Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Tim Golden Human

Dua lelaki berjalan dengan handuk kecil melingkar di leher masing-masing. Wajah mereka masih segar karena baru saja dibasuh. Mata bengkak mengartikan bahwa keduanya kurang tidur, bahkan terlihat menggelap di bagian bawah mata.

"Kalian menginap di sini lagi?" tanya perempuan berambut pendek yang baru saja datang. Kedatangannya menambah kesegaran dua lelaki yang disapa, karena parasnya yang cantik dan selalu tersenyum. Di dadanya menggantung tanda pengenal bertuliskan nama Wendy.

"Lebih baik menginap di sini daripada harus buru-buru datang karena mendapat panggilan," sahut Arsen, lelaki yang memegang sikat gigi dan odol di tangan kanannya.

Lelaki yang satunya, Farrel, mengangguk. "Kamu beruntung menjadi perempuan, karena bisa pulang untuk tidur nyenyak dan berias di pagi hari."

Wendy yang disindir tidak merespons sama sekali. Mereka berjalan bersama memasuki ruangan gelap besar yang berantakan oleh pelbagai berkas dan bungkus makanan. Hanya ada dua lampu temaram yang menggantung di plafon yang pendek untuk membantu mereka melihat. Ruangan ini dulunya adalah adalah gudang yang sudah lama tidak dipakai, dan mereka membersihkan seadanya untuk dijadikan tempat bekerja.

"Aku dengar kita akan kedatangan satu anggota baru," ujar Wendy, satu-satunya anggota perempuan di antara mereka, seraya meletakkan tas di atas meja dan membuka laptop miliknya.

"Semoga saja perempuan cantik," ungkap Farrel dengan senyum manis yang merekah. Farrel sangat suka hal-hal yang berbau perempuan. Karena selama ia bekerja, selalu saja yang dilihat hanyalah Wendy, terkadang rasa bosan pasti ada.

"Lihat aku saja, itu lebih baik bagi hatimu," sahut Wendy seraya menepuk dada Farrel.

"Aku dengar dia berasal dari Tim Morfin," celetuk Arsen sembari mengunyah roti selai kacangnya.

Wendy dan Farrel saling menatap. Suasana tegang tercipta hanya karena Arsen menyebut nama tim tersebut. Arsen yang baru menyadari apa yang diucapnya pun langsung tutup mulut. Matanya melirik ke arah sudut ruangan, di mana di atas sofa yang sudah koyak, seorang laki-laki membaringkan tubuhnya.

"Aku juga sudah mendengar hal tersebut," ucapnya dalam keadaan mata tertutup. Sepertinya ia menyadari kecanggungan ini.

Lelaki berotot itu bangun dari tidurnya, mematahkan lehernya ke kiri dan ke kanan, serta meregangkan kedua tangannya. Itu hanya kebiasaannya ketika terjaga agar menjadi lebih bugar. Langkahnya gontai mendekati tiga anggota timnya. "Kalian bertindaklah seperti biasa, tidak perlu seolah kalian berpihak padaku dan tidak enakan padanya," ujarnya sambil mengambil sisa roti yang masih dipegang oleh Arsen. Arsen ingin meminta kembali rotinya tapi tidak berani. Itu roti terakhir dan perutnya masih sangat lapar.

"Apa Anda akan baik-baik saja, Pak Dewa?" tanya Farrel penasaran.

"Tentu," angguknya. "Mungkin dia yang tidak akan baik-baik saja karena pernah merebut tempatku." Jawaban tersebut terdengar seperti dendam yang masih disimpan.

"Ah, sekarang posisi Anda lebih tinggi darinya. Dia harus tunduk di bawah kuasa Anda," sela Arsen sambil bercanda, yang disetujui kedua temannya.

Dewa menerawang dengan bibir yang menyeringai. "Kalian belum tahu seperti apa dia."

Dewa terkenang kejadian masa lalu, di mana ia merasa terkhianati oleh juniornya sendiri. Terlebih juniornya itu tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. Hal itulah yang tidak dapat diterima oleh Dewa.

Arsen, Farrel, dan Wendy memulai pekerjaan mereka agar tidak memancing lebih jauh perasaan sakit hati Dewa terhadap rekan barunya nanti. Mereka bertiga awalnya juga tidak berasal dari tim yang sama. Iptu Arsen berasal dari divisi tindak pidana umum, Iptu Farrel dari tindak pidana Korupsi, sementara Ipda Wendy dari divisi siber. Ketiganya baru saling mengenal dua bulan lalu ketika Tim Golden Human dibentuk. AKP Dewa yang berasal dari intel pun dipilih sebagai Kapten mereka.

Derap langkah sepatu pantofel terdengar di telinga mereka. Arsen dan Farrel menelan salivanya dan mencuri pandang ke arah pintu masuk. Sementara Wendy, dengan lantang memerhatikan siapa yang datang. Begitu pula dengan Dewa yang mendongakkan kepalanya.

Lelaki yang sedari tadi mereka bicarakan kini ada di depan mata. Berbeda dari semuanya, lelaki ini terlihat sangat rapi dengan setelan kemeja dan celana kainnya. Arsen dan Farrel yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana olahraga, mengulum senyum melihat setelan formal tersebut.

"Apa ada yang lucu dariku?" tanya lelaki yang datang dengan sekotak perlengkapan dalam rangkulannya. Alis tajamnya tertaut dan memperhatikan satu per satu manusia yang akan menjadi rekannya. Ketika matanya beradu dengan mata Dewa, terhenti. Aura Dewa tidak ramah sama sekali, oleh sebab itu ia pun berperilaku sama.

Langkahnya menuju sebuah kursi kosong yang diyakini adalah tempat untuknya. "Aku Keenan. Semoga kita bisa bekerja sama," ucapnya datar.

Dewa melangkah mendekat ke arahnya. Ia menempelkan bokong tepat di meja Keenan. "Kamu nggak akan bisa bekerja sama kalau bertindak angkuh seperti itu. Mereka rekanmu, bukan bawahanmu. Dan aku adalah atasannya," peringat Dewa dengan penuh tekanan.

Tidak ada yang bereaksi ketika Dewa mengucapkan kalimat tersebut pada Keenan. Semua seolah menutup telinga dan penglihatan mereka.

Keenan tersenyum licik. "Ah, ternyata Anda adalah atasan kami. Maaf, aku nggak tahu." Jelas yang diucapkannya adalah kebohongan dan hanya untuk mencari perkara dengan Dewa. Keenan tahu kepribadian Dewa yang suka meledak jika direndahkan. Akan tetapi, sepertinya Dewa sedang berusaha menguasai diri agar tidak termakan pancingan Keenan.

Dewa meninggalkan Keenan yang tersenyum kemenangan. Ia menunjuk ke papan tulis di mana di sana telah dirangkai beberapa hal terkait kasus yang akan mereka selidiki. Jual Beli Manusia. Tiga kata itulah yang tertulis di bagian paling atas.

"Wendy akan mengirimimu beberapa bukti yang sedang kami selidiki. Kasus ini sebenarnya kasus lama yang sempat ditutup karena tidak pernah ditemukannya bukti pasti. Kemudian diangkat kembali setelah kejadian tiga bulan lalu, di mana hilangnya seorang perempuan berusia dua puluh satu tahun dari Rumah Sakit Jiwa Kesayangan. Hal serupa juga kembali terulang dua minggu lalu, seorang siswa SMP menghilang di depan sekolahnya. Diketahui bahwa siswa ini penyandang disabilitas. Dari dua korban ini, dapat diketahui bahwa targetnya adalah orang lemah yang tidak bisa melawan secara gamblang," terang Dewa sekilas agar Keenan mengerti ke mana arah perjalanan mereka ke depannya.

Keenan bergeming. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Wajahnya yang semula berlagak, kini berubah menjadi gelisah. Ia menekan pelipis dan terlihat sulit bernapas. Ketiga rekannya menatap heran padanya, tidak tahu apa yang terjadi.

"Hei, kamu baik-baik saja?" tanya Arsen penasaran.

Keenan mengangkat tangannya pertanda bahwa ia tidak perlu dikhawatirkan. Ia menarik napas berulang kali dan menata kembali pikiran dengan baik.

"Haruskah kita menyelidiki hal itu?" tanya Keenan masih dengan kegelisahan di wajahnya.

"Karena kasus itulah tim ini dibentuk. Apa kamu nggak tau?" Kali ini Farrel yang menanggapinya.

"Aku tahu, tapi—"

"Kalau kamu nggak bersedia, silakan keluar dari tim. Aku nggak masalah sama sekali," potong Dewa dengan cepat. Ini seakan menjadi kesempatan bagi Dewa untuk tidak bekerjasama dengan Keenan.

Mengerti maksud dari penyataan Dewa, Keenan tidak diam begitu saja. Ia bukan tipikal yang akan mundur jika sudah ditantang. "Aku nggak akan mundur kalau kamu yang berkata begitu. Terima kasih udah mengingatkanku," tukasnya.

Tanpa menghormati diskusi yang sedang berjalan, Keenan beranjak dari duduknya. Ia berencana untuk menghirup udara segar sejenak di luar sana untuk menenangkan pikirannya yang kacau karena kasus yang disebutkan oleh Dewa. Ia benci akan fakta bahwa dirinya ditugaskan dalam tim ini. Padahal, ia sudah dengan sengaja memilih abai saat mendengar tim ini dibentuk, tapi malah ia yang diseret ke dalamnya.

Ponselnya berdering, adanya panggilan dari Huga. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut. "Keen, aku dapat info bahwa komplotan yang kita cari bersembunyi di daerahmu ditempatkan. Bisa kamu bantu kami untuk mengeceknya? Oh ya, jangan sampai Pak Prakas tahu aku minta bantuanmu, bisa digorok kepalaku," pinta Huga.

"Tenang saja. Aku lebih senang melakukan hal itu daripada terkurung dalam tim ini," ujarnya cepat dan segera mengambil kunci mobil untuk melacak komplotan pengedar narkoba yang mereka cari.

👀👀👀
Untuk chingu yang mau baca lebih cepat, bisa langsung ke akun Karyakarsa ya 🔎

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro