#1. Boy With Luv
» Boy With Luv «
Focus: All Boys (+Tzuyu&2girls)
1989 words
#
Bagi Jimin, hidup itu bagaikan padang pasir. Kemana kau melangkah disitulah jalan hidupmu. Terkait apa yang akan kita dapatkan, itu tergantung dari mana cara kita melihatnya. Apakah itu sesuai dengan keinginan kita atau tidak, semua bergantung pada sudut pandang masing-masing.
Mungkin sebagian dari diri kita menganggap bahwa ujian akhir serta kelulusan adalah akhir dari segala penderitaan, tapi sebenarnya justru itu adalah awal. Langkah awal dimana kita menghadapi kehidupan yang sebenarnya.
Sejak dulu, Jimin sudah menyadari bahwa akan ada saatnya dimana ia berkecimpung di kehidupan luar, dimana semuanya terasa tidak adil—bahkan bisa lebih buruk dari itu—namun tetap saja, rasanya sulit menghadapi kenyataan bahwa dia sudah dewasa sekarang.
Ya, di umurnya yang belum genap dua puluh tahun, Jimin masih sama. Jimin yang suka bermain-main. Jimin yang menganggap bahwa hidup adalah lelucon. Juga Jimin yang masih hobi menggoda para wanita hanya untuk kesenangan dirinya. Selain umur, segalanya mengenai Park Jimin tidak ada yang berubah.
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi—dan seharusnya, saat ini dia sudah berada di kampus karena setengah jam lagi, kelasnya akan di mulai—namun Park Jimin tetaplah Park Jimin, ia tidak akan menghadiri kelas jika dirinya tidak mau.
Baginya, minum secangkir kopi sambil memerhatikan salah satu pelayan yang cantik di cafe ini jauh lebih baik daripada harus mendengarkan guru berkepala plontos mengajar sambil menahan kantuk.
Entah sudah berapa lama pemuda itu memerhatikan gerak-gerik sang gadis. Bahkan ia tidak ingat, sudah berapa kali ia memalingkan wajah saat gadis itu menyadari tatapannya yang seolah ingin menerkam gadis itu hidup-hidup.
Tidak mau menunggu lebih lama lagi, pemuda itu akhirnya bangkit berdiri, berjalan menghampiri gadis itu sambil menyodorkan ponsel pintar miliknya. "Boleh aku meminta nomormu?" tanyanya tanpa basa-basi.
Bayangan gadis itu akan tersenyum malu-malu sambil menerima ponselnya lenyap, begitu sang gadis mendongak kepadanya sambil mengernyit bingung. "Excuse me? memangnya kau siapa?"
Demi tuhan, seumur hidupnya ia tidak pernah ditolak mentah-mentah seperti ini. Bersyukurlah pada semesta karena di cafe ini tidak ada orang lain selain dirinya dan beberapa pelayan yang kini menatap bingung kearahnya.
Jimin menyugar rambutnya ke belakang, mengulas senyum manisnya—berusaha mengenyahkan kenyataan bahwa ia baru saja dipermalukan oleh gadis yang belakangan ini selalu ada di mimpinya.
"Aku Park Jimin dan—sekedar informasi, aku adalah anak dari jaksa yang sedang di wawancara di sana." Pemuda itu menunjuk televisi yang tergantung di sana. Jimin tidak berbohong, sungguh, jaksa itu adalah ayah—tiri—nya.
"—Lalu?" Gadis itu langsung menyahut tanpa repot-repot melihat apa yang saat ini sedang ada di televisi. Sejujurnya, ia sudah tahu siapa pemuda itu tanpa harus memperkenalkan diri.
"Aku ingin meminta nomor ponselmu. Apa itu tidak boleh? apa kau sudah punya pacar?"
"Untuk apa aku memberitahumu?"
"Itu karena aku tertarik padamu!" Jimin menatap gadis itu serius. "Oh—aku melupakan satu hal, siapa namamu?"
Gadis itu mengerjap tiga kali. Alih-alih terlihat tersipu seperti gadis kebanyakan, gadis itu malah melangkah mendekat. Berjinjit lalu mengecup pipi Jimin dengan cepat.
"Apa kau sungguh tidak mengenalku? Park Jimin-ssi?"
Sementara itu, tak jauh dari tempat Jimin berada, saat ini kelas bahasa korea sudah di mulai. Selain Park Jimin, ada satu mahasiswa lagi yang melewatkan jam ini. Siapa lagi kalau bukan Kim Taehyung.
Pemuda itu masih berada di perjalanan, berjalan santai dengan kedua earphone di telinganya—seolah keterlambatannya bukanlah hal penting. Hampir seluruh mahasiswi disini mengagumi ketampanannya. Oh, andai saja ia melihat penampilannya saat ini. Bagaimana bisa pemuda yang hanya memakai kaus oblong juga celana kebesaran itu terlihat begitu mempesona?
Pemuda itu tak ada hentinya mengucapkan kata "hai" atau menjawab ucapan "apa kabar?" dari sebagian orang yang bahkan tidak begitu dikenalinya secara personal. Entah sejak kapan, semua itu bermula, semua ini seolah telah menjadi rutinitasnya setiap kali pergi ke kampus. Dan sejujurnya, ia mulai lelah dengan semua senyum palsu itu.
Ya, jauh di dalam lubuk hatinya, ia membenci semua ini. Ia membenci pandangan atau apapun yang dibicarakan tentangnya. Ia tidak se-perfect yang orang kira dan ia tidak se-baik yang orang kira. Semua itu seolah telah menjadi topengnya yang perlahan menggerogoti jiwanya yang sesungguhnya.
Netranya menangkap sebuah pemandangan asing. Seorang gadis dengan balutan blouse berwarna baby blue selutut terlihat sedang memotretnya di kejauhan. Tidak, ini bukan karena kepercayaan dirinya yang setinggi langit tapi Taehyung dapat memastikan dengan betul kalau gadis yang baru saja pergi ke wilayah selatan kampus itu benar-benar memotretnya.
Satu hal yang harus kalian tahu. Dari sekian banyak hal yang Taehyung benci di dunia, ia paling benci jika dirinya di potret diam-diam. Tanpa sepengetahuannya. Tanpa izin darinya. Ia paling benci pada siapapun yang melakukan hal itu terhadapnya.
Semuanya terjadi terlalu cepat. Untuk sesaat dunia Taehyung mengabur, dipikirannya hanya ada gadis itu dan bagaimana cara menghentikan gadis itu sebelum ia pergi terlalu jauh.
Kakinya berlari, mengikis jarak di antara mereka. Matanya tak lepas dari gadis bersurai kecoklatan sepinggang itu. Mulutnya sudah gatal ingin meneriakan kata "hey! berhenti!" tapi ia tidak cukup yakin kalau orang-orang akan mengerti jika seruan itu ia tujukan untuk gadis itu.
Kemudian, sebuah tatapan tajam dan menusuk ia dapatkan saat lengannya—tanpa sengaja—memegang pundak sang gadis. "ada apa?" gadis itu tanpa basa-basi melontarkan kalimat dinginnya.
Taehyung agak terhenyak begitu mendapati gadis itu adalah Tzuyu—gadis yang dengan beraninya mengklaim dirinya sebagai pembenci Taehyung—mendadak, Taehyung merasa ragu jika gadis itu benar-benar memotretnya tadi, tapi tak pelak mulutnya berkata. "Kau memotretku?"
Sesuai dugaan, Tzuyu memasang raut 'apa-yang-dia-katakan?-apa-dia-sudah-gila?' yang begitu kentara di wajah cantiknya. Tunggu, sejak kapan Taehyung peduli dengan kecantikan yang dimiliki seorang Kim Tzuyu?
"Apa aku terlihat tidak memiliki pekerjaan? untuk apa aku memotretmu?" Kalimat menohok untuk Taehyung itu diucapkan Tzuyu seringan bulu. Gadis itu benar-benar (sangat) membenci dirinya rupanya.
"Well, kau pasti sudah tahu kalau banyak gadis yang menginginkan diriku. Ya—bisa jadi kau memotretku diam-diam lalu menjual fotonya dengan harga yang sangat mahal? aku hanya tidak suka jika ada orang yang memotretku tanpa izin dariku."
Sebuah tawa renyah meremehkan keluar dari mulut Tzuyu. Gadis itu tertawa lepas seakan kalimat yang baru saja Taehyung lontarkan adalah lelucon terlucu di dunia.
Ia lalu melangkah mendekat, meletakan lengannya di pundak si pemuda Kim lalu berbisik tajam. "Kalaupun di dunia ini sudah tidak ada pekerjaan yang layak untukku, aku tidak akan sudi menjadi orang yang memotretmu diam-diam hanya demi sesuap nasi."
Manik mata Taehyung terus mengamati Tzuyu yang sudah melangkah pergi hingga menghilang di balik bangunan. Alih-alih merasa kesal ataupun marah, Taehyung justru merasa penasaran, bagaimana bisa ada seorang gadis yang begitu membencinya disaat gadis lain berlomba-lomba untuk mendapatkan cintanya?
Lain halnya dengan Kim Taehyung dan Park Jimin yang seolah menganggap remeh pendidikan, Jungkook justru sebaliknya. Pemuda bergigi kelinci itu seolah memiliki semangat yang tak pernah habis jika menyangkut belajar.
Lengannya tidak pernah lepas dari pena yang terus menari-nari diatas kertas. Mencatat hal-hal penting yang sedang dosen ajarkan juga rentetan tulisan ceker ayam yang telah tersaji di papan tulis. Sebagian dari mahasiswa di kelasnya bahkan sudah banyak yang tumbang ke alam mimpi, namun Jungkook terus fokus memerhatikan pelajaran.
Jika ada dari kalian yang bertanya, kenapa Jungkook melakukan hal ini. Jawabannya sudah jelas, Jungkook tidak punya pilihan lain selain belajar dengan sungguh-sungguh, supaya beasiswanya tidak di cabut. Hidup di keluarga kurang berada membuatnya berpikir kalau hidup bukan hanya sekedar hura-hura. Ia harus bekerja keras jika tidak ingin terlindas oleh kekejaman jaman.
Well, sekolah di kampus bergengsi bersama anak-anak lain yang terlahir dari balutan kain sutra tidak lantas membuatnya berkecil hati. Ia yakin, jika bersekolah di universitas yang bagus akan menghantarkannya ke pekerjaan yang bagus pula.
Begitu kelasnya berakhir, Jungkook tidak langsung pulang. Jungkook selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpustakaan. Tidak lama—hanya tiga puluh menit—karena setelahnya, ia harus pergi ke mini market tempatnya bekerja sambilan.
Bau khas buku-buku lama juga suara helaian kertas yang dibuka tutup, menyambutnya kala kakinya melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Ia tidak datang kesini untuk membaca. Mungkin, hanya mungkin, ia datang kesini untuk mengintip seseorang—yang dijuluki sebagai penunggu perpustakaan.
Kim Namjoon, Kim Seokjin dan Jung Hoseok tengah menyiapkan makan malam. Sudah menjadi rutinitas bagi si pemuda Kim (Seokjin) untuk menyiapkan makan malam, namun tidak bagi Namjoon dan Hoseok.
Ini kali pertama mereka ikut berkecimpung di dunia dapur bahkan Namjoon—si perusak—sudah beberapa kali memecahkan piring dan gelas. Niat hati ingin membantu mencuci piring, pemuda itu malah memecahkan hampir satu lusin piring dan tiga buah gelas, Seokjin bahkan sudah mengeluarkan cerocosannya yang rusuh seperti ibu-ibu pasar pada Namjoon saking kesalnya.
Sementara itu, Jung Hoseok masih terlihat anteng dengan rebusannya. Sejak dua puluh menit yang lalu, ia mengaduk-ngaduk panci berisi air itu dengan sabar. Namun, saat ia mencicipi, rasanya selalu hambar. Akhirnya, pemuda Jung itu bertanya pada Seokjin.
"Hyung, cobain deh. Aku udah masak itu dari tadi, tapi rasanya hambar terus. Kenapa ya?"
Seokjin melirik rebusan Hoseok selama tiga detik, lalu mematikan kompor. Tanpa basa-basi, pemuda itu mengeluarkan omelannya lagi. "Tentu saja hambar, kau sejak tadi hanya memasak air!"
Akhirnya, acara memasak itu berakhir dengan kedua pemuda yang menekuk wajahnya di meja makan. Dapur saat ini kembali di kuasai oleh Kim Seokjin, pemuda itu bahkan bertekad tidak akan membiarkan keduanya—apalagi Namjoon—masuk ke wilayah teritorialnya lagi.
Tiga puluh menit setelahnya, tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Hanya suara televisi butut yang memenuhi flat itu, sampai suara langkah kaki terdengar mendekati pintu masuk.
"Kami pulang!"
Suara pintu terbuka diiringi seruan dari Park Jimin dan Kim Taehyung, tidak begitu berhasil menghiasi flat itu. Justru keduanya—Namjoon dan Hoseok—otomatis menghela napas saat mendengar suara cempreng Jimin yang berpadu dengan suara bariton Taehyung itu. Jimin dan Taehyung memang dikenal sebagai 'perusuh' yang selalu siap membuat flat ini berantakan.
Jimin langsung mengambil tempat di sisi Namjoon—setelah ia melemparkan tasnya ke dalam kamar—bahkan ia ikut mencomot brondong jagung yang baru saja Namjoon panggang.
Sementara Taehyung lebih memilih untuk langsung masuk ke kamarnya. Akhir-akhir ini, mood Taehyung selalu berubah-ubah. Terkadang saat pergi kuliah, ia selalu berseri-seri tapi saat pulang, ia langsung berwajah murung. Entahlah, mungkin pemuda itu sedang banyak hutang.
"Mana Jungkook?" bukannya menanyakan 'bagaimana harimu? atau—ada apa dengan Taehyung?' Seokjin malah menanyakan adik termuda mereka pada Jimin.
"Entahlah, mungkin dia masih di perpustakaan? kau tahu, kegilaannya pada si penunggu perpustakaan itu semakin menjadi," celoteh Jimin dengan nada jengkel. Bukan apa-apa. ia hanya bosan saja selalu ditanyai hal yang sama ketika pulang.
"Lalu kau bagaimana? apa kau berhasil meminta nomor ponselnya?" kali ini Hoseok yang bertanya.
Bibir Jimin mengerucut. "Tidak, tapi—"
"Tapi apa?" sela Namjoon.
Jimin menimbang sejenak. Kejadian siang tadi tiba-tiba terlintas lagi di benaknya, jujur saja, ia masih tidak mengerti dengan itu semua. Namun daripada menceritakannya, Jimin lebih memilih menyimpannya untuk dirinya sendiri dulu. "Tidak—tidak ada yang terjadi. Gadis itu sepertinya tidak tertarik padaku?" Jimin mengakhirinya dengan tawa renyah.
Namjoon dan Hoseok saling pandang. Mungkin bagi orang asing, Jimin adalah pembohong ulung. namun bagi yang sudah mengenalnya, Park Jimin adalah orang yang paling payah dalam berbohong. Baru saja Namjoon hendak bertanya lagi, suara pintu yang terbuka kembali mengalihkan perhatian mereka.
Jungkook masuk dengan bajunya yang basah kuyup. Positive thinking saja, mungkin di luar sedang hujan. Namun bukan hal itu yang menarik perhatian seisi flat.
Berjalan tak jauh di belakang Jungkook, ada Min Yoongi. Pemuda yang menolak mentah-mentah saat diajak tinggal bersama mereka dua tahun yang lalu. Dia datang dengan ransel di punggungnya juga sebuah koper di sisi kakinya.
Jangan lupakan sebuah senyum gusi yang pemuda itu perlihatkan — membuat suasana semakin membingungkan karena pemuda Min itu bukan tipikal pemuda yang mudah mengumbar senyum seperti Jung Hoseok.
Untuk pertama kalinya, pemuda berkulit putih pucat itu tinggal bersama mereka.
Huah apaan ini :"
Permulaan yang cukup panjang
(tapi gaje sekali lol)
Btw ada yang bisa nebak siapa si pelayan sama si penunggu perpus(?)
And then,
wdyt about this first chapter?
See you later♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro