XV. Siap Mengintai
Sofia sudah berbaris dengan pelayan lainnya di ruang tamu rumah megah milik Jarvis. Sofia sempat menghitung jumlah semua yang berbaris di ruang tersebut, totalnya ada dua puluh lima orang; lima belas pelayan dan sepuluh pengawal. Sofia tercengang saat menghabiskan hitungannya.
Sudah pukul sepuluh pagi, tapi ia masih belum melihat target mereka ataupun sang tuan rumah. Ia hanya melihat Putra berdiri di tengah-tengah mereka, mengecek satu per satu para pelayan dan pengawal. Dilihat dari tag namenya ia adalah leader mereka semua.
"Selamat bergabung untuk anggota baru. Harus kalian ketahui, kalian hanya akan bisa keluar dari rumah ini di akhir pekan. Selama di sini kalian hanya diperbolehkan menggunakan ponsel saat malam hari, pukul sebelas malam sampai pukul empat pagi. Setelah itu akan kembali dikumpulkan pada ketua masing-masing. Apa pun yang kalian lihat di rumah ini, jangan pernah berani memberitahunya ke luar. Satu kata yang keluar maka akan ada hal menimpa kalian. Mengerti!" tukas Putra dengan keras.
"Siap, mengerti!" jawab mereka semua serempak.
Jujur saja, sebenarnya Sofia tidak mengerti dan ingin bertanya. Memang apa yang disembunyikan di rumah ini sampai segala sesuatunya harus ditutup rapat? Ada pembunuhankah di sini? Atau para pelayan akan dijadikan pela*ur? Atau ada pesta narkoba di tempat ini? Akal pikiran Sofia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk semua pertanyaannya melihat semua pelayan dan pengawal menyanggupi syarat tersebut.
Putra melangkahkan kakinya mendekati Sofia yang berdiri nomor tiga dari ujung kiri. "Kamu anggota baru lulusan S2 itu, kan?" tanya Putra dengan wajah yang sangat dekat, membuat Sofia menjadi begitu tegang hingga kesulitan bernapas.
"Benar," jawab Sofia tanpa berani menatap.
"Kamu menggerai rambutmu? Apa kamu ingin menebar pesona di tempat ini? Siapa yang ingin kamu goda?" sarkas Putra. Sofia menjadi semakin khawatir, takut alat penyadap yang diselipkan dalam telinganya bisa ditemukan.
Beruntung Putra segera berbalik arah. Tidak lupa ia menujuk Sofia dengan telunjuk kirinya, "Segera ikat rambutmu sebelum membuat kami semua gerah karena rambut berantakanmu," peringatnya.
"Baik, Pak," jawab Sofia dengan patuh. Ia segera menyisir rambut dengan jemari dan mengikat asal. Tidak lupa sebagian dibiarkan terurai untuk menutup telinga kanan.
Setelah memberitahu beberapa himbauan, Putra meninggalkan semuanya dan para pekerja pun pun segera menuju bagian masing-masing. Sementara ini, Sofia masih ditugaskan di bagian belakang rumah sampai waktu yang tidak ditentukan.
***
"Kamu tahu kabar Sofia sekarang? Aku menghubunginya sedari tadi tapi nggak bisa," keluh Farrel dalam kondisi berdiri cemas tak menentu.
Arsen mengangkat sebelah alisnya. Tangannya sedang melipat kertas bekas membentuk pesawat terbang. "Sejak kapan kamu peduli tentang Sofia?"
Farrel merapatkan tubuhnya ke meja kerjsa Arsen. "Dia ibu korban dan salah satu kolega kita. Kalau dia kenapa-napa gimana? Kita harus selalu mengawasi dan melindungi dia," alasannya.
"Bisa banget buaya kalau ngomong," celetuk Arsen yang mendapat cibiran dari Farrel.
"Dari apa yang aku dengar, mereka nggak dibolehkan pakai ponsel selama jam kerja. Mereka juga hanya bisa pulang di hari sabtu dan kembali minggu malam," sahut Wendy yang masih berkutat dengan laptopnya. Kacamata yang bertengger di hidungnya menunjukkan betapa fokusnya ia pada pekerjaannya sekarang.
"Kamu memasang alat penyadap di sana?" tanya Farrel dengan raut kagetnya.
Wendy mengangkat dagu menunjuk Keenan yang sedang mendengar musik di tempatnya.
"Wah, ternyata dia memang sigap dan cepat dalam bekerja," puji Arsen yang mulai terpesona dengan cara kerja Keenan.
"Itu bisa dipastikan aman, kan? Sofia nggak akan ketahuan, kan?" Farrel masih dengan kekhawatiran tidak berdasarnya.
"Dia nggak akan terluka sama sekali. Aku yakin itu. Selama ini dia bisa berjalan kuat seorang diri setelah apa yang dialami. Perempuan mana yang akan setangguh itu setelah ditelantarkan oleh berbagai pihak? Jaman sekarang bisanya frustrasi dan berujung bunuh diri," sahut Arsen yang secara tidak langsung mengagumi cara Sofia bertahan hidup.
Farrel mengalihkan atensinya ke meja kerja Dewa. "Aku masih nggak nyangka dia setega itu. Padahal Sofia cantik. Kalau memang nggak mau tanggungjawab, kasih aku aja. Aku siap kok," celetuknya asal.
"Kayak paling mampu aja," cemooh Arsen tertawa.
"Kita nggak pernah tahu apa alasan Pak Dewa mengambil keputusan itu. Pasti berat kan jadi Pak Dewa. Dia harus mengabaikan kekasihnya yang sedang mengandung anaknya sendiri. Jangan menghakimi setelah melihat satu sisi," ketus Wendy yang sangat menentang pernyataan Farrel.
Farrel dan Arsen segera menutup mulut melihat reaksi Wendy. Sepertinya cinta telah membutakan perempuan itu. Ia bahkan tetap membela seseorang yang dicintainya sekalipun telah mengetahui perbuatan tidak baiknya di masa lalu.
"Cinta memang bisa menutup mata batin," bisik Farrel sebelum benar-benar tutup mulut.
👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro