yang hidup dengan satu ginjal tidak bisa bekerja terlalu berat, sedangkan pekerjaan Sasuke sangat melelahkan. Jika Sasuke memberikan ginjal pada sang ibu, maka ia akan kehilangan mata pencaharian. Hal itu jelas tidak mungkin mengingat Sasuke adalah tulang punggung keluarga.

"Hn."

Sakura sudah begitu mengenal Sasuke dan ia bisa tahu kalau ada banyak hal yang dipikirkan lelaki itu hanya dengan melihat ekspresinya. Karena itulah Sakura memutuskan berkata sambil tersenyum, "Pokoknya kau bekerja saja dan kumpulkan uang untuk ibumu. Aku akan membantumu memperhatikan ibumu dan menjaga anikimu. Percayakan saja padaku."

"Menjaga anikiku bahkan lebih mengurus emosi ketimbang menjaga anak kecil. Bisakah kau melakukannya?"

Sakura bertemu dengan kakak laki-laki Sasuke setiap kali ia mengunjungi rumah Sasuke. Lelaki itu bertingkah bagaikan anak kecil yang bisa menumpahkan atau menyenggol sesuatu dan mencoret tembok. Dan sejujurnya rasanya agak menggelikan melihat seorang lelaki dewasa yang sehat secara fisik bermain mobil-mobilan atau bahkan terkadang mengompol serta poop di celana.

Dulu Sasuke berpikir kalau dirinya adalah lelaki jantan yang tangguh secara mental. Ia berpikir kalau dirinya adalah orang tidak akan pernah menangis apapun yang terjadi. Namun persepsinya atas dirinya sendiri hancur ketika suatu kali ia meneteskan air mata saat ia membersihkan tubuh kakaknya karena merasa sudah tidak tahan lagi dengan beban yang harus ditanggungnya.

Bagi Sasuke, orang-orang yang bisa melakukan bunuh diri adalah orang yang beruntung karena bisa mengakhiri hidupnya tanpa mengkhawatirkan apapun. Sasuke berpikir bahwa bunuh diri adalah sebuah kemewahan baginya karena ia tak bisa melakukannya meski ia menginginkannya. Ia tak bisa berlari dari masalahnya karena ia masih harus memikirkan keberlangsungan hidup keluarganya dan satu-satunya pilihan yang tersisa ialah bertahan.

Menjadi gila juga bukanlah sebuah opsi bagi Sasuke karena seandainya hal itu terjadi padanya maka kehidupan keluarganya akan terancam tanpa keberadaan dirinya yang menjadi penopang keluarga dalam berbagai aspek.

"Kalau kau bisa melakukannya selama bertahun-tahun, kenapa aku tak bisa melakukannya selama satu bulan?" ujar Sakura.

Sasuke kembali menghisap rokoknya untuk menenangkan pikirannya. Seharusnya ia merasa lega karena Sakura bersedia membantunya. Namun ia masih tetap merasa khawatir pada Sakura yang sebelumnya tak pernah mengurus dan hidup bersama orang yang mengalami keterbelakangan mental.

"Ah, kalau dipikir-pikir, sebetulnya kau ini sangat menakjubkan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seandainya aku berada di posisimu. Aku benar-benar kagum padamu, Sasuke."

"Tidak juga. Aku hanya tidak punya pilihan," ucap Sasuke. Ia menatap Sakura sejenak sebelum mengalihkan iris onyx nya pada pemandangan di luar café yang terlihat melalui jendela.

Di luar terlihat orang-orang yang berlalu lalang dengan mengenakan pakaiann kerja. Wajah mereka terlihat lelah dan penuh beban meski langkah mereka begitu cepat dan seolah memiliki irama yang sama.

Meski Sasuke tak mengenakan pakaian kerja formal seperti pekerja kantoran yang sedang berlalu lalang, namun raut wajahnya terlihat sama seperti orang-orang itu. Lelaki itu tampak lelah, baik secara fisik maupun emosional.

Sakura hampir tak pernah bercerita apapun mengenai bebannya. Ia bahkan mengetahuinya dari ibunya yang mendengar mengenai kondisi keluarga Sasuke dari ibu Sasuke sendiri. Ketika Sasuke sedikit terbuka padanya, saat itulah Sakura sadar bahwa lelaki itu benar-benar sudah tidak tahan lagi hingga sedikit terbuka pada orang-orang terdekatnya.

"Hey. Kalau kau merasa butuh teman cerita dan merasa sudah tidak tahan lagi, kau bisa bercerita kapanpun padaku. Aku pasti akan mendengarkanmu."

"Hn."

"Pokoknya jangan ragu menghubungiku. Aku tidak ingin mendengar kabar kalau kau mendadak menjadi gila karena stress."

"Bukan urusanmu."

Kata-kata dan tindakan Sasuke sama sekali tidak sinkron. Meski kata-kata lelaki itu terdengar kasar, namun sudut bibir lelaki itu kembali terangkat dan membentuk seulas senyum tipis yang ia tujukan pada Sakura.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam ketika Sasuke dan rekan-rekan satu band nya mengakhiri latihan yang telah dilakukan selama enam setengah jam.

Kiba langsung meletakkan instrumennya dan menekan jari-jarinya hingga terdengar bunyi gemeretak, begitupun dengan Sai dan Neji. Sedangkan Naruto langsung meminum air dari botol dengan rakus. Mereka semua merasa lelah setelah latihan enam setengah jam non stop untuk mempersiapkan konser.

Sasuke juga merasa pegal. Leher dan punggungnya terasa sangat pegal, sedangkan otot lengannya mulai nyeri karena ia terus menerus bermain drum. Begitupun dengan kakinya yang terus menerus menginjak pedal.

Sasuke selalu mengalami hal yang sama setiap kali ia selesai berlatih atau selesai konser. Selama konser atau latihan, ia sama sekali tidak merasa lelah meski memainkan lagu-lagu yang memerlukan teknik tinggi dan ia bermain seolah kerasukan setan. Namun ketika konser atau latihan berakhir, ia baru akan merasakan lelah yang menyerangnya bertubi-tubi.

"Ayo lanjutkan latihan setengah jam lagi."

"Kau serius, teme?! Kita semua bahkan melewatkan makan malam demi latihan. Lagipula semakin kita memaksa latihan, kita akan semakin lelah dan aku merasa kalau permainanku malah semakin kacau."

Sasuke mengangguk. Ia adalah orang yang perfeksionis, namun ia tak akan memaksakan orang lain untuk menjadi perfeksionis. Ia tak keberatan jika rekannya tak ingin berlatih lagi, namun ia akan melakukannya sendirian.

"Hn."

Neji tahu kalau Sasuke pasti akan membiarkan mereka pulang sedangkan ia berlatih sendirian. Ia pernah memergoki Sasuke yang berlatih sendirian ketika ia kembali ke studio untuk mengambil ponselnya yang ketinggalan di tengah malam.

"Kau akan melanjutkan latihan lagi setelah ini?" tanya Neji.

"Hn."

"Kau sudah gila, teme! Lebih baik sesudah ini kau cepat pulang dan bertemu dengan ibu dan kakakmu. Selama sebulan kau tak akan bertemu dengannya," ucap Naruto dengan suara yang agak meninggi.

"Bukan urusanmu, dobe."

Neji, Sai dan Kiba seketika berusaha mendekati Naruto. Mereka takut kalau Naruto mungkin saja terpancing emosi karena ucapan yang sinis dari Sasuke. Namun Naruto malah menatap Sasuke dengan khawatir.

Naruto merasa khawatir pada Sasuke yang bersikap terlalu keras pada dirinya sendiri. Ia takut kalau suatu saat Sasuke akan ambruk karena begitu memaksakan dirinya.

"Jangan paksakan dirimu, teme. Bagaimana kalau kau malah jatuh sakit saat konser nanti?"

"Aku akan baik-baik saja."

"Tap-"

Sasuke berjalan menjauh dari Naruto. Ia mendudukkan diri di sudut ruangan dan ia bersandar serta memejamkan mata sesaat untuk beristirahat sejenak.

Sasuke berniat untuk berlatih keras dan menampilkan yang terbaik bagi fans yang akan hadir. Ia tak ingin munafik, namun sebetulnya ia membutuhkan uang. Dan ia berharap pemasukannya akan semakin meningkat jika ia berlatih keras dan kemampuan bermain drumnya meningkat.

-TBC-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro