Bag 3 : Melarikan Rizqa
Alhamdulillah. Jangan lupa vote dulu sebelum baca, ya.
Selamat membaca
🔫🔫🔫
Rizqa pikir, mereka akan pergi dengan mobil milik Papanya sejak awal. Namun ternyata ia salah. Setelah keluar dari jalan tol, Barra menghentikan mobil. Ia keluar dan mondar mandir sibuk memperhatikan bagian bawah mobil itu entah ada apa.
Rizqa yang sedang mengunyah roti untuk mengganjal perut, membuka kaca jendela mobil dan mendongak.
“Ada apa? Rusak mobilnya?” tanyanya ingin tahu.
Barra tak langsung menjawab. Ia berkacak pinggang dengan tangan satu menggaruk kepala, kasar. Pria berahang persegi itu lalu kembali ke kemudi tanpa menggubris gadis dengan hidung bangir di sebelahnya.
“Ada apa sih?” tanya Rizqa cemas.
Tak lama ponsel Barra berdering. Ia keluar menerima telepon dan Rizqa melihat ada satu mobil berhenti di belakang mereka. Tak lama Barra kembali.
“Ayo. Turun. Kita ganti mobil!” perintah Barra lurus dan tanpa putus langsung bergerak ke bagasi memindahkan barang ke mobil belakang. Rizqa yang tak siap dengan kondisi ini sempat melongok, merdecak kasar dan sibuk mencangklongkan tas lalu memasukkan cemilan yang berantakan karena tersenggol sikunya.
Rizqa berjalan ke belakang ketika Barra sudah siap masuk ke kemudi sambil melambai sekilas pada rekan yang mengantar mobil tadi.
“Thanks, Bro!"
Pemuda itu membalas dengan lambaian dan masuk ke mobil milik Abbas.
“Eh, ini mobil siapa? Terus mobil Papa mau dibawa ke mana? Itu siapa?” tatar Rizqa dengan rasa ingin tahu yang tak kunjung digubris Barra dari tadi setelah ia duduk di samping kursi kemudi.
“Bengkel. Tenang. Nggak bakal hilang kok mobilnya.” Mata Barra menatap ke spion dan melajukan mobil membelah jalan.
“Apanya yang rusak? Tadi baik-baik aja.”
“Aku jelasin kamu juga nggak tau," kata Barra ketus.
“By the way. Kamu kok ketus banget sih? Kamu sopir baru 'kan?” tanya Rizqa yang gerah dengan tingkah ajudan Abbas di depannya. Harusnya ia bersikap lebih hormat, tidak, setidaknya lebih baik dari ini 'kan? Manner yang diutamakan.
Mengapa Abbas bisa memperkerjakan pria angkuh ini?
Sopir. Kata yang membuat telinga Barra berdenging. Ia bukan sopir apalagi ajudan pribadi yang baik hati. Tentu saja. "Di sini, I'm the boss!" pekik pria itu di dalam hati.
“Bukan." Akhirnya kata itu yang keluar. Masih sama, dingin dan ketus.
“Lalu?”
“Kan kamu yang bilang saya ajudan Mister Abbas.”
Rizqa menarik sudut bibir lurus. Ini pria makhluk planet mana sih? Angkuhnyaaaaa!
“Iya. Tau. Maksudnya kamu orang baru?”
“Hhm!” jawab Barra landai.
“Siapa nama kamu?” tanya Rizqa lagi. Sejak tadi ia sibuk dengan menata perasaannya yang kandas tak berhasil sampai ke rumah. Akhirnya, baru sekarang ia sempat bertanya setelah menimbang dan meninggikan kewaspadaan.
Pria itu memutar bola mata malas, ingin sekali ia membekap mulut gadis ini kalau terus-terusan menatar. Berbeda jika hanya menyapa, yang itu masuk ke relung jiwa.
Barra hanya menunjukkan ID yang ada di saku jasnya. Rizqa meraih itu dan mulai membaca.
“Barra Julio Natasena. Hhhm ... Oh ... jadi kamu dipanggil apa? Barra? Julio? Nata? Sena?” Rizqa melirik pria kaku di sampingnya sengklek.
Barra berdecih aneh. Itu semua bahkan bukan namanya.
“Panggil ak—“
“Barra! Eum. Ya! Mas Barra! Mas Barra aja. Gimana?” potong Rizqa tak sengaja. Diikuti mata yang membelalak bercahaya.
Barra juga ikutan tak sengaja menaut pandang dengan Rizqa ketika berpaling dan mengerjap sekilas.
“Kalau nggak salah artinya keteguhan. Iya, Mas Barra?” kata Rizqa lagi.
Entah kenapa kata 'Mas Barra' terasa syahdu masuk ke telinganya? Lagi-lagi hati pria itu berdesir.
“Terserah kamu,” jawabnya kaku dan kembali menatap lurus ke depan. Rizqa mengangguk kecil tak bicara lagi.
Tak lama, Barra menghentikan mobilnya di sebuah konter pinggir jalan. Ia turun dan membeli sesuatu di sana.
Barra kembali naik dengan membawa paper bag berisi kotak.
“Kita mau ke mana ini sebenarnya, Mas Barra?”
Meski masih terdengar asing, panggilan itu tiba-tiba disukai Barra detik ini.
“Ikut aja. Kamu udah lapar?” Surprise, kali ini Robin dengan nama samaran Barra itu terlihat care. Jiwa Robin seakan sedang bertepuk tangan di dalam sini.
“Mulai sih. Tapi, nih masih ada cemilan,"
Barra membelok di perempatan dan berhenti di pinggir jalan dekat hutan.
“Kemarikan ponsel kamu.”
“Ha? Kenapa?” Rizqa berjengit.
Barra masih sibuk mamatikan dua ponsel lama miliknya. Kemudian mengambil ponsel beserta kartu baru untuk ia gunakan.
“Mana ponsel kamu?” pinta Barra lagi.
“Buat apa?”
“Siniin. Antisipasi supaya nggak bisa dilacak musuh. Tadi kamu udah nelepon ke rumah pakai ponsel itu kan?"
Sedikit ragu, enggan tapi mau tak mau akhirnya Rizqa mengeluarkan ponsel-nya.
Ia menarik mundur kembali benda itu sebelum Barra mendapatkannya. “Mau diapakan ini? Banyak data lho di hape aku.”
“Ck!” Barra malah langsung menarik benda itu tanpa ragu dengan tatapan misterius. Dalam hati ia menggerayangi hati, gadis itu sedang ia manfaatkan.
“Gimana kalau nggak akan aku nyalain selama sembunyi?” tawar Rizqa.
“Aku nggak yakin! Nih. Kamu pakai ini. Ponsel baru dan nomor baru.” Barra meletakkan ponsel baru yang dibelinya tadi pada Rizqa.
Gadis itu terbelalak, ponsel itu bahkan lebih bagus dari yang ia gunakan. Tapi tetap saja ia masih menginginkan ponsel miliknya.
“Banyak banget uang kamu buat beli ponsel sekaligus begini?” ujar Rizqa yang membuat Barra terdiam dari aktivitas untuk sementara. Benar, Rizqa bisa curiga kalau ia cerdik dan tajam membaca.
Barra mengangkat mata. “Mister Abbas yang belikan,” jawabnya landai.
Mulut Rizqa membentuk bulatan kecil dikuti anggukan mengerti.
Mobil Barra kembali melaju. Ia yakin benar, saat ini Danapati sedang sibuk melacak keberadaannya. Nanti, dia akan menyalakan ponsel milik Rizqa dan miliknya yang lama. Setelah ia mengumpulkan banyak informasi dari kalung yang Danapati kenakan. Kalung yang begitu lekat dalam ingatannya. Benda yang menjadi saksi kunci baginya ketika nyawa kedua orang tuanya direnggut secara paksa tepat di depan matanya.
Setelah sepuluh menit berjalan, Barra membelok di KFC untuk drive thru. Setelah membayar ia serahkan ke Rizqa untuk dimakan.
Gadis itu menatap heran, pria ini memang cukup dingin, tapi sepertinya ada juga sisi pedulinya. Benarkah?
°°°
Mobil Audi Robin alias Barra kini melambat dan berhenti. Mereka sedang menumpang kapal untuk menyeberang ke pulau seberang. Rizqa yang saat itu sedang terlelap akhirnya membuka mata.
“Kita sampai di mana?”
“Pelabuhan,” jawab Barra.
“Hah? Mas Barra, serius ini kita mau ke mana? Kenapa aku nggak boleh tahu?”
Barra diam. Mengabaikan pertanyaan gadis itu.
“Mas Barra?” kejar Rizqa lagi.
Barra memejam menahan geram. Ia benci ditatar terus-terusan. Namun ia juga tak bisa dengan paksa membekap mulut gadis itu agar tak sulit membawanya untuk terus ikut. Rizqa bisa curiga. Ia butuh gadis itu sebagai sandera untuk mendapatkan Danapati.
Ya. Kali ini kondisinya berbalik. Kalau Danapati mau Rizqa untuk melawan Abbas, di sini Robun Alexander mau menyandera Rizqa untuk melawan Danapati. Posisi tak terduga yang mengantarkannya pada pintu yang telah lama ia cari.
“Mas Ba—“ kejar Rizqa lagi dengan khawatir menghentak sisi pemburu Robin Alexander. Pria itu meradang.
Kalimat wanita beralis tebal hampir bertaut bagai semut beriring itu dibuatnya terpenggal ketika Barra berbalik, mencondongkan tubuh ke dekatnya, membekap mulut gadis itu dengan tangan besarnya. Netra Rizqa terbelalak, secepat itu juga ia memberontak tapi kekuatan Barra lebih kuat menekannya hingga gadis itu terpojok di pintu mobil.
“Please, jangan banyak bertanya lagi. Yang jelas kamu akan saya bawa ke tempat aman seperti keinginan Mister Abbas. Mengerti?” ucapnya tajam dan menikam.
Rizqa sedikit ketakutan dengan perlakuan pria ini. Ia melihat sisi lain dari seorang Barra Julio Natasena. Pria yang Abbas kirim menjadi ajudan dan sopir yang menjemputnya. Lalu akhirnya ia harus terperangkap bersama pria misterius dan juga kasar. Netra Rizqa membola gelisah tapi tak gentar. Ia masih terus mencoba mendorong pria itu menjauh darinya hingga memekik keras. Ia sungguh tak suka ini.
Sorot berpendar itu tiba-tiba menembus mata hazel Barra yang kini lagi-lagi merasakan keanehan. Ada yang berdesir dalam darahnya. Perlahan ia merengangkan tangan. Sadar telah menyakiti gadis itu dan kembali memfokuskan pikiran.
Rizqa bukan lagi target misi yang akan ia lenyapkan bukan? Tapi sandera yang ia manfaatkan untuk tujuan pribadi. Dia yang membutuhkan Rizqa di sini. Meski di sisi lain Abbas memintanya menjaga Rizqa. Tapi itu tak menjadi prioritas utamanya. Ia punya misi lain.
Atau mungkin, bisa dibilang mereka adalah simbiosis mutualisme?
Mata Barra menajam lagi.
“Kamu! Jangan berani lagi sentuh aku!” pekik Rizqa tegas dan mata memerah.
Barra memalingkan kepala dan menemukan wajah Rizqa yang marah tapi menyiratkan kelemahan.
Barra merunduk dalam dan mengembus keras.
“Okay. Maaf. Maaf."
Apa? Hati seorang Robin tersentak. Ia juga terhenyak. Seorang Robin Alexander meminta maaf? Ada yang berperang di dada pria itu.
Lagi-lagi ia tersadar. Ini bukan dirinya. Gadis ini ... ada apa dengannya?
.
.
Tinggalin komen doong...
Makasi...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro