XXVII. Ancaman
Keenan sudah berlari selama satu jam mengelilingi taman dekat rumahnya. Ini biasa dilakukan jika isi kepalanya sedang berkecamuk. Biasanya, jika sudah penat, dengan berlari pada malam hari, ia akan bisa membuang semua lelah saat keluarnya keringat. Akal sehatnya pun bisa diajak bekerja sama karena emosinya sudah mereda.
Satu jam seakan belum cukup dan tidak membuat kakinya letih. Napasnya masih saja teratur, tidak tersengal sama sekali. keringat yang bercucuran di dahi segera menghilang ditiup angin malam.
Terbayang jelas wajah Laureen yang tadi dilihatnya di vila milik keluarga Jarvis. Jika tidak ditahan oleh Farrel dengan dalih demi keselamatan adiknya, mungkin Keenan sudah mendatangi Jenar dan mengamuk di sana.
"Kamu harus tenang. Masuk dengan emosi bukan bagian dari rencana kita," tahan Farrel tadi.
"Kamu hanya akan melihat adikmu semakin tersakiti kalau kamu nekat mengacau sekarang," tambah Arsen.
Dewa sebagai kapten mereka pun turut memperingati dari seberang. "Jaga egomu, Keenan. Kita nggak berhadapan dengan orang biasa. Pasti ada dalang lain di balik istri Jarvis. Nggak mungkin dia punya kendali atas semua ini. Kita tahu siapa perempuan ini. Kita harus membuat Sofia bisa dibawa ke sana dan mengecek kondisi adikmu."
"Nggak. Sofia nggak boleh masuk ke sana. Akan sangat berbahaya kalau Sofia yang ke sana. Anak kecil itu. Itu pasti anaknya Sofia. Dia bisa lebih labil dibanding aku," bantah Keenan dengan cepat. Di saat seperti ini, ia tetap bisa memikirkan bagaimana perasaan Sofia.
"M-maksudmu, anakku juga ada di sana?" Dewa tergagap mendengar pernyataan Keenan. Wendy yang sedari tadi terus di dekatnya bisa melihat wajah Dewa seketika memucat dan pias.
"Aku yang akan masuk ke sana," tambahnya dengan ego yang sama seperti Keenan.
"Kamu akan berlari sampai napasmu berhenti?" Pertanyaan itu mengagetkan Keenan yang sedari tadi memikirkan cara untuk bisa menerobos vila keluarga Jarvis untuk menyelamatkan adiknya dan anak Sofia.
"Huga? Sejak kapan kamu di sini?"
Huga sudah sepuluh menit ikut berlari di belakang Keenan sembari membaca gerak-gerik Keenan yang sepertinya kalau pun ada peluru mengarah padanya tidak akan disadari.
"Kamu menemukannya, kan?" tebak Huga sekenanya.
Keenan berhenti mendengar pertanyaan tersebut. Ia tidak pernah bercerita banyak pada Huga tentang apa yang dipikirkan, tapi teman di tim lamanya itu tahu tujuannya bekerja keras selama ini.
Keenan menepi diikuti Huga di samping kirinya. Keduanya duduk sembari menjulurkan kaki. Keenan menerawang jauh ke langit yang hitam pekat. Tidak ada satu galaksi pun yang menerangi kegelapan langit malam ini. Namun demikian, langit itu tidak berteriak melalui petir atau pun menangis melalui hujan karena tidak ada peneman. Keenan belajar daripada itu.
"Menurutmu, apa yang akan dilakukannya jika dia tahu aku menemukan Laureen?"
Huga mengendikkan bahu. "Mungkin aja dia akan mengeluarkanmu dari tim penting itu."
Keenan menyeringai remeh. "Aku akan membuatnya memberi alasan sebenarnya, kenapa ia menyerah mencari Laureen! Pasti bukan karena surat kaleng si*alan itu."
***
"Kamu jarang sekali ada di rumah belakangan ini."
Keenan yang baru melewati ruang keluarga, masih dengan setelan parasut olahraganya, harus berhenti menyapa tetua rumah yang di malam larut ini menonton berita di televisi.
"Tim ini sangat sibuk. Aku nggak bisa memejamkan mata walau hanya semenit," sahutnya dengan tawa hambar di ujung kalimat.
Keenan menyadari, bukan itu yang dibutuhkan Lais sebagai jawaban.
"Kamu membiarkan Mama terlalu sering menghabiskan waktu sendirian. Itu nggak baik untuk kesehatannya. Kamu tahu seperti apa reaksi Mamamu jika sendiri terlalu lama, kan? Dia bisa lebih kacau dari pada awal-awal kejadian." Lais berbicara tanpa menatap putranya sama sekali. Atensinya masih saja berfokus pada layar persegi panjang yang mengabarkan tentang tertangkapnya seorang wakil bupati yang ketahuan menggelapkan anggaran untuk kepentingan pribadi.
Masih berdiri di tempatnya, tanpa niat mendekat sama sekali, mengumpulkan segenap keberanian untuk berucap "Aku menemukan Laureen."
Tiga kata itu berhasil mengalihkan Lais dari tontonannya. Rahangnya mengeras. Tatapannya tajam. Ia bahkan bangkit dari duduknya. Mendekat pelan pada Keenan yang masih terpaku di tempat. Keenan belum pernah melihat tatapan ini sebelumnya—jika berkaitan dengan Laureen. Bukan tatapan haru, melainkan tatapan kebencian.
"Kamu masih mencarinya? Bukankah Papa bilang berhenti melakukannya? Sampai kapan kamu akan berfokus pada anak itu? Kamu mau mengorbankan dirimu sejauh apa, Keenan?!" bentah Lais dengan wajah memerah padam.
"Aku nggak ngerti dengan cara berpikir Papa. Kenapa Papa selalu menghindar? Kenapa Papa berhenti untuk menemukan Laureen? Dia anak Papa. Dia nggak ada bedanya dengan aku, Pa. Papa mengkhawatirkan kondisi Mama yang sering kacau tapi Papa nggak berupaya menemukan obatnya? Sebenarnya apa yang Papa sembunyikan? Ini bukan tentang surat kaleng itu, kan? Ada hal lain di balik ini sampai Papa berhenti, kan?" Keenan tak kalah kerasnya dibanding Lais. Perseteruan seperti ini bukan sekali dua kali terjadi sejak menghilangnya Laureen. Bersitegang sudah menjadi hal yang lumrah dalam berpendapat.
"Berhenti membicarakan tentang dia, Keenan." Lais memberi peringatan pada Keenan untuk tidak bertindak lebih jauh. Ada nada mengancam dalam sebaris kalimat yang diucapkannya.
"Aku akan membawa dia pulang segera, Pa." Keenan tidak dengan mudah menurut jika ini tentang adiknya.
"Besok, kamu akan dikeluarkan dari Tim Golden Human!"
Lais melangkahkan kakinya dengan amarah yang masih memenuhi diri. Keenan tidak terima dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia tidak boleh keluar dari tim itu begitu saja. Ini sudah mendekati garis finish. Ia hanya perlu menjemput Laureen dan semua akan berakhir. Lais tidak boleh menghancurkan perjalanannya begitu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro