
Fate [END]
Disarankan membaca chapter terakhir ini dengan memutar lagu yang tercantum di atas agar lebih terasa kesedihannya (*mencoba membuat sad ending)
—
Keringat hampir membasahi seluruh bagian tubuh, waktu menjelang sore, dan ia masih tak henti melangkahkan kaki mencari di mana sang gadis melarikan diri.
Tak terhitung ia telah memporak-porandakan berapa bangunan setelah mengetahui sosok yang dicarinya tidak berada di tempat tersebut.
Sebuah tongkat kayu panjang dan tumpul di bagian ujungnya penuh oleh bekas darah yang telah mengering, benda berbentuk persegi itu telah melukai kurang lebih seratus orang tak bersalah, di setiap sang empu berpapasan dengan korbannya.
"[Name], kau pergi kemana?" Surai pirangnya diusak kasar, ia mulai tak tahu harus mencari kemana lagi, hampir seluruh Seoul telah ia jelajahi. Haruskah ia mencari hingga keluar? Mungkin saja.
Mungkin gadis itu lari keluar dari Seoul.
Maniknya mengedar, menelisik tajam sekitar. Kini, ia tengah berada di Gangbuk. Daerah yang dipimpin oleh sebuah Crew bernama God Dog.
Beberapa saat lalu ia tak sengaja berpapasan dengan pemimpin Crew tersebut saat sedang menghancurkan sebuah kelab malam, pemuda itu menanyakan kenapa ia datang dan melakukan semua ini, dan tak di jawab.
Mulutnya tak sempat mengeluarkan jawaban karna sangking kesalnya menatap raut simpati pemuda bersurai coklat itu melihat kondisinya, ia tak suka dikasihani. Sangat benci.
Ponsel di saku bergetar, sebuah panggilan masuk dari partner kerjanya. Dengan kesal ia mengangkat dan mengeluarkan sebuah bentakan dari mulut, menyambut sang pemanggil.
"Apa, sialan?!"
"Kau yang sialan! Kemana seharian ini?! Tugasmu tak kau kerjakan, bodoh?! Kau sengaja melakukan ini agar aku kesusahan, huh?! Kembali, keparat! Kerjakan tugasmu yang sudah menumpuk ini!"
"KERJAKAN SAJA SENDIRI!"
"APA–"
Panggilan dimatikan, tak sempat suara di sebrang mengeluarkan protes. Kepalanya berdenyut nyeri, sepasang netranya mulai menatap hal di sekitar dengan pandangan berkunang-kunang.
Tanpa berpikir dua kali, ia menjatuhkan diri, duduk di atas aspal tengah jalan sambil menunduk berpikir keras. Keringat bercucuran, ikut meratapi kelelahan.
"Kemana.."
"[Name], kau di mana?"
Tap!
Tap!
Tap!
Maniknya bergulir ke sudut mata, menangkap sepasang tungkai kaki terbalut celana kain berwarna hitam berjalan cepat mendekat lalu berjongkok tepat di sampingnya.
Bahunya terasa ditepuk panik.
"Tuan, anda baik-baik saja?"
Dengusan lirih keluar, "Ya," jawabnya singkat. Kepala terasa semakin pusing saat suara bariton itu tak henti menanyainya.
"Anda korban tabrak lari kah? Anda terluka?"
"Apa anda kuat berjalan sedikit ke seberang? Di sini berbahaya."
"Anda tidak bisa berjalan?"
"Ah, pakaian anda penuh darah. Apa anda terluka parah?"
"Tuan, bisa anda berbicara–"
CRAAAKK!!
Satu orang terluka lagi.
•••
Di sisi lain, [Name], gadis itu menahan sekuat tenaga agar tubuhnya tetap bisa berdiri tegak, memegangi perutnya yang terasa perih. Bibirnya kering, terbuka sedikit, membuka lebih luas akses udara masuk ke dalam paru-parunya.
Ia berjalan kembali tanpa tujuan, di sebuah jalan satu arah, entah menuju mana. Di sisi kanan-kiri, hanyalah perkebunan pohon kelapa. Samar-samar hidungnya mencium aroma khas sesuatu.
Keluar desisan pelan dari bibirnya saat telapak kakinya tiba-tiba terasa perih, saat menunduk ia memicing, menangkap yang kini tengah dipijaknya bukanlah tanah, melainkan pasir.
"Pantai?" Ia menghentikan langkah.
Tidak.
Ia tidak bisa kesini.
Ia harus ke kota dan menemukan bantuan.
Namun sial, daerah tempat tinggal Jun Goo yang masih dipijaknya saat ini sangat jauh dari perkotaan. Gadis itu sedari tadi berputar-putar mencari jalan keluar dari daerah yang lumayan terpencil ini.
"Aku lelah," lirihnya lalu mendudukkan diri, menumpukan beban di punggung pada salah satu pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Bahunya naik-turun cepat, meraup oksigen seolah tidak ada hari esok.
Tangannya tergerak mengelus perut lembut, lalu tersenyum tipis.
"Setidaknya kita telah jauh dari dia.."
Kedua kakinya saling bergesekan, terasa lengket, darah telah mengering, berbekas di kedua punggung kakinya. Celananya nampak sudah tak berwarna biru lagi di bagian sekitar selangkangan.
"Aku mengantuk.."
Semilir angin menerpa pipinya lembut, menghantarkan kantuk yang kian menarik dirinya masuk kedalam alam mimpi.
[Name] memejamkan matanya sambil tersenyum tipis, helai rambutnya terjatuh menutupi wajah, ia sangat lelah. Ingin sebentar beristirahat, mengumpulkan kembali tenaga. Kegelapan perlahan merenggut kesadaran, membawa jiwanya lari menjauh ke dari daratan menuju langit tertinggi.
'Selamat beristirahat..'
•••
"Bagaimana keadaannya?"
Tit!
Tit!
Tiiiiiiit–
Tit!
Tit!
Tit!
Tiiiiiiiii–
"Jantungnya kembali tidak stabil."
"Suster, tolong ambilkan mesin pengejut jantung!"
"Bagaimana?"
"Dok! Detaknya–"
"Aku tahu, jangan berhenti!"
"Astaga.."
Tubuh itu terangkat beberapa saat ke atas udara lalu jatuh kembali ke atas brankar, seorang dokter dengan wajah yang telah keriput itu menangani memasang raut serius, beberapa kali ia menggeram rendah.
Mesin pengejut jantung di tangannya beberapa kali saling digosokkan.
Dalam benak ia berpikir keras, bagaimana semua ini bisa terjadi.
"Siapa namamu, anak manis?"
"Wah~ nama yang bagus, sekarang mari kita suntik lenganmu dengan vitamin agar kuman-kuman yang mau mendekat lari ya!"
"Paman dokter, Ibu di mana?"
Gadis ini.
Kenapa ia bertemu lagi untuk kedua kalinya dengan gadis ini dalam kondisi jauh lebih mengenaskan dari sebelumnya.
'Siapa yang telah membuatmu jadi begini?'
"DOKTER! SIAPAPUN, TOLONG!"
"Ada apa ini?! Kenapa tidak dibawa ke UGD?!"
"TOLONG GADIS INI! SAYA MENEMUKANNYA DENGAN KONDISI BERDARAH-DARAH!"
"CEPAT BAWA KE UGD!"
•••
"[Name], kau di mana..?"
Jun Goo, pemuda itu sudah mulai menyerah, tetes demi tetes air mata turun membasahi pipinya. Dadanya yang sudah sesak semakin sesak, seolah ada ribuan panah tak terlihat tertancap di sana.
Setiap tarikan nafas, entah kenapa perasannya terasa tidak enak. Jantungnya berdenyut sakit melihat langit sudah tak menunjukkan sinar cerahnya.
"[Name].. kau kemana..?"
Rautnya linglung, langkah memelan dan berhenti tepat di depan sebuah mesin penjual minuman otomatis, menatap benda berukuran hampir setara dengan tingginya itu lekat.
Mengingat kejadian dulu.
"Minta uangmu, Goo!"
"Buat apa?"
"Beli saham–! Beli minumlah!"
"Nih!"
"CIH! 500 WON BUAT BELI APAAN?! HARGA DIRIMU!?"
Mata Goo beralih kearah lain, kini berganti menatap sebuah halte di sebrang. Samar-samar terlihat bayang-bayang dirinya sendiri dan [Name] sedang duduk di sana sambil berbincang dan tertawa.
"Lama banget busnya, sialan!"
"Mau pesan taksi online saja?"
"Tidak perlu– Eh? Tuh! Busnya sudah datang! Ayo, Goo!"
"Sabar~ jangan lari!"
Jun Goo mengedipkan matanya dan semuanya hilang, ia menarik nafas berat dan menghembuskannya pelan, air mata kembali turun.
Tungkai kakinya kembali melangkah, membawanya berjalan kembali.
"GOO!!!"
"AHAHAHAHAHA! TANGKAP AKU JIKA KAU BISA!"
"KUPUKUL PANTATMU JIKA KENA YA?!"
"AYO TANGKAP AKU– AKH!"
Jun Goo tertawa lalu tiba-tiba menangis, seolah mengidap bipolar. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya. Lengannya tak henti mengusap wajah. Kenapa terasa begitu sakit. Kehilangan [Name] benar-benar menghancurkan dirinya perlahan.
"Pacaran yuk, [Name]!"
"Sana pergi kerja saja!"
"Uangku banyak loh!"
"Tidak mau!"
"Maaf, [Name].."
Kenapa semuanya begini?
"GOO!"
"AHAHAHAHAHA! LIHAT WAJAHMU!"
"SIALAN! KEMARI KAU, KEPARAT!"
Kenapa jadi begini?
"[Name].." Goo terjatuh, ia berlutut dengan bibir bergetar. Ditatapnya kedua telapak tangan yang penuh dengan sayatan belum kering. Ia berusaha, namun salah.
"G-Goo.. b-berhenti.. kau menyakitiku.."
Kenapa semuanya jadi begini?
"MENJAUH! MENJAUH! MENJAUH!"
'Aku hanya ingin dirimu untuk diriku sendiri!' batin Goo, ia hanya ingin menjadikan [Name] miliknya saja, hanya miliknya.
Kenapa tidak bisa?
Takdir tak menyatukan mereka ya? Kenapa? Padahal ia begitu mencintainya. Kenapa usahanya selalu salah.
"Tuhan, apa sesusah ini?" Jun Goo mendongak menatap langit, seolah sedang berbicara dengan seseorang, "Kenapa Kau tak pernah membiarkanku?"
Sayang sekali, kau tidak ditakdirkan untuk bersamanya, Goo. Benang kalian tak saling terkait.
•••
[Name]'s POV
Kutatap jalanan sepi tepat di hadapanku dengan sorot pasrah, nafasku keluar terengah-engah, percuma, aku kembali ke tempat ini lagi.
Langit sudah gelap, pasti sebentar lagi Jun Goo menemukanku.
Aku gagal.
Tak kuat lagi, aku benar-benar sudah lelah.
Dengan sisa-sisa keinginan untuk bebas aku melangkahkan kakiku kembali, menyusuri jalanan sepi itu sambil memegangi perutku yang telah hilang rasa nyerinya.
Setidaknya, aku tak sendirian di dalam langkah penuh ketidakbergunaan ini.
"Kita jalan sedikit lagi ya, sayang?"
Aku terus berjalan, tujuanku belum tercapai, aku harus terus berjalan.
•••
Goo's POV
Tidak.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin.
Tidak mungkin–
"[Name]–"
Kuinjak sekencang mungkin pedal gas mobilku, tak peduli resiko apa yang akan kuterima mengebut di jalanan yang sedang begitu ramai malam ini.
Pikiranku kacau.
Aku tak percaya.
Itu tidak mungkin.
Rem tak kusentuh sama sekali, mobilku melaju di kecepatan tinggi.
Aku menangis.
Mulutku kelu tuk mengeluarkan suara.
Kenapa aku harus menemukanmu seperti ini?
"Kami dari Rumah Sakit Gangseo II.."
Ini tidak mungkin.
Tidak mungkin.
Mobilku berhenti, tepat di depan sebuah pintu utama masuk gedung bercat putih yang merupakan rumah sakit itu.
Aku turun dari dalam mobil dan langsung berlari kencang masuk ke dalam gedung itu, tak kuidahkan pintu mobil yang masih terbuka dan kunci yang masih tertancap. Persetan akan dicuri.
Aku tak peduli.
Ini semuanya salahku.
Semuanya!
Aku berbelok, berlari kencang di jalur ke UGD.
Nafasku sesak.
Kepalaku seolah dihantam batu besar.
Langkah kakiku memelan, dan terhenti tepat di depan pintu kaca yang tertutup rapat itu.
Aku..
Tak bisa berpikir apapun.
Seolah, hidupku selesai saat itu juga.
Air mata tak henti keluar, kenapa? Ada apa? Kenapa dengan diriku?
Jantungku berdebum seakan ingin meledak.
"Nyonya [Full Name].."
Itu tidaklah mungkin terjadi.
Kutarik seutas senyum tipis, tak peduli air mata kian deras keluar.
"..beliau.."
Pintu itu terbuka dan keluarlah seorang dokter dengan pakaian khasnya penuh bercak darah, kedua tangannya terbalut sarung tangan yang tak jauh berbeda kondisinya dari baju yang dikenakannya.
"Apakah anda keluarga pasien bernama [Full Name] ini?"
"Iya." [Name], dia, aku mencintainya. Sangat mencintainya.
Bahuku bergetar, telingaku untuk beberapa saat berdenging, aku tak mendengar suara apapun. Badanku lemas sekali.
Aku menangis semakin deras, namun tak keluar suara sama sekali dari mulutku. Kutatap lekat sepasang manik dokter pria itu menatap iba kepadaku, aku teramat benci tatapan seperti itu, namun sekarang, entah kenapa perasaan itu tak muncul. Apa sekarang diriku telah merasa pantas ditatap seperti itu?
"..sekarang sedang kami tangani di UGD, Nyonya [Name] mengalami pendarahan hebat.."
"Mohon maaf sekali, kami telah berusaha semampu kami untuk menahannya tetap bersama kita, namun Tuhan berkehendak lain."
"Kami dengan berat hati menyatakan.."
"..Nyonya [Full Name] telah meninggalkan dunia."
Namun, sampai akhir hayat pun, dia tak ditakdirkan untuk bersamaku.
Sekeras apapun usahaku, tak akan membuahkan hasil.
Dia tak ditakdirkan untukku.
•••
Sepasang kelopak mata itu terbuka, menampakkan netra cantik berkaca-kaca. Mulutnya menguap beberapa saat lalu bergumam tak jelas.
Pagi baru.
Matahari tak muncul, langit nampak mendung. Bunyi guntur beberapa kali terdengar, menyentaknya dari lamunan singkat.
Pandangannya mengedar lalu netranya menyipit tajam, apa ia tidur semalaman di atas trotoar jalan? Pikirnya.
Suasana nampak begitu sepi, dan.. suram. Hujan pasti sebentar lagi turun, padahal baru saja pagi menjelang.
"Aku masih di sini..?"
Ia bangkit dari duduknya lalu memperhatikan sekitar, memeluk diri sendiri menghantarkan hangat.
"Kenapa aku di sini..?"
Kedua kakinya melangkah pelan, menyusuri jalan, kearah selatan.
Ia tak ingat apapun.
Dahinya berkerut disepanjang langkah.
Mencoba mengingat.
Namun sama sekali, kosong.
Tap!
Tap!
Tap!
Suara langkah dari arah berlawanan membuat wajahnya teralih dari langit mendung. Netranya mengerjap, ia berhenti berjalan.
Ingat.
'Aku ingat.'
Seorang laki-laki bersurai pirang acak-acakan, berpakaian serba hitam, nampak berjalan lesu dengan wajah tertunduk, memeluk sebuah foto figura seseorang. Dua lingkaran hitam tercetak jelas di bawah kedua kelopak matanya. Penampilannya berantakan.
"Goo."
Mereka semakin dekat.
Dan ia semakin melihat jelas wajah laki-laki itu, sembab, seolah habis menangis semalaman tanpa henti.
"G-Goo.."
Setengah meter lagi dan mereka akan bertubrukan.
Ia bersiap merasakan pelukan erat.
Namun..
Bsssh!
Apa?
"[Name].. kenapa kau meninggalkanku..?"
"A-apa?"
[Name], gadis itu menoleh kebelakang dan memperhatikan Jun Goo yang terus berjalan, seolah tak melihatnya.
Mulutnya tercengang.
Apa yang baru saja terjadi?
Telinganya mendengar samar-samar pemuda itu kian menjauh mengumamkan namanya tanpa henti.
[Name] terpaku.
Ia memproses apa yang tengah terjadi.
"G-Goo.."
Siluet Jun Goo kian hilang, termakan kabut yang tiba-tiba muncul menghalau pandangan.
"Goo!!"
"GOO!"
"GOO!!!"
[Name] menaikkan nada suaranya perlahan dan berakhir berteriak.
"KIM JUN GOO!"
"GOO, KENAPA KAU PERGI?!"
[Name] menangis terisak.
"GOO!"
"Jangan pergi! Aku sendirian!"
"[Name]."
[Name] menoleh kaget, mendengar suara lembut memanggil namanya. Pupilnya membesar dan bergetar hebat.
"[Name], ayo pulang?"
"I-ibu?"
Wanita cantik itu. Lama sekali tak memandang senyum hangatnya.
"Ayo pulang, sayang! Ibu sudah jemput nih."
[Name] tergagu, "T-tapi– k-kakak–"
"Kakak masih lama, ayo pulang duluan?"
"Ibu!" Suara bocah laki-laki terdengar, dari balik [Name].
"Ibu, ayo pulang!"
"H-huh?"
Bocah itu..
"Goo?"
Ibu [Name] tersenyum lembut, "Mereka mirip sekali ya?"
[Name] melotot kaget, lalu menunduk menatap wajah bocah laki-laki yang berdiri di depannya.
"A-anakku?" Gadis itu bersimpuh, lalu meneteskan air mata, meraih wajah putranya lembut lalu mengusap pipinya halus.
"Ibu, ayo pulang!"
"Kau baik-baik saja, sayang?" Khawatir [Name].
Bocah itu tersenyum lalu mengangguk, "Ayo pulang, bu!" Tangannya menarik-narik lengan [Name] tak sabar.
[Name] menangis haru, ia memeluk bocah itu lalu berdiri dan menggendongnya. Menggumamkan kata maaf berkali-kali.
"Ayo pulang! Ayo pulang!"
[Name] tersenyum, ia terkekeh lembut, menatap wajah ibunya lalu mengangguk pelan.
"Aku sudah selesai. Mari kita pulang."
[Full Name] dengan segala urusannya dengan dunia dan Jun Goo telah selesai.
Gadis itu sudah cukup merasakan semuanya.
Saatnya pulang dan beristirahat.
Biarkan kisah cintanya yang tak tersusun indah terselesaikan di kehidupan selanjutnya.
'Aku mencintaimu, Goo. Mari bertemu lagi di kehidupan selanjutnya dan memperbaiki semuanya.'
"Aku mencintaimu lebih dari apapun, [Name]."
Di kehidupan ini mereka tak ditakdirkan bersama, namun di kehidupan selanjutnya mereka adalah benang merah yang satu.
Kim Jun Goo dan [Full Name], sepasang takdir di kehidupan selanjutnya.
— T A M AT —
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro