Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FIVE - [ B ] LIAR

Sebelum lanjut, selamat bermain dengan pemikiran kalian sendiri.

enjoy!

[ .. ]

Kelas terlihat sangat sepi, semuanya berfokus pada buku paket, dan buku tulis yang ada di atas meja masing-masing, begitu juga dengan Wu. Karena masuk melalui jalur beasiswa, sekolah berharap banyak pada Wu untuk menjaga akreditasi sekolah agar tetap di rank A di seluruh Kota.

Saat tengah mengisi soal, sebuah kertas menggelinding mengenai punggung tangannya. Mengambil kertas, ia membuka gumpalan kertas itu lalu menoleh kearah Arstian dengan tatapan datar, membuat temannya itu menunjukkan cengiran bodoh di wajahnya.

[ Jawaban nomor lima itu A atau C? ]

Menggelengkan kepala, Wu membuka halaman lima belas lalu menunjuk sederet paragrafh. "Baca mulai darisana." Singkat, padat, dan jelas. Wu tidak ingin memberikan jawaban pada Arstian takut-takut teman nya itu bergantung padanya, itu sama saja jika ia membantu temannya itu bodoh sekaligus tidak jujur.

Berdecak kesal, Arstian mengucapkan terima kasih dengan sinis. Mengangguk, Wu kembali mengerjakan soal dengan tenang sampai suara Arstian membuat ia berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan mengerjakan soal latihan.

"Wu, aku dengar kemarin kau berlarian di koridor, kau kenapa?" tanya Arstian.

"Itu, aku di kejar-kejar."

"Kejar-kejar?" mengernyitkan dahi. "Memangnya mereka menjadikanmu target lagi?"

"Bukan mereka, tapi seseorang yang bisa datang dan pergi sesuka hati, begitu."

"Eh, kau sedang membicarakan mantan?"

"Mantan?"

"Iya, mantan itu suka datang dan pergi seenak jidat."

Memainkan pulpen di tangan, kepalanya mendongak, menatap lurus. "Bukan yang seperti itu, rasanya dia selalu berada di dekatku," menarik napas melalui celah bibir, Wu menggigit sudut bibirnya dengan raut wajah bingung. "Pokoknya seperti itu, aku tidak paham yang jelas dia selalu ada di dekatku, itu saja."

"Maksudmu aku?"

"Bukan kau, kemarin bahkan kau pergi menghilang saat waktu istirahat!"

"Maaf kemarin aku sakit perut, jadi aku pergi ke kamar mandi, setelah itu ke UKS dan berakhir di kunci di dalam gudang oleh Kaltian karena menabrak dia saat di kantin." Jelas Arstian lalu kembali melanjutkan mengerjakan tugas saat ketahuan di perhatikan oleh guru yang mengajar.

Kepala Wu perlahan bergerak miring, alisnya mengerut dengan jemari yang masih memainkan pulpen. Bukannya kemarin aku menabrak Kaltian di kantin? Apa Kaltian kembali lagi ke kantin setelah aku pergi? Tapi.. tidak lama aku bertemu lagi dengan Kaltian di dekat kamar mandi, sebetulnya apa yang salah? tanyanya dalam hati.

"Wuanzo Dekasta, apa termenenung seperti itu lebih menarik daripada mengerjakan soal latihan?" tegur guru yang mengajar, membuat pupil matanya melebar, lalu menundukkan kepala saat semua teman-teman di kelas menyoraki dirinya.

"Semuanya diam! Kerjakan sampai selesai, jika sudah kumpulkan di meja paling depan masin-masing barisan lalu tukar antar barisan."

"Baik Bu!" jawab semua murid.

Arstian melirik Wu yang sudah kembali mengerjakan soal dengan serius. Menyikut lengan Wu, kepala Arstian bergerak naik dengan alis yang mengerut. "Ada apa?"

"Tidak, aku hanya teringat sesuatu."

"Ah begitu, lebih baik kita selesaikan tugas ini cepat."

"Ya, kau benar." lalu aku bisa kembali memikirkan apa yang kau ucapkan tadi. lanjut Wu dalam hati.

Dua puluh menit berlalu, Wu selesai mengerjakan tugasnya, lalu menutup buku latihannya sembari menunggu teman-teman nya yang lain selesai mengerjakan soal. Menghela napas, Wu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, jemarinya memainkan pulpen dengan pandangan kosong yang menatap kearah depan.

Menghela napas panjang, ia berusaha menepis sebuah pertanyaan yang ada di kepalanya. "Gak mungkin," bisiknya. Meletakkan pulpen diatas meja, tangannya bergerak keatas untuk megusap wajahnya, kedua sikunya berada di atas meja dengan kepala yang menunduk.

"Kumpulkan buku masing-masing di depan." Intruksi guru yang mengajar, lalu Arstian menggeser buku tulisnya ke meja Wu dengan cengiran diwajahnya. "Tolong ya Wu, terima kasih." Ucap Arstian.

Mengambil buku tulis Artsian, dan miliknya. Wu beranjak dari kursinya, saat ingin maju kedepan, kakinya terlebih dahulu di jegal oleh siswa yang berada dua meja di depannya, sampai membuat Wu tersandung ke depan, dan tidak sengaja menyenggol meja salah satu siswi yang sedang memegang botol minum.

Byur – brak.

Kepala dan punggungnya tersiram air minum yang sedang di pegang oleh siswi itu, dan sialnya air itu terus mengalir di atas kepalanya seolah berakhir denga di sengaja sampai buku tugas miliknya basah semua. urat lehernya menonjol dengan tangan yang terkepal erat sampai urat-urat tangannya juga menonjol karena menahan amarah.

Sesuatu yang seharusnya meledak itu tiba-tiba hilang digantikan oleh seringai penuh arti yang tercetak jelas di bibirnya.

"Whoops..!" ucap siswi itu dengan nada centil. "Bukan salahku, itu salahmu sendiri karena menabrak mejaku saat aku ingin minum."

"Wuanzo, apa kamu tidak apa Nak?"

Menurutumu bagaimana sialan? Menghela napas pelan, Wu mengangguk, bangun dari posisinya lalu mengantarkan buku tugas milik Arstian ke meja depan. "Maaf, buku tugasku terkena air, apa aku boleh menyusul menyerahkan tugasnya?"

"Ya, lain kali perhatikan jalanmu."

"Jalan, siapa yang harus memperhatikan sialan, sudah jelas kalau kau melihat kakiku di jegal oleh murid lain!"

"Apa kamu mengatakan sesuatu Wu?"

"Tidak ada, mungkin Ibu salah dengar." jawab Wu.

"Desti, seharusnya kamu tidak menumpahkan air itu ke buku tugas Wu!" marah guru itu pada siswi tadi.

"A-aku tidak sengaja Bu, dia duluan yang menyenggol mejaku, sebelum jatuh dia, dia menyenggol bahuku, jadi bukan salahku kalau airku tumpah ke buku tugasnya Bu."

"Lainkali jangan ulangi itu lagi, baik semuanya, kelas selesai hari ini, dan untuk Wuanzo, kumpulkan tugas itu setelah istirahat."

"Baik Bu." Memutar bola matanya malas, Wu berbalik badan setelah guru itu keluar dari dalam kelas.

Tanpa senagaja pandangan nya bertemu dengan siswa yang menjegal kakinya tadi. sebuah pembalasan terbesit dikepalanya saat melihat siswa itu ingin keluar dari tempat duduknya. Melangkahkan kaki lebar, ia berjalan cepat dengan tubuh yang condong kearah depan lalu dengan sengaja menendang meja itu sampai membuat siswa tadi kembali terduduk dengan posisi terjepit.

"Damn it!" umpat siswa itu dengan tangan yang reflek menahan meja agar tidak langsung menghimpit tubuhnya.

"Ah maaf! Kakiku tersandung, sepertinya ada yang menjegal kakiku tadi." Kata Wu dengan menatap remeh siswa itu.

Belum sempat memberikan respon, siswa itu semakin dibuat tercengang saat melihat Wu mengambil botol minum milik Arstian lalu berbalik badan untuk mendekat kearah Desti. Membuka botol minum, Wu bergerak seolah seseorang mendorong tubuhnya ke arah meja siswi itu, dengan tangan kirinya yang terangkat sedikit tinggi dan membasahi rambut Desti yang membulatkan matanya, kedua tangan yang terangkat keatas dengan telapak tangan yang menghadap keatas.

"NOOOOO..!" teriak Desti wajah kaget.

"Whoops..! sorry, when I wanted to drink my body was pushed so.. um, my hand slipped and then the water spilled," kata Wu mengikuti nada seperti nada bicara Desti saat menjelaskan pada guru. Membungkukkan sedikit badannya, Wu berbisik pelan. "How does it feel? After this, be nice to me, if you invite other people to get revenge, I will throw you into a landfill, after that I will expose all your ugliness if you do something bad with the Treasurer in this school, isn't that interesting bitch?"

Kedua bola mata Desti semakin melebar, menengok kearah Wu yang masih berada di sebelah wajahnya. tatapan mata Desti mengkilat marah, dengan senyum remeh yang terlihat jelas di wajahnya.

"Huh, kau pikir aku takut dengan ancamanmu? Tidak akan! Aku tidak pernah takut pada ancaman seorang pecundang yang tidak bisa berdiri menggunakan kedua kakinya sendiri."

"Begitu ya..?" tanya Wu mendayu. Suara husky nya benar-benar membuat bulu kuduk Desti meremang. Damn, kenapa aku baru sadar suara Wu sangat sexy? Tanya Desti dalam hati, tanpa sadar menggigit bibir bawahnya.

Mengeluarkan ponsel, Wu menegapkan tubuhnya lalu mengetik sesuatu, setelah itu ponsel milik Desti menyala memperlihatkan sebuah pesan dari sebuah nomor yang tidak ia kenal. Mengambil ponsel, tangan Desti mendorong wajah temannya agar tidak melihat ponsel Desti.

Membeku, Desti benar-benar membeku saat melihat sebuah foto dirinya dan bendahara di sekolah ini berada di sudut ruangan orang itu dengan tubuhnya yang memepet tembok dengan orang itu berada di depan tubuhnya. Tangannya buru-buru menghapus pesan itu lalu menatap sengit kearah Wu yang tersenyum penuh arti.

"So be nice from now on, your death card is on me."

Arstian yang sejak tadi memperhatikan pun menggeleng takjub, benar-benar takjub saat melihat Wu yang bisa seberani itu membalas perlakuan dua orang yang mengerjai temannya itu hari ini. mengucek kedua matanya, Arstian menggeleng tidak percaya saat Wu menjinakan macan betina di kelas mereka, si macan betina yang terkenal sangat cantik dan sulit untuk di jinakan.

"TAPI AKU PUNYA SATU PERMINTAAN!" teriak Desti.

Wu menoleh kearah Desti dengan raut wajah datar. "Kau pikir aku sedang mengajakmu bernegosiasi, huh?"

"Aku yang mengajakmu bernegosisasi!"

Hening, seketika ruangan kelas benar-benar hening karena semua orang tidak percaya dengan apa yang dilihat saat ini. "Aku tidak mau mendengarkan, kau tidak berhak mengajakku bernegosiasi." Setelah mengatakan itu, Wu menghampiri Arstian lalu mengajak temannya itu untuk pergi ke kantin.

Saat ingin keluar dari kelas, pundaknya terlebih dahulu di cengkram dari belakang, membuat Wu dengan tenang ia mengambil tangan yang mencengkram bahunya lalu memutar tangan itu bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak kebelakang untuk menekan tangan siswa tadi agar tetap berada di belakang punggungnya.

Arstian yang melihat itu berusaha menghalangi Wu, tetapi temannya itu menyuruhnya untuk menunggu di luar kelas. Menelan saliva berat, Arstian menatap Fadhil yang di perlakukan seperti itu ikutan meringis karena seolah merasakan sakit yang di rasakan oleh Fadhil.

Mendengar suara teriakan siswa itu, bukannya berhenti Wu menaikan kakinya lalu menginjak punggung siswa itu agar menempel di tembok lalu menarik tangannya kebelakang. "Aku tidak ingin bermain dengan orang yang tidak sepadan denganku. Bertingkah sekali lagi, aku buat keluargamu mengemis di pinggir jalan."

"Kau tidak akan bisa sialan!"

"Tentu aku bisa, aku bisa melakukan semua yang aku mau semudah membalikkan telapak tangan." Semakin menekan kakinya pada punggung Fadhil, Wu juga semakin menarik tangan Fadhil ke belakang seolah akan melepas tangan itu dari tempatnya. "Berhenti sekarang atau kulepas tanganmu."

"Sial!" tangan kiri Fadhil menepuk tepuk dinding berulang kali karena benar sakit sekaligus keram. "Baik! Aku berhenti! Lepaskan tanganku sialan, ini sangat sakit!"

"Katakan dengan benar!"

"SI – baiklah, tolong lepaskan tanganku, rasanya sangat sakit, Wu."

"Terkabul." Wu menjauhkan kakinya dari punggung Fadhil, melepas kuncian pada tangan temannya itu, Wu menarik kerah seragam Fadhil kebelakang bersamaan dengan tubuhnya yang bergeser kesamping, lalu melayangkan pukulan tepat di pipi Fadhil sampai semua orang menahan napas karena tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat, begitu juga dengan Arstian yang merasakan lemas di kedua kakinya. "Sampai kau mengajak orang lain untuk balas dendam, aku akan benar-benar membuat perhitungan denganmu, sialan."

Berbalik badan, Wu melangkahkan kaki keluar dari kelas, menghampiri Arstian yang menunggunya. Saat ia hampir sampai di depan Arstian, tubuhnya mendadak lemas sampai membuat tangannya bergerak cepat memegang kedua bahu Arstian yang saat ini menatapnya dengan tatapan panik.

"Kau kenapa?" tanya Arstian.

"Tidak, tidak apa-apa." menghembuskan napas pelan, "Ayo, kita ke kantin sepertinya aku harus membeli buku tulis juga untuk tugas dari Bu Guru."

Arstian menggaruk kepalanya yang merasa gatal saat merasakan perbedaan aura yang dimiliki oleh teman sebangkunya itu. ia pernah merasakan ini, tetapi sudah lama sekali dan membuatnya benar-benar bingung.

"Arstian!"

"Iya, tunggu!"

Arstian berlari menghampiri Wu yang sudah berjalan cukup jauh meninggalkannya. Selama berlari mengejar Wu, tanpa sengaja ia menabrak tubuh seseorang sampai membuat keduanya jatuh terpental satu sama lain. mendengar suara jatuh, Wu menolehkan kepala, melebarkan kedua matanya dengan bibir yang sedikit terbuka, lalu memejam bersama dengan helaan napas yang terdengar berat.

Berbalik badan, Wu menghampiri Arstian yang masih membeku di tempatnya, bahkan wajah temannya itu berubah pucat pasi. Baron menatap Arstian dengan tatapan kesal, benar-benar kesal karena di tabrak dengan kecepatan secepat itu. beranjak dari tempatnya terjatuh, tangannya menepuk-tepuk belakang celananya yang kotor karena debu.

"Bangun." kata Baron dingin.

"Y-ya?" kedua mata Artsian melebar saat tangan Baron mencengkram seragamnya sampai tubuhnya bergerak kedepan. "M-maafkan aku!"

"Maaf?" ulang Baron. "Apa wajahku saat ini berkata akan menerima kata maaf mu itu!" tangan kirinya terangkat tinggi, kepalan tangan itu benar-benar terlihat sangat kuat bahkan urat-urat dipunggung tangan Baron sampai terlihat jelas, tangan itu bergerak maju dengan cepat, membuat Arstian reflek memejamkan matanya erat dengan keringat yang membasahi dahinya.

Menunggu beberapa saat, dahi Arstian mengenyit saat tidak merasakan pukulan mengenai wajahnya. memberanikan diri membuka mata, kedua mata Arstian membola saat melihat tangan Baron ditahan menggunakan telapak tangan seseorang yang berada di belakangnya. Menelan saliva berat, kepala Arstian menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah dan melihat wajah Wu yang terlihat sangat dingin, bahkan aura dominan benar-benar menguar dari tubuh temannya itu.

"Enough." Kata Wu dengan menatap datar Baron yang menatapnya dengan tidak percaya. "He already apologized, so it was enough here Baron."

"Ti-tidak, Wu, aku yang salah, kau tidak perlu ikut campur." Bisik Arstian dengan perasaan takut yang luar biasa.

Menyeringai lebar, Baron menarik tangan yang di genggam oleh Wu bersamaan dengan melepas pegangan pada kerah Arstian. "Keh! Baik!" Baron berdiri tegap dengan kedua tangan yang terangkat keatas. "Seharusnya kau menunjukkan sikap ini sejak awal, kalau begitu.. kau harus menjaga temanmu itu mulai sekarang."

Baron berbalik badan dengan senyum puas, namun kakinya kembali berhenti saat mendengar suara Wu. "Apa itu sebuah peringatan untukku?"

Baron menoleh lewat bahunya. "Yah, anggap saja begitu jika radar waspadamu bisa sebagus ini, maka itu sebuah peringatan pertama dan terakhir dariku." Melambaikan tangan, Baron pergi meninggalkan Wu di koridor dengan tatapan bertanya dari setiap orang.

Seluruh siswa dan siswi saling berbisik saat Wu membantu Arstian untuk segera bangun dari tempatnya. Melirik tajam kearah siswa dan siswi yang membicarakan dirinya, Wu menghela napas dengan mengalihkan tatapan.

"Ayo cepat Ars, kantin tidak akan pindah kesini jika kau terus mematung seperti itu."

Mengerjapkan mata, Arstian reflek berjalan di belakang Wu dengan kepala yang menunduk. "Kau terlihat berbeda, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Arstian saat keduanya memasukki kantin sekolah.

"Tidak ada,"

Mengambil tempat makan yang tersedia di dekat pintu masuk, Wu terus melangkah dengan tatapan lurus. Menghela napas, Arstian menahan napas panjang saat sebuah tempat makan yang sudah terisi makanan melayang dan berakhir di wajah Wu. Semua orang terdiam lalu tertawa terbaha-bahak saat tempat makan itu menyentuh lantai dengan suara nyaring. Wajah Wu tetap tidak memberikan ekspresi apapun saat wajahnya sudah kotor oleh makanan dan nasi yang menempel di dahinya.

"Lihat dia, itu yang tadi menjadi penengah perkelahian antara Arstian dengan Baron? Yang benar saja, menghindar dari tempat makan itu saja tidak bis–" ucapan Daffa terhenti saat sebuah tempat makan melayang di udara dengan kecepatan cepat dan mendarat di wajahnya yang ingin menatap kearah depan.

"Bahkan kau juga tidak bisa menghindar, maaf saja, aku sengaja." Ejek Wu tanpa rasa bersalah sedikitpun setelah melemparkan tempat makan itu ke wajah Daffa. Menoleh kearah siswi yang makanan nya ia buang, Wu memberikan tempat makan miliknya lalu meletakkan diatas meja. "Maaf untuk makanan mu yang tadi, ini, ambilah miliku."

Arstian semakin megap-megap di tempatnya saat melihat punggung Wu menjauh dari kantin. Melirik Daffa, dan Fathan yang menatap tajam kearahnya, Arstian meletakan tempat makan diatas meja, lalu berlari menyusul Wu yang sudah menghilang dari kantin.

Wu berjalan menuju kamar mandi yang terletak tidak jauh dari kantin berada. Kepalanya terasa sangat pusing sampai mengharuskan dirinya untuk berpegangan pada tembok sepanjang koridor agar tidak terjatuh di tengah-tengah koridor lalu di injak-injak oleh seluruh orang yang membencinya.

Membuka pintu kamar mandi lebar-lebar, Wu masuk kedalam kamar mandi lalu berdiri tepat di depan wastafel yang memiliki cermin panjang di depannya. Kedua tangannya berpegangan pada atas wastafel dengan kepala yang menunduk.

"Haish.., sebetulnya apa yang terjadi," tanya Wu.

"Kau menjadi dirimu yang sebenarnya, itu saja."

Mendongak, kedua mata Wu melebar saat melihat orang itu lagi yang bersandar di depan pintu kamar mandi yang tetutup. "Pergilah," memutar keran, Wu menangkup kedua tangannya di bawah keran yang mengalirkan air lalu membasuh wajahnya, berharap rasa pusing di kepalanya hilang setelah ia membasuh wajahnya.

"Seharusnya kau menerima hal itu,"

"Apa yang kau bicarakan, menerima apa?"

"Dirimu yang sebenarnya."

"Kau tahu, ucapanmu tidak masuk akal, maksudmu aku harus menerima di tindas setiap hari oleh mereka semua yang memiliki kekuasaan?"

Berdecak kesal, orang itu menatap malas kearah Wu. "Bukan yang seperti itu bodoh, memangnya kau tidak ingat apa yang sudah kau lakukan hari ini?"

"Aku? Aku tidak melakukan apapun, bahkan seingatku aku tersandung karena di jegal oleh Fadhil tadi."

"Memang bodoh sejak lahir." Mengusak poninya, orang itu mendekat kearah Wu lalu mencengkram rahang Wu dari belakang lalu mengarahkan wajah itu agar menatap kearah cermin. "Lihat siapa yang di cermin itu,"

"Aku dan Kau,"

"Y-ya kau benar, tetapi fokus pada dirimu sendiri terlebih dahulu."

"Tapi aku punya satu pertanyaan,"

Pelipisnya berkedut, "Apa?"

"Mengapa kedua matamu tidak terlihat? apa kau tidak memiliki mata?"

"Tidak bisakah kita serius kali ini? aku tidak punya banyak waktu menjawab pertanyaan konyolmu itu."

"Tapi kau sudah mengiyakan akan menjawab pertanyaanku."

"Baiklah," ucapnya mengalah. "Aku memiliki mata, ada saatnya kau mengetahui wajahku, cukup?"

"Cukup."

"Intinya kau harus menerima dirimu sendiri. Jangan pernah lupa apa yang aku ajarkan padamu sejak dulu. Kau mampu melawan mereka semua semudah membalikan telapak tangan. Ingat itu, dan jangan pernah melemah lagi."

Brak – trak.

Kepala Wu menoleh kearah samping dan menemukan Kaltian menatapnya tajam dengan Daffa, Fathan, dan Arstian yang mereka jadikan tawanan. Napas Kaltian memburu dengan langkah kaki lebar yang menghampiri Wu, Kaltian langsung menerjang tubuh Wu dan memojokkannya ke dinding kamar mandi.

Menatap datar Kaltian, Wu tetap tidak bergeming walaupun tubuhnya sedikit terangkat karena ulah Kaltian. "Apa?" tanya Wu tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Kau masih bisa bertanya 'apa?' padaku?!"

Menepis tangan Kaltian dari dalam keluar, Wu mendorong tubuh itu sekali dorong sampai tubuh Kaltian terhuyung kebelakang dan jatuh. Menatap lurus pada Kaltian, tangan Wu bergerak menahan pergerakan tubuh Kaltian dengan menekan kedua bahunya agar punggung Kaltian menyentuh lantai kamar mandi.

"Lebih baik kau diam, jika kau ingin membela Daffa, setidaknya tunjukkan dengan cara yang benar, bukan seperti orang yang kehilangan anak gadisnya." Kepalanya bergerak miring, Wu menatap wajah Kaltian yang terlihat sangat terganggu dengan dirinya yang menduduki perut Kaltian. "Wajahmu belum pernah di pukul oleh pecundang 'kan?" sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. "Biar aku yang menjadi orang pertama yang memukulmu,"

Namun belum sempat Wu melayangkan pukulan, Fathan sudah terlebih dahulu maju dengan melayangkan pukulan kearah Wu yang sudah terlebih dahulu melompat mundur dan menangkis pukulan demi pukulan yang di layangkan oleh Fathan.

"Hanya seperti ini kemampuanmu?" tanya Wu yang masih saja terus menghindar dari pukulan Fathan.

"Diam dan balas pukulanku bukan menghindar seperti orang dungu!"

"Baik, sesuai keinginanmu."

Tangan kiri Wu bergerak cepat mengarah bagian ulu hati yang tidak terjaga oleh Fathan, menyadari hal itu, Fathan melindungi bagian yang di incar oleh Wu dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Menyeringai senang, Wu melancarkan serangan menggunakan tangan kanannya tepat di bawah dagu Fathan, membuat kepala Fathan seperti terlempar keatas dengan kedua mata yang melebar.

Apa ini? tanya Fathan dalam hati.

"Aku tidak akan meminta maaf setelah ini," bisik Wu pelan lalu mengirimkan pukulan tepat di ulu hati Fathan, membuat laki-laki itu terpental ke belakang dan di tangkap oleh Kaltian yang menatap tidak percaya kearah Wu.

"Bagaimana ini?" tanya Daffa yang baru sadar dari shock luar biasa.

"Kita bawa Fathan ke UKS terlebih dahulu, baru kita bahas masalah ini setelahnya."

Daffa melempar tubuh Arstian kedepan, dalam keadaan tidak siap, tubuh Arstian benar-benar seperti melayang dan siap menghantam lantai kamar mandi, namun sebuah tangan terlebih dahulu menahan kedua lengannya agar tidak terjatuh.

"Kau 'tak apa?" tanya Wu.

"Ya, tapi Wu,"

"Apa?"

"Apa kau baik-baik saja?"

Tangan Wu tergerak mengusap wajahnya kasar dengan tubuh yang membungkuk. "Aku tidak tahu, tapi rasanya benar-benar membingungkan Arstian, a-aku.." menghela napas panjang, dengan tubuhnya yang kembali menegap. "Sudahlah, setidaknya kau baik-baik saja. Aku harus kembali ke kelas."

[ .. ]

"Apa kita harus memukul mundur Wuanzo sekarang?" tanya orang yang duduk membelakangi pintu masuk.

Mengambil cangkir putih dari atas meja, jemari tangan itu berputar putar diatas bibir cangkir dengan pantat yang menempati sofa cokelat. "Tidak, jangan sekarang. Kita harus terus bermain-main, lagipula.." menyesap teh di cangkir putih, orang itu tersenyum penuh arti. "Wuanzo nampaknya mulai menunjukkan batang hidung nya setelah bertahun-tahun hilang 'kan?"

Suara pintu terbuka membuat keduanya terdiam, langkah kaki menggema memasukki ruangan bernuansa cokelat yang terasa sangat menyejukkan itu dengan pelan. Suara ketukan kaki yang menyentuh lantai terdengar seperti irama yang menenangkan sekaligus menakutkan karena mampu membuat orang lain ketakutan saat bertemu dengan orang itu. suara rantai kacamata menjadi sebuah kombinasi yang membuat suara ketukan sepatu dan rantai menjadi melodi.

"Jadi bagaimana perkembangannya?" tanya orang itu setelah duduk di sofa tunggal dengan kaki yang menyilang.

"Yah, sesuai dengan prediksiku." Menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. "Wuanzo itu memang berbeda dari yang lain, dan jika dia termakan oleh pengaruh yang di buat oleh mereka, dia akan semakin memperkuat diri sendiri tanpa di sadari."

Mengambil teh yang di berikan oleh pelayang, orang itu memegang piring kecil di tangan kiri, dengan tangan kanan yang memegang pegangan cangkir putih, mendekatkan cangkir itu ke bibir lalu menyesapnya perlahan. Orang itu tersenyum puas di sela-sela acara minum teh.

"Apa kita juga harus mendesak genk aneh itu?" tanya orang itu.

"Tentu, semakin mereka berusaha melakukan hal itu, semakin besar kesempatan kita membuat Wuazo jatuh dan di buang lagi oleh keluarga barunya."

"Idemu itu licik, tapi aku menyukainya." Puji orang itu.

"Terima kasih Ti."

"Apa kau membuat permainan baru lagi?"

"Tentu, kali ini lebih besar dari yang sebelumnya. Jika prediksiku benar, Wuanzo akan benar-benar di permalukan seantero sekolah, ah tidak.. tapi seantero bumi!"

Meletakkan cangkir diatas piring kecil, lalu menyimpannya di atas meja. Kedua tangan itu bergosokoan dengan seringai yang terulas jelas diwajahnya. "Kapan kita memulai permainan itu?"

"Besok!"

"Yah.. aku menunggu hal itu, dan aku harap semua berjalan sesuai prediksimu, jika tidak.." tangan itu bergerak mengambil piring yang berada di bawah cangkir lalu melemparnya kearah dinding. "Hidupmu akan seperti piring itu, jadi lakukan dengan benar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro