Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#3

Panas terik mentari menyerbu. Menyulut bahang dari permukaan bentala. Menambah irama degup jantung. Memaksa keringat mengalir dari pelipis. Di tengah sorak sorai spektator, pemuda itu terus berlari. Melangkahkan kaki secepat yang ia bisa. Meski sempat terjatuh, beberapa kali. Meski sempat merasa sengal. Meski napas terus memburu.

Aku harus melewati tali biru itu!

Tidak.... Aku hanya harus ... melewati garis itu!

Dengan sekuat tenaga, pemuda itu melompat. Walau tak terdengar lari sorakan pemberi semangat. Walau tak lagi terlihat senyum pemberi gelora pada batang tubuh. Sebab yang terpenting baginya sekarang, hanyalah menyelesaikannya.

Biar tidak ada perasaan resah yang menjadi-jadi.

Akan tetapi, nyatanya tidak demikian.

Sebotol minuman disodorkan. Namun tak kunjung disambut oleh pemuda itu. Bahkan tak terlihat sedikit pun isyarat untuk menerima. Membuat sang penyodor meletakkannya di sebidang tanah.

“Waaah~ tadi itu menyenangkan. Padahal tinggal sedikit lagi, hahaha!”

“Maaf.... Semuanya ... salahku.”

“Eh? Sudahlah! Tidak apa-apa, Yuuki-kun! Kita juga tidak mengincar kemenangan, kok.” Gadis berambut hitam panjang itu menghibur. Tak ada sedikit pun kebohongan terlihat di paras ayunya. Terlalu baik, juga terlalu menyakitkan.

Pemuda itu menundukkan kepala. Melawan dilema kekecewaan dengan pelupuk mata yang kian lembab. Dia menautkan kedua telapak tangan. Mengepalkannya keras. Seraya berbicara dengan bibir yang bergetar, dan gigi yang menggertak. Getir.

“Aku ... lain kali ... a-akan berusaha lebih keras lagi....”

.

.

Dedaunan melirih. Berpadu dengan musim. Merajut asa. Psike anyar terpatri. Pohon maple yang berdiri gagah di taman kota, menerbangkan helai demi helai pateranya yang menguning. Mengisi ruang kosong dirgantara. Berpadu guna membentuk suatu kepermaian.

Anak-anak berkejaran. Diiringi tawa khas ala bocah. Para manusia dewasa terkekeh di sana. Sembari bercengkrama dengan sanak saudara. Tepat di bawah batang pohon maple, dua pasang insan tersenyum sumringah. Mereka menyeruput teh hangat yang tersedia, sesambil melirik ke dua pasang lain yang tengah bersasah-sasahan.

Salah satunya, pemuda itu, menjinjing tinggi-tinggi setangkai bunga matahari. Sedangnya seorangnya lagi, gadis itu, berusaha merebutnya. Terlihat bagaikan permainan anak kecil. Tak ada rasa antipati. Semua rautnya melukiskan harmoni keceriaan.

Hingga gadis itu tersungkur. Seakan mendadak kehilangan keseimbangan. Dan benar saja, air muka pemuda di hadapannya perlahan berubah ganar, resah, risau. Selembar daun kuning mendarat di punggung halus gadis itu.

Pemuda itu bersuara. Memanggilnya dengan nada lirih, sesambil mengguncang pelan pungkurnya. Nihil. Kendati mengharap bahana elok, sedikit tutur pun tak kunjung terdengar. Lara mulai terasa, dibarengi pilu yang menyayat hati. Waktu sekitar terasa berhenti. Hanya ada dia, dia, dan setangkai mentari yang mulai menjatuhkan diri ke tanah lapang.

.

.

Cahaya baskara menyempet masuk melalui celah daun-daun pepohonan. Tangan elok itu terangkat, menjulur ke arah datangnya sinar, seolah ingin menangkapnya, menjadikan salah satu koleksi pada kalbu. Iris birunya berkilau. Lagi, tak terlihat adanya rasa gundah di sana.

Dia menoleh ke samping. Menatap heran sang pemuda yang sedari tadi setia menemaninya, meski sekedar untuk jalan-jalan dan menghirup udara segar di pagi hari.

“... Kenapa ... kau menangis?”

Tak ada balasan. Yang ditanya hanya menunduk. Tak jarang menyeka kuat-kuat pelupuk matanya.

“Sudah, jangan begitu terus. Nanti tidak tampan lagi, loh.”

Gadis itu tersenyum lebar. Memberikan candaan. Berusaha menghibur.

“T-tapi ... Hikari.... Andai aku tidak membuat permintaan itu.... Ini semua ... salahk-”

Jari telunjuk mungilnya memberikan sentuhan lembut di bibir pemuda itu. Seketika menghentikan keinginan untuk melanjutkan pernyataan tersebut.

“Sudah kubilang berkali-kali, berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Lagipula, salahku juga karena terlalu memaksakan diri.”

Dengan satu-satunya tangan yang bisa bergerak bebas, gadis itu memutar kursi rodanya. Menghadapkan diri, berpapasan langsung dengan wajah sang pemuda.

“Aku sendiri juga sedih ... karena harus pindah ... dan berpisah dengan kalian....” Dia menyentuhkan telapak tangannya tepat pada dada pemuda di hadapan. Masih dengan senyuman, dan mimik ceria seperti biasa.

“Suatu hari nanti, saat kita bertemu kembali, aku ... tidak ingin melihat Yuuki Hideo yang lemah, pemalu, pemalas, penakut, pelupa, lambat mengerti, dan mudah dibodohi. Tetapi Yuuki Hideo yang baik, penyabar, da ... dan ... penyayang....” Dia bergetar. Tetap memaksakan diri untuk berkata-kata, meski mata itu semakin berkaca-kaca.

“Aku titipkan kenangan ini di relung hatimu. Karena kita, akan selalu terhubung, seberapa pun jarak yang membentang.”

Lagi dan lagi, dia tersenyum manis. Mengatupkan kelopak mata. Meninitikkan sedikit air dari sela kelopak. Namun di sana, masih terlukiskan seorang perempuan yang kuat dan menawan. Meski dia tau, hal sesakit apa yang menantinya di kemudian hari.

Pemuda itu hanya mengangguk. Disertai sorot mata yang memancarkan sebuah tekad.

“Hn.... Terima kasih, Hideo.”

Bahkan di akhir pun, kau tetap saja tersenyum. Bak tak kenal duka dan gundah.

.

.

“Perempuan itu, mengalami pendarahan di otak. Untuk beberapa waktu ini, dia akan kehilangan kendali atas kedua kaki dan tangan kirinya.”

“....”

“Selain itu ... komplikasinya ...”

.

.

Layu bunga dalam genggaman, tak lagi wangi seperti dulu. Terhempas tiupan sang gegana. Lenyap tertelan kelamnya langit malam. Tangisan, jerit hati, serta lambaian, tidak akan bisa meraih semuanya kembali.

Kelemahan terbesar manusia terletak pada kata menyerah.

... Itu yang pernah kau ajarkan padaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro