SIX - [ B ] OYS
Wu masuk kedalam kawasan rumah dengan mengucapkan salam. Kakinya melangkah masuk melewati beberapa penjaga dengan membungkukan sedikit punggungnya sebagai sapaan sebelum masuk kedalam rumah utama. Perasaannya benar-benar tidak menentu, entah mengapa rasanya hari ini dia merasa banyak hal yang ia lalui dengan sangat cepat, bahkan ia bisa melihat ketakutan dari mata beberapa orang, terlebih Fadhil dan Diana.
"Hei, perhatikan langkahmu Nak." Tegur seseorang dengan suara beratnya.
Mendongakkan kepala, Wu mendadak membeku saat bertatapan langsung dengan Kepala Keluarga Shu, yaitu Yixing Randeo Shu, kakeknya. Menelan saliva berat, Wu selalu gemetar saat pandangannya bertemu dengan Kakek Yi.
"Tenang kids, aku tidak akan memakanmu."
"Ma-maafkan aku Kakek."
"Tak apa, lainkali saat berjalan kau harus menaikan dagumu keatas jangan menunduk." Tangan Yi bertengger di bahu Wu kemudian menggiring Wu agar duduk di sofa yang ada ruang keluarga. "Duduklah," Wu duduk di sebelah Yi dengan perasaan gelisah. "Apa sekolahmu menyenangkan?"
"Tidak." kedua mata Wu sontak membulat, kedua tangannya menutup bibir dengan keringat sebiji jagung menuruni pelipisnya. "Bukan, maksudku, semua baik-baik saja Kek!" Lanjut Wu dengan kepala yang menoleh kearah Yi dengan cengiran di wajahnya.
"Jawaban pertama itu sebuah kejujuran Wu, apa di sekolah kamu di tindas oleh temen-teman seumuranmu?"
"Iya."
Kedua matanya semakin membulat saat semua perkataan jujur keluar dari mulutnya. Kenapa semua yang aku katakan kenyataan? Mati aku! Sebuah tangan mendarat di bahu Wu, membuat ia menoleh kesamping. "Kamu harus menjadi prisai sekaligus pedang untuk dirimu sendiri, tetapi kamu juga harus bisa mengontrol semuanya, esok akan menjadi hari yang berat, Kakek ingin kamu bisa mengontrol dirimu sendiri dan jangan membuat masalah."
Mengangguk, Wu bertingkah seolah menyanggupi semua ucapan Yi secara tidak sadar. Suara langkah kaki mendekat kearah mereka berdua. Dua buah tangan melingkar di pundak Wu dan Yi, membuat keduanya menoleh ke belakang dan melihat Aiyo tersenyum hangat.
"Wah, Wu sudah berani dekat dengan Kakek?" tanya Aiyo dengan menjauhkan kedua tangannya dari pundak Wu dan Yi. "Itu bagus, kamu bisa belajar banyak dari Kakek,"
"Maksud Papa?" tanya Wu.
Menunjukkan cengiran. "Kakekmu pintar bela diri, kamu bisa minta di ajarkan olehnya."
"Kamu ini, jangan dengarkan Papamu, Wu. Dia memang suka mengada-ngada."
"Tapi Kek, benarkah? Kalau Kakek bisa mengajariku aku lebih baik belajar dengan Kakek, karena.." Wu melirik malas kearah Aiyo yang saat ini tengah menerima telepon. "Karena Papa tidak bisa di harapkan untuk mengajarkan bela diri, dia selalu membicarakan tentang pekerjaan denganku, aku tidak paham!"
"Wu.. suatu saat kamu akan berada di posisi itu dan menggantikan Papamu, dan Kakek."
Mencebikkan bibir, Wu menatap sang Kakek dengan tatapan sedih. "Kan, lihat! Bahkan ucapan Kakek dan Papa sama saja, aku mau mengadu dengan Nenek saja kalau begini!"
"Lalu Nenekmu itu akan mengatakan hal yang sama, kemudian kamu akan di tempatkan di kantornya," tersenyum kecil, Yi mengusap kepala Wu lembut. "Kakek berani menjamin, lebih baik kamu berada di bawah kekuasaan Papamu, Wu."
"Memangnya jika Wu berada di bawah kekuasaan Kakek dan Nenek kenapa? Apa sesuatu yang buruk akan terjadi?"
Berhenti mengusap kepala Wu. Tangan Yi saling bertautan diatas perut, dengan tubuh yang bersandar. "Tidak ada.." jawabnya ambang. "Kamu hanya belum siap jika berada disana."
"Apa dengan disana aku bisa setenang dan seberani Kakek?"
"Tidak Wu, sebuah keberanian dan ketenangan harus kamu temukan di dalam dirimu sendiri, jika kamu mencari jawaban itu dari orang lain, yang kamu temukan hanya harapan semu yang bertahan sesaat lalu kamu akan kembali menjadi dirimu yang lalu, kemudian hidupmu akan terasa hampa."
"Benarkah begitu?"
"Ya, kamu harus menemukan semua jawaban di dalam dirimu sendiri."
"Bagiamana caranya, Kakek?"
"Hatimu, gunakan hatimu."
Mendengar jawaban Kakeknya, membuat Wu membulatkan kedua matanya. Dahinya mengernyit mengingat jawaban Kakeknya, keringat perlahan mengucur membasahi pelipis, jantungnya berdetak cepat, namun waktu bergerak lambat. Menengok kearah jam, pergerakannya benar-benar lambat. Wu melihat orang itu, berdiri tidak jauh dari tempatnya dengan seringai.
"Hatimu, gunakan hatimu." Orang itu menepuk tangan riuh dengan tawa sarkas yang membuat Wu kesal setengah mati. "Katanya gunakan hatimu, pertanyaannya adalah, apa kau masih memiliki hati?"
Orang itu berjalan cepat kearahnya, tangan kanan orang itu terulur kedepan, mencengkram lehernya sampai tubuhnya terangkat. "Kau tidak memilikinya, karena apa? karena kau sudah membuangnya semenjak kau di buang oleh kedua orang tuamu."
"K-kau bohong! A-aku masih memilikinya!"
"Benarkah?" tanyanya dengan menyeringai. "Lalu, bisa kau jelaskan tentang ini?" lanjut orang itu dengan menjentikkan tangannya yang terbebas.
Kedua mata Wu membola, menatap tidak percaya sebuah reka adegan dirinya yang bersikap seperti pahlawan sekaligus menyebalkan saat mengancam Fadhil dan Diana disekolah tadi. "Nggak mungkin!"
"Oh.. masih kurang?"
"Apalagi yang kau tahu sialan!"
"Mmm... lebih baik di simpan sampai akhir saja, jangan terlalu banyak menghapus ingatanmu sendiri, jangan sampai menjadi kambing dungu yang tidak tahu apapun padahal dirimu tidak sebaik yang mereka kira."
Melirik arloji yang terpasang di tangan kanannya. "Ah, sayang sekali waktu ku sudah habis, sampai jumpa dude."
Tubuhnya terhempas diatas sofa dengan tangan yang menyentuh lehernya yang di cengkram kuat. Waktu kembali berjalan seperti semula, Yi menoleh kearah Wu dengan kening yang berkerut saat melihat Wu seperti merasakan kesakitan dan terus-terusan menyentuh leher.
"Apa kamu baik-baik saja Wu?" tanya Yi.
Aiyo yang mendengar suara Yi menoleh kearah suara, menyudahi perbincangan dengan sekertarisnya, Aiyo mendekat kearah Wu yang membungkukkan tubuh dengan memegang leher.
"Hei, Wu.." panggil Aiyo dengan berjongkok di depan Wu. Menoleh kearah Yi, Aiyo bertanya apa yang terjadi pada Wu, tetapi Yi menggeleng tidak tahu apa yang terjadi. "Wu, hei! Wu!" meletakkan ponsel di atas meja, tangan kanan Aiyo menyentuh pipi tirus anaknya, membuat tubuh Wu tersentak dengan pupil matanya yang membesar.
"Are you okay?" tanya Aiyo sekali lagi.
Menunduk, Wu menjauhkan tangan Aiyo dari pipinya dengan hati-hati. Rasanya benar-benar sakit, apa maksudnya? Jangan terlalu banyak mengapus ingatan? Memangnya manusia bisa melakukan itu? tanya Wu.
Yi yang melihat gerak-gerik aneh dari Wu, menggerakan tangannya kedepan lalu melepas pegangan Wu pada lehernya. Yi menatap tidak percaya, di leher Wu terdapat bekas telapak tangan, bukan seperti cekikkan, tetapi seperti telapak tangan mencengkram leher Wu dan itu hanya menggunakan satu tangan.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Yi.
"Melakukan apa Yah?" tanya Aiyo dengan dahi yang mengerut. "Dan apa yang Ayah lakukan?” Wu terkejut saat Ayah menjauhkan tangan Wu dari lehernya.
Perlahan kedua alis Yi terangkat dengan air muka yang berubah. "Ah tidak, tidak ada apa-apa, apa Wu baik-baik saja?" tanyanya lembut. "Maafkan Kakek, Kakek tadi hanya khawatir, takut kamu tersedak atau pernafasanmu tidak baik."
"Tidak apa Kek," tersenyum hangat. Apa Kakek mengetahui sesuatu? Tangannya terulur kedepan lalu menyentuh telapak tangan Yi yang terasa sangat dingin. "Apa Kakek baik-baik saja? Telapak tangan Kakek terasa dingin."
"Ah, Kakek baik-baik saja." Beranjak dari sofa, Yi menepuk-tepuk celana bagian belakangnya. "Kakek pergi dulu, Kakek baru ingat ada meeting kamu baik-baik dirimua Wu. Jangan biarkan orang lain masuk kedalam rumah."
"Baik Kakek!" seru Wu dengan tangan yang memberi hormat.
"Anak pintar, kalau begitu Kakek berangkat dulu ya, dan Chen," Yi melirik Aiyo yang masih menatap Wu khawatir. "Bukannya kamu ada pertemuan dengan perusahaan QW hari ini?"
"Hee?" Aiyo menoleh kearah Yi dengan kedua mata yang membulat. "Benar! jam berapa ini?? astaga!" Aiyo reflek bangun, dengan kepala yang menoleh kearah jam dinding yang berada di belakangnya. "Aku terlambat!" teriak Aiyo. Melirik Wu yang masih duduk dengan tenang, Aiyo membungkukkan tubuhnya sedikit lalu mencium puncak kepala Wu sebelum berpamitan. "Oke, Papa harus pergi untuk.. yah Papa tidak akan menjelaskan, jadi, baik-baik selama kami tidak ada dirumah!"
Aiyo pergi bersama Yi yang sebelumnya sudah meninggalkan ruang keluarga. "Oiya Wu, Nenek sedang di perusahaan, kalau kamu mau menyusul, minta Paman Kang untuk mengatar ya!" teriak Aiyo sebelum menutup pintu.
"BAIK!" teriak Wu.
Kedua bahunya merosot, tatapannya menyendu. Wu menautkan kedua telapak tangan dengan punggung yang membungkuk. Menghembuskan napas pelan, Wu mengingat ingat ucapan Kakeknya sebelum pergi.
"Hatimu, gunakan hatimu." Menyesap bibir bawah, Wu menyipitkan mata dengan kepala yang perlahan miring ke kiri. "Aku yakin aku masih memilikinya, tetapi.." Wu mengacak rambutnya asal, beranjak dari sofa lalu pergi ke kamar. "Sudahlah! aku yakin pasti aku akan menemukan dua hal itu, lebih baik aku mengganti baju lalu pergi ke perusahaan Nenek!"
Jantungnya berdebar, membuat Wu mengernyit dengan mata sebelah kanan yang menyipit. "Khh.." telapak tangannya terangkat guna menyentuh dadanya yang terasa sakit. "Kenapa aku mengalami ini lagi, dulu Ibu bilang aku tidak akan merasakan sakit lagi!" menarik napas lalu menghembuskannya pelan secara berulang kali, Wu merasakan debar jantung kembali seperti biasa dan tidak menyakitkan.
"Hah, aku harap tidak seperti ini lagi."
Wu melangkah meninggalkan ruang keluarga, menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tanpa menyadari kehadiran Yi yang masih terus memperhatikan Yi dari ruang tamu yang tidak terlalu terlihat dari ruang keluarga.
"Sebetulnya apa yang terjadi dengan anak itu?" tanya Yi penasaran. "Hm.. menarik,"
"Yah, jangan membuat rencana gila untuk mengetest Wu."
Menoleh kearah belakang, "Ah, kamu masih dirumah Nak?" tanya Yi dengan senyuman yang menghias wajah tua itu.
"Tentu, memangnya aku tidak paham maksud Ayah tadi." Sarkas Aiyo dengan mendengus geli. "Aku paham apa maksudmu Yah, jangan lakukan apapun pada Wu, dia belum siap."
"Baiklah, Ayah tidak akan melakukan apapun pada anakmu itu."
"Itu lebih baik," berabalik badan, Aiyo menoleh melalui bahu. "Jika sampai Ayah melakukan hal-hal aneh, aku yang akan melawan Ayah seperti tiga tahun yang lalu walaupun itu artinya harus mengorbankan orang banyak." Mengalihkan pandangan, Aiyo membuka pintu lalu pergi meninggalkan Yi yang masih berdiri di ruangan itu dengan tubuh yang meremang.
"Itu.. itu baru keturunan murni keluarga Shu. Jangan buat aku menyesal, aku berharap banyak pada kalian berdua."
[ .. ]
Wu menatap gedung tinggi itu dengan kedua mata yang berbinar, bahkan kepalanya harus mendongak sampai rasanya pegal karena melihat ke ujung perusahaan. Membenarkan posisi kepalanya, Wu melangkah masuk kedalam perusahaan, membenarkan jas yang di berikan oleh salah satu asisten rumahnya. Sebetulnya Wu tidak ingin memakainya, tetapi asistennya bilang ia harus mengenakan ini karena akan bertemu dengan beberapa orang penting di perusahaan, dan yang menyuruhnya memakai ini tentu saja, Kakek, Nenek, dan Papanya.
Melewati pintu penjagaan, tubuh Wu di periksa oleh petugas pengamanan. Setelah selesai, ia melangkahkan kakinya ke dalam perusahaan. Sepatu kulit berwarna hitam menghias kakinya, jam tangan yang mirip seperti milik Kakeknya menghias pergelangan tangan Wu. Sungguh! Wu masih kelas satu sekolah menengah atas! Apa perlu mengunakan hal yang tidak perlu seperti ini?! mendengus kesal, Wu melihat beberapa orang yang menggunakan pakaian sepertinya dengan earpiece yang terpasang di telinga.
"Apa anda benar Wuanzo Dekasta?" tanya salah satu orang itu.
"Ya."
"Ikut kami sebentar,"
Menyadari sesuatu yang tidak beres, kedua mata Wu melirik ke sekitar. Tempat yang sebelumnya terlihat ramai berubah menjadi sepi, bahkan pintu utama yang Wu lewati sekitar lima menit yang lalu sudah di tutup rapat dengan beberapa penjaga di luar.
"Untuk apa?" tanya Wu berusaha tenang.
Orang waraspun tidak akan pernah bisa tenang jika terjebak di posisinya saat ini, gila! Pikirnya seperti itu. apa setiap orang yang akan bertemu dengan Neneknya harus melewati hal-hal sulit seperti ini? kalau begitu lebih baik Wu di rumah saja lalu menikmati makanan lezat yang di buatkan oleh asisten rumahnya, sungguh!
Kedua tangannya dipegang dari belakang. Orang yang berada di hadapannya bergerak secara cepat kearahnya dengan melayangkan tinjuan tepat di ulu hatinya. Tubuhnya membungkuk saat menerima pukulan, kakinya melemas dengan ekspresi kesakitan yang terlihat jelas di wajahnya.
Kepalanya terdorong ke samping saat menerima tendangan keras. Napasnya memburu, pandangannya berubah kabur, Wu masih bisa merasakan jika darah mengalir dari sudut bibirnya. Orang itu lagi-lagi memberikan pukulan kencang pada pipinya berulang kali sampai kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, lalu semuanya gelap.
"Lepaskan tangan nya." perintah orang itu.
Dua orang yang sebelumnya memegang tangan Wu melepaskan tangan itu lalu pergi bersama orang yang memukul Wu. Saat mereka sudah berada sedikit jauh dari tubuh Wu, terdengar sebuah suara benda yang terjatuh.
Trek.
Saat orang yang menghajar Wu menoleh, orang itu terpental beberapa meter saat menerima tendangan dari orang yang berada di belakang, membuat para penjaga yang memegangi Wu berbalik badan lalu memasang kuda-kuda dengan kedua tangan yang membuat pertahanan.
Kedua penjaga itu tercengang saat melihat Wu masih bisa berdiri dengan punggung yang sedikit membungkuk. Mendongakkan kepala perlahan, Wu menatap kedua penjaga dengan seringai yang terbit di sudut bibirnya. Salah satu penjaga menyentuh earpiece nya untuk memanggil bantuan.
Wu mengambil botol air yang ada di meja respsionis, lalu berlari kearah penjaga yang memanggil teman-temannya. Melanyangkan pukulan, namun pukulannya berhasil di tangkis oleh penjaga itu, mencari celah, Wu dan penjaga itu terus saling menangkis dan memukul, sampai Wu melihat sela yang bisa ia gunakan untuk melumpuhkan penjaga yang berada di depan nya. menangkis keluar kedua tangan penjaga itu, Wu mengangkat tinggi tangan kanannya lalu menabrakan bagian bawah botol air mineral ke bagian leher sang penjaga berkali-kali. Botol air itu pecah membuat air nya bercipratan kemana-mana, memanfaatkan hal itu, Wu mengarahkan pukulannya di dagu sang penjaga, dan membuat penjaga itu tidak sadarkan diri.
Memegang tubuh penjaga, Wu meletakan tubuh itu di atas lantai dengan hati-hati. Menatap satu penjaga yang tersisa, ia melangkahkan kaki kearah penjaga itu seraya melepas jas lalu melemparkan jas ke wajah penjaga itu. di saat sang penjaga berusaha menjauhkan jas dari wajahnya, Wu melompat keatas tempat resepsionis lalu menendang wajah dengan menggunakan kaki sebelah kanannya, sampai penjaga itu terlempar ke belakang.
Drap.
Wu berdiri tegap dengan kedua tangan yang menepuk kemeja putih yang ia gunakan. Melangkah menghampiri penjaga terakhir, tubuh Wu sedikit membungkuk lalu mengambil jas miliknya yang masih berada di wajah itu. mengkebutkan jas di udara, ia kembali memakai jas itu, belum sempat ia pergi dari perusahaan itu, Wu mendengar suara derap kaki dari arah belakang, dan suara pekikkan dari arah belakang.
Suara Neneknya, ya. benar.
"WU!" teriak Neneknya dengan senyum lebar di wajahnya. "Kamu memang cucuku!" setelah mendengar itu, tubuh Wu mendadak lemas lalu terhuyung kedepan dan menindih penjaga yang berada di bawah.
Yuki Ertana Shu melirik ajudannya untuk membereskan tempat ini, lalu membawa Wu ke ruangannya. "Selesaikan dengan cepat, karena Chen akan datang kesini sebentar lagi." Setelah mengatakan itu, Yuki pergi meninggalkan beberapa ajudan yang membereskan kekacauan, bersama seorang ajudan yang menggendong tubuh Wu.
Menatap sayang Wu, Yuki tersenyum senang. "Besok kamu harus lebih menjaga kesadaranmu Wu." Ucapnya dengan mengelus surai hitam Wu yang menutupi wajah anak itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro