Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kepergian : 23

Suara kebahagiaan menghiasi seisi lorong. Kedatangan Sanja setelah beberapa saat menghilang membuat teman-temannya menyambut dirinya dengan senang hati.

Terutama Erza, Afzar, dan Anan yang tentu saja menjadi pemeran utama dalam perayaan kecil ini. Mereka memberikan pelukan juga salaman atas keselamatan Sanja. Memang, tak semuanya adalah orang-orang yang berdekatan dengan Sanja tetap saja. Mereka tak dekat dengan Sanja, bukan berarti tak peduli padanya, bukan?

Namun, perjalanan dan kepedulian itu hanyalah hiburan singkat bagi laki-laki ini. Sebab lagi-lagi yang ada di pikirannya adalah hal lain.

"Widih, si kasep udah gagah berani lagi aja, nih." Itu Erza yang merangkul pelan pundak Sanja dan hanya dibalas dengan senyuman singkat oleh Sanja.

Hari itu adalah beberapa hari sebelum pengumuman akan ujian akhir semester tersebar di sana. Beberapa dari mereka sedang mempersiapkan apa saja yang akan mereka latih dan tunjukkan akan usahanya selama satu semester di tahun pertama.

Sanja meraih salah satu kursi yang tak jauh dari sudut ruangan, disusul Erza dan Anan yang terduduk di samping kiri kanannya.

"San?" Panggilan pertama itu ia dengar dari sudut kanannya. Erza yang berada di sana. Ia memalingkan pandangan kepada Erza serta meminta jawaban.

Dengan perlahan Erza memberikan ponselnya yang dibiarkan menyala. Diraihnya oleh jemari Sanja hingga ia menangkap jelas apa yang terpampang di layar sana.

Sebuah nama yang cantik terlihat jelas di samping kalimat tanda tanya yang buruk. Dadanya terasa sesak, entah bagaimana tetapi Sanja benar-benar merasa perasaannya semakin hilang.

"Gue dapet info itu dari temen gue yang satu jurusan sama Ami."

Sanja melihat secara jelas satu nama terasa pedih di bawah surat yang berada di foto tersebut. Sebuah nama yang seperti ia yakini bahwa itu benar-benar dia.

"Ami ... Beneran pergi?" Laki-laki itu masih menundukkan kepalanya dengan wajah yang semakin sendu. Anan yang berada di sisinya hanya menunggu, begitu pun Erza yang dengan pelan menjelaskan apa yang harus ia utarakan.

"Cuti satu semester nggak bisa disebut pergi, San. Gue yakin dia pasti balik lagi."

Sakit luar yang dideritanya memang lebih pedih dari apa pun, akan tetapi mengapa berita singkat ini begitu menyiksa dirinya.

Untuk pertama kalinya, Sanja merasakan ini. Merasakan rasanya kehilangan dari orang lain yang berhasil membuka pintu hatinya. Rasanya hampa dari sosok wanita yang sederhana dengan tutur lembutnya dan sejuta lukanya.

Pikirannya menerka, bagaimana jika saat itu ia terus berjuang. Bagaimana jika seharusnya ia tetap mempertaruhkan gadis itu. Bagaimana jika memang, Sanja yang terpilih untuk mendekap Ayyami yang begitu rapuh?

Ia tak bisa mencari jawabannya. Sebab sang pemilik pertanyaan tersebut sudah terlebih dahulu diterpa luka lama.

***

Lagi dan lagi, Sanja tak bisa fokus akan apa yang ada di depannya. Pikirannya kosong dan kedua temannya memang tak berminat untuk menyadarkannya. Hingga jam kelas pun usai, mereka berburu-buru untuk segera menyelesaikan pekerjaan dan bergegas keluar.

Dengan pelan, Sanja meraih tas juga jaketnya yang tersimpan di bawah lalu melangkah dengan berat. Niatnya ia hanya akan kembali kepada tempat pulangnya, sampai langkahnya terpaksa terhenti oleh kedua pasang sepatu terlihat menghalangi dirinya. Ia memandang perempuan dengan tatapan penuh harap kepada Sanja.

Itu Piya, satu-satunya wanita yang ia ingat pernah bersama dengan Ayyami. Sanja mengamati dirinya juga apa yang ada digenggamannya. Hingga utaraan dirinya hanya mampu Sanja dengarkan.

"Aku nggak akan basa-basi, aku yakin kamu pasti baik-baik saja. Tapi kamu perlu tahu bagaimana Ami." Satu lengannya ia bawa untuk meraih jemari Sanja dan ditaruhnya sebuah kertas berwarna kecokelatan tak terlalu besar yang terlipat rapih sudah berhasil berpindah kepemilikan.

Piya pun meninggalkan Sanja beserta apa yang sudah seharusnya ia sampaikan. Begitu pun Erza dan Anan yang membiarkan dirinya untuk lebih tenang dengan sendirinya. Membiarkan Sanja kembali melangkah kepada tempat terakhir saat ia dan Ayyami masih mampu duduk berdampingan.

Teruntuk sosok yang aku doakan keselamatannya, Sanja.

Sanja, jika surat ini sampai di tanganmu itu berarti do'a dari orang-orang terkasihmu sudah terkabulkan, termasuk aku.

Sanja, aku tahu pertemuan terakhir kita memang bukan hal baik yang didapat tetapi aku harap kamu hanya mengingat apa yang begitu bahagia sudah kita lalui, ya? Meski hanya sekadar kita yang tak sengaja berpapasan, kamu yang mengajak aku ke studiomu, atau kamu yang tiba-tiba saja menggenggam tanganku untuk melangkah bersama.

Sanja, aku baik-baik saja. Jika aku tak baik-baik saja, aku tak akan bisa menulis ini untuk kamu. Aku lebih baik kabur kembali dari sakit ini dan aku tak ingin seperti itu lagi, San. Aku mau sembuh, aku mau bangkit lagi.

Kamu, adalah salah satu alasan aku untuk berdiri kembali, Sanja.

Maaf, selama kamu dirawat aku tak bisa menemuimu, aku takut. Takut aku menyalahkan kembali diri sendiri atas apa yang sudah terjadi, atau lebih parahnya kamu benar-benar menyalahkan aku.

Tanganku masih selalu bergetar jika mengingat kamu. Takut jikalau kamu tak kembali sadarkan diri, meski aku tak bisa mengetahui bagaimana kamu. Tapi aku akan selalu mendoakan kamu, percayalah.

Sanja, terima kasih. Untuk perjalanan singkat yang pernah kita lalui. Aku mengerti, semua yang sudah terlewati adalah cara agar kita sama-sama melangkah lebih baik lagi, benar? Meski ternyata akhir dari cerita ini tak sesuai dengan apa yang kita inginkan, tetapi percayalah akan ada sesuatu yang besar menjumpai kita di depan sana.

Kamu percaya, kan?

Jaga kesehatanmu dan berbahagialah, Sanja.

Salam hangat, Ayyami. 

Tbc!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro