#7. Flashback
» Flashback «
Focus: Yoongi & Her
2068 words
#
Keadaan flat itu sangatlah jauh dari kata hangat. Keenam lelaki itu sudah saling mengintip dibalik pintu kamar yang mengarah ke ruang tengah—bahkan Jungyeon dan Dahyun pun sudah ikut bergabung untuk menguping. Sementara di ruang tengah, tinggalah Yoongi bersama wanita itu. Keduanya masih belum buka suara. Baik Yoongi maupun sang wanita itu sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama.
Yoongi menarik dan menghembuskan napasnya, ia masih belum melirik wanita itu. tangannya bersidekap dengan pandangan lurus ke depan.
"Ekmm—bagaimana keadaan kalian?" Yoongi akhirnya angkat bicara.
Wanita itu sedikit melirik Yoongi lalu kembali melihat ke bawah—entah kemana perginya amarahnya itu, begitu melihat Yoongi, rasa takutnya malah mendominasi. "Emm—ya, begitulah, aku di usir dari rumah dan—masalah anak ini—" Wanita itu mengelus perut buncitnya, "Aku masih belum berani memeriksa kandunganku."
Yoongi mengusap wajahnya gusar, pikirannya sangat kacau. Andai saja ia tidak mabuk saat itu. Andai saja ia lebih bisa mengontrol nafsunya. Mungkin hal ini tidak akan terjadi. Ya, andai saja, tapi sekarang, nasi sudah menjadi bubur, ia tidak bisa mengelak dari semua ini.
Rasanya, percuma saja untuk menghindar, karena sekarang pun, wanita yang sangat ingin dihindarinya itu malah meminta pertanggung jawaban dirinya.
"Darimana kau tahu kalau aku ada disini?"
"Apa itu penting?" Wanita itu kini menatap Yoongi kecewa. "Bukankah wajar bagiku untuk meminta pertanggung jawabanmu setelah kau merusak masa depanku?" Matanya sudah berkaca-kaca, ia tahu kalau Yoongi itu sangat acuh tapi—rasanya tetap sakit memikirkan kalau pengorbanannya selama ini hanya dianggap beban oleh lelaki itu.
"Bukan begitu Jihyo-ya!" Yoongi mengelak, ia menatap wanita itu dengan tatapan frustasi. "Apa kau tidak tahu bagaimana kacaunya aku saat ini? aku bahkan belum punya pekerjaan tetap lalu kau datang untuk meminta pertanggung jawaban, kau fikir mencari uang semudah memetik daun?!"
"Kau pikir hanya kau saja yang frustasi?! Aku bahkan jauh lebih tersiksa! Orangtuaku mengusirku lalu kau malah kabur! Kalau aku tidak memikirkan nasib anak kita, mungkin aku sudah gantung diri!" Air mata Jihyo sudah tak dapat di tahan. Ia menangis sesegukan, sembari menggigit bibir. Meratapi nasibnya yang sudah hancur lebur.
"Hyung—bagaimana ini? apa kita akan membiarkan mereka terus bertengkar seperti itu?" tanya Jungkook pada kelima hyungnya. Kini tinggal dirinya bersama Taehyung dan Jimin yang mengintip. Sementara Jin, Namjoon dan Hoseok tengah berdiskusi. Apakah mereka akan mulai ikut campur dan melerai kedua orang itu atau justru membiarkan keduanya menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tapi jika melihat keadaan di ruang tengah sana yang kacau—sepertinya opsi pertama lebih baik, walaupun itu artinya, mereka harus bersiap dengan amukan Yoongi. Siapapun tahu, kalau lelaki pucat itu terlihat sangat menyeramkan saat marah. Apalagi ini masalah pribadinya, lelaki itu pastilah sangat sensitif.
"Kasihan wanita itu jika kita hanya tinggal diam," Jungyeon berkomentar, yang langsung diangguki Dahyun.
"Tapi bagaimana caranya kita melerai mereka? Yoongi itu sangat keras kepala jika sedang marah." Hoseok masih ingat saat ia lupa membelikan Yoongi underwear, lelaki pucat itu sampai mengancamnya tidak akan diberi jatah makan jika ia tidak membelikannya saat itu juga.
Namjoon berpikir, disaat seperti ini, memang dialah yang paling bisa diandalkan. Jin pun sama pentingnya, tapi Namjoon selalu punya cara yang lebih baik untuk kedua pelah pihak.
"Masalah Yoongi biar aku, Hoseok dan Jin Hyung yang mengurusnya, sedangkan wanita itu, biar Jungyeon dan Dahyun yang menenangkannya, bagaimana?" usul Namjoon, yang langsung di sepakati.
"Lalu kami?" Tanya Jimin, Taehyung dan Jungkook berbarengan.
"Kalian sebaiknya tidur saja, besok ada jadwal kuliah pagi, kan?" Tanpa menunggu lagi, kelima orang itu langsung ke luar dari kamar menuju ruang tengah, sementara ketiga pemuda itu mencebik kesal. Tidak terima walau perkataan Jin memang ada benarnya.
Karena sudah sangat malam, pada akhirnya, Jihyo dibawa ke flat Jungyeon. Sementara Yoongi tengah menjalani interogasi intensif dari ketiga pemuda itu. Jungkook, Jimin dan Taehyung sudah tidur, walaupun sempat menolak, nyatanya, mereka tetap menuruti perintah sang lelaki tertua.
"Jadi—itu sebabnya kau tiba-tiba ingin tinggal bersama kami?"
Yoongi masih tidak mau menatap ketiga pemuda yang kini duduk mengelilinginya. Ia menghela napas, meratapi kebodohannya.
"Ya—begitulah."
"Gila!" Jin tidak habis pikir. "Bagaimana bisa kau berpikiran sempit seperti itu? ayah ibumu bagaimana? Mereka sudah tahu?"
Yoongi terdiam, lalu menggeleng. "Aku kabur dari rumah."
Giliran Namjoon yang berdecak. "Hyung! Sebelumnya aku sangat mengagumimu, tapi kini—aku bahkan merasa malu mengenalmu."
Yoongi menunduk. Ia tak membantah karena semua yang diucapkan mereka memang benar. Ia memang bodoh, ia—sampah.
Menyadari situasi yang semakin keruh, Hoseok bergeser mendekat ke arah Yoongi, ia menepuk bahu lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu dengan hangat. "Aku percaya, Hyung pasti memiliki alasan melakukan semua itu tapi—coba Hyung pikirkan, bagaimana perasaan Jihyo saat ini? dia pasti yang paling menderita dibandingkan siapapun."
Hoseok benar. Sebagai lelaki, ia bisa dengan mudahnya untuk kabur tapi Jihyo—wanita itu bukan hanya kehilangan masa depannya, tapi ia juga kehilangan kepercayaan orangtuanya dan yang terpenting, ia juga tengah mengandung buah hatinya—buah hati mereka berdua.
Namjoon juga mendekat, mengisi celah di samping kiri Yoongi. "Hyung, kami melakukan ini semua bukan untuk menghakimimu, justru, kami ingin membantu. Ya—walaupun aku sangat kecewa padamu, tapi setidaknya, kau masih memiliki kami untuk menghadapi semua ini."
"Itu benar. Yoongi-ah, mungkin kami juga tidak bisa membantu banyak tapi kami akan membantu semampu kami. Kau jangan merasa terpuruk sendiri." Jin juga ikut memberi wejangan.
Sementara Yoongi hanya mendengus geli, sejak kapan teman-temannya jadi bijak begini? Ia jadi merasa malu pada dirinya sendiri.
"Ck, kalian ini. kupikir kalian sudah tidak mau menerima sampah sepertiku ini."
"Hey—Hyung! Apa yang kau bicarakan?! Tentu saja kami tidak akan membuangmu, memangnya kita sudah berteman berapa tahun? Kami hanya kecewa karena kami baru mengetahuinya sekarang."
Yoongi hanya mendengus geli mendengar protesan Hoseok. "Arrasseo, aku minta maaf!"
"Jadi Hyung, kedepannya kau akan bagaimana? Dengan kondisi seperti itu, Jihyo sepertinya tidak bisa terus-terusan tinggal di flat Jungyeon." Namjoon kembali mengambil alih pembicaraan.
"Entahlah, sepertinya aku akan mulai berbicara dengan orangtuaku."
"Tapi—Yoongi-ah, aku jadi penasaran." Yoongi menatap Jin bingung. Lelaki tertua itu bertanya dengan hati-hati, "Bukannya kau sudah dijodohkan dengan Son Wendy?"
Yoongi menunduk, ia tahu, cepat atau lambat, teman-temannya ini pasti menanyakan hal itu juga. "Ahh—ceritanya sangat panjang, tapi intinya, aku sangat tidak menyukai Wendy. Dia bukan tipeku."
"Ohh—jadi Jihyo itu tipe idealmu?"
Yoongi berpikir. "Bukan juga. Tapi—"
"Tapi apa? Dia seksi?" celetuk Namjoon yang langsung digeplak Hoseok. "Ingat Jungyeon! kau jangan genit pada wanita lain, dia itu milik Yoongi Hyung!" cecarnya, sementara Namjoon menggerutu tak terima.
Jin kembali mengambil alih, lelaki itu melirik Hoseok dan Namjoon bergantian lalu tersenyum jail ke arah Yoongi. "Bagaimana bisa kau melakukan itu dengannya? aku jadi ingin mendengar ceritanya."
Wajah pucat Yoongi tiba-tiba saja memerah. Ia hendak menolak tapi pandangan memohon dari Namjoon dan Hoseok lama-lama membuatnya gerah juga. "A-apasih! Sudahlah! Aku ingin tidur saja!"
"Ahhh—Hyung!"
|flashback!|
"Yoongi-ah, nanti malam kita akan makan malam bersama keluarga Son. Kau bersiaplah, kita akan berangkat pukul 7."
Yoongi melirik malas ayahnya. Ia berdecak, selalu saja lelaki tua itu mengatur hidupnya. Padahal, ia ingin menjalani hidupnya sendiri, ia tidak ingin menikah—apalagi karena dijodohkan untuk keperluan bisnis. Ayolah, ini abad 21, memangnya masih jaman melakukan perjodohan?
Ia sudah sempat menolak, tapi sia-sia saja, ayahnya itu tidak mau mendengarkan. Sementara ibunya, tidak bisa berbuat apa-apa. Di keluarga Min, hanya ayahnya yang berkuasa, sedang ibunya hanya boleh menurutinya saja. Dasar otoriter akut.
Yoongi mendengus tak peduli, ia menyambar jaket kulitnya lalu beranjak pergi dari rumah itu. Sontak ayahnya langsung melarangnya pergi, tapi masa bodoh. Ia sudah muak menjadi boneka. Ia ingin mencari kebebasannya sendiri.
Sementara itu, di sudut kota, tepatnya di sebuah bar terkenal, ada seorang gadis yang terlihat sangat kaku. Sesekali ia akan menurunkan roknya karena terlalu pendek. Belum lagi atasannya yang mengekspos bahu mulusnya hingga belahan dadanya terlihat. Sungguh, walaupun ia terlihat sangat cantik, gadis itu sangat tidak menyukai penampilannya saat ini.
"Ya! Apa ini tidak terlalu berlebihan? Aku sangat tidak nyaman," ujarnya pada salah satu temannya yang tengah mengulas lipstik berwarna merah pada bibir tebalnya.
"Justru kau akan terlihat aneh jika memakai pakaian tertutup disini. Ayo! Biar kutunjukan dunia yang sesungguhnya!" Gadis itu langsung ditarik masuk ke dalam bar. Dalam sekejap, suasananya langsung berubah drastis. Aroma alkohol yang menguar juga suara musik yang sangat kencang langsung menyambutnya dikala menginjakan kaki di sana.
Untuk sesaat, gadis itu mengamati sekitarnya. Gila, tidak ada satupun yang waras di sini. Lihat saja, hampir semua penghuni bar tengah bercumbu, seolah hal yang mereka lakukan adalah hal yang biasa, gadis itu bergidik, ia jadi menyesal karena menuruti ajakan Joy.
Mereka mengambil tempat duduk di sebelah kanan dance floor. Tidak, bukan hanya mereka, tapi juga ada tiga lelaki lain disini—yang salah satunya adalah pacarnya Joy.
"Woah—siapa wanita cantik yang kau bawa ini Joy? Aku tidak pernah melihatnya di sini," ujar seorang lelaki yang tengah menghisap rokoknya. Joy tersenyum, dengan santai ia bergelayut di lengan pacarnya. "Dia temanku. Jihyo-ya! Cepat perkenalkan dirimu."
"Ahh—iya." Jihyo menyelipkan rambutnya ke belakang telinga lalu tersenyum canggung. "Perkenalkan, namaku Park Jihyo."
Jihyo melirik pada salah satu lelaki yang sejak tadi hanya mengamatinya dengan pandangan mengintimidasi. Saat dilirik pun, lelaki itu terus menatapnya tajam, membuatnya buru-buru menunduk takut. Dari ketiga lelaki yang ada di meja mereka, hanya lelaki itu yang terlihat mencurigakan.
"Hey! Perkenalkan, aku Junhoe. Mau minum?" Jihyo mendongak, mendapati lelaki yang sejak tadi merokok itu kini tengah menyodorkan segelas minuman kepadanya. Gadis itu tersenyum, lantas menerima minuman dari lelaki itu karena kebetulan, ia juga sedang haus. "Guma—"
PRANGG!!
Dalam sekali tebas, gelas itu pecah hingga menimbulkan suara gaduh karena gelas itu melesat ke arah sepasang sejoli yang tengah bercumbu. Sesaat, mereka jadi pusat perhatian tapi tak lama, karena mereka kembali larut dalam dunia mereka sendiri. Jihyo yang paling kaget, mata gadis itu semakin membulat, jantungnya masih berdebar kaget—bahkan ia baru sadar kalau cairan dari gelas itu mengenai tubuh bagian atasnya.
"Yoongi-ya! Kau apa-apaan?!" Junhoe berteriak kesal pada lelaki pucat yang sejak tadi memperhatikan Jihyo itu. Junhoe sudah akan membuka jaketnya tapi Yoongi langsung menutupi bagian atas tubuh Jihyo dengan jaketnya. "Biar aku saja," desisnya tajam pada Junhoe.
Jihyo masih bingung, tangannya tiba-tiba saja di tarik Yoongi meninggalkan meja mereka. Jihyo sempat menoleh pada Joy, tapi wanita itu kini sudah asik bercumbu dengan pacarnya, membuat Jihyo hanya bisa menghela napas.
Lelaki itu melepaskan genggamannya saat tiba di depan toilet. Ia menyuruh Jihyo masuk dengan menggerakan kepalanya. "Masuklah, bersihkan tubuhmu."
Jihyo sempat melirik lelaki pucat itu sekali lagi sebelum masuk ke dalam toilet.
Tapi belum juga satu detik, gadis itu langsung menutup pintu toilet dengan panik. "Astaga! Mereka bahkan melakukannya di toilet?"
"Kau baru tahu, huh? Sudah kuduga, kau baru pertama kali kemari." Jihyo menoleh saat kembali mendengar suara itu. lagi-lagi, Yoongi langsung meraih tangannya, sedang tangan yang satunya lagi membuka pintu toilet, mengajaknya masuk ke dalam tanpa memedulikan gadis itu yang sudah menunduk takut dibelakangnya.
Jihyo tak berani membuka matanya. Ia hanya merasakan pergerakan Yoongi yang tengah melepaskan jaketnya yang semula digunakan untuk menutupi bagian dadanya lalu merentangkannya di belakang tubuhnya. "Buka matamu."
Jihyo mengeleng. Lelaki itu berdecak, "Ck, cepatlah! Tanganku pegal!"
Gadis itu perlahan membuka matanya. Di depannya sudah ada cermin, sedangkan Yoongi tengah merentangkan jaket di belakang tubuhnya sehingga Jihyo tidak melihat adegan laknat yang sedang terjadi di sana—ya, ia tidak melihat tapi ia masih bisa mendengar desahan mereka.
Buru-buru ia membersihkan bagian atas dadanya yang terkena tumpahan minuman.
Saat ia melirik Yoongi, gadis itu sadar kalau sejak tadi, lelaki itu terus melihat ke arah dadanya, membuat ia semakin cepat membersihkannya. Tapi sialnya, cincin pada tangannya tersangkut ke bajunya membuat bagian depan bajunya robek. "Asshh—sial."
Menyadari itu, buru-buru Yoongi menutupi dada Jihyo dengan mendekapnya dari belakang. "Kau sedang apa sih?! kenapa kau sangat ceroboh?!"
Jihyo mencebik kesal. "Ya! Kau jangan sembarangan mengataiku ceroboh! Ini semua karena ulahmu!"
"Mwo? Asal kau tahu saja, kau tadi hampir meminum wine yang sudah dicampur obat perangsang! Aku ini penyelamatmu!"
"Tapi aku tak menginginkannya!" Jihyo berusaha melepaskan dekapan Yoongi. "Ya! Lepaskan!"
"Kau mau memperlihatkan payudara besarmu ke semua orang, huh?"
Pipi Jihyo langsung memanas. Sial, ia lupa kalau baju depannya robek.
Ia berdecak, "Arrasseo! Kalau begitu—kau bisa antarkan aku pulang?"
"Ani." Yoongi menolak tegas. Ia menjulurkan kepalanya ke ceruk leher Jihyo. "Kau pikir kau bisa lepas semudah itu? di dunia ini tidak ada yang gratis, nona."
Jihyo memejamkan matanya menahan kesal. "Memangnya apa yang kau inginkan, huh?"
Yoongi menarik sudut bibirnya. "Tubuhmu."
Btw mau lanjut flashback pt. 2 gk?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro