|11| The Day
Dalam tindakan, tak bisa kau selipkan dusta
Karena katanya, apa yang kau rasa
Itu pula yang akan tercipta
👑
Rhea dan Gisa langsung berlari menuju ruang club Buletin Kampus begitu tiba di kampus. Bahkan tanpa chat dari Yorin tadi pagi pun, mereka mengingat dengan jelas hari apa ini. Sudah seminggu setelah Alard memberikan tantangan pada Yorin dan kini temannya itu siap tidak siap harus menampilkan pertunjukan.
"Rin!" seru Rhea dan Gisa begitu membuka pintu ruangan club. Keduanya berdesakan di pintu yang sudah terbuka sempurna. Heran, padahal mereka sama-sama berbadan kecil, dan pastinya tidak seukuran pintu club, tapi keduanya malah seolah tersangkut di sana hingga sulit sekali untuk lolos ke dalam ruangan.
"Geser, Rhe, tempat lo masih luas!" perintah Gisa sambil menunjuk ruang yang masih kosong di samping kiri Rhea.
Mereka terlalu fokus pada Yorin sejak tiba di kampus sehingga begitu membuka pintu, keduanya langsung berpusat di sisi kanan, tempat temannya itu mendudukkan diri. Dan karena panik, tidak ada yang menyadari refleks tubuh masing-masing, sampai Gisa bicara tadi. Yorin hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkah kedua temannya. Sedangkan Lian dan Junior tertawa kecil. Bisa dibilang mereka beruntung bergabung di club ini. Kedua seniornya itu suka bertingkah aneh dan akhirnya seperti membuat lelucon walau tidak bukan itu niatnya.
"Are you ready for today, Rin?" tanya Rhea segera setelah berhasil lolos dari pintu yang mengimpitnya dan Gisa.
Yorin mengangkat bahu acuh tak acuh. Sulit menggambarkan dan menjelaskan apa yang dia rasakan hari ini. Bisa dibilang, dia hanya pasrah. Kalau memang ini jalan yang tepat untuk membuat clubnya lebih dikenal oleh seluruh penghuni kampus, maka jadilah berhasil pertunjukannya hari ini. Tapi kalau memang bukan jalannya, dia hanya harus memutar otak untuk menemukan cara lain. Walau saat ini tidak ada apa pun yang terpikir olehnya.
"Udah lumayan kok belajarnya Kak Yorin," Lian yang mewakili Yorin menjawab pertanyaan tadi.
"Iya, tadi Kak Yorin udah coba mainin gitarnya, udah enak kok," tambah Junior terlihat meyakinkan, membuat Gisa dan Rhea saling memandang lalu mengangguk-angguk pelan.
Kemudian dengan natural, Yorin mulai memetik gitarnya. Perhatian seisi ruangan langsung tertuju ke sana. Tanpa diduga, senyum Gisa terangkat begitu saja. Temannya yang satu ini memang cerdik. Sebenarnya kelihatan jelas, kunci yang dipakai Yorin itu-itu saja. Tapi dia menyiasati dengan permainan tempo lambat dan memetiknya sesekali. Dan ekspresinya itu lho, menghayati banget. Mendukung untuk suasana sendu yang dia ciptakan. Kalau begini caranya, Gisa tidak perlu khawatir. Pertunjukan nanti pasti berjalan lancar.
"Terus kapan rencananya lo mau tampil, Rin?" tanya Gisa begitu Yorin selesai menunjukkan permainan singkat gitarnya.
"Tadinya sih mau siang, pas masa paling ramai di kampus. Kan pasti gampang jadinya menarik perhatian orang-orang. Tapi habis gue tanya Gezi, ternyata mereka masih ada jadwal kuliah siang. Kan nggak mungkin gue bikin pertunjukan kalau yang suruh nggak ada. Dapat banyak tepuk tangan juga percuma jadinya," jelas Yorin panjang-lebar.
Sembari menjawab tadi, sebenarnya Yorin tidak berhenti melirik Rhea karena pembicaraan itu membawa nama Gezi, walau hanya satu kali dan tidak penting. Tapi sesuai dugaan, Rhea langsung bereaksi mendengar nama precident LARC itu. Yorin jadi semakin yakin kalau keputusannya untuk tidak memberitahu Rhea bahwa Gezi sempat menanyakannya adalah pilihan yang tepat.
"Ya udah, rehearsal sekarang, Rin," ujar Rhea, berusaha mengalihkan perhatian setelah berhasil menormalkan kembali ekspresinya.
Dengan segera, Yorin mengencangkan kembali pelukan pada gitarnya untuk membantu Rhea mengalihkan perhatian. Perlahan dia memulai intro dengan petikan beberapa nada. Lalu bibirnya mulai terbuka, melafalkan puisi yang sudah dia hafal. Sebait demi sebait, mengikuti alunan melodi yang dimainkannya.
Begitu Yorin selesai membacakan puisi dengan iringan gitarnya, semua yang ada di ruangan bertepuk tangan, kecuali Gisa. "Rin, lo mau nampilin musikalisasi puisi, kan? Kok gini?"
"Emang kenapa, Gis?" Yorin bertanya bingung.
"Harusnya kan puisinya lo nyanyiin bukan cuma lo bacain pake tempo lambat sambil diiringin musik," jelas Gisa sambil membelalak.
Mendengarnya, mata Yorin ikut melebar. "Lah gue kira musikalisasi puisi kayak gini, Gis." Lalu dia beralih ke orang-orang lain di ruangan. "Di otak kalian, musikalisasi puisi kayak gimana?"
"The one you do, Rin. Dari dulu tiap ada yang nyebut musikalisasi puisi, yang kebayang sama gue ya kayak gitu. Bacain puisi diiringin musik. Makanya gue saranin itu buat lo," sahut Rhea yang terlihat sama bingungnya.
Karena gemas dengan teman-temannya yang salah persepsi, Gisa langsung mengambil ponselnya dan berselancar di Youtube. Dengan mengetikkan kata musikalisasi puisi, video yang ingin diperlihatkannya pada Yorin dan Rhea langsung bermunculan. Dari sekian banyak pilihan, dia langsung mengeklik yang paling atas dan menunjukkan pada mereka. Tanpa disuruh, Lian dan Junior ikut berkumpul di depan layar ponsel Gisa.
Setelah video yang Gisa tunjukkan selesai, bahu Yorin terkulai lemas. Hasil latihannya selama seminggu ternyata benar-benar salah. Kalau disuruh membuat puisi itu menjadi lagu sekarang, jelas dia tidak akan sanggup. Napasnya diembuskan kencang. Lalu sekarang dia harus bagaimana?
👑👑
Tenang, Rin, udah gue sampein kok. Bentar lagi kita keluar kelas, ya.
Yorin menatap tegang halaman chat-nya dengan Gezi. Karena tidak tahu nomor Alard, dan sampai sekarang pun belum ingin tahu, dia memilih menitip pesan pada Gezi. Meminta cowok itu untuk menyampaikan kalau pertunjukan yang direncanakan akan berlangsung sore, setelah mereka selesai kelas terakhir.
Harus diakui, walau antara niat dan tidak, Yorin tetap merasa tegang. Dia bukan tipe orang yang bersembunyi kalau melihat orang banyak, tapi juga tidak banci tampil sampai bisa mengabaikan rasa tegang dengan mudah. Apalagi dengan hal baru baginya, gitar. Melihat orang-orang berlalu-lalang di depan mini hall lapangan ini saja membuat perutnya terasa bergejolak. Tangannya terus bergetar. Sementara mulutnya tak henti menghela dan mengembuskan napas dengan kencang.
Dengan tangan bergetar, Yorin melakukan mic test dengan mengetukkan ujung jarinya di sana. Dari jarak yang cukup jauh, tapi tetap paling depan, Rhea, Gisa, Lian dan Junior berdiri sambil mengacungkan kepalan tangan lalu membisikkan kata semangat tanpa suara. Saat melihat Gezi keluar dari lobi kampus, Yorin menarik napas dalam-dalam sekali lagi lalu mulai memetik gitarnya.
Pada petikan pertama, orang-orang yang berlalu-lalang mulai memelankan langkah. Yorin memberanikan diri melirik ke arah Gezi berdiri. Di sampingnya, Alard memosisikan diri dengan gaya andalan, tangan kiri di dalam saku. Sedangkan pandangannya tajam, penuh intimidasi selayaknya juri dalam audisi.
Tidak ada lagi yang aneh ketika
Yorin memulai bait pertamanya dengan perlahan. Susah payah dia menjaga tempo permainan gitarnya, karena hatinya menuntut untuk cepat-cepat menyelesaikan semua ini. Tapi orang-orang yang tadi memelankan langkah malah tetap pergi, bukan berhenti dan menonton seperti yang diharapkannya.
Keadaan itu membuat Yorin menelan ludah dengan susah payah. Saat ini rasanya dia sedang menjelma jadi makhluk kecil di tengah kerumunan rimba. Semua yang ada di sekitarnya siap menerkam. Cukup lama dia terpaku, hingga pandangannya bertemu dengan Lian. Dari garis terdepan penonton, cowok itu menatap antusias. Kepalanya mengangguk satu kali, berusaha meyakinkan Yorin dengan apa yang sudah diucapkannya sebelum ini.
"Yang akan Kak Yorin lakuin ini usaha, dan itu yang terpenting. Mau hasilnya bagus atau nggak, urusan nanti. Kalau Kak Yorin tulus ngelakuinnya, orang-orang pasti akan ngerasain itu, kok. Kalau tegang, tutup aja matanya, Kak. Semua akan menghilang dan dunia jadi ada di genggaman Kak Yorin. Semangat!"
Semua ucapan itu terngiang di kepala Yorin, membuatnya ikut mengangguk bersama Lian. Senyumnya mulai terangkat lalu dia menutup mata perlahan. Tulus. Semua orang pasti bisa merasakannya. Kata-kata itu diulangnya terus dalam hati hingga mulutnya kembali terbuka untuk melanjutkan potongan puisi yang tertunda.
Memeluk telepon genggam di balik selimut
Adalah biasa
Tidak ada lagi yang aneh ketika
Semut di dalam sereal
Adalah biasa
Tidak ada lagi yang aneh ketika
Adalah biasa
"Puisi oleh Gratiagusti Chananya Rompas dalam bukunya yang berjudul Non-Spesifik." Yorin membuka mata diiringi tepuk tangan mulai berdatangan. Tidak seramai yang dia duga, dan sepertinya tidak memenuhi apa yang Alard inginkan. Entahlah. Yang pasti saat ini hanya satu, cowok itu sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi.
👑👑👑
Telat sekali updatenya huhuhu
Part ini aku ga nambahin foto karena bingung mau ngasih foto apa 😅
Ini pikiranku sama kayak Yorin dll tentang musikalisasi puisi, kirain puisinya cuma dibaca, taunya pas browsing youtube pada dinyanyiin 😂
Kalian gimana?
Kira2 Alard nganggep Yorin sukses apa ga ya? 🤔
Btw di mulmed aku nambahin mvnya X1 yang baru keluar, kalau belum nonton, cobain deh, lagunya enak, mvnya keren *promosi 😝
Ditunggu komen2 dan votenya yaaaa
Salam dari fangirl yang lagi sibuk ngikutin kegiatan X1,
junabei
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro