Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

III. Harapan Yang Sempat Hilang

Keenan telah tiba di salah satu hotel, tempat yang sesuai dengan informasi dari Huga. Jika diperhatikan dari luar, hotel ini tampak kumuh dan bahkan mungkin tidak banyak pengunjungnya. Akan tetapi, lihatlah banyak mobil mewah dan motor gede yang terparkir di basemen.

Saat masuk ke lobi utama, tidak ada satpam atau pun perempuan cantik yang menyambutnya. Di balik meja resepsionis hanya duduk seorang wanita berusia sekitar empat puluhan. Wanita berambut keriting itu bahkan tidak peduli sama sekali dengan kehadiran Keenan. Ia sibuk dengan ponselnya. Keenan mengintip, ternyata ia sedang live di salah satu media sosial sambil menyanyi-nyanyi tidak jelas.

Ponsel Keenan kembali berdering. Huga. Di waktu yang tepat lelaki itu menelepon. "Kamu nggak salah kasih alamat? Ini semacam rumah hantu nggak berpenghuni," protes Keenan.

Huga menyambut protesan tersebut dengan tawa renyahnya yang khas. "Sudah aku duga kamu akan mengomel. Kamu nggak akan menemukan kemewahan di lantai itu. Abaikan perempuan tua di bagian resepsionis. Pergilah ke bagian belakang hotel, di sana kamu akan menemukan sebuah kejutan."

Huga tidak berbicara sampai selesai dan langsung memutuskan panggilan telepon. Mengikuti saran Huga, Keenan mengambil langkah menyusuri lorong dengan kamar-kamar—yang dijamin tak berpenghuni—menuju belakang. Keenan menelengkan kepala ketika berada di ujung lorong.

"Sialan. Kejutan apaan? Aku hanya berhadapan dengan toilet di sini. Para pengedar nongkrong di toilet sambil bermain kartu? Lalu mereka menenggak miras sambil diguyur air keran? Ah, sh*t, Huga mempermainkanku!" makinya sambil menendang pintu toilet.

Mencengangkan! Segala kebisingan merusak indera pendengaran. Di balik pintu toilet yang semestinya berisikan keran dan WC, kini justru berubah menjadi kelap-kelip lampu yang menyala, musik keras yang dimainkan DJ, serta sorakan dari para pengunjung.

"Tutup pintu kalau nggak jadi masuk, brengs*k," ujar salah seorang lelaki bertubuh pendek.

Keenan segera menyadarkan diri dan melangkahkan kaki ke dalam. Benar apa kata Huga, ini kejutan. Siapa yang menyangka jika hotel kumuh ini nyatanya menyembunyikan diskotek glamor.

Tidak ada siapapun yang menggubris kehadirannya. Semua sibuk dengan diri sendiri. Ada yang menggoda para pelayan, menggoda perempuan yang berpakaian minim bahan, ada pula yang terus menenggak miras sampai berbotol-botol.

Keenan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang besar ini. Penglihatan tajamnya sama sekali tidak terganggu walaupun sesak dengan orang-orang yang sibuk meloncat saat bergoyang. Sorot mata difokuskan untuk mencari target yang sejak empat bulan belakangan ini menjadi incaran.

Di dekat meja bar, Keenan menangkap tingkah mencurigakan dari dua orang yang sedang berbincang. Mulut mereka tidak berhenti tertawa dan bercerita, tapi tangan mereka saling menukar benda kecil yang hilang dalam genggaman kemudian berpindah dalam saku celana.

Keenan mengangkat sudut bibir kirinya, "Cara main yang standar."

Ia pun dengan santai mendekati kedua lelaki berkepala botak tersebut. ia mencuri-curi dengar tentang apa yang mereka sedang bincangkan. Walau tidak terlalu jelas—karena suara musik yang menggelegar—Keenan tahu poin pembicaraan keduanya; pertemuan selanjutnya, berapa banyak.

Keenan geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Luar biasa. Terlalu ceroboh mereka membahas hal tersebut di tempat seperti ini. sepertinya mereka benar-benar tidak sadar akan kehadirannya.

"Ada yang mau dipesan?" Perempuan dengan rambut dikuncir berdiri di balik meja bar menawarkan pada Keenan.

"Air putih," sahutnya tanpa mengalihkan pandang. Ia tidak boleh kehilangan mangsa.

"Maaf?" Pelayan tersebut merasa tidak seharusnya memesan air putih di tempat seperti ini.

"Kalau nggak ada juga nggak apa," tolak Keenan dengan tangan yang melambai udara.

Pelayan tersebut mengangguk dan berencana untuk melayani pelanggan lain. Tapi, tunggu. Ia memperhatikan kembali wajah Keenan yang tampak familiar. Sangat tidak asing baginya yang tidak mengenal banyak orang. Meski ingatannya tidak begitu kuat, ia yakin pernah bertemu Keenan di suatu tempat.

"Detektif Keenan," tegurnya.

Keenan langsung membalikkan badan dan membekap mulut perempuan itu. Matanya terpancar cemas, khawatir akan ada yang mendengarnya.

"Siapa kamu?"

Dengan kasar tangannya dihempaskan, dan tampaklah senyuman sarkas. "Kamu polisi nggak bertanggungjawab!"

Mendengar kata polisi, orang di sekitar segera menjauh, termasuk dua lelaki botak incaran Keenan segera lari meninggalkan area. Keenan yang hendak mengejar, ditahan paksa oleh cengkraman tangan si pelayan. Bahkan ketiaknya menempel di meja bar dan terasa sakit saat bergesekan.

"Mau ke mana? Mau menghilang lagi setelah memberi janji palsiu?"

"Perempuan gila! Lepaskan tanganku. Orang yang harus kutangkap lari gara-gara kamu," bentak Keenan tidak peduli dengan siapa ia berbicara.

"Karena mereka kah kamu mengabaikan kasus yang kulaporkan tiga tahun silam?" Ada nada getir dalam pertanyaannya. Cengkeramannya perlahan terlepas.

Keenan mulai menyoroti wajah pelayan yang masih saja menatapnya. Matanya memancarkan kesedihan dan kebencian. Ia tidak akan pernah melupakan kejadian tiga tahun silam. Itu merupakan tahun yang paling menyakitkan baginya. Tahun yang membuat dunianya runtuh seketika tapi dipaksa bangun oleh keadaan.

"Sofia?" Kini ia mengingat nama itu. Seorang ibu rumah tangga yang melaporkan anaknya menghilang tanpa jejak. Dilihat dari emosinya sekarang, anak tersebut pasti belum ditemukan.

"Dia belum kembali?" tanya Keenan lebih memastikan.

"Kamu mengatakan akan membantuku mencarinya, tapi kamu berbohong. Aku bahkan mencarimu di kantor polisi tapi mereka bilang kamu sudah pindah. Tidak ada yang bisa menemukan anakku. Mereka tidak berusaha sama sekali. Apa itu yang patutnya dilakukan polisi?" Sofia berusaha dengan baik menekan emosinya agar tidak meledak. Walau bagaimana pun ia sedang bekerja sekarang.

"Maafkan aku. Aku benar-benar nggak bisa membantu saat itu. Aku akan membantumu mulai sekarang."

"Berapa banyak korban yang kamu beri janji?"

Keenan melihat kiri dan kanan, meminta Sofia mendekatkan wajah ke arahnya dengan gerakan dua jari. Sofia menurut dan telinganya mendengar bisikan, "Aku bergabung dalam tim yang menangani kasus perdagangan manusia. Ini akan sangat membantumu. Aku nggak akan ingkar lagi."

Mata Sofia berkaca-kaca, dadanya kembang kempis menahan tangis. "Maksudmu anakku—"

"Itu bisa menjadi kemungkinan."

Pecah sudah. Sofia menangis tanpa suara. Sangat menyakitkan. Ia yang selama ini tetap mencari sang buah hati, mendoakan putri satu-satunya, harus mendengar kemungkinan terburuk dari seorang polisi. Bagaimana bisa putrinya terjebak dalam kasus mengerikan ini?

"Berikan nomor ponselmu, aku akan menghubungimu besok," pinta Keenan sembari memberikan ponselnya. Walau ia kehilangan komplotan pengedar narkoba, ia bertemu dengan satu harapan yang dulu pernah hilang. Bisa saja kehadirannya ke tempat baru ini memang untuk menuntaskan hal yang tak pernah dicampuri.

👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro