XIII. Luka yang Dibuka
"Kita harus menggugurkannya." Itulah kalimat yang diucapkan Dewa kala mengetahui kekasihnya hamil.
"Kamu gila? Kamu sendiri yang bilang akan bertanggungjawab kalau sesuatu terjadi padaku. Mana sikap laki-lakimu? Kita menjalin hubungan bukan satu atau dua bulan, Wa. Kita udah hampir lima tahun pacaran. Selama ini aku selalu percaya dengan kamu, karena kamu selalu bertindak sesuai ucapan. Tapi, kenapa kali ini berbeda, Wa? Kenapa kamu berubah setelah ini terjadi pada aku?" Perempuan yang menutupi tubuh dengan kardigan abu gelap tersebut terduduk lemas di tangga taman sembari menangis. Tubuhnya berguncang karena tangisannya yang keras.
Dewa kelabakan dibuatnya. Kabar yang dibawa kekasihnya ini bukanlah kabar gembira yang patut diapresiasi ataupun diumumkan pada khalayak ramai. Dia pun tidak menyangka bahwa perbuatan mereka akan berdampak sejauh ini. Dewa yakin, selama ini ketika mereka berhubungan ia selalu memakai pengaman dan memastikan tidak ada yang terselip. Ini sungguh kecelakaan.
"Sofia, berhentilah menangis. Orang-orang bisa beranggapan aku melakukan hal buruk padamu," bujuk Dewa sembari melirik kiri-kanan, khawatir dengan orang-orang yang lewat dan menatap aneh pada mereka.
"Kamu memang telah berbuat jahat padaku!" teriak Sofia mengabaikan perhatian orang-orang. "Peringatan orang-orang agar nggak terbujuk rayu manis laki-laki semestinya kupegang teguh. Aku bodoh terlena dengan omong kosongmu! Aku bodoh percaya pada kata busukmu! Aku menyesal dengan semua ini, Wa. Aku menyesal!" rintihnya dengan begitu sesak. Sofia sudah sesegukan. Bahkan untuk berbicara saja ia sudah tidak jelas dan terputus-putus.
Dewa membawa Sofia dalam pelukannya. Sesekali menepuk punggun lemah itu. "Ini sulit untuk kita berdua, Sof. Aku nggak pernah tahu akan seperti ini jadinya. Kita hanya melakukannya dua kali. Siapa yang menyangka akan berakhir begini?" Dewa menarik napas pelan dan kembali pada putusan awalnya, "Demi keberlangsungan hidup kita, kita gugurkan ya."
"Nggak punya otak kamu!!" maki Sofia yang langsung melepaskan pelukan Dewa dan beranjak untuk meninggalkan Dewa di tempat itu.
Panggilan Dewa diabaikan begitu saja. Sofia tidak butuh laki-laki tidak bertanggung jawab seperti itu. Percuma punya badan kekar, wajah tampan, keluarga bermartabat, tapi akal pikiran tidak digunakan dengan benar. Ini kali pertama Sofia menyesal mengenal lelaki yang telah berkencan dengannya sejak enam tahun yang lalu.
***
Sebuah tamparan melekat di pipi kiri Dewa begitu ia berkumpul dengan timnya. Alangkah terkejutnya anggota Tim Golden Human saat melihat Sofia dengan berani melayangkan tangan halusnya pada pipi kapten mereka. Siapapun dapat melihat emosi dalam diri Sofia yang masih tertahan. Dadanya naik turun mengatur napas yang susah terkendali.
Beberapa kali bertemu Sofia, ini kali pertama Keenan melihat luapan emosi Sofia yang meletup-letup. Bukan hanya emosi berbentuk amarah, tapi juga ada raut kesedihan serta kekecewaan di dalamnya.
Dewa yang biasanya akan membalas siapa saja berbuat kasar padanya, kini hanya mematung tanpa niat membalas sama sekali. Ia menunjukkan pada anggota timnya bahwa ia memang pantas mendapatkan tamparan tersebut. Hanya saja mereka tidak dapat memahami alasan di balik itu semua, terutama Wendy. Ia ingin memaki Sofia, tapi melihat raut wajah Sofia yang masih dikuasai amarah, Wendy memilih diam.
Memaksakan kedua sudut bibirnya membentuk senyum, tanpa berani menatap Sofia, Dewa bersuara pelan, "A-apa kabar k-kamu?"
Sungguh, ini kali pertama anggota tim melihat Dewa terbata-bata saat berbicara dengan orang lain. Mereka semakin penasaran dengan apa yang dimiliki keduanya. Arsen dan Farrel tidak melepaskan atensi mereka sama sekali dari Sofia. Mereka ingin tahu apa jawaban yang akan dilontarkan perempuan berambut panjang tersebut.
"Ber*ngs*k!!!" umpat Sofia kembali menampar pipi Dewa dengan keras. Kali ini bukan hanya tamparan yang dia berikan, tapi air matanya juga turut tumpah mewakili segala emosi yang tertahan.
Lagi, Sofia ingin memaki dan memukul lelaki itu lebih keras, tapi Dewa dengan sigap menahan kedua tangan Sofia. Ia mengunci kedua pergelangan tangan Sofia dengan tangan besarnya. Genggaman Dewa melemahkan pertahanan Sofia. Bagaimana pun, Dewa adalah satu-satunya lelaki yang pernah mengisi hidupnya dan menemani sebagian perjalanannya. Meski lelaki itu pula yang mendorongnya dalam curamnya jurang masa depan.
"Emosimu akan mereka setelah memukulku? Ini akan menjadi solusi untuk menemukan anakmu?" tanya Dewa sembari mengigit bibit bawah bagian dalam. Ia masih tidak berani menatap Sofia. Bukan karena takut, tapi karena rasa malu.
"Anakku?" Sofia tertawa besar saat mengulang pernyataan Dewa. Ungkapan tersebut menyadarkannya akan percakapan mereka terakhir kali.
Sofia benar-benar tertawa seperti manusia kehilangan akal. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Ia juga turut menyeka air matanya. "Benar. Dia memang anakku. Akulah satu-satunya orang tua yang dia punya. Itu lebih baik daripada yang sebenarnya. Dia nggak pernah punya Ayah."
"Kamu harus minum teh hangat di saat seperti ini. Aku akan memesankannya," ujar Dewa.
"Berhenti berlagak peduli dan mengingat hal sepele tentang aku. Kamu bukan lelaki yang pantas melakukan itu. Kamu lelaki yang harusnya lari dari tanggungjawab." Sofia mengalihkan pandangannya pada keempat anggota tim Golden Human. "Diakah kapten kalian? Aku bingung, kenapa pengecut seperti dia bisa kalian percaya sebagai kapten. Hati-hatilah dia akan mengkhianati kalian!"
Sofia mengambil tasnya di kursi dan segera meninggalkan semuanya. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri setelah bertemu Dewa. Sosok yang paling dibencinya di muka bumi kini kembali menampakkan diri dan mereka harus bekerjasama? Oh Tuhan, haruskah ia kembali merasakan penjara masa lalu? Ini terlalu tidak adil baginya yang sudah berusaha keras bangkit seorang diri.
👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro