Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XX. Tentang Harga Diri

"Kamu benar-benar menerima perintah itu untuk bergabung dengan si Dewa?" Pertanyaan itulah yang terdengar begitu Keenan menginjakkan kaki di rumah.

Keenan yang baru saja pulang dari markas, belum mandi, masih penat, diharuskan untuk meluruskan terlebih dahulu hal pelik ini dengan sang komandan.

"Sebagai bawahan udah semestinya aku menaati perintah atasan. Kalau memang Papa nggak berkenan aku bekerjasama dengan dia, seharusnya saat namaku diajukan Papa melarang mereka, bukan malah menandatangani berkas itu," balas Keenan dengan tenang. Tidak menunjukkan sama sekali kelelahannya.

"Kamu punya hak untuk menolak."

"Papa lebih punya hak untuk melarang."

Tatapan mereka sama-sama tajam. Tidak ada yang berkedip untuk sementara waktu. Apabila di lapangan Keenan bisa membaca gerak-gerik orang lain melalui cara bercerita dan tatapan, khusus untuk komandan polisi satu ini ia tidak bisa melakukannya. Padahal itu adalah orang tuanya sendiri. Mungkinkah karena sikap diam papanya?

Keenan menuju sofa dan merebahkan tubuh tegapnya di sana. Kaki kanan ia sila di atas kaki satunya. "Aku rasa udah waktunya kita bongkar semua, Pa? Sampai kapan kita berlagak seolah nggak ada yang terjadi apapun dalam keluarga ini? Papa tega lihat Mama yang terus-menerus seperti itu? Dia hidup tapi seakan nyawanya udah nggak ada. Papa nggak kangen dengan Laureen? Bisa Papa hidup dalam diam seperti ini?"

Lais tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia bahkan tidak sudah mengalihkan atensi dari Keenan sejak tadi. Tangannya bersedekap di wajah. "Kamu lupa pada surat yang kita terima tiga bulan setelah Laureen menghilang?"

Tidak. Keenan tidak akan pernah melupakan surat kaleng yang ditulis dari orang tak beradab tersebut. Karena surat gila itu keluarganya tidak bisa bergerak. Keluarganya harus bungkam demi Laureen karena surat ancaman itu.

"Tapi udah sejak lima bulan lalu kita nggak pernah dapat lagi kabar tentang Laureen, Pa. Gimana kalau mereka telah bertindak jauh dan kita kehilangan Laureen?"

"Mereka nggak akan berani melenyapkan Laureen," tegas Lais, begitu yakin dengan kalimat yang dilontarkannya.

"Papa lebih percaya pada mereka dibanding kemampuan kita menemukannya?" tanya Keenan dengan nada mendesah kecewa pada Lais. Ia sudah lelah pada papanya yang selama ini terkesan menyerah pada keadaan. Entah di mana semangat juang yang sedari dulu sering menyala di mata sang papa. Semua menghilang sejak Laureen diculik. Terlebih sejak surat-surat itu berdatangan, Lais semakin diam dan bungkam. Menyerahkan hidup Laureen pada penculik seakan menjadi pilihan yang jauh lebih baik daripada menyelamatkan putrinya.

"Pa, aku berterima kasih karena Papa menandatangi surat itu. Membiarkanku masuk dalam tim tersebut walau ada Dewa di dalamnya. Papa tenang aja, masalah Dewa aku bisa menjinakkannya. Pun, aku rasa sekarang dia yang akan menurut padaku. Mengenai Laureen, aku pastikan menemukannya dalam waktu cepat. Bukan hanya Laureen, tapi juga korban lainnya." Keenan beranjak dari duduknya, berniat segera masuk kamar untuk membersihkan diri. Badan lengket membuatnya tidak nyaman sama sekali.

"Kalau sesuatu yang berbahaya mendekatimu, tinggalkan semua itu," peringat Lais pada Keenan yang tidak ditanggapi sama sekali oleh anaknya. Putra sulungnya hanya tersenyum tanpa terlihat dan langsung pergi.

***

"Kalau dipikir-pikir Keenan itu nggak seburuk yang digosipkan, ya?" Farrel membuka pembahasan sembari memberikan jeruk pada Arsen yang duduk di sampingnya. Seperti biasa, mereka tidur di markas. Bahkan di sudut ini sudah seperti kamar pribadi milik mereka. Makanan, pakaian sudah bertumpuk. Di bagian belakang juga pakaian selesai cuci juga berjejer rapi dijemur. Sungguh, polisi irit.

Arsen mengangguk setuju dengan yang disampaikan Farrel. "Sedikit merasa bersalah karena sempat julid waktu dia pertama dia datang. Salah dia juga sih, sombong banget cara bicaranya."

"Kita seperti itu mungkin karena udah lama bekerjasama dengan Pak Dewa, jadi kita selalu berpihak pada atasan kita. Kita hanya mengenal dia dari cerita yang beredar," tambah Farrel mengungkap penilainnya sekarang tentang Keenan.

"Dalam hal kerja kuakui dia sangat hebat. Walau dia berada dalam tim narkotika, dia menyempatkan diri mencari bukti-bukti yang berkaitan dengan menghilangnya anak-anak cacat itu. Ternyata, adiknya adalah alasan. Itu benar-benar butuh usaha dan menguras pikiran. Dia tetap profesional di bidangnya tanpa melupakan keluarganya. Itu suatu hal yang patut diapresiasi menurutku. Kamu pernah dengar, dia selalu yang menangkap para pengedar itu padahal dia terlihat abai saat rapat dan masa pengintaian? Sekarang aku baru mengerti makna kalimat orang cuek itu sebenarnya peduli. Mereka nggak menunjukkan kepedulian dari bicara tapi dari sikap." Arsen benar-benar memberi pujian untuk Keenan. Dia super salut akan cara Keenan dalam bekerja. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya dari Dewa.

"Menurutmu, apa karena ini Pak Dewa berselisih dengan dia dulunya?" Farrel ingin tahu. Selama ini hanya beredar berita bahwa Dewa sang senior disingkirkan oleh Keenan karena kuasa Lais.

"Nggak sepenuhnya salah." Wendy yang entah sejak kapan ada di ruangan ini ikut bersuara.

"Hei, kamu belum pulang?" Farrel terkejut dengan keberadaan Wendy yang tiba-tiba muncul.

"Aku tertidur tadi di sofa sebelah sana. Kalian terlalu asik bergosip sampai melupakanku." Wendy mengambil sisa jeruk yang ada di tangan Arsen dan langsung memasukkannya ke dalam mulut.

"Pak Dewa dulunya nggak tahu kalau misal Keenan itu anak dari Pak Lais. Dia senang saat melihat kemampuan Keenan yang berbeda dari junior lainnya. Dia mendekati Keenan pun bukan karena siapa Keenan, melainkan untuk memberi suport agar Keenan tidak menyerah. Sepengetahuanku, Keenan sempat ingin menyerah karena ada beberapa hal yang mengganggu. Pak Dewalah yang membangkitkannya.

"Nah, ketika senior lain menyebut Keenan anaknya Pak Lais di situlah muncul berita miring bahwa Pak Dewa memanfaatkan Keenan untuk kenaikan jabatan. Salahnya Keenan tahu di mana? Dia nggak mengklarifikasi apapun sama sekali. Sehingga Pak Dewa dianggap bermain busuk dan dilengserkan dari kantor pusat. Sementara Keenan tetap di sana dan langsung menjadi anggota Tim Morfin. Tahu dong, seberapa kerennya tim itu dulunya. Tim itu adalah tim yang diincar Pak Dewa sejak awal. Makanya Pak Dewa sangat merasa terkhianati," papar Wendy secara jelas mengenai titik terang permasalahan Dewa dan Keenan yang selama ini simpang siur.

Arsen dan Farrel hanya mengangguk-angguk ketika mendengar cerita itu. Mereka percaya, tapi ada juga hal yang mengganjal. "Melihat Keenan sekarang, aku rasa dia pasti punya alasan khusus kenapa saat itu nggak memberikan klarifikasi. Dia juga pasti nggak mungkin mengkhianati senior yang selama ini ada di pihaknya," ucap Arsen yang mulai menunjukkan gelagat berada di pihak Keenan.

Wendy mengangkat bahu. "Selama belum ada keterbukaan dari pihak Keenan, aku akan tetap bersama Pak Dewa. Aku percaya apa yang aku lihat."

"Tugas polisi juga mencari tahu apa yang nggak terlihat," pungkas Farrel merasa tidak puas dengan Wendy.

Kesal dengan keduanya, Wendy melempar kulit jeruk ke wajah Farrel, dan memilih pulang saja. Sampai kapanpun ia akan berada di sisi Dewa. Meski Dewa kasar dan tak berperasaan, ia tahu terselip kesepian dalam diri lelaki itu. Itu terkait dengan kepercayaan yang telah direnggut oleh Keenan. Tentang harga diri.

👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro