Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|10| Sudut Kenangan

Isi hati bukan hal yang mudah ditebak

Ia bisa saja terlihat sempurna dalam letak

Namun dalam tiap kenangan yang berpetak

Mungkin juga tersimpan kisah yang retak

👑

"Ti ...," Yorin berhenti sejenak setelah memetik kunci G di gitarnya, kemudian menggeleng. "Ti ... dak."

Akhirnya dia berhasil menemukan kunci yang pas untuk suku kata pertama, tapi ketika merambah ke suku kata kedua, gelengannya kembali terlihat. Yorin kembali mencoba kunci yang lain, berkali-kali hingga merasa cocok. Namun, ketika beranjak lagi ke kata selanjutnya, lagi-lagi tidak terasa pas.

Yorin menghela dan mengembuskan napasnya dengan kencang. Hampir saja dia membanting gitar yang ada di pangkuannya kalau tidak cepat-cepat menahan diri. Untuk menenangkan diri, dia mengempaskan punggung ke pinggiran kasur, berharap dengan begitu rasa kesalnya karena nada-nada sederhana yang ingin dibentuknya bisa sedikit berkurang. Namun nyatanya tetap gagal.

"Kenapa nemuin nada yang pas susah banget, sih?!" keluhnya pada diri sendiri.

Sebenarnya sih masalahnya bukan pada gitar atau nada. Kalau saja Yorin ahli, tentu saja tidak akan sulit menemukan deretan nada untuk memenuhi puisi yang ingin dibacakannya nanti, yang panjangnya tak seberapa. Mendadak Yorin bersyukur karena memilih puisi yang tepat. Tadinya dia ingin membacakan puisi hasil karyanya sendiri, supaya terkesan lebih menarik. Tapi kalau dengan puisi yang sudah ada saja dia kewalahan begini, apa kabar kalau harus menambah kesusahan dengan bikin puisi sendiri?

Karena merasa sesaknya belum juga hilang, Yorin memilih keluar kamar dan mengambil minum untuk sedikit menyegarkan diri. Pikiran untuk berhenti belajar gitar dan tidak jadi menampilkan pertunjukan berkelebat tanpa henti di otaknya. Sudah berulang kali, sejak awal juga sebenarnya, tapi entah kenapa dia masih saja berusaha bertahan. Padahal ini jelas-jelas hal yang cukup gila dan "nggak Yorin banget" kalau kata Gisa.

Ketika keluar kamar menuju dapur, langkahnya terhenti di ruang tamu. Di sana, ada sekian banyak foto yang berderet untuk menghiasi meja kecil di sudut. Juga ada beberapa di dinding dekat televisi. Tanpa sadar, Yorin mendekat ke sana. Matanya menjelajah di tiap foto yang terpampang. Letaknya sempurna, tapi kisahnya tidak.

Dari sederet foto itu, Yorin hanya fokus pada salah satunya. Di foto itu, keluarganya lengkap. Ayah dan ibunya duduk di sofa besar dengan senyum lebar, sedangkan dia berdiri di belakang dengan senyum yang tak kalah lebarnya. Di sana, saat itu, mereka semua tampak begitu bahagia. Memang benar, sebelum semuanya terjadi dan senyum yang dulunya selalu memenuhi rumah ini perlahan memudar.

Yorin kembali mengembuskan napas. Matanya dibuka lebar, bahunya diangkat perlahan. Tidak ada gunanya mengenang kesedihan, saatnya beranjak. Akhirnya dia memilih meninggalkan sudut kenangan di ruang keluarganya, dan berjalan menuju dapur. Namun, lagi-lagi langkahnya tertambat sebelum berhasil tiba.

Kali ini di kamar ayahnya yang sedikit terbuka. Yorin mengintip dari balik celah, ayahnya duduk menghadap jendela dengan pandangan menerawang. Satu detik ... dua detik ... bahkan hingga beberapa detik kemudian, ayahnya masih saja bergeming. Tatapannya tidak teralih, bahkan tidak terusik dengan dirinya yang mengintip di luar, padahal biasanya ayahnya itu sangat sensitif dengan suara sekecil apa pun.

Dengan semua kenangan yang dilihatnya di foto-foto yang memenuhi ruang keluarga tadi, dan melihat keadaan ayahnya yang seperti sekarang, Yorin sadar kenapa dia mengikuti permintaan gila Alard sejak awal. Kini dia tahu, apa yang sebenarnya dia perjuangkan. Dan dengan semua itu, dia tidak bisa berhenti begitu saja. Tidak boleh, bahkan. Semua yang diperjuangkannya tidak boleh sia-sia begitu saja. Dunia harus tahu, apa yang ingin ditegaskannya.

👑👑

Lian baru selesai mandi dan hendak meraih gitarnya untuk bermain-main ketika ponselnya berbunyi. Dia hampir tidak percaya saat melihat nama Yorin di layar, apalagi cewek itu menelepon, bukan hanya mengirim chat seperti biasa. Dan hal yang lebih mengejutkan terjadi setelahnya.

Dia sampai harus menegaskan berkali-kali saat Yorin mengatakan, "Lian, lagi sibuk nggak? Kalau nggak, bisa ketemu? Gue ke rumah lo, deh. Atau ketemu deket sana kalau emang nggak nyaman."

Dengan begitu, Lian bergegas mengurungkan niatnya untuk bermain gitar dan segera menghampiri Yorin. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di dekat rumah Yorin, karena dari nada bicaranya, Lian punya firasat kalau cewek itu sedang sedih atau minimal tidak bersemangat. Jadi dia yang menghampiri sepertinya ide yang lebih bagus.

"Lian!"

Terdengar seruan dari sebelah kanan, dan Lian yakin betul itu suara Yorin bahkan tanpa harus menoleh. Dengan cepat dia bergegas ke sana sambil berlari kecil. Susah payah dia menjaga langkahnya untuk mengurangi guncangan. Begitu dia tiba di hadapan Yorin, cewek itu tersenyum, tapi Lian sadar betul itu tidak tulus. Ada kesedihan yang bersembunyi di balik senyum yang dipaksakan barusan.

"Maaf ya ganggu lo di jam luar ngampus," ujar Yorin dengan raut wajah bersalah.

Lian tersenyum sambil menggeleng perlahan. Lalu dengan ragu, dia mengeluarkan sesuatu yang dari tadi disembunyikannya di balik punggung. "Ini, Kak. Tadi di jalan aku liat penjualnya dan langsung inget Kak Yorin suka ini."

Mata Yorin melebar saat Lian menyodorkan pempek abang-abang yang disebutkannya saat mereka berada di Dreamy Land tempo hari. Satu, dia tidak menyangka Lian akan mengingat apa yang sudah dikatakannya. Dua, dia bahkan dikejutkan dengan kebaikan hati cowok itu. Sempat-sempatnya dia membeli dulu sembari menuju sini. Dia mau datang saja, Yorin sudah bersyukur sebenarnya. Tapi tidak bisa menampik, dia juga kesenangan saat diberi makanan kesukaannya di kala mood-nya sedang sangat buruk seperti sekarang.

"Makasih banget. Astaga. Nggak nyangka lo inget."

Lian hanya tersenyum melihat kehebohan Yorin saat mengambil pempek yang dia sodorkan. Kesenangannya barusan memang tidak dibuat-buat, Lian yakin akan hal itu. Tapi kesedihan yang menggelayuti Yorin masih jelas tidak bisa tergeser. Sepertinya kadarnya memang terlalu besar karena selama mengenal cewek itu, Lian tidak pernah melihatnya sedih, apalagi seperti sekarang. Dan jujur saja, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak biasa menghadapi orang yang bersedih, apalagi yang biasanya ceria seperti Yorin.

Pada akhirnya, yang Lian lakukan hanya memberanikan diri duduk perlahan di samping Yorin. Amat perlahan sampai-sampai cewek itu tetap fokus pada makanannya dan tidak menoleh sedikit pun pada gerakan canggung yang Lian lakukan. Setelah berhasil duduk, dia menghela napas, lagi-lagi perlahan. Yang ada di pikirannya, orang yang sedang sedih itu sangat tidak mau terganggu. Dan itu yang berusaha dilakukannya saat ini.

"Lian, lo pernah nggak merasa harus berjuang buat sesuatu, tapi capek banget karena rasanya nggak akan ada yang pernah ngeliat usaha lo. Seluruh dunia udah milih memalingkan wajah ke hal lain dan nggak ada tempat buat lo sama sekali. Tapi lo tahu, lo tetap harus berjuang."

Ada nada yang sangat menyayat hati dari ucapan Yorin tadi, membuat Lian tidak bisa tidak bersimpati. Walau nyatanya, dia tidak tahu persis apa maksud cewek itu. Apa yang diperjuangkannya? Club Buletin Kampus? Bukankah itu sudah menuju ke arah yang lebih baik, karena ada beberapa orang yang sudah mendaftar untuk jadi anggota baru?

"Aku rasa semua orang punya apa yang pengin mereka perjuangin sih, Kak. Dan tiap perjuangan pasti punya halangannya masing-masing. Yang pernah kudenger, semua orang menghadapi medan perangnya sendiri-sendiri. Di medan perang itu, cuma diri kita yang ada dan bisa nolong. Walau orang lain ngulurin tangan, kalau kita nggak milih buat bangkit, selamanya nggak akan bisa. Waktu itu ajaib, Kak. Nggak ada yang tahu kapan dunia akan malingin wajah ke arah kita."

Secercah senyum menghampiri hati Yorin yang menghangat ketika mendengar ucapan Lian. Tidak salah memang dia menelepon cowok ini. Kedewasaannya lah yang memang dibutuhkan di saat-saat seperti ini. Tapi anehnya, memang manusia cenderung bebal. Walau sudah mendengar nasihat dan tahu apa yang seharusnya dilakukan pun, masih tidak mau bergerak.

"Karena nggak ada yang tahu kapan dunia memalingkan wajah, gimana kalau waktu itu nggak pernah datang dan kita udah keburu capek banget? Kayak kata lo, waktu itu ajaib. Kapan harus terus berjuang dan berhenti, nggak ada yang tahu pasti. Gimana kalau udah berjuang pun, semuanya sia-sia?" bantah Yorin, tepatnya, bantah hatinya.

"Kadang kita berjuang juga bukan karena kita mau sih, Kak, tapi karena nggak ada lagi yang bisa kita lakuin. Kalau udah berjuang buat sesuatu sekian lama, itu akan jadi kebiasaan yang melekat dan susah dilepas. Ketika kita tinggalin, rasanya kita bukan lagi diri kita sendiri. Kayak berasa ilang aja gitu identitas kita. Jadi mungkin emang batasnya itu diri kita sendiri dan keinginan kita. Kalau emang masih ngerasa belum bisa ngelepas apa yang kita perjuangin, jangan berhenti. Tapi kalau capek, istirahat aja dulu, Kak. Katanya, impian akan nunggu kita dan siap dikejar lagi kapan pun kita siap."

Benar, itu juga yang pernah Yorin dengar. Impian bisa menunggu dan akan mengejar kita. Tapi masalahnya, apa impian yang dipilihnya itu benar?

👑👑👑

Mari kita munculkan sisi sendu Yorin di part ini huehehe
Kira2 ayahnya kenapa ya? 🤔

Kalau kalian, pernah ga ngegalau harus terus berjuang atau berhenti buat impian atau hal yang dipenginin?

Ditunggu komen dan votenya yaaa

Salam dari yang kemaren kena triple attack karena wooseok,
junabei

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro