Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|2| 👑 Air di Tengah Gurun 👑

Andai tak lagi berharap

Bisa semudah bicara

Takkan henti mulut berucap

Walau tubuh telah habis daya

👑

Bagaimanapun dipikir, Yorin tidak merasa saran Gisa adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Mendekati Alard? Melihat cowok itu saja hampir membuatnya gila. Maka itu, semalaman dia berusaha membuat desain flyer yang berisi berita perekrutan untuk club Buletin Kampus. Menurutnya sih sudah cukup bagus, walau dia tidak terlalu bisa mendesain, tapi entahlah bagaimana pendapat manusia-manusia nyinyir di sekitar. Yang penting dia sudah berusaha.

Yorin berdiri di tengah-tengah taman kampus, area yang paling banyak dilalui dan menampung isi kampusnya. Orang-orang berlalu-lalang dan Yorin sibuk membagi-bagikan flyer perekrutan beserta buletin kampus terbaru yang masih banyak belum tersebar padahal sudah cetak seminggu yang lalu.

Beberapa kelompok mahasiswa mengambil apa yang disodorkan Yorin sambil tersenyum, tapi tak sedikit pula yang tidak bereaksi, bahkan menolak. Sebenarnya tidak apa-apa kalau mereka menolak. Yang membuat Yorin lebih kecewa adalah mereka yang tersenyum dan menerima dengan baik, tapi setelahnya tidak dibaca, meremas, bahkan membuang.

Tidak tahukah orang-orang itu, kalau kertas yang mereka pegang bukan hanya buletin kampus atau pengumuman perekrutan biasa, tapi hasil kerja kerasnya? Tidak bisakah mereka menghargainya bahkan sedikit saja?

Yorin kembali menghela napas dan dengan sabar memungut kertas-kertas yang dibuang orang-orang tadi. Di saat itu, dia melihat Gezi berjalan santai beberapa meter di hadapannya. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung berlari menuju Gezi. Sebagai precident—sebutan untuk ketua senat di LARC—dia pasti masih bisa mempertimbangkan lagi keputusannya.

"Eh Yorin, ada apa?" tanya Gezi ketika mendengar Yorin menyerukan namanya. Dia berbalik dan menatap Yorin yang terengah dengan bingung.

Masih butuh beberapa detik untuk Yorin menormalkan napas sambil menunduk, baru setelahnya dia menengadah menghadap Gezi. "Kemarin pas lo nggak di sini, Jason bilang ke gue masalah peringatan buat Buletin Kampus. Katanya kalau nggak ada tambahan anggota minimal sepuluh sampai akhir bulan depan, club gue bakal dibubarin."

Gezi masih menunggu, mengira ucapan Yorin akan ada lanjutannya, karena memang tidak ada pertanyaan atau kejanggalan di sana, hanya ada fakta yang sudah diketahui dua pihak. Tapi ternyata Yorin hanya diam saja sambil menatap Gezi dengan pandangan penuh harap. "Iya, itu bener, Rin. Maaf nggak bisa sampaiin langsung karena kemaren gue harus ikut debat. Akhir semester kemaren kita udah rapat buat beresin banyak hal, salah satunya club. Buat club-club yang kita liat kurang berkembang, begitulah keputusannya."

Yorin tidak merespons. Namun Gezi bisa melihat kekecewaan yang luar biasa di wajahnya. "Gue tau lo susah payah diriin dan pertahanin club ini, tapi kalau isinya itu-itu aja, kita juga harus jalanin sesuai peraturan yang udah ada, Rin. Gue harap lo bisa dapet jalan keluar dan rekrut sepuluh anggota baru sebelum tenggat waktu."

Dengan begitu, hilang sudah harapan Yorin. Kalau Gezi yang menurutnya dewasa dan bijaksana hingga dipilih menjadi precident saja sudah mengeluarkan keputusan seperti itu, maka tidak ada lagi kemungkinan melobi. Semua sudah diperhitungkan dengan tepat dan adil, dan yang bisa dilakukannya hanya mengikuti.

Yorin berbalik, untuk melanjutkan kegiatannya tadi. Namun di hadapannya, seseorang sedang berdiri tegak hingga mereka saling menghalangi jalan satu sama lain.

"Jangan halangin jalan gue." Yorin mendongak demi mendengar nada dingin dan angkuh yang dikeluarkan orang di hadapannya. Ditemukannya wajah Alard yang terlihat santai tapi penuh intimidasi.

"Jangan ngomong seakan ini jalan lo," sahut Yorin. Entah kesambet apa, saat ini dia sedang tidak ingin mengalah, apalagi pada Alard.

Tanpa disangka, Alard maju dan membuat jarak mereka jadi sangat dekat. Lalu dia menunduk dan menatap Yorin tajam. "Tapi gue bisa bikin itu jadi kenyataan kapan pun gue mau."

Yorin tidak bisa tidak mendengus mendengar nada angkuh yang dipakai Alard. "Kenyataannya belum. Ini masih jalan punya kampus."

Tatapan Alard semakin tajam, sedangkan Yorin kian mendongak tetap tak berniat mengalah. Untunglah di saat itu, Gisa dan Rhea datang untuk menyeret Yorin pergi. "Maaf ... maaf," gumam mereka ketika lewat di hadapan Alard.

"Kenapa?" tanya Gezi yang menghampiri Alard ketika pandangan cowok itu masih mengikuti arah di mana Yorin menghilang.

"Biasa, ada aja yang cari perhatian. Tapi kali ini caranya beda sama yang lain. Menarik."

👑👑

Rhea membuka ruang club Buletin Kampus sedangkan Gisa mendorong Yorin ke salah satu sofa di sana. Mereka berdua lalu duduk dan mengatur napas setelah bersusah payah menggeret Yorin ke sini. Temannya itu memang kurus, tapi kalau sudah bertekad, beratnya malah jadi kayak batu. Susah dipindah, susah diajak pergi. Bahkan diajak negosiasi pun jadinya cuma buang-buang waktu.

"Gue kasih lo saran buat deketin Alard, Rin. Bukannya malah cari masalah kayak gini," sambar Gisa membuka pembicaraan. Dia tidak mengerti jalan pikiran Yorin yang malah membuat masalah dengan orang yang mungkin bisa menjadi jalan keluar dari masalahnya.

"Gue nggak berniat ngikutin saran lo," sahut Yorin sambil membuka laptopnya. Lebih baik dia mengerjakan buletin edisi selanjutnya daripada harus berdebat masalah solusi aneh yang diberi Gisa. Mengingat-ingat Alard hanya buang-buang tenaga.

Rhea melihat kedua temannya bergantian. Berada di antara dua orang yang tidak sependapat memang menyusahkan. Dia jadi tidak tahu harus berbuat apa. Membela Gisa bisa membuatnya ditikam singa—baca Yorin--, sedangkan berada di pihak Yorin, sama saja memberi diri untuk dimakan harimau—ini Gisa--. Salahnya sendiri punya dua teman penguasa rimba.

Akhirnya Rhea memilih fokus pada ponselnya, mencari informasi terbaru. Dia membuka halaman web LARC in Your Click dan langsung menemukan berita utama dengan jumlah pembaca dan likes yang mencengangkan. Tanpa bisa menahan diri, dia langsung menyodorkan ponselnya pada Yorin.

"Ini gila sih, Rin. 3000 likes, it means yang bukan anak LARC juga baca ini!" seru Rhea heboh mengingat jumlah mahasiswa di kampusnya tidak mencapai angka itu. Gisa yang berniat mengasingkan diri di pojokan pun ikut berkerumun.

Gisa terperangah. Mulutnya menganga lebar melihat berita utama yang sebenarnya lebih banyak memuat foto daripada tulisan. Yorin pasti akan marah kepada siapa pun yang bertanggung jawab akan berita utama kala itu bila mereka membuat artikel semacam ini di buletinnya. Baginya, artikel itu harusnya memuat banyak informasi, foto hanya tambahan. Bukan kebalikan seperti ini.

"Mereka sebut yang kayak gini berita utama?" sindir Yorin dengan wajah 'tak habis pikir'nya sambil menggeleng-geleng.

Tuh, kan, batin Gisa. "Udah gue bilang, Rin, lo nggak bisa terus ada di prinsip dan kesukaan lo. Dunia itu berubah. Kalau lo mau jaga club ini, lo harus ikutin perkembangan yang ada. Lo harus bisa bikin sesuatu yang menarik perhatian banyak orang. Di LARC, bahkan sekarang di luar kampus kita pun, itu Alard. Nggak salah kok ngorbanin sedikit prinsip lo dan ikutin perkembangan dunia, asal jangan jadi hanyut aja nantinya. Dan gue yakin, lo bisa tahu takaran yang tepat dan kapan harus berhenti."

Lagi-lagi Yorin kebingungan. Namun ucapan Gisa kali ini cukup membuatnya tenang. Tahu ada orang yang memercayainya membuatnya lega. Walau hatinya belum sepenuhnya bisa menerima saran itu, dan masih merasa sangat berat untuk mendekati Alard. Tapi demi club ini, dia akan melakukannya.

Di saat itu, pintu ruangan club tiba-tiba berbunyi. Seseorang mengetuk dan membuat mereka bertiga saling berpandangan. Tidak ada jadwal kegiatan hari ini, harusnya tidak ada siapa pun yang datang, lalu siapa?

Rhea membukakan pintu dan seorang cowok tinggi berdiri agak menunduk sambil memegang kedua tali ransel hitamnya. Ketika dia mendongak, barulah terlihat wajahnya yang kecil tapi bersinar. Yorin menatapnya dan tanpa disadari senyumnya sudah terangkat. Wajah anak itu ganteng, tapi polos. Masih menyimpan sisa-sisa kekanakan.

"Selamat siang, Kak. Aku Lian Pangesta. Mau daftar di club ini. Masih bisa, kan?"

Pertanyaan Lian barusan membuat tiga cewek yang berada di dalam ruangan langsung saling melempar pandangan. Dari sorot mata masing-masing, ketiganya seolah serempak bertanya 'apa gue nggak salah denger?'. Lalu mereka kembali menatap Lian, yang masih berdiri di depan pintu sambil menunggu pertanyaannya dijawab.

Bagi Yorin, ini baru namanya air di tengah gurun pasir. Bagi Gisa, ini keajaiban. Bagi Rhea, ini pengalaman surreal. Gila aja mereka bisa sering lihat orang ganteng di clubnya. Baru kali ini dia merasa beruntung punya teman kayak Yorin yang mendirikan club Buletin Kampus. Makasih banyak, Rin, bisik Rhea dalam hati sambil terus mengedip-ngedip menatap Lian.

👑👑👑

Malam minggu pada ngapain? Yang ga tau mau ngapain, tuh kukasih 3 cogan buat dipandangin, baik kan? 😆

Tim gapapa ditatap tajam Alard atau lebih suka muka polos Lian? 😂


Follow2 ya IG buat yang belum huehehehe

Salam dari yang lagi nunggu Wooseok jemput ke rumah,
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro