10. Saturday Night pt.2
» Saturday Night pt.2 «
Focus: Namjeong, Yoonghyo, Moseok
1706 words
#
Percaya atau tidak, pasti ada beberapa dari kalian yang telah menebak-nebak terkait hal yangg tengah terjadi dari pasangan Namjoon dan Jungyeon kali ini.
Sesuai keinginan sang adam, saat ini mereka tengah berada di salah satu hotel yang cukup terkenal. Jika dipikir-pikir, lelaki yang telah menyandang gelar S2 di usia yang masih cukup muda itu seharusnya tidak bisa mengajak gadis berambut sebahu itu ke sana, apalagi sampai memesan kamar VVIP. Jungyeon sudah siap siaga, mengeluarkan black card-nya takut-takut Namjoon tak bisa membayar semua tagihannya tapi ia cukup kaget saat lelaki itu langsung saja mengajaknya naik ke lantai teratas di mana kamar mereka berada. Jangan lupakan dengan panggilan para pegawai hotel kepadanya ditambah bungkukan badan mereka yang seolah sangat menghormati Namjoon. Sampai sekarang, Jungyeon sama sekali tidak mengerti dengan apa yang baru saja di lihatnya.
“Hey—jangan-jangan Hotel ini milik Ayahmu, ya?” celetuk Jungyeon asal saat mereka masih di dalam lift. Namjoon tersenyum tipis, tanpa ragu ia mengangguk. “Iya, bukan hanya ini, mall tempat kita berkencan tadi juga milik ayahku.”
Jungyeon sampai melongo, gila saja. Jadi selama ini ia berpacaran dengan anak orang kaya? Heol.
Namjoon meletakan kartu pada pintu, sedetik kemudian, pintu kamar itu terbuka, menampilkan sebuah kamar yang megah nan elegan dengan kaca besar yang menampilkan gemerlap kota Seoul di malam hari. Layaknya anak kecil, Jungyeon terus mengikuti lelaki jangkung itu dari belakang, “Benarkah? Kau tidak bohong? Kau anak orang kaya?”
Itu sudah yang ke sepuluh, Namjoon sampai menghela napas. Resiko berpacaran dengan rakyat jelata itu memang seperti ini ya, makanya ia malas jika harus membahas soal kekayaannya yang tak bisa dihitung oleh jari. “Iya, kenapa? kau menyesal berpacaran denganku?”
Jungyeon terdiam, entah kenapa, rasanya ada yang aneh saat ia tahu mengenai sisi yang tak pernah Namjoon tunjukan padanya. Alih-alih merasa senang, ia malah lebih merasa—kecewa? Ia merasa telah dibohongi. Lebih dari itu, ia memang benci—benci sekali pada orang kaya. “Kenapa kau tidak bilang? Kupikir kau tidak akan tinggal bersama dengan 6 orang temanmu di flat, disaat kau bisa membeli semuanya dengan uangmu itu.”
Namjoon yang sedang minum sampai tersedak, “Harus ya, membahas itu sekarang? niatku mengajakmu kemari itu untuk bersenang-senang, kenapa kau malah jadi seperti ini?”
Jungyeon membuang pandangan ke samping, ia merasa bodoh. Ada apa dengan dirinya, kenapa rasanya ia ingin marah pada Namjoon padahal dirinya juga tanpa sadar telah melakukan hal yang sama. “Entahlah, pikiranku kacau. Kupikir dengan berhubungan denganmu aku bisa keluar dari zona memuakan ini. Kau tahu? Hotel bintang lima yang ada di seberang mall milikmu tadi itu milik ibuku.”
“What?!” Namjoon kaget, ia sampai meraih bahu Jungyeon lalu mengangkat dagu gadis itu supaya ia bisa melihat kejujuran di matanya. “Katakan sekali lagi, kau bilang apa tadi?”
Jungyeon menepis lengan Namjoon, tangan terangkat meremat kuat kemeja yang digunakan lelaki itu. “Aku kabur dari rumah karena ingin hidup mandiri. Makanya selama ini aku jarang keluar flat dan memilih untuk menutup diri. Orang-orang suruhan ibuku sempat mencari-cari keberadaanku, tapi sepertinya sekarang mereka sudah lelah jadi aku sudah mulai bisa leluasa. Aku hanya iri, kau bisa melakukan apapun tanpa ada kekangan. Maaf, aku malah jadi emosional seperti ini.” air matanya keluar tanpa dapat dicegah, Jungyeon baru saja akan menghapus air matanya, tapi tangan Namjoon lebih dulu mengusap air mata di pipinya.
“Aku tahu bagaimana rasanya. Memang sangat sulit hidup di bawah tekanan dan kekangan. Ada masanya dimana hidup sederhana bersama orang-orang yang kita sayangi itu lebih terasa indah dibandingkan dengan hidup bergelimang harta tapi tidak pernah merasakan hidup tenang. Tak apa, kita sama-sama memiliki rahasia tapi bukan berarti kita tak saling percaya. Aku percaya padamu, itu sebabnya aku mengajakmu kemari.”
Jungyeon mencebik kesal, ia paling membenci dirinya yang rapuh, tapi dekapan hangat Namjoon itu tak bisa ditolak. Mungkin jika dalam keadaan normal, ia akan memukul pantatnya setiap lelaki itu berubah menjadi lelaki yang sok manis seperti ini. “Berhenti mengucapkan hal manis atau kau akan kutendang.”
“Iya—iya, sayang.”
“Ishh!”
“Apa?”
“Tidak, cepat usap kepalaku lagi.”
Namjoon terkekeh, gadisnya ini sangat menggemaskan. Ia jadi ingin cepat-cepat menyeretnya ke kamar sekarang juga.
“… Oppa.”
“Hem?”
“Malam ini kita akan menginap di sini, ya?”
“Sepertinya, iya, kalau kau tidak menolak—“
“Aku tidak ingin pulang. Aku belum siap untuk mengaku pada mereka tentang hal ini.”
Namjoon tersenyum, ia mengecup rambut harum Jungyeon lama. “Apapun keinginanmu,” ucapnya sok manis, padahal dalam hati bersorak karena mungkin malam ini ia bisa melancarkan aksinya. Tahu sendiri kalau Jungyeon itu sangat sulit untuk di sentuh, tapi malam ini gadis itu sama sekali tak menolak sentuhannya. Justru ia malah membalas lumatannya saat Namjoon mencium bibir ranumnya.
“Jadi kau menolak perjodohan itu karena kau menyukai lelaki ini, dan sekarang kau sedang mengandung anaknya? Hah, drama macam apa ini Park Jihyo?!”
Jihyo agak tersentak mendengar bentakan ayahnya disertai tangis ibunya yang semakin mengiris. Ya, memangnya orangtua mana yang akan senang mendengar anak gadis mereka hamil diluar nikah, dengan lelaki asing pula, tanpa ditanyapun, Jihyo sadar betul kalau orangtuanya pasti sangat kecewa padanya saat ini. Tangannya bergetar, namun sedetik kemudian, ada tangan lain yang ikut menggenggam tangannya, menyalurkan kehangatan lewat gerak jempolnya yang menyapu dengan lembut. Yoongi meneguk ludahnya, suaranya agak bergetar saat ia berujar, “Sa—saya akan bertanggung jawab, Pak.”
Ayah menatap Yoongi tajam, agaknya lelaki berusia empat puluh tahun akhir itu mengamati penampilan Yoongi saat ini dari bawah sampai atas berulang kali. Raut tegas dan galaknya masih belum luntur saat ia berdecak miring, “Memangnya kau punya apa sampai berani mengambil putriku dan menanam benihmu tanpa sepengetahuanku? Bocah ingusan sepertimu pasti tak mampu memberi putriku makan apalagi kehidupan yang layak.”
“Saya punya pekerjaan.”
“Kau pikir itu cukup? Asal kau tahu, pernikahan itu bukan hanya soal membuat anak, tapi kau juga harus bisa menafkahi putriku dan calon anakmu, memangnya kau sanggup?”
Yoongi terdiam, perkataan ayah Jihyo itu seolah menamparnya dengan keras. Ia sadar betul bagaimana brengseknya kelakuannya hingga membuat gadis tak bersalah ini hancur. Tubuh Jihyo sudah bergetar, bahkan Yoongi dapat mendengar isak tangisnya yang entah kenapa menyulut emosinya. Ia benci isak tangis itu, apalagi Jihyo menangis karenanya.
“Saya—saya akan mengambil alih perusahaan ayah saya jika kalian khawatir aku tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Jihyo. Walaupun itu cukup sulit, tapi saya akan berusaha asalkan kalian memberi kami restu. Saya tahu kalau perbuatan kami salah, tapi saya akan bertanggung jawab sepenuhnya untuk Jihyo dan calon anak saya.” Jihyo menoleh ke samping, tepatnya kearah Yoongi yang masih menatap ayahnya dengan serius. Apa benar dia orang yang sama dengan Yongi yang ia temui di bar? Ia tak menyangka kalau lelaki ini bisa berbuat sampai sejauh ini untuk memperjuangkannya.
Raut wajah ayah mulai agak melunak, fokus lelaki itu kini pada Yoongi yang baru saja mengatakan kalau ia memiliki perusahaan. “Benarkah? Ayahmu memiliki perusahaan? Perusahaan apa?”
Yoongi tersenyum tipis—nyaris tak terlihat, “Anda tahu Min Group, itu perusahaan milik ayah saya.”
Sesuai dugaannya, lelaki itu terlihat kaget. Bahkan ibu sudah tidak menangis seperti tadi. Tentu saja, Min Group itu adalah perusahaan kelima terbesar di Korea Selatan. Jihyo mengernyit bingung melihat perubahan raut wajah kdeua orangtuanya sementara Yoongi kembali memasang raut datarnya. “Yoongi, apa yang barusaja kau katakan sampai ayah dan ibuku jadi seperti itu?”
Yoongi menoleh, lalu tersenyum lembut, “Kau tidak perlu tahu, tapi sepertinya kita sudah mendapat restu.”
Tak sampai di situ, pipi Jihyo semakin bersemu saat Yoongi tiba-tiba saja mengecup bibirnya di depan kedua orangtuanya. “Kalian tenang saja, saya sangat mencintai putri kalian, kalian pasti tak akan menyesal jika saya yang memiliki putri kalian.”
Well, walaupun agaknya terasa miris bagi Yoongi karena orangtua Jihyo merestui hubungan mereka semuadah itu setelah mendengar kalau Yoongi berasal dari orang kaya, tapi Yoongi tak keberatan. Sepertinya keputusannya kali ini bukan hanya sekedar ingin memperjelas status mereka saat ini, tapi ia sudah benar-benar menyukai Jihyo. Entah mulai sejak kapan, mungkin sejak pertemuan pertama mereka, Yoongi sudah mencintai gadis ini.
“Jadi—kenapa kau berhenti menari? Padahal tarianmu itu bagus sekali loh, Hoseok-ssi.” Momo menyedot minumannya dengan santai sementara Hoseok menatapnya bingung. Sebenarnya, mereka belum terlalu dekat dan hanya pernah bertemu sesekali, tapi kenapa gadis ini bisa bersikap secuek ini seolah telah kenal sejak lama, aneh.
“Kau serius menanyakan hal itu padaku?”
Momo menoleh, masih dengan mulutnya yang berada di sedotan. Matanya mengerjap-ngerjap polos, sebelum membuka mulutnya dan berujar, “Iya, aku terlalu lancang, ya? Maaf, aku hanya penasaran saja, hehe.”
Hoseok tersenyum tipis, gadis ini unik. Ia kembali menyeruput minumannya sembari menatap sunset lewat jendela café. Entah bagaimana mulanya ia bisa duduk santai bersama si gadis Hirai ini di sini. Ia pikir, pertemuan mereka saat dance dadakan di Hongdae itu adalah pertemuan pertama dan terakhir tapi rupanya, masih ada kelanjutannya. “Omong-omong, sejak kapan kau bisa menari, Momo-ssi?” tanyanya sekedar basa-basi untuk menyambung percakapan.
Momo yang tengah menggigit-gigit sedotannya mulai merotasikan matanya sembari berpikir, “Emm … saat aku berusia tiga tahun?”
“Ya! Bukankah itu terlalu dini?” Menyadari gaya bicaranya yang tidak formal, buru-buru ia langsung meralat. “Eh, maaf maksudnya aku—“
“Hahahahaha.” Momo malah tertawa, sementara Hoseok malah jadi semakin bingung. Apa jangan-jangan gadis ini kemasukan arwah dewa pantai ya? Karena rumornya, dewa itu suka sama gadis asing, dan Momo ini berasal dari Jepang. Lelaki itu bergidik, ia menyentuh bulu kuduknya yang mulai meremang membayangkan jika pikiran liarnya ini menjadi kenyataan.
Gadis itu terus tertawa sampai terbatuk, karena minumannya sudah habis, tangannya tanpa segan meraih minuman Hoseok lalu menyedot minuman itu hingga habis. Lelaki itu sampai terpaku—itu, sedotan itu kan bekas mulutnya dan Momo … arrghh kenapa malah jadi dirinya yang salah tingkah sekarang.
“Hahh … kau lucu sekali astaga—padahal seharusnya aku yang lebih sopan kepadamu karena kau lebih tua. Santai saja, kau bisa berbicara informal denganku,” ucap Momo santai. Gadis itu mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan, lantas memilih beberapa makanan—yang Hoseok yakin ia baru saja menyebutkan lima jenis makanan berbeda. “Kau mau pesan apa? Eh—apa perlu aku memanggilmu Oppa?”
“Hah? Ah—tidak usah! Aku masih kenyang.”
“Oke, karena aku sedang baik, aku akan memesankanmu spagheti saja ya, kalau kau tetap tidak mau tenang, biar aku saja yang makan, oke?” Momo kembali menambah pesanannya dan beberapa detik setelahnya, pelayan itu pergi.
Sementara Hoseok masih tak habis pikir dengan gadis yang tengah selfie dengan background pantai sekarang. Dia terlalu—unik. Tapi entah kenapa, ia malah merasa kalau sikapnya itu seolah menyimpan sesuatu, dan sialannya lagi, ia malah jadi penasaran sekarang. Sebenarnya, gadis seperi apa Momo itu?
Ini aku up lagi, ada yg seneng? *ngarep
Oh iya, maaf ya, kalo alurnya ini acakadul banget rasanya kek nano-nano :")
Eh, tapi aku gemes sendiri sama part Moseok masa🙈 ada yg sama? (atau malah aneh? Wkwk)
Chaeyoung masih blm muncul ya, mian udh php
Ku pengen nanya, sejauh ini gmn ceritanya? Mood ku nulis cerita ini lagi bagus nih soalnya😆
See you💜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro