XVI. Rasa Bersalah Dewa
Dewa menghisap kuat gulungan tembakau yang dibungkus kertas berwarna putih. Tak selang berapa lama ia mengembuskan asap yang mengepul dari mulut. Raut wajahnya menerangkan betapa ia sedang tidak baik-baik. Di dekat kakinya sudah sekitar lima puntung rokok berserakan.
"Wah, ternyata kamu belum berubah sama sekali," tegur Keenan yang menyenderkan badan di pintu dengan tangan melipat di dada.
Walau tadi ia menyumpal telinga dengan earphone, bukan berarti ia tidak mendengar apa yang dibicarakan oleh anggota lainnya. Ia tidak memutar musik apapun saat itu, ia hanya tidak ingin terlibat dengan perbincangan mereka, sehingga memilih mengasingkan diri dengan cara yang aman.
Menjadi Dewa pun benar seperti apa kata Wendy, tidak ada yang tahu apa yang dirasakannya. Hanya karena dia seorang lelaki bukan berarti dia kuat. Mungkin, Sofia jauh lebih kuat dibanding dirinya, tapi tertutup oleh perawakannya yang keras seolah apapun bisa ditangani.
"Sampai kapan mau bersembunyi?" Keenan mendekat dan merampas cerutu yang masih tersisa setengah lagi. Santai saja Keenan melemparnya ke tanah dan memijak dengan gaya putar untuk membinasakan cerutu tersebut.
Dewa seketika terpancing emosi. "Berhenti ikut campur urusanku. Masuk dan selesaikan pekerjaanmu dengan benar!" hardiknya.
Membalas dengan amarah? Itu bukanlah gaya Keenan. Ia memperhatikan Dewa lebih intens lagi. Matanya sembab dan merah, sepertinya lelaki bertubuh kekar itu sempat menangis untuk beberapa waktu.
"Aku selalu bertanggungjawab atas beban apa yang aku pilih. Aku nggak akan memilih kalau aku merasa nggak mampu untuk melaluinya. Aku bukan pecundang," ujar Keenan begitu tenang.
Sorot mata Dewa penuh amarah. "Kamu menyindirku? Kamu senang bahwa kini aku lagi-lagi bisa ditertawakan olehmu? Bahkan anggota timku sendiri merendahkanku!"
"Kamu mendengar tawaku?" tanya Keenan melebarkan senyumnya. "Kemampuanmu berkembang pesat. Kamu bahkan bisa tahu apa yang orang lain nggak lakukan," ucapnya sambil bertepuk tangan. "Tunggu, jika itu tidak benar, bukankah itu namanya tuduhan?"
Dewa berdecak kesal dan bangkit dari duduknya. "Maumu apa, hah? Sedari tadi berbicara omong kosong. Kalau kamu memang mau mencari perkara, lekas jelaskan di mana masalahmu kali ini?"
"Baik. Dengarkan aku," Keenan menarik kursi yang tadinya diduduki oleh Dewa. Kini kursi itu telah berganti pengguna. "Kamu nggak bisakah membedakan urusan pribadi dan pekerjaan? Hanya karena masalalumu dan Sofia terkuak, kamu mengabaikan pekerjaan begitu aja? Semestinya dengan kamu tahu bahwa ibu korban itu adalah Sofia, kamu harus bisa bergerak lebih cepat. Itu artinya anakmu sedang dalam bahaya. Kamu nggak mengkhawatirkannya? Hanya karena kamu nggak tahu selama ini dia hidup bukan berarti kamu nggak punya belas kasihan, kan? Terserah gimana pun masalalumu dulu dengan Sofia, cukup pikirkan anak yang tak berdosa itu. Anak yang kamu sia-siakan. Anak yang nggak kamu harapkan."
Dewa bergeming. Teriknya matahari menyusutkan isi kepalanya. Kalimat-kalimat yang diucapkan Keenan turut menusuk pikirannya.
Keenan tidak sepenuhnya salah dalam berpendapat. Bahkan bisa dikatakan sebagian besarnya adalah benar. Rasa bersalahnya kian membuncah saat tahu bahwa Sofia melahirkan anak itu sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa ia tahu. Sofia membesarkannya serta kehilangannya pula. Di mana Dewa, ayah dari anak itu? Ia sedang menikmati hidup dengan pikiran bahwa anak itu tidak pernah ada di dunia ini.
Isi pikiran Dewa saat ini sungguh tidak stabil. Ia ingin sekali berbincang dengan Sofia selaku orang tua dari Diana. Tapi, jika dipikir kembali, untuk apa? Sofia bahkan sangat jijik melihat wajahnya. Lantas, ketika ia nanti bertemu Diana, akankah anak kecil itu bisa menerimanya? Atau turut membencinya seperti yang dilakukan Sofia? Sebelum jauh berpikir ke sana, ia teringat, pernahkan Sofia menceritakan tentangnya pada Diana? Apa yang diceritakan? Sh*t! Segala pertanyaan tidak jelas berlalu-lalang dalam kepalanya.
"Sofia udah bergerak. Kita harus melindunginya di sana dan harus terus memantai pergerakan. Ingat, dia bukan aparat seperti kita. Dia bisa aja jadi korban berikutnya. Kalau kamu nggak ingin menambah rasa bersalahmu yang udah berton-ton itu, kamu harus bisa mengesampingkan urusan pribadimu itu. Bekerjalah sebagaimana kapten semestinya. Kami, anggotamu, nggak akan bisa bergerak kalau Kapten hanya duduk diam dan menghabiskan berpuluh-puluh rokok di sini."
Sungguh, Keenan berkata demikian bukan untuk menyinggung Dewa yang seharian ini termenung seperti pemalas. Ia melakukan percakapan ini demi berlangsungnya pengintaian dan segera menemukan dalang di balik organisasi gelap tersebut.
👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro