#3. I Got U
» I Got U «
Focus: Namjoon, Jungyeon, Jimin, Dahyun.
1725 words
#
Jika harus mengungkapkan apa yang paling Namjoon benci di dunia ini, Namjoon akan dengan tegas menjawab bahwa ia membenci kerusuhan dan apapun yang merusak ketenangannya.
Sejak pukul empat dini hari tadi, ia tidak bisa melanjutkan tidurnya lagi, padahal ia baru bisa tidur satu jam yang lalu. Siapapun yang tinggal di flat sebelah, pasti sudah gila karena menyetel musik rock dengan suara super keras di pagi buta. Dan lebih sialannya lagi, orang yang baru saja Namjoon sebut dengan 'siapapun yang tinggal di flat sebelah' adalah pacarnya sendiri, Yoo Jungyeon.
Entah apa yang membuat dirinya bisa memiliki perasaan pada gadis yang sama sekali bukan tipe idealnya itu. Tentu saja, Jungyeon itu cantik tapi kepribadiannya sungguh tidak terduga. Kepala Namjoon bahkan nyaris benjol akibat lemparan sepatu haknya dikali pertama mereka bertemu.
Dirinya pernah ditendang, dibentak, dicaci dan dimaki oleh Jungyeon tapi rasa benci itu malah semakin membesar hingga terus teringat dan akhirnya saling mengaku cinta. Se-klise itulah percintaan seorang Kim Namjoon.
Namjoon mendesah frustasi, ia bangkit dari tidurnya. Melangkah sambil menghentak menuju flat sebelah. Ia mengetik beberapa angka hingga terdengar bunyi 'klik' lalu memasuki flat bising itu.
Remah-remah makanan ringan, sampah yang berserakan juga baju, tas dan sepatu yang tergeletak begitu saja di lantai dan sofa menyambutnya dikala ia sampai di flat sang kekasih. Itu sudah bukan pemandangan asing, sudah tidak aneh lagi jika flat Yoo Jungyeon berantakan seperti ini.
Tanpa banyak basa-basi, Namjoon langsung mematikan musik rock super bising itu hingga Jungyeon yang sedang asik bergoyang menatap tajam ke arahnya.
"Kenapa kau matikan?!"
"Aku tidak bisa tidur! kau bisa lakukan apapun yang kau suka tapi kumohon, jangan ganggu tidurku." Namjoon mengeluarkan nada perintahnya, ia sudah tidak tahan lagi dengan kekasihnya ini.
Sementara Jungyeon mencebik, kenapa sih pemuda berlesung pipit itu selalu menentang hobinya. Jungyeon juga jadi seperti ini karena pemuda itu selalu menolak saat diajak tinggal bersama, alhasil Jungyeon jadi merasa kesepian.
"Aku tidak akan melakukannya lagi tapi—kau harus tinggal bersamaku! disini!" ini bukan ajakan yang pertama kali tapi untuk kesekian kalinya, gadis itu mengajak tinggal bersama pada seorang pemuda normal dengan entengnya, seolah meminta dibelikan lolipop.
"Yoo Jungyeon, harus berapa kali aku menjelaskan kalau kita tidak bisa tinggal bersama? aku tentu saja mau! tapi lebih dari itu, aku takut merusakmu. Aku takut kebablasan menghamilimu."
Jungyeon melotot, ia memukul pemuda itu dengan bantal pisangnya. "Apa yang kau pikirkan, sih? tentu saja kita tidur terpisah, bodoh! jadi selama ini kau menolak tinggal bersamaku karena hal itu?! dasar mesum!"
"A-apa? kupikir kita akan seranjang."
"Tentu saja tidak, bodoh!" Jungyeon memukul Namjoon dengan bantalnya lagi.
Begitulah, drama picisan itu akhirnya berlanjut dengan adegan seorang pemuda yang dihujani pukulan bantal oleh kekasihnya. Terkadang, hal sesepele itu bisa menjadikan sebuah hubungan jadi semakin menarik.
Kehidupan kampus dengan segala drama percintaannya. Seumur hidupnya, Jimin selalu terlibat dalam hal itu. tapi pemuda itu tidak pernah merasakan apa itu patah hati. apa itu cemburu, apa itu sakit hati dan sebagainya karena selama ia menjalin hubungan, ia hanya menomor satukan kesenangan.
Jimin sama sekali tidak memikirkan apakah ia menjalin hubungan atas dasar cinta atau apapun itu, ia hanya menjadikan perempuan sebagai pelampiasannya menjalani hidup yang monoton. Sebut saja Jimin brengsek, karena memang itu kenyataannya.
Ribuan ciuman telah ia layangkan kepada banyak gadis (yang bahkan sebagian besar tidak begitu ia kenal secara personal). Jimin sudah tidak memusingkan itu tapi—pemuda itu sangat terganggu oleh kecupan dipipinya yang bahkan hanya bertahan selama tiga detik.
Jimin bahkan ingat betul kalau jantungnya nyaris melompat dari tempatnya saat gadis itu mengecup pipinya. Lebih dari itu, ia juga bertanya-tanya, siapa gadis itu sampai berani kabur setelah memporak-porandakan perasaannya.
"Namanya Dahyun, ia juga berkuliah di universitas yang sama denganmu. Selebihnya, kau bisa mencaritahu sendiri." Jackson, teman satu kampusnya yang juga bekerja paruh waktu di cafe ini memberikan beberapa info (yang menurutnya tidak penting, tapi sangat penting bagi Jimin).
Tanpa mengucap terima kasih, Jimin bergegas pergi dari cafe itu menuju kampus. Bukan, tentu saja bukan untuk menghadiri kelas. Ia akan mencari gadis yang berani mencium pipinya itu sampai dapat.
Matahari telah berada di titik puncak singgahsananya, bahkan burung-burung telah membentuk barisan menuju laut, namun gadis itu tetap berada di tempat. Dititik terbawah status kehidupan.
Sebenarnya tidak seburuk itu, namun keadaan terus membuatnya merasakan hal yang sama. Ketidakadilan, terkucilkan juga tersisihkan. Dirinya menerima, jika banyak orang yang membencinya karena dia tidak punya uang (lagipula memang itu kenyataannya) namun ia tidak akan mentolerir siapapun yang berani menjelekkan ayahnya.
Ayahnya bukan penjahat! ayahnya bukan pembunuh seperti yang mereka bilang! ayahnya telah dijebak! namun seberapa keras dan seberapa ratus juta kalipun Dahyun membantah, orang-orang tidak akan mendengarkannya. Dirinya sudah dicap sebagai anak dari seorang pembunuh, dan jikalau ayahnya sudah terbukti tidak bersalah pun, orang-orang tetap tidak akan peduli.
Langkahnya semakin terasa berat, seiring dengan berjalannya waktu. Tubuhnya terasa pegal karena terlalu banyak dihabiskan untuk bekerja paruh waktu. Sial, jika saja pemuda itu tidak datang padanya kemarin, mungkin ia tidak akan kehilangan salah satu pekerjaannya dengan gaji yang cukup besar itu.
Hanya tinggal sedikit lagi, Dahyun akan sampai di rumahnya. Namun, tungkainya berhenti melangkah saat melihat beberapa orang yang sedang mengeluarkan barang-barang dari rumahnya. Panik, gadis itu berlari menuju rumahnya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?!" tanyanya pada salah satu kurir yang sedang memindahkan lemarinya ke dalam mobil pick up.
"Kau siapa?"
"Aku pemilik rumah ini."
"Benarkah? pemilik rumah ini ada di dalam!"
Dahyun menoleh ke arah rumahnya. Disana ada seorang wanita paruh baya yang sedang mengatur para kurir supaya membawa barang dengan hati-hati. Pandangan mereka bertemu, untuk sesaat, wanita paruh baya itu mengajak gadis itu berbicara.
"Jadi—-kau masih tinggal disini sampai tadi pagi?" Wanita paruh baya itu memulai percakapan mereka setelah beberapa saat. Dahyun mengangguk membenarkan. "Iya."
"Pasti menakutkan, ya? semuanya ada stiker merahnya."
"—aku... tidak punya tempat lain."
Dahyun meremas kedua tangannya gugup. Ia tahu situasi seperti ini pasti akan terjadi, tapi—tetap saja, memikirkan akan diusir di rumah sendiri rasanya sungguh menyesakkan.
Setiap pulang ke rumah ataupun bangun tidur, bayangan stiker merah yang tertempel hampir di setiap barangnya seolah menghantuinya. Ia selalu menyemangati dirinya sendiri bahwa ia pasti akan bisa melunasi dan mengambil kembali barang miliknya, makanya ia menjalani banyak pekerjaan paruh waktu disela-sela jam kuliahnya yang super padat supaya ia bisa cepat melunasi hutang yang ditinggalkan ibunya. Namun, sepertinya itu semua belum cukup.
"Orang tuamu dimana?" Pertanyaan yang dilontarkan wanita paruh baya itu membuyarkan lamunannya. Dahyun menunduk, mengusap ujung matanya yang sedikit mengeluarkan air.
"Ibuku sudah meninggal dan ayahku—dia dipenjara."
Wanita itu sedikit kaget. "Oh, maaf kan aku. Kau pasti sangat kesulitan, tapi—kami membeli rumah ini dari lelang sesuai dengan prosedur yang legal."
"Tapi—ini rumahku." Dahyun bersikeras membantah. " Ayahku yang membuat rancangannya, bahkan ia memilih sendiri keramiknya. Ini—satu-satunya harta keluarga yang masih kumiliki."
Wanita paruh baya itu menatap Dahyun prihatin, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa karena rumah ini sudah menjadi miliknya. "Cari tas yang cukup untuk barangmu. Bawa sebisamu dan kemasi sisanya nanti setelah kau siap. Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku harap kau dapat mengerti."
Dahyun menghembuskan napasnya berat. Ia menggigit bibirnya kuat, matanya sudah berair tapi sebisa mungkin ia menahannya. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan. Tidak, tidak untuk hari ini. Setidaknya ia harus terlihat baik-baik saja sebelum mengucapkan perpisahan pada rumah kecilnya ini.
Petang sudah menyapa namun Jimin sama sekali tidak melihat batang hidung gadis itu di kampus. Sebenarnya, kemana gadis itu pergi?
Pemuda itu mungkin sudah hampir menyusuri semua seluk beluk kota ini namun pencariannya tidak kunjung usai. Kakinya terus melangkah dan matanya terus menjelajah, orang-orang yang melihatnya mungkin berpikir kalau pemuda itu sedang mencari harta karun yang telah tersembunyi sejak ratusan tahun, padahal nyatanya, pemuda itu hanya mencari seorang gadis.
Tubuhnya tiba-tiba oleng saat seseorang tidak sengaja menubruk bahunya, bahkan sebuah kardus besar juga tiba-tiba menindih kakinya membuat Jimin mengerang. Jika dalam kondisi biasa, pemuda itu pasti akan langsung mengamuk dan membentak siapapun yang berani melakukan hal ini kepadanya. Tapi kali ini, Jimin hanya bangkit sambil meringis, ia bahkan hanya membalas perkataan maaf orang itu dengan anggukan lemas. Tenaganya sudah banyak terkuras oleh pencarian tidak jelas ini.
Tungkainya kembali melangkah, namun saat telinganya menangkap suara yang tidak asing, langkahnya terhenti.
" ... ini—satu-satunya harta keluarga yang masih kumiliki."
"Cari tas yang cukup untuk barangmu. Bawa sebisamu dan kemasi sisanya nanti saat kau siap. Hanya ini yang bisa kulakukan. Aku harap kau dapat mengerti."
Jimin menoleh ke belakang, melihat lagi orang-orang yang sedang mengangkut barang itu, hingga maniknya menemukan sosok itu.Gadis yang sejak tadi dicarinya.
Jimin kembali ke tempat tadi dan bertanya pada salah satu kurir yang ada disana. "Ada apa ini? kenapa rumah ini dikosongkan?"
"Aah—pemiliknya mengabaikan peringatan pengusiran. Banyak orang yang seperti itu, tapi gadis itu terbilang cukup menyedihkan karena ia sudah tidak memiliki siapa-siapa."
Jimin kembali menatap ke dalam rumah itu. Gadis itu terlihat sedang mengemasi barang-barangnya, bahkan tak sekali ia mengusap ujung matanya yang terus mengeluarkan air mata. Jimin tidak tahu apa yang sedang menimpa gadis itu, tapi—sebuah perasaan ingin menolong tiba-tiba masuk ke dalam benaknya.
Getaran ponsel di sakunya mengalihkan perhatiannya. Dikeluarkannya benda pipih persegi panjang itu lalu mengangkat panggilan tanpa mengalihkan tatapannya dari sang gadis.
"Ada apa hyung?"
"Kau ada teman perempuan yang sedang mencari tempat tinggal? Jungyeon sedang mencari teman untuk tinggal. Aku menelponmu karena kupikir kau yang memiliki kenalan perempuan paling banyak."
Terdengar suara grasak-grusuk dari sana, bahkan Jimin dapat mendengar teriakan seperti 'kenapa kau malah menelpon bocah sialan itu?!' dari Jungyeon. Jimin hanya mendengus kecil, sepertinya Jungyeon masih tidak menyukainya.
Atensi Jimin kembali terarah pada gadis itu. Sebuah ide tiba-tiba terlintas dibenaknya.
"Hyung, sepertinya aku punya kenalan untuk itu."
"Siapa? kau tidak mengajak wanita yang aneh-aneh, kan?"
"Emm—dia pelayan cafe yang selalu aku ceritakan."
"Apa?! Bagaimana bisa kau mengenalnya? Kau berhasil meminta nomor ponselnya?"
"Hehe, itu rahasia. Asal kau tahu, ia bahkan mengecup pipiku! Sepertinya ia juga menyukaiku." Jimin terkikik sendiri, mengundang tatapan aneh dari para kurir yang ada disana.
"Mwo?! Kau bercanda?!"
"Tentu saja tidak! Aku akan membawanya kesana nanti malam. Jungyeon noona pasti menyukainya."
Hahah sesuai dugaan kalian, si pelayan itu adalah Dahyun. And—yes, Jungyeon is Namjoon's girlfriend XD
Wkwk, i hope you like it!
P.s. don't forget to vote and comment yup^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro