Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#2

“Cinta laksana bunga sakura. Dilukis dengan warna yang penuh asmara oleh Sang Pencipta. Rasa damai menggerayangi sekujur tubuh diperantarai dua bola mata. Menyibak lembaran lama penuh kasih sayang.”

“....”

“Hei, kamu. Warna apa yang sedang kau lihat saat ini?”

“....”

“Ahahahah! Kau lucu juga. Ah, perkenalkan, namaku Amamiya Hikari! Kalau kau?”

“....”

“Heee, Yuuki Hideo-kun ... ya? Nama yang keren! Hahahaah!”

“....”

.

.

Bola bisbol menghantam keras dinding kawat. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali, hingga suara yang dihasilkan begitu familiar untuk ditangkap indera pendengaran. Khususnya bagi orang yang berada di dekat dinding tersebut.

Iya, dia. Seorang siswa yang tengah berdiri getir. Rambut hitam legam yang tadinya rapi, kini terlihat acak-acakan. Iris hazel-nya nampak sayu, tak ada daya untuk sekedar memberikan perlawanan.

Lagi, dengan kecepatan tinggi, bola bisbol melewati ujung batang hidungnya. Meninggalkan setitik rasa perih. Namun pemuda itu masih belum bergeming. Atau mungkin ... tidak bisa. Bahkan suara tawa keras dari tiga orang di hadapan malah menambah gaham, memperkukuh aura intimidasi. Menghasut sang pemuda agar tetap mematung.

Suara perlawanan mendadak datang. Berlabuh untuk mengusik kekuasaan para pengganggu. Mereka adalah empat orang siswa, yang salah satunya berpostur gempal dan kekar. Tak butuh waktu lama agar keadaan stabil. Para pengganggu bertolak dari tempat tersebut. Menyisakan keheningan di hati sang pemuda yang masih saja membeku.

“Hideo? Kau tidak apa-apa?”

Seseorang bertanya. Perlu waktu cukup lama agar sang pemuda merespon, sekedar memberikan senyuman tipis kemudian berlalu dengan wajah tertunduk. Sesampai di dekat pintu, pemuda itu menoleh ke belakang. Seraya melontarkan senyum pahit penuh rasa sakit dan mengucapkan kata terima kasih dengan lirih.

Aku ... lagi-lagi ditolong.

Satu demi satu anak tangga ia turuni. Hingga tiba di lorong utama sekolah. Lorong yang terbilang sepi. Tidak banyak siswa yang melintas di sana. Namun seketika, pemuda itu kembali mematung.

Iris hazel-nya bertubrukan dengan iris biru langit milik seorang gadis ayu tepat di hadapan. Kendati dia tersenyum, pemuda itu tak sanggup untuk mengatupkan kembali kedua bibirnya. Dia ... benar-benar sepenuhnya mematung.

Di sebelah gadis berparas cantik itu, berdiri pula seorang gadis yang tak kalah menawan. Entah bagaimana mereka bisa bertemu di sini, bahkan bertepatan setelah kejadian semacam tadi.

Abu-abu mulai terusik oleh berbagai jenis rona.

Hiruk pikuk keramaian menyebar. Mengisi suasana kantin dengan kegaduhan seperti biasa. Pemuda itu, Yuuki Hideo, tengah menikmati makan siangnya. Sendiri, memojok, hanya saja, tidak lama.

“Yo! Yuuki-kun!”

Nada penuh persahabatan itu dilantunkan oleh seorang perempuan, dengan rambut hitam panjang yang terurai. Dia duduk di sebelah Hideo, sesambil menggigit ujung dari roti yakisobanya.

Siswi satunya, duduk berhadapan dengan Hideo. Dia menyibak sedikit rambut hitam sebahunya, kemudian menyedot teh dalam kemasan.

“Woi, Sora! Jangan cuma minum teh saja. Beli makanan sana!”

“Ahahahaha, aku t-tidak lapar kok. Hikari-chan.”

“Hmm.... Kau takut bertambah gemuk ya? Benar-benar cewek ya....”

“A-ah, b-bukan begitu! Aku hanya t-tidak lapar ... sungguh.” Perempuan itu mengibaskan telapak tangannya. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipi.

Tiba-tiba seseorang duduk di sebelah perempuan yang dipanggil Sora tadi. Orang itu, seorang siswa dengan rambut hitam cepak, tersenyum lebar.

“Yo! Hideo! Ekspresimu masih aneh seperti biasa ya. Ahahahah!”

“Taka.... Memangnya aku harus berekspresi seperti apa....”

“Ahahah! Ha, bagaimana dengan para cecurut itu? Kalau mereka datang lagi padamu, jangan sungkan untuk meminta bantuanku ya! Akan aku hajar mereka semua!” Pemuda yang dipanggil Taka itu mengepalkan tangan kuat-kuat.

“Ah~ Taka-sama~ kau memang baik hati seperti biasanya,” sahut Hikari, yang kemudian disambut dengan gelak tawa oleh dua orang lainnya. Hideo hanya tersenyum, dan masih terlihat fokus untuk menghabiskan o-bentō-nya.

“Katanya Futto-Obaa-san lagi promo besar-besar tuh. Oi, Sora! Ayo ke sana!”

“A-anu ... aku tidak lap-”

“Kalau tidak mau memakannya sekarang, makan nanti saja. Sudah, jangan cemas. Biar aku yang traktir!”

“Ti-tidak usa-”

Taka menarik lengan kiri dari Sora. Memaksanya agar ikut beranjak, menuju kumpulan murid yang berkerumun beberapa meter di depan. Tanpa menghiraukan hal itu, Hideo terus saja menyantap bekalnya. Tak jarang, senyum tipis terpatri di sela bibir. Sadar akan hal itu, sontak membuat gadis di sebelahnya tertawa pelan.

“....?”

“Kau tau. Suatu hari nanti, aku ingin menjadi koki di sebuah restoran. Serasa sangaaaat menyenangkan jika masakanmu dinikmati oleh orang lain. Ha! Nee, Yuuki-kun. Ngomong-ngomong, apa cita-citamu untuk masa yang akan datang nanti?”

Yang ditanya menghentikan akfititas mengkonsumsinya. Sekedar menatap lawan bicara yang juga tengah menatapnya, tetapi dengan ekspresi berlawanan. Butuh waktu lama agar mulutnya terbuka, melantunkan beberapa patah kata.

“Aku ... tidak tau. Ah, lebih tepatnya ... aku tidak memiliki hal semacam itu.”

“Hee.... Begitu, y-”

“Aku ... aku ... benar-benar payah, kan. Aku ini lemah, pemalu, pemalas, penakut, pelupa,  lambat mengerti, mudah dibodohi. Bahkan tidak memiliki angan-angan semacam itu.... Benar-benar ... menyedihkan....”

Hikari kembali menggigit roti yakisobanya. Setelah menguyah dan menelannya, ia merespon, dengan senyuman yang masih bersarang.

“Jika tidak punya, berarti kau bisa menjadi apa pun yang kau inginkan nantinya. Dan itu akan menyenangkan, bukan! Aku yakin, Yuuki-kun pasti akan menemukannya suatu hari nanti!”

Dia terkekeh. Masih dengan mimik penuh keceriaan. Paras ayu itu kian menawan. Dibarengi dengan iris cantik bak permata.

Jangan biarkan kelemahanmu menghancurkan hidupmu, itu yang pernah kau katakan dulu.

Tak lama kemudian, Sora dan Taka kembali nimbrung. Mereka masing-masing membawa roti melon dengan ukuran yang lumayan besar.

“Festival olahraga sekitar satu bulan lagi ya?”

“Itu 20 september, kan? Jadi tidak sampai satu bulan. Memangnya kenapa, Hikari?”

“Aku dengar ada lomba estafet maraton untuk empat ora- ha! Ayo kita ikut serta! Ini pasti akan menyenangkan!”

Hideo menautkan kedua alisnya. “Empat ... orang? Jadi, siapa lagi satu orang yang akan kalian ajak?”

“Kau bercanda ya? Bukankah sudah pas empat orang di sini.”

Dengan dipenuhi perasaan ragu, Hideo menunjuk dirinya sendiri. Dan disambut dengan anggukan hangat dari Hikari. Membuat pemuda itu terperanjat kaget. “E-eh!? Aku? Lari? Itu tidak mungkin! Kalian tau sendiri kan bagaimana aku saat pelajaran olahraga?!”

“Sudah sudah, pokoknya kau harus ikut! Kalian setuju kan? Sora? Taka?”

“Hn! Aku tidak masalah dengan hal itu! Lagipula, semakin banyak kesulitannya, akan makin menarik.” Taka tersenyum, memperlihatkan gigi putihnya seraya berpose ala foto model.

“H-hn! A-aku juga setuju....”

“Yosh! Mulai besok, setiap pukul 6 pagi, kita lari 500 meter!”

“He?! Kau tidak bilang kalau itu syar-”

“Oi, Taka! Jangan protes! Di sini aku kaptennya! Yang terlambat, push-up! Wahahahah!”

Di tengah tawa serupa penjahat itu, dia, masih terlihat menawan. Sikap sok menentang hanyalah noktah dari polesan konstruksi hubungan pertemanan. Nada kegembiraan tak khayal menemani. Merajut tali ikatan nan kukuh.

.

.

Sebuah nyanyian telah usai dimainkan. Tertunduk sejenak, tercengang akan sebuah mimpi. Mimpi hanyalah dentingan tangis anak-anak yang tertinggal di rumah. Dalam perjalanan yang sepi, rindu menjadi syair yang megah.

Aku ... hanya ingin terus melihat senyuman itu. Selamanya.

Tapi, apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bersama denganmu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro