Three - [ A ]
Wu berdecak kagum saat melihat rumah besar milik keluarga Aiyo yang sudah menjadi keluarganya juga. Duduk diatas lantai keramik, Wu menatap foto besar yang terpajang di ruang keluarga itu, foto yang di ambil setelah satu minggu yang lalu setelah ia resmi menjadi bagian keluarga Kak Aiyo.
"Jadi seperti ini rasanya menjadi anak dari orang kaya?" ucap Wu dengan bersandar pada dinding yang berada di belakangnya. "Kenapa rasanya hampa sekali?" terdiam sebentar, Wu melirik dapur bersih yang biasanya di gunakan oleh Neneknya untuk membuat kue dengan pandangan penuh minat. "Apa aku membuat makanan saja?" tanya nya lagi pada diri sendiri.
Tersenyum penuh semangat, Wu beranjak dari tempatnya berdiri namun tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat saat mendengar seseorang duduk diatas sofa coklat dengan koran yang terbuka lebar menutupi wajah orang yang berada di belakangnya. Memberanikan menoleh kearah belakang, Wu benar-benar mematung saat melihat postur tubuh orang yang sama di Panti Asuhan tengah duduk santai diatas sofa itu.
"Kau itu tuan rumah, untuk apa bersusah-susah? Panggil saja para pembantu sialan itu untuk membuatkan semua makanan yang kau mau." Ujar orang itu dengan membalikkan koran yang ada di tangannya. "Ah.. aku tidak pernah paham mengapa orang kaya masih mau saja menjual saham disaat saat seperti ini, tidak ada untungnya, bodoh!"
Mengerjapkan mata, Wu memberanikan diri untuk mendekat kearah orang itu dan benar-benar terdiam saat melihat sebuah jam dari salah satu merk terkenal melingkar di tangan orang itu, ah, jangan lupakan jas berwarna biru dan kemeja putih yang terpasang di tubuh orang itu semakin membuat tubuh orang itu benar-benar terlihat sangat sempurna.
"Berhenti disana." Ucap orang itu dengan menutup koran yang sebelumnya di baca lalu melipat koran itu menjadi dua bagia. "Kau harus ingat apa yang aku katakan di Panti saat itu. korbanmu kali ini orang kaya yang menyimpan uang di bank khusus yang bahkan keluarganya sendiri tidak akan bisa datang mengambil uang itu jika tidak memiliki kuncinya."
Orang itu beranjak dari tempat duduknya dengan tangan yang menepuk-tepuk setelan jas mahal yang di gunakan. "Kau harus mengingat tugasmu, atau kau yang akan aku bunuh, ingat itu." setelah mengatakan yang ingin di sampaikan, orang itu pergi meninggalkan Wu dengan melemparkan sebilah pisau yang mensayat pipi Wu, sampai membuat laki-laki itu terjatuh dengan napas yang tersengal-sengal.
"Apa itu tadi? mana mungkin orang itu bisa masuk kerumah ini, tidak mungkin..." ujar Wu dengan ketakutan.
Tubuhnya menegang saat sebuah telapak tangan yang terasa sangat dingin menyentuh kulit pipinya yang tergores pisau sebelumnya, membuat rasa perih benar-benar menjalar sampai sebelah matanya menyipit karena merasakan sensasi perih.
"Memangnya siapa yang berani mencegahku untuk datang menemuimu? Mereka?" mendengus kesal, tangan itu mencengkram rahang Wu dari belakang dengan setengah kekuatan. "Mereka tidak bisa mencegahku untuk menemuimu, bahkan jika mereka mencegahku, maka kau yang akan kehilangan diriku."
Kedua bola mata Wu membola saat mendengar suara itu lagi. Suara yang benar-benar menjadi mimpi buruk di dalam tidurnya setiap malam. Tubuhnya di peluk dari belakang dengan tangan orang itu yang masih berputar putar di wajah Wu, dan berhenti tepat didepan bibirnya. Menepiskan tangan dingin itu dari atas bibirnya, Wu berusaha menatap wajah orang itu, namun orang itu memiliki reflek yang lebih cepat dengan memundurkan kepalanya dan memposisikan dagunya diatas kepala Wu.
"Tch! They can forbid you to come, and I will never feel lost!"
"Is itu true? Ah.. I feel betrayed."
"You should never have been there!"
"Tetapi kau yang membuatku berada disini, kau memohon padaku saat kita bertemu malam itu," berdeham cukup lama, orang itu menutup tiba-tiba menutup kedua mata Wu dengan tawa yang melantun indah, suara tawa yang pernah ia dengar dari Ibunya. "Kau ingat itu? suara siapa itu, ah..! aku ingat! Itu suara tawa orang yang meninggalkanmu bahkan membuangmu, 'kan?"
"That woman didn't throw me away, they had an accident and left me alone in this cruel world."
"Dunia yang jahat, atau kau yang jahat..?"
"Kau!"
"Aku?" kepala itu berpindah tempat, tepat di sebelah telinga Wu lalu berbisik pelan, benar-benar pelan sampai membuat tubuh Wu jatuh terduduk dengan pandangan kosong. "Lihat, aku baru mengatakan sedikit, dan reaksimu benar-benar mengecewakan."
"Wu?" panggil seseorang membuat kepala Wu mendongak dan menatap kosong kearah orang itu.
"Pa..?"
"Yes dear? What happened to you?"
Menggeleng, Wu menerjang Aiyo dengan pelukan erat. bahkan sampai membuat Aiyo tidak bisa bernapas karena Wu benar-benar memeluknya erat. menyadari sesuatu, Aiyo mengusap punggung Wu dengan usapan lembut dan menenangkan, perlahan pelukan itupun mengendur dan membuat Aiyo bisa kembali bernapas dengan benar.
"It's okay Wu, everything will be fine.." ujar Aiyo dengan lembut. "I will take care of you with all the life I have, just believe in God and your family Wu," lanjutnya lalu melepaskan pelukannya pada Wu.
"Pa, apa aku bertingkah aneh?"
"Aneh?" sebelah alisnya terangkat dengan padangan bingung. "Kau tidak pernah bertingkah aneh Wu, apa teman di sekolahmu mulai menyakiti hatimu dengan kata-kata buruk?"
"Mereka selalu begitu,"
"APA?!"
Kedua mata Wu membola saat mendengar teriakan Aiyo yang terdengar sangat emosi, bahkan wajah laki-laki itu terlihat sangat marah saat ini. saat Aiyo beranjak dari posisinya, Wu kembali memeluk Aiyo dengan erat, menahan laki-laki itu agar tidak melakukan hal yang tidak-tidak.
"It's okay, Papa, they aren't as bad as before, before I had a family."
Aiyo menatap kedua mata Wu seolah mencari kebohongan dan tidak menemukan apapun dikedua mata itu, mata yang selalu membuat Aiyo mabuk, seolah menyelam kedalam lautan bir yang dalam. Membalas pelukan Wu, Aiyoo menempelkan dagunya di atas kepala Wu.
"Katakan padaku jika ada yang membullymu lagi,"
"Ya.."
[ .. ]
Wu tedorong kebelakang saat perutnya terkena pukulan Kaltian karena tidak sengaja menjatuhkan nampan makanan yang di bawa oleh Kakak kelasnya itu. terbaturk-batuk, Wu menutup mulutnya dengan sebelah tangan, telinganya berdengung saat mendengar suara tawa dari teman-teman sekolahnya yang menertawai kemalangan hidupnya. Hidup yang seharusnya berhenti semenjak kedua orang tuanya pergi meninggalkannya.
Tubuh Wu terjatuh kedepan dengan kedua lututnya yang lebih dahulu menghantam ubin di bawahnya, tepat sebelum wajahnya jatuh mencium lantai, kaki kanan Kaltian berada tepat di bawah wajah Wu dan membuat ia mencium sepatu Kakak kelasnya itu saat terjatuh kedepan.
Menangis, Wu menangis tanpa perduli lagi pada harga dirinya. Seharusnya memang ia yang menerima ini semua bukan Arstian, sahabatnya itu terlalu baik sampai menggantikan dirinya untuk di jadikan pelampiasan saat semua orang gagal menjadikan dirinya target.
Langkah kaki terdengar mendekat kearah mereka semua. Kaltian masih bersikap acuh dengan memainkan kepala Wu yang ia pegang dan menggosok-gosokkan wajah itu pada sepatu hitam yang ia gunakan. Tertawa puas, Tubuh Kaltian terjatuh kesamping saat wajahnya di pukul dengan pukulan keras. Wu menoleh kearah samping dengan tatapan 'tak percaya, sungguh siswa mana yang berani menumbangkan seorang Kaltian Anugrah Falyanzi? Sebesar apa ke kekuatan yang siswa itu miliki sampai berani melayangkan pukulan mentah-mentah seperti itu.
Mendongakkan kepala dengan ragu-ragu, kedua mata Wu sukses membola saat melihat seorang siswi yang mengenakan seragam siswa tengah menatap tajam kearah Kaltian yang masih tidak percaya dengan apa yang di alami oleh dirinya.
"Sekali lagi aku melihatmu menyalah gunakan kekuasaanmu, aku akan menghajarmu dengan tanganku sendiri Kal!" ancam siswi itu dengan menendang tulang kering Kaltian, sampai membuat Kakak kelasnya meringis kesakitan.
"Kita bicara nanti!" kesal Kaltian yang beranjak dari tempatnya dengan dibantu oleh kedua temannya. "Dan kau!" Kaltian menunjuk Wu dengan pandangan sengit. "Kau beruntung kali ini, lihat saja nanti!"
Wu menundukkan kepala dengan bahu yang gemetar karena di ancam oleh Kaltian. Wu mendengar suara helaan napas dari depannya. Sebuah tangan terulur tepat di depan dadanya, ia bisa melihat siswi itu berada di depannya dengan berjongkok.
"Ayo bangun, kau tidak pantas mendapatkan perlakuan seperti tadi." ujar siswi itu penuh dengan pengertian. "Aku Aski, Alsakia Fany Demian. Kau boleh memanggilku Aski atau apapun terserah padamu." Wu menjabat uluran tangan itu lalu berdiri dengan di bantu oleh Aski.
"Terima kasih, aku Wu, Wuanzo Dekasta."
"Baik, aku boleh 'kan memanggilmu Dekas?"
"Bo-boleh,"
"Okay.. lebih baik kau mengantri lagi kesana dan bilang jika aku yang menyuruh kau untuk mengantri lagi," ujar Aski dengan telunjuk yang menunjuk antrian yang tidak terlalu panjang.
"Lalu, bagaimana denganmu?"
Tersenyum kecil, "aku tidak makan dengan kalian semua, aku memiliki ruangan sendiri."
"Ah, maaf.."
"Tak perlu meminta maaf, baiklah.. aku pergi, kalau kau di ganggu oleh manusia setengah setan itu, cukup sebut namaku di dalam hatimu, aku akan datang." Menggaruk kepalanya, Aski tertawa geli. "Abaikan saja, aku tidak mungkin tiba-tiba hadir untuk menolongmu, 'kan? Kau harus bisa menolong dirimu sendiri, baru menolong orang lain, jadi.. selamat tinggal Dekas."
Wu terdiam menatap punggung yang perlahan pergi meninggalkan dirinya di dalam kantin yang masih menatap tidak percaya kearahnya. Keren.. Aski terlihat sangat dominan, berbeda denganku, apa yang salah sebenarnya? Tanya Wu dalam hati.
Mengedarkan pandangan kesekeliling, Wu benar-benar membeku saat melihat postur tubuh orang itu berada 'tak jauh dari tempatnya berdiri. Orang itu tertawa remeh dengan kacamata yang terpasang di wajah oval orang itu, bahkan orang itu masih bisa mengejeknya seraya merayu siswi yang berada di sebelahnya.
"Aku harus pergi sekarang juga," bisiknya.
Berbalik badan, ia berlari keluar dari area kantin menunju tempatnya biasa untuk bersembunyi dari semua orang, kamar mandi. Ya, ia pergi ke tempat itu dan bersembunyi di dalam sana, kamar mandi yang terlihat seperti kamar mandi yang ada di hotel bintang lima, kamar mandi yang tidak memiliki bau seperti kamar mandi disekolah biasanya.
Menutup pintu salah satu kamar mandi lalu menguncinya, Wu menurunkan penutup closet lalu duduk diatasnya dengan kedua kaki yang ia tekuk dan ia peluk erat. kepalanya menunduk, ia benar-benar ketakutan, ketakutan akan segala hal dan itu hampir membuatnya gila.
"Where do you think you're going?"
Terkelonjak kaget, Wu menoleh keatas saat mendengar sebuah suara yang sangat ia kenal di sebelah bilik kamar mandinya. Diam, Wu tetap diam dengan napas yang tertahan, sungguh ini gila! Pikirnya begitu.
Apa yang orang itu lakukan di sekolah ku?! tanyanya dalam hati.
"Tentu saja aku mengawasimu," kedua mata Wu membola. "Ternyata kau memang menyedihkan ya, sayang sekali.."
Wu tetap diam dengan kaki yang perlahan turun dari atas closet. Tangannya yang bergetar berusaha membuka kunci pintu tanpa menimbulkan suara sama sekali, keringat sebesar biji jagung membasahi dahinya, kedua matanya terpejam erat saat membuka kunci kamar mandi.
Klik.
Tubuhnya mematung saat suara kunci terdengar sangat kencang di bandingkan biasanya saat ia membuka pintu kamar mandi. Kedua matanya membola, bibirnya terbuka sedikit lebar, ia benar-benar terkejut bahkan rasanya nyawanya baru saja melayang lepas dari tubuhnya.
"Wah.. wah.. sepertinya ada yang ingin kabur diam-diam huh?" ejek orang yang berada di sebelah kamar mandinya.
"Sial..!"
Membuka pintu lebar-lebar, Wu berlari secepat mungkin untuk keluar dari kamar mandi dan berlari sampai menabrak seorang siswa yang duduk di kelas tiga sampai ia terjatuh terpental kebelakang, sedangkan Kakak kelasnya itu tetap diam di posisinya tanpa bergerak sedikitpun, seolah baru saja di tabrak oleh kertas yang melayang dari lantai dua.
"Ma-maaf!" teriak Wu reflek karena terkejut.
"Heish..! are u okay?" tanya Kakak kelasnya itu dengan mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"Ma-maaf, maafkan aku dan terima kasih." Ujar Wu tulus saat di bantu agar berdiri dengan normal.
"Ya.., sama-sama.. apa yang terjadi?" tanya Kakak kelasnya itu dengan kedua alis yang menukik saat melihat lurus kedepan, tempat dimana Wu keluar dengan berlari. "Apa ada seseorang yang mengejarmu?"
"Y-ya," jawab Wu ragu, dengan kepala yang menoleh kebelakang dan melihat orang itu tersenyum kearahnya dengan kedua jari yang tergerak kedepan seolah memberikan hormat dari jauh. "Y-ya.. ah maksudku, tidak!"
"Aku tidak paham apa yang kau ucapkan, tetapi lainkali jangan berlari di koridor sekolah, itu akan menjadi hal yang buruk jika kau menabrak si Kaltian." Peringat Kakak kelasnya itu dengan menepuk kepalanya beberapa kali. "Lebih baik kau pergi ke kelas."
"A-ah, ya, terima kasih Kak eum.."
"Baron, nama lengkapku Barasta Aron Najwasta, jadi cukup panggil Baron."
"Ba-baik Kak, terima kasih.. aku Wu Wuan-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Baron sudah terlebih dahulu memotong ucapan Wu. "Aku kenal kau, kau itu Wuanzo Dekasta, orang yang selalu di incar oleh Ti 'kan?"
"Y-ya, kau benar Kak."
"Kau harus menghadapi orang itu, jangan terus menerus bersembunyi." Menepuk bahu Wu pelan, Baron mengatakan sesuatu dan reflek membuat tubuh Wu menegang karena ucapan Baron. "Kau harus bersikap selayaknya seorang lelaki dominan, aku tau kau lebih kuat dari Ti, kau hanya menyembunyikannya, aku pergi duluan."
Selepas kepergia Baron, tubuh Wu mundur ke belakang saat menghindari tendangan Kaltian yang tiba-tiba. Mengerjapkan mata, Wu melihat kedua tangannya yang berada di depan dada seolah menahan tendangan itu jika ia terlambar mundur.
"Wah, si brengsek ini mulai jago berkelit ternyata setelah bertemu dengan Baron dan Aski."
"Ma-maaf,"
"Apa orang tua mu hanya mengajarkan kata maaf dan terima kasih?" tanya Kaltian dengan kepala yang di miringkan sedikit.
"Iya..," jawab Wu lirih.
Wu ingat kedua orang tuanya mengatakan dua hal itu sebelum pergi, sebelum semua hal terjadi pada dirinya. Menelan saliva, Wu menunduk dan melewati Kaltian tanpa menatap Kakak kelasnya, dan hal itu sukses membuat Kaltian naik darah karena merasa tidak di hargai. saat Wu berada tepat di sebelahnya, Kaltian mengarahkan pukulan seperti Aski memukul wajahnya, namun Wu segera menangkis pukulan itu dan terus berjalan meningalkan Kaltian yang memasang wajah kesal kearahnya seolah mengibarkan bendera perang yang benar-benar nyata di bayangannya.
"Lihat saja nanti kau, kau akan menyesal!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro