Hegemon
"The one lesson to be learned is the necessity for every officer to cultivate belief in his own judgment, so as not to be afraid of acting correctly when the day of trial comes."
― Gilbert Andrew Hugh Gordon
⁕
Sehari lagi berlalu dengan harapan bahwa masih ada kesempatan untuk mencari kebenaran.
Satu per satu petunjuk terbuka. Bibir yang terkunci memberitakan sebuah cerita, bahkan tulisan dari masa lalu juga berbicara. Namun, benarkah misteri telah terlerai?
⁕⁕⁕
Ketika lampu terakhir di kamar sang Butler dimatikan, sesosok bayangan bergerak dalam subuh.
Lincah tak bersuara seakan telah seumur hidup tinggal dalam bayangan.
Dalam jeda waktu beberapa saat sebelum matahari terbit, sebelum penghuni manor pertama bangun, bayangan itu menyelinap masuk ke dalam ruang makan. Mengendap dan menatap sekeliling mencari sesuatu.
Akhirnya dia menemukannya, sebilah pisau di antara peralatan perak.
Darah tercurah dan dia menuliskan sesuatu di tembok dalam kegelapan di ruang makan.
Tenggelam dalam dunianya, sosok itu tak menyadari bahwa pagi telah tiba. Seorang pelayan wanita yang memulai tugas pagi bergerak ke ruang makan untuk menyiapkan sarapan, berteriak dan menjatuhkan tumpukan piring yang dia bawa.
Gema suara pecahan piring dan jeritan memenuhi manor, membangunkan dunia.
Bayangan itu terkejut, tak menyangka datangnya pengganggu. Dia terlonjak, memandangi sang pelayan yang menatapnya nanar.
Jeritan kedua kembali terdengar.
Kepanikan menjalar dan sosok itu mencari jalan keluar.
Dia berlari sekuat tenaga menjauh dari rumah utama.
Takut. Gelisah. Panik.
Perasaan-perasaan manusiawi itu memenuhi dada.
Tubuhnya kurus dan kotor dengan rambut coklat kelabu berdebu. Sinar lemah matahari memberikan siluet pakaian compang-camping yang dia pakai, celana yang robek selutut di kaki kanan, kemeja putih yang telah berubah menjadi kecoklatan sobek di beberapa tempat, menampilkan tulang rusuk yang menempel pada kulit tanpa daging di antaranya.
Sosok itu berlari ke arah taman belakang. Tempat perlindungannya, di mana rasa amannya berada.
. . .
Viper tidak punya waktu bangun yang tentu, tapi dia pasti sudah terjaga sebelum subuh, sebuah kebiasaan yang melekat padanya di zaman militer.
Bangun, apel pagi, lari lapangan, lalu latihan.
Walau sekarang sudah tidak ada apel pagi, lari lapangan, atau latihan yang menunggunya, sebagai polisi detektif, yang dilakukannya setiap pagi tidak jauh ketika saat masih di kamp dan barak sempit, yaitu memeriksa pistolnya.
Scotland Yard memberi mereka masing-masing revolver Webley, pistol hitam ringan dengan kaliber .455, salah satu dari banyak pistol yang biasa juga terlihat saat perang. Viper terbiasa memegang senapan, sehingga kadang benda kecil itu terasa aneh di tangannya, walau gerakannya untuk mengisi peluru ke badan pistol itu terasa sama ketika dia mengisi sebuah shotgun. Rokok diapit di mulut, Viper membersihkan laras utama pistol, sebelum menghitung peluru dan mengisi kembali chamber yang ada dengan enam peluru.
Viper meminta stok peluru penuh ketika ditugaskan ke Estate, merasakan tanda bahaya. Walau demikian, dia tidak ingin membuang peluru terlalu banyak.
Menembak orang adalah perkara mudah - tapi bukan berarti sasaran tembaknya memang harus mati. Siapa juga manusia yang diberkahi untuk mengambil nyawa orang lain? Tidak ada. Tidak seharusnya manusia berlagak seperti Maha Pencabut Nyawa.
Baru saja Viper menyundutkan rokok pertama pagi itu, Estate sudah terbangun. Ada keributan tidak biasa di Estate, lagi pagi belum menjelang.
Viper segera turun dari kamarnya mencari asal suara, hingga akhirnya dia sampai ke ruang makan. Saat ia mencoba menyalakan lampu, hanya tersisa kekacauan di sana.
Tumpukan piring pecah berserakan yang tampaknya dibawa oleh pelayan, lalu teriakan tadi, tapi sang "pelaku" tidak dapat ditemukan. Sudah kabur, mungkin lebih muda darinya dan cekatan, pikir Viper. Ia menangkap beberapa pelayan mulai membicarakan kalau ada maid yang mengejar si pelaku, artinya Viper bisa mengejar pelakunya nanti.
Karena di depannya sudah ada tempat kejadian perkara yang perlu dijaga sebelum ada yang sempat menyentuh.
Andai saja dia membawa garis polisi, tapi keberadaannya paling tidak cukup untuk menjaga tempat kejadian perkara.
Apa pelakunya berhasil tertangkap setelah suara dua teriakan tadi? Apa perlu dia segera pergi? Tapi andai Viper tidak menjaga tempat ini, akan ada yang membersihkannya.
Sudah mulai ramai para penghuni rumah mengamati kekacauan yang terjadi, satu-persatu dari mereka menunjukkan kengerian, ketakutan, dan di antara mereka juga ada yang tampak tenang, mencoba mengendalikan mereka yang mulai didera panik.
Viper berdiri lebih tegak.
"Jangan ada yang memegang apa-apa atau membersihkan tempat ini." titahnya.
Di antara para staf dan pelayan, Viper sudah melihat sang butler - Akio Kai - berdiri di depan mereka, alih-alih menjadi pemimpin di tengah kerubungan yang tersesat.
Sang dokter, Harold Wayne, turut menuju dining room kemudian, segera mencari seseorang yang mungkin terluka.
Viper masih menelaah ruang makan itu ketika Akio Kai datang padanya. Dengan sigap butler itu meminta para pelayan untuk tidak panik dan tidak berkeliaran di sekitar tempat kejadian perkara. Pecahan beling bisa membahayakan siapa saja, tapi sebelum dia memeriksa keseluruhan tempat ini, tidak ada yang diperbolehkan menyentuh benda apa pun, atau memindahkan barang satu pun.
"Apakah saya perlu menambah penghalang di sekitar sini supaya tidak ada yang melintas, Detective?" tanya Akio.
"Penghalang ... asal bukan benda dari ruangan ini tidak masalah, Mr. Akio." balasnya.
Beliau bergumam soal Maid yang mengejar pelaku, juga karena Mitford tidak di sana, dia pasti ikut mengejar pelaku bersama maid itu.
Kesimpulan yang dapat dia tarik adalah: orang itu merupakan orang dalam yang tahu seluk beluk Estate untuk melaksanakan ini, walau orang itu terlalu gegabah melakukannya.
Atau segalanya adalah bentuk kesengajaan?
Di antara dua orang itu, tidak ada yang cocok dengan profil tempat kejadian. Darah yang bercecer itu masih segar, dan dengan timing ini, di antara butler dan dokter tidak ada yang tampak terluka atau melukai seseorang.
Pelapis dinding ruang makan dipenuhi bercak darah berbentuk telapak tangan dan beberapa bentuk seperti usapan. Warna merah menandakan bahwa belum lama waktu berlalu sejak darah itu dicurahkan.
"K E L U A R"
Demikian yang tertulis secara kasar di dinding, menggunakan darah. Tulisan besar yang mengisi bagian tengah dinding ruang makan. Sebilah pisau berlumuran darah tergeletak begitu saja di lantai di bawah tulisan, terlupakan oleh sang pengguna, bersama dengan tetesan darah yang lebih banyak.
Akio muncul tidak lama dengan tali dan gunting, sesuai permintaannya untuk mengambil pembatas yang tidak berasal dari dining room.
Tulisan di dinding itu terasa seperti menyala, dan bau anyir darah mulai menusuk hidung.
KELUAR - Untuk siapa tulisan ini ditunjukkan?
"Apakah Anda juga ingin juga membuat perimeter untuk sekeliling dinding itu, Detective?" tanyanya pada Viper seraya menawarkan tali dan gunting.
"Tidak perlu, Mr. Akio." tolaknya halus. Terlalu banyak pembatas akan membuat penyelidikan kurang leluasa, paling tidak cukup agar tidak ada pelayan atau awam lain mendekat.
"Baiklah kalau demikian, nanti saya simpan dulu sisa tali-tali ini ke tempat semula," Akio membalik badan dan menyimpan gunting dan sisa tali yang tidak digunakan, dia juga meminta pelayan-pelayan yang baru sampai untuk melihat kekacauan itu untuk mundur.
Selain tulisan di dinding, yang tentunya sukar diabadikan tanpa menggunakan kamera, Viper mendapati pisau yang digunakan sang pelaku. Bercak darah ada di bilah itu, sepertinya adalah milik si pelaku sendiri yang mencari 'tinta' untuk menoreh tulisan yang entah bermakna provokasi atau pesan penting.
Artinya, si pelaku pun bukanlah orang yang bisa baca atau bisa tulis, orang mana yang langsung berpikiran menuliskan sesuatu dengan darahnya sendiri di dinding?
Siapa pun itu, pisau ini harus diamankan terlebih dahulu.
"Mr. Akio, apa anda punya kantong untuk menaruh pisau ini?" Viper menunjuk pisau yang tergeletak tidak jauh dari lemari.
Viper mengedarkan pandangannya sekali lagi, melihat pelayan-pelayan yang resah.
"Saya harus menyusul mereka yang mengejar pelaku setelah ini, apa saya bisa percaya anda untuk menjaga siapa pun tidak menyentuh ruang makan, Mr. Akio?"
Akio sedang memasukkan tali dan gunting ke laci Pantry ketika Viper bertanya.
"Kantong pembungkus, Sir?" ulangnya, seraya mengedarkan pandangan menelusuri laci-laci lain. "Apakah kantong dari kertas minyak ini cukup?" tanyanya sambil menarik laci lain, kemudian mengambil selembar yang masih terlipat licin.
"Bahannya cukup tebal dan tidak mudah tembus cairan. Cocok untuk membawa daging mentah." Dia menjelaskan ketika berjalan kembali ke Dining Room.
"Apakah Anda mau memasukkan sendiri pisaunya ke dalam sini?" tawarnya sambil membukakan kantong kertas itu untuk Viper.
Viper menggunakan saputangan untuk mengambil pisau itu dan menaruhnya ke dalam kantong yang disediakan Akio. Sayang dia tidak membawa sarung tangan ketika turun dari kamar, tapi tidak masalah saputangan di sakunya bersimbah darah.
Viper mengambil kantong itu dari Akio dan membawa bukti itu bersamanya.
"Terima kasih, saya permisi, Mr. Akio."
Tidak sopan membuang saputangan berlumur darah di tempat kejadian perkara, Viper akan mengurus itu nanti.
Ketika Viper sudah bertolak, dia mendengar sayup derap langkah sepatu sang butler. Viper tidak berhenti, mempercepat langkah, sekedar menunggu gema langkah dibelakangnya hilang sebelum dia mencari tempat yang mungkin untuk si pelaku pergi.
Tempat terbuka yang bukan di dalam Estate, pikirnya. Taman belakang ... atau taman depan.
Tidak ada yang akan memilih pergi ke arah taman depan, apalagi bila mereka adalah orang yang sudah lama terkurung dalam kehidupan Estate.
⁕
Menelusuri ke arah mana pelaku dan para pengejar pergi, Viper kembali tiba ke taman belakang, satu-satunya tempat terbuka yang memungkinkan untuk jadi tempat kabur seseorang.
Viper berdiam sejenak setelah membuang saputangan bersimbah darah ke incinerator terdekat, dan dia sudah mulai menyalakan rokoknya. Kemungkinan kalau dia bertemu dengan si pelaku saat ini, pilihannya adalah si pelaku bungkam, atau para pengejar sudah mencoba mengajaknya bicara - Viper akan berusaha menarik testimoni dari sang pelaku.
Akio sudah tidak terlihat mengikutinya, tapi bukan berarti butler itu sempurna urung mengejarnya. Butler itu pastinya lebih tahu arah ketimbang Viper yang hanya ingat jalan-jalan utama karena dia hanya sebagai pengunjung.
Viper kembali mengikuti asal suara hingga dia menemukan tiga orang: pria muda kurus compang-camping yang sepertinya sekedar suruhan yang terpaksa, sang reporter dan sang maid.
"Di sini rupanya."
Dua pengejar, Mitford dan Miss Adaline, sepertinya sudah berusaha menenangkan pria muda itu. Tidak heran bila pria muda itu - entah siapa dia bagi Estate ini - mengalami histeria. Dari sedikit banyak apa yang bisa Viper dengar, dia tampak kenal dekat dengan Akio Kai, sama seperti pelayan dan staf lain yang turut takut dengan si mercusuar.
Viper menunduk di dekat pria muda itu, membiarkan Miss Adaline tetap menyentuhnya untuk mencoba menenangkannya.
"Saya polisi. Saya bisa menjamin keselamatanmu." ucapnya pelan. "Sebaiknya kita pindah dari sini, saya yakin ada yang mengikuti saya dari arah ruang makan. Dia pasti akan mencari arah saya pergi."
Viper mengerling ke arah Mitford, berharap dia paham kodenya atas siapa yang mungkin mengikuti Viper.
Walau mereka pastinya tidak bisa "tidak terlihat" dalam waktu yang lama karena mereka ada di sarang harimau.
Mary mendongak mendengar suara berat Detektif Whetstone.
"Dia tidak mau dibawa ke dekat sana." Kepala Mary mengangguk ke arah warehouse. "Ada ide?"
Sayangnya, Viper sudah telat selangkah.
Dari arah semak-semak, layaknya pemburu yang telah mengkalkulasi segala kemungkinan, sosok dewasa melesat maju. Sebilah pedang tajam mengilat menebas punggung manusia kurus yang meringkuk di dekat dua perempuan yang bersamanya.
Satu tebasan miring dari sudut kanan atas ke kiri bawah. Korbannya bahkan tak sempat berteriak atau merasakan apa yang terjadi. Tiba-tiba sudah tergeletak.
Darah memercik. Lalu menggenang.
Pemuda kurus yang pucat seakan tidak pernah melihat matahari itu kini sudah bersimbah darahnya sendiri, seperti boneka rusak, diabaikan setelah pemiliknya bosan. Sementara, sang punggawa dengan pedang berdiri diam, memandang dingin pada korban yang sudah tak bergerak di tanah.
Satu ayunan dia sabetkan lagi untuk menyingkirkan sisa darah di bilah tipisnya yang agak melengkung. Memercikkan darah ke sekeliling. Satu gerakan ringkas untuk melap sisa darah dari bilah dengan kertas yang diambil dari sakunya.
"Sampah sudah dibereskan," ujarnya datar.
"Maaf sudah menunjukkan hal yang tak patut pada Anda sekalian, para tamu." dia menambahkan dengan senyum tersungging. Dingin. Tanpa emosi.
Pistol Viper sudah naik secara refleks saat darah tumpah.
Ah, sudah diduganya akan jadi seperti ini, walau dia tidak berharap akan ada sesuatu hal ekstrim yang membuatnya melepaskan tembakan.
Mereka tidak akan tinggal diam ketika sampah belum dibereskan.
Peluru meluncur dari laras pendek Viper dan mengenai bahu kiri Akio, tembakannya meleset, namun dari jarak itu pastinya cukup menjadi peringatan bagi si butler yang sudah sekonyong-konyong "melaksanakan tugas".
"Bloody hell, butler." umpatnya. "Tidakkah nyawa manusia ada harganya di mata anda?"
Dia kini sudah di depan sorot mercusuar: may the best gambler win.
Viper menoleh ke arah Mitford.
"JANGAN DIAM SAJA DI SANA, MITFORD! BAWA MISS ADALINE PERGI. SEKARANG."
Biarkan saja dia menjadi lawan Akio Kai, bila ada orang lain yang mampu menceritakan kebenaran, Mitford dan Miss Adaline-lah yang akan bersaksi.
Salah satu dari mereka harus ada yang dilumpuhkan, atau tumbang.
Mitford untungnya segera menanggapi perintahnya dan membawa Miss Adaline pergi. Telinganya yang sedikit berdenging karena letupan pistol mulai terbiasa, lagi pria yang baru saja menerima tembakan di bahu kirinya itu bergeming.
Mercusuar tidak menjawab ujarannya. Hening menjelang setelah Mitford membawa Adaline pergi. Pria di hadapannya kehilangan kemampuan tangan kirinya, tapi dia mssih berbahaya karena masih hidup.
"Tidak menjawab? Hm. Saya rasa nyawa yang sudah anda bersihkan tidak ada bedanya dengan John Myrtle yang sudah mati di medan perang." Viper mengarahkan pistolnya lagi, mencoba menebak pergerakan Akio selanjutnya. "Dia cuma sekedar sampah yang perlu dunia hapus duluan."
Viper tidak bisa menjelaskan apa yang tergambar pada sorot mata itu. Segala topeng yang dia pakai kini musnah, berganti oleh sosok yang memegang bilah pedang yang menurut Viper asing, lagi seperti perpanjangan tangan sang butler. Darah yang mengalir dari bahu kirinya tidak dia indahkan, yang dia fokuskan adalah mencari kesempatan - entah untuk kabur karena sudah tertembak, atau ingin melayangkan serangan untuk memeringatkan Viper.
Pertarungan di medan perang tidak banyak dilakukan di jarak dekat, kalaupun ya, itu adalah senapan dengan senapan. Satu serangan fatal tidak akan mengeluarkan banyak darah, seperti pria yang Viper tidak tahu namanya kini tergeletak di antara mereka.
Pedang terhunus, tebasan berikutnya datang. Viper masih bisa menghindar, walau nyaris mata pedang itu menyorot dari titik butanya.
Akio tidak banyak bicara karena sudah tersudut, tapi hal sama juga terjadi padanya.
Bukan berarti dia yang memegang pistol akan menang, mereka berdua adalah petarung dalam ring, bukan orang awam yang sengaja memainkan senjata.
Walau demikian, Viper berharap dia bisa menebus nyawa yang sudah diambil oleh pedang itu, atau pistol milik Akio.
Sayangnya tembakan keduanya meleset dan recoil dari pistol membuat bahunya tidak nyaman.
Dua peluru sudah dilayangkan.
Provokasi tidak akan berguna melawan binatang buas yang sudah terkunci pada insting, pikir Viper. Dia kembali memperlebar jarak, menghindar dari tebasan demi tebasan yang mengarah ke titik-titik vitalnya.
Sayatan Akio kurang presisi karena lengan kirinya yang sudah dilukai. Viper yang menderita dislokasi bahu karena tembakan sebelumnya menyamakan pergerakan dengan Akio.
Andai satu tebasan itu mengenainya, bagian tubuh mana yang akan diputusnya selain tangannya? Atau langsung dia akan membelahnya seperti apa yang dilakukannya pada pemuda tadi?
Viper menarget bagian kanan Akio, titik lemah Viper. Dia melepaskan tembakan berikutnya untuk mengenai bahu kanan itu, membuat pegangan di pedangnya buyar.
Peluru ketiga. Pedang itu akhirnya jatuh juga, walau pemiliknya tampak seperti mati rasa. Tatapan itu tajam, keras, lagi kosong, Viper merasa Akio tidak pernah terfokus padanya.
Derap langkah terburu mendekati mereka, terundang oleh letupan senjata dan desing pedang, sesosok pria kumal tergopoh-gopoh dan pucat pasi mendatangi mereka.
"Douglas!!!" serunya, membelah konsentrasi Viper.
Tukang kebun yang Viper ketahui hanya bisa cengegesan kini terkesiap. Dia langsung berlari ke arah pemuda kurus, menerobos dua pria yang tengah berduel antara hidup dan mati. Richard mengangkat tubuh yang mulai dingin itu dan mengguncangnya, tidak peduli bahwa pakaiannya kotor karena darah.
"... Richard," panggil Akio pada Tukang Kebun Estate itu. Suaranya tenang. Hampa.
Viper menghela napas ketika tukang kebun itu datang di saat tidak tepat. Dia berdiri di antara Richard yang tengah panik di hadapan Douglas yang tidak bernyawa dan Akio yang tertatih.
"Mr. Butler, sudahkah waktunya anda menyerahkan diri?" Viper mendesis. "Atau anda masih ingin mengurus sampah berikutnya?"
Jarinya diam di pelatuk. Viper tidak masalah mengambil nyawanya, toh bukan hal baru untuknya. Masalahnya hanya kalau Akio memilih kabur atau mungkin menambah jumlah mayat di gundukan subur tanah belakang.
"... Menyerah," dia bergumam. Mengulang. Kehampaan yang tidak biasa. Hampir mirip dengan mereka yang 'pulang' setelah tiga hari ditawan musuh, disiksa siang malam tanpa makan.
Pandangan matanya lurus menatap pada Viper. "Pada apa?"
Viper mengenyahkan pedang itu dari jangkauan Akio. Dia masih tetap siaga di antara Akio dan Richard.
Richard masih mencoba memanggil nama pemuda yang tidak akan lagi kembali. Pemuda yang sudah mati dan tidak bisa lagi bersaksi.
Sementara, Akio terlihat seperti boneka tali yang sudah putus benangnya, tapi bukan berarti Viper menurunkan kewaspadaannya.
"Pada kepolisian, tentunya. Ungkapkan apa yang telah terjadi pada Estate. Saya belum tahu benar apa saja yang anda telah lakukan, tapi akuilah semua dosa anda di depan hukum." suaranya lantang.
Richard mengangkat kepala, sepertinya dia mendengar jelas perintah Viper pada Akio di tengah-tengah masa berdukanya.
"Aku akan berbicara, Pak Polisi. Semuanya ...," ucap Richard menyerah. Tidak ada senyumnya yang biasa, tidak ada nada suara yang jenaka.
Viper kerap melihat kejadian seperti ini setelah dia naik pangkat menjadi Major, memimpin batalion kecil nan remeh yang siap mati kapan saja di depan pelontar. Mereka yang memohon untuk tidak mati. Mereka yang memang ingin mati karena hidup sudah tidak ada lagi artinya. Mereka yang memilih untuk bungkam hingga nyawa diangkat. Mereka yang memasrahkan segalanya demi membela sesuatu hal yang mungkin orang lain anggap tidak berguna.
Ini, akan tetapi, bukanlah Western Front. Ini adalah realita Viper saat ini, dan dia tidak lagi berhadapan dengan orang Jerman atau orang Spanyol. Viper tengah dihadapkan oleh sebuah tempat kecil yang sudah lama tertutup dengan segala rahasia mereka semakin lama semakin merengut, mendarah daging.
Semua karena satu individu.
"Menyerah kepada kepolisian," Akio mengulang ucapan Viper lagi. Pandangannya agak tertunduk, memandang pada sosok tukang kebun yang masih memeluk tubuh korbannya.
"Saya mohon ijin untuk bertanya, Mr. Viper Whetstone, Sir."
Richard sudah menyerah pada Viper, lagi ini semua belum selesai. Viper mengacungkan revolvernya ke arah Akio, "Bertanyalah di sana, jangan coba kabur."
Matanya bersiaga antara Richard dan Akio.
Jawaban itu ditanggapi dengan anggukan oleh Akio.
"Boleh saya menyerahkan sesuatu pada Richard?" tanyanya sebelum menambahkan lokasi. "Ada di saku dalam tailcoat saya. Bersama jam perak dan pena."
Tukang kebun itu menoleh ke arah Akio. "Apa itu, Mr. Kai?" tanyanya datar.
Akio tak langsung menjawab pertanyaan Richard. Diam, menatap lurus kepada Viper, alih-alih menunggu izin dari detektif itu.
Kalau ini adalah kondisi normal, Viper mungkin akan mengomentari Akio sinis, tapi Akio mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang kehilangan tuan, lalu menganggap orang baru yang di atas derajatnya sebagai tuan baru.
Hal itu banyak terjadi di medan perang, terutama bagi para tentara rendah yang hidup demi sekedar mencari jatah makan.
Viper melirik ke arah Richard, "Cepatlah." Tangannya tetap di pelatuk, menempel dekat dengan pelipis Akio.
"Anda tak perlu khawatir. Saya tidak akan menyerang lagi. Tidak pada Anda juga pada Richard."
Di dalam saku Akio terdapat sebuah buku catatan mungil. Richard tampak tidak mengerti saat mencoba membacanya, dan jarah Richard terlalu jauh untuk Viper membaca isi buku itu.
Yang bisa Viper lihat sekilas adalah guratan rapi yang tidak tertulis dalam latin.
"Saya tidak bisa menggunakan uang Master Henry untuk membayar pesangon para pegawai," Akio menambahkan. "Di deposit box itu juga tersedia surat rekomendasi untuk setiap pegawai supaya mudah mencari kerjaan lain. Mrs. Stone yang menulis, jadi seharusnya aman."
Sekarang, Viper menghela napas, apa sebaiknya yang dilakukannya? Mengingat kelakuan ekstrim si butler tadi, dan dengan senjatanya yang masih tersisa, dia bukan berarti menyerah.
"Baik," Viper memulai. Dia meraih borgol yang ada di saku dalam jaketnya. "Rasanya saya akan hanya membuang waktu beretorika dengan anda bila saya menginterogasi anda sekarang. Saya akan menyerahkan ini pada saat nanti di Yard."
"Akio Kai, anda ditangkap karena telah melakukan pembunuhan terhadap penduduk sipil tidak bersenjata, menyerang aparat, dan ..." Viper menjeda. "Didugs menjadi accomplice pada kasus Myrtlegrove Estate."
Akio mengerjapkan mata mendengar ucapan sang Detektif.
"Penduduk sipil tidak bersenjata?" dia mengulang. Mengernyit, mencoba memahami ucapan itu. Kemudian mencoba mengingat-ingat lagi. Kepalanya kembali berdenyut.
"... Bukan." Ujarnya sambil menahan nyeri. "Penduduk Sipil ... Bukan."
Tangannya bergerak sedikit, mencoba menahan nyeri. Namun luka-luka di bahu menghalangi.
"Perampok ... Pencuri ... Masalah ... Rumah ... Kosong. Tidak ada orang. Tak ada makan. Mereka ambil ... Semua."
Matanya menatap nanar pada sang Detektif.
"Shousa, mengapa Anda tidak lari?"
Gumaman Akio semakin lama semakin kacau, sepertinya setelah pertahanannya dilumpuhkan, dia benar-benar sudah tidak berdaya. Akan butuh waktu untuk membuatnya berbicara normal lagi, tapi Viper tidak punya kemampuan untuk itu.
"... Shousa?" ulang Viper, dahinya mengernyit. Lagi-lagi istilah asing. Viper hanya bisa memilih untuk merespon pertanyaannya itu. Akio tampak melihat orang lain melalui Viper. "Lari dari sini? Tidak, tugas saya hanya mencari kebenaran. Saya tidak bisa menentukan mereka benar atau salah, biar hukum-lah yang memberi balasan setimpal.
Borgol itu melingkar di kedua tangan yang lemas, dan kemudian-
"KEBAKARAN!!!" seru tukang kebun itu tiba-tiba. "GUDANG KEBAKARAN!"
Rasanya belum selesai satu masalah, sudah muncul masalah lain, Viper menyipitkan matanya saat si tukang kebun yang masih limpung karena menerima buku dari Akio tadi mulai berteriak kalau gudang kebakaran.
Richard tidak bohong, Viper menoleh sedikit dan dia sudah dihadapkan dengan asap membumbung dan api yang berkobar melahap apa saja yang ada di hadapannya.
Rasanya Viper sudah tidak bisa berekspresi panik mendapati kejutan-kejutan di waktu singkat, walau dia bisa menebak siapa dalang di balik api itu, ketika Akio tadi berhadapan dengannya dan Richard ada bersama mereka.
Lagi, ini bukan waktunya untuk bersilat lidah atau bernegosiasi.
"Ya ampun, merepotkan sekali." Viper menggeleng-geleng kepala. "Mana sumber airnya, Richard? Panggil orang-orang di dalam juga, kita harus memadamkan api."
"Sumber air?" ulang Akio di hadapannya pelan. "Hidran Estate terletak di dekat Annex, tetapi dari besarnya api, lebih aman untuk mengungsi."
"Dan meninggalkan manor? Apa kamu yakin apinya tidak menyebar?" seru Richard panik. Dia memandang sekeliling mencari sesuatu untuk mengurangi api, selain sumber air.
"Kalian tak perlu khawatir soal itu." Kali ini matanya terarah pada Manor. "Pergi saja lebih dulu bersama yang lain. Ajak semua pegawai yang tersisa untuk turun ke desa. Gunakan saja semua kendaraan yang ada, kuncinya ada pada Jane atau Mrs. Stone."
"Sebegitunya kah kalian ingin melenyapkan tempat ini bersama dosa-dosa kalian? Bagaimana dengan Henry Myrtle?"
Melihat besarnya kobaran api dan mereka yang tidak punya banyak pilihan, memadamkan hanya akan percuma. Lebih baik menyelamatkan para pelayan dan staf ketimbang harus kehilangan nyawa lagi.
Viper menarik butler itu agar berjalan dengannya kembali ke arah dalam Estate. Richard sepertinya menjalankan titah Akio layaknya biasa, dan melihat matanya yang masih sesekali menatap mayat Douglas, Viper membiarkan tukang kebun itu melaksanakan tugasnya tanpa Viper tunggu.
Buku yang tadi menjadi sumber kebingungan Richard kini jatuh ke tangan Viper. Bukan saat di mana dia memeriksa isi buku tersebut, ada nyawa yang perlu diselamatkan dan lambat-laun mereka dalam posisi genting, walau masih ada satu orang yang perlu Viper pertanyakan.
"Kita sebaiknya menyusun rencana untuk evakuasi dan memastikan semua orang berkumpul dan semua dapat pergi dari sini. Masih sempat untuk mereka menyelamatkan barang-barang berharga dan kita berusaha untuk tidak meninggalkan satu orang pun di Estate."
Tanpa melawan sama sekali, Akio melangkah mengikuti tarikan Viper.
"Baik, serahkan saja pada saya," jawabnya pada ucapan detektif itu.
Kemudian dia memberitahu segala akses keluar-masuk Manor dan Annex. Jalur teraman untuk menuruni tempat itu menuju desa terdekat. Kendaraan apa saja yang bisa dipakai. Dan jumlah pegawai yang saat ini bekerja di Estate, termasuk Gaela Adaline. Nama Harold sama sekali tidak disebut Akio.
Setelah memastikan segalanya, Viper dan Richard berpisah jalan, Richard melaksanakan tugasnya, dan Viper hendak memberitahukan para pegawai di Estate kalau mereka harus segera pergi dari sana.
Dengan Akio Kai sudah diringkusnya, Viper kembali ke arah Estate, sesekali ia hanya bisa mendecak gusar.
⁕
Saat keributan terjadi di Manor karena kobaran api yang berasal dari gudang, awan kelam yang selama ini menggantung di sekitar berarak dan menebal.
Seakan semesta tidak ingin Manor yang menjadi saksi dari berbagai macam hal itu musnah, tetesan air hujan turun. Sedikit, demi sedikit hingga menjadi rapat dalam butiran-butiran kecil, membasahi tanah dan membantu mengendalikan api.
.
Dengan bantuan Richard, Viper memobilisasi penghuni-penghuni Estate yang untungnya bisa dibujuk untuk mengungsi. Sebagian mereka membawa barang pribadi mereka, sebagian mulai gemetar dan pucat seakan dunia sudah berakhir bagi mereka.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula: mulai dari kericuhan saat subuh, kemudian ditambah lagi kabar lumbung disambar api yang kini perlahan menyebar dan terlalu besar untuk dijinakkan.
Viper mengumpulkan mereka di dekat front garden, merambah hingga ante room karena ada banyak sekali kepala, berusaha memisahkan antara pelayan dan staf lain agar tidak bergumul atau ribut sendiri.
Viper menatap Akio, sejenak mencoba membalut luka yang mengucur akibat pertikaian mereka belum lama tadi. Sayang, memang tangan itu lebih pantas memegang senjata dingin ketimbang kain, karena tidak ada yang berpengaruh dari bebat kain Viper selain merembeskan darah.
"Berarti tinggal ... Mitford ..." Viper mengedarkan pandangannya, ada Miss Adaline di antara para maid yang berkumpul di pojok ruangan. Dia juga tidak melihat sosok si dokter di mana-mana. "Dan ... Harold Wayne."
"Ah, saya juga perlu membopong Henry Myrtle dari kamarnya." gumam Viper.
Namun mendengar nama Harold disebut, Akio yang sedari tadi pasif, mulai menggertakkan rahang. "Harold ... Ada di mana dia sekarang?"
Selayang pandang, Harold Wayne tidak tampak di antara para staf yang satu-persatu dipersilahkan pergi. Tidak lama, di antara kerumunan, sesosok reporter maju dan menghampirinya.
Dia datang bersama dengan Harold Wayne, tampaknya dari lantai atas, mungkin saat himbauan tadi, Mitford mengambil peralatannya.
"Viper!" panggilnya. Dia tampak baik-baik saja setelah Viper menyuruhnya pergi dengan Miss Adaline. "Kau aman?"
Untungnya karena kacamata hitamnya, mungkin di antara Mitford, Harold dan Miss Adaline tidak menyadari mata Viper yang menyipit melihat dua orang itu turun dari kamar atas. Gelagat rileks Harold dan tensi Akio menggambarkan jelas apa yang bisa terjadi di sana, namun tugasnya kali ini adalah menurunkan Henry Myrtle dari kamarnya untuk turut diungsikan.
"Miss Adaline, bisa anda tunggu Mr. Akio yang diobati di sini?" pinta Viper, sebelum dia menghampiri Mitford. Dia melirik Harold selayang pandang, menganggap pria itu tidak ada di sana.
Tidak jauh dari sana, tepat di bagian Estate yang tidak beratap, gemuruh disusul dengan bau lembab tanah yang terkena rintik hujan mulai terjadi. Evakuasi harus tetap berlangsung, dan segalanya harus dituntaskan sekarang.
Tidak sempat dia menjelaskan banyak hal pada asistennya, deretan tugas yang harus dilakukan sudah memanggil.
Melihat Akio yang sepertinya sudah hendak mengikutinya, Viper menghentikannya. "Mr. Akio, biarkan luka anda ditangani dulu. Saya tidak akan lama."
Viper pun kembali ke arah Mitford sebelum dia melangkah pasti mendaki ke arah Master Bedroom. "... Awasi saja Harold dan Akio, jangan sampai mereka meninggalkan tempat ini."
"Mau ke mana?" Mary menahan Viper yang hendak pergi meninggalkan ante room.
"Kepala Manor ini tidak akan bergerak kemana-mana, 'kan, selain kubawa?" Viper menjawab.
"Mau ke kamar Henry Myrtle? Di atas sudah tak ada siapa-siapa." Mary masih menghadang. Ia melirik tajam ke arah Harold yang diam saja. "Kata dokter itu, seharusnya Mr. Myrtle sudah beristirahat selamanya. Nanti kau tanyai saja dia setelah dokter itu mengobati rekannya."
Wanita itu mengerling, mencari dokter jangkung yang lepas tangan, hendak mengikuti arah keramaian.
"Dia mati?" Viper segera menoleh ke arah Harold. Dokter itu sudah mendekat ke arah Akio, masih memasang muka tidak bersalah.
"Dokter, tidak usah banyak alasan lagi, saya hanya perlu jawaban."
Harold Wayne seperti biasa tidak menyembunyikan rasa tidak suka dan tidak nyaman ketika Viper memintanya bicara, masih sempat dia berkilah.
"Mana yang Anda mau? Saya mengobati Mr. Kai dulu atau memberi penjelasan kepada Anda?"
"Anda bisa melakukan keduanya, 'kan? Toh anda dokter." ucap Viper ringan.
"Luka Mr. Kai sepertinya cukup parah. Saya perlu berkonsentrasi untuk mengobatinya." Harold beralasan.
"Saya hanya bisa mengatakan bahwa Mr. Myrtle telah beristirahat dengan tenang sejak beberapa waktu lalu. Namun, saya terpaksa mengawetkan jasadnya karena permintaan seseorang," katanya sambil melirik ke arah Akio sekilas.
Salah satu kecurigaan awal Viper ternyata benar: mereka sudah menjaga mayat di ruangan utama itu - ruangan yang belum sempat Viper singgahi, ruangan yang sempat rekannya satroni tapi terhalang oleh dua orang dalam.
Hal itu menjelaskan mengapa Henry absen dengan segala kejadian di Estate.
"Mengawetkan? Jadi selama ini yang kalian lakukan adalah mengawetkan beliau, dan siapa saja yang mengetahui rahasia ini akan dihukum?" tepis Viper. "Bukan anda yang sengaja membunuh beliau barusan tadi?"
Viper melirik ke arah Akio yang tidak berkomentar, tangannya gemetar. Itu mungkin jadi pukulan baginya, walau kebenaran itu adalah hal yang disembunyikannya.
"Terserah Anda mau percaya atau tidak. Anda bisa menyuruh koroner Scotland Yard mengautopsi jenazah beliau," tantang Harold. "Sekarang, apakah saya sudah bisa memeriksa Mr. Kai? Atau Anda masih ingin menginterogasi saya?"
"Hm, baiklah. Artinya jasad itu tetap harus saya turunkan." matanya menyipit. "Selama anda tidak berusaha kabur juga, Dokter Harold, saya rasa pertanyaan saya sudah cukup, terkecuali Mitford ingin bertanya lagi."
"Biarkan dia mengobati Mr. Kai." Mitford mendorong Viper menjauh. "Dia punya hutang penjelasan, tapi sebaiknya jangan sampai satu nyawa lagi melayang hari ini."
"Kalau begitu? Bisakah Anda membuka borgolnya? Saya rasa dengan kondisinya sekarang, Mr. Kai juga sulit untuk kabur."
Dalam jeda itu, sepertinya Harold Wayne pun tidak sadar implikasinya. Borgol itu bukan ada di sana sekedar menjadi penanda kalau dia sudah menangkap Akio - seharusnya pihak seperti Harold sadar betul tentang sikap Akio yang impulsif.
"Bukan itu yang saya khawatirkan, Harold Wayne. Saya tidak akan melepas borgol itu, lakukan saja pengobatan sebisa anda agar darahnya tidak mengucur terus. Lukanya di bahu, tidak perlu anda terlalu banyak mengangkat lengannya, bukan?"
Viper kembali mengerling ke arah Mitford. "Aku akan ambil jenazah itu. Kalau kalian perlu evakuasi duluan, silakan saja. Aku hanya menghormati pemilik rumah."
Karena baginya, bisa memulangkan mayat rekan-rekannya kembali ke rumah dengan utuh untuk menemui keluarga mereka adalah sebuah kehormatan luar biasa.
⁕
Lorong itu terasa lebih sunyi sekarang ketika dia sudah memastikan kalau Henry Myrtle sudah benar-benar tiada entah sejak kapan.
Kalau dikira-kira setelah keluarganya hancur dan kesehatannya menurun sejak 1916, bisa saja Henry Myrtle sudah lama wafat. Walau demikian, bila ditilik dari banyaknya orang hilang, bisa juga diperkirakan kalau pada 1916 setelah beliau kehilangan anaknya, sejak saat itu juga kondisi mentalnya kacau sehingga dia - sesuai petunjuk yang diberikan Mitford - merujuk pada buku-buku soal necromancy dan alkimia.
Viper mengerti kalau ada banyak orang yang tidak bisa melihat dan mengilhami kematian, di medan perang pun begitu. Viper pun menjadi orang yang berbeda setelah kehilangan peletonnya di Somme. Mungkin kalau perang tidak berhenti dan dia memilih untuk kembali ke Inggris, dia bisa saja sama gilanya dengan Henry Myrtle, atau Akio Kai, atau mungkin Harold Wayne yang bekerja dengan mereka pun juga 'gila'.
Terbersit kembali peringatan Dorothy, kematian Douglas, dan pandangan nanar Richard.
Semua terjadi karena ego-mu, Henry Myrtle.
Viper membungkus tubuh itu dengan selimut yang ada di sekitarnya, sengaja tidak menampilkan wajah pria yang sudah terbaring entah kapan di sana, dan kembali ke lantai bawah.
Polisi detektif itu membawa mayat itu pelan, seakan dia tengah berada di padang rumput yang separuhnya terkikis oleh serangan udara, dan dia tengah menatap langit putih di atas kepalanya. Di tangannya yang bersimbah darah dan nanah, bercampur dengan bubuk mesiu dan tanah, ada sosok salah satu anggota peletonnya yang meminta untuk bertemu dengan kekasihnya yang mati tidak jauh dari sana.
'Kalau aku bisa jalan sendiri, aku akan jalan, Whetty.'
Viper menatap kedua kakinya yang remuk, tidak berbentuk.
'Ya, aku tahu, bodoh.'
Viper menuruni anak tangga, dan di sana terdengar langkah cepat seorang maid mendekat.
"Mr. Whetstone." Miss Adaline berlari kecil menghampirinya. Dia terkesiap melihat sosok berbalut selimut di lengannya, tapi dia berusaha tidak terperangah.
"Ms. Mitford menunggu anda."
"Ah, ya. Sudah saatnya." Viper memapah tubuh yang dibungkus selimut itu dan berjalan mendahului sang maid untuk menuruni tangga.
Miss Adaline segera mengikutinya tanpa banyak bertanya.
Viper tidak menyangka akan disusul oleh Miss Adaline, entah apa yang terjadi di lantai bawah sana, tapi Viper hanya bisa membayangkan Mitford yang beradu mulut dengan Harold Wayne.
"Apa ... benar Master Henry sudah meninggal?" tanya wanita muda itu setelah beberapa saat.
Viper mengingat kembali saat dia memeriksa tubuh itu - tubuh yang sudah sempurna terisolasi dalam damai, tidak mengetahui akibat dari hal-hal yang sudah dipantiknya.
"Kalau dari kekakuannya sih, sudah tidak bisa dipastikan berapa lama." jawab Viper pelan.
Viper melirik sedikit, memerhatikan Miss Adaline yang tidak terlalu kaget dengan realita itu. Wanita muda ini cukup pintar, Mitford juga beberapa kali dibantu olehnya. Dia belum lama bekerja di sana, namun dengan segala hal yang terjadi dalam kurun waktu singkat ini, pastinya dia sudah mendengar banyak hal yang seharusnya tidak didengarnya, lagi dia tidak punya pilihan selain mendengar, dan memutuskan.
Untungnya dia tidak segegabah Katherine Taylor.
"Anda pasti sudah banyak mendengar percakapan-percakapan selama bekerja di tempat ini, walau mungkin belum sampai ke taraf ini," Viper mengerling ke arah tubuh yang terbungkus itu. "Tapi, tidakkah jelas sekarang kalau Dokter Harold Wayne, seorang praktisi kesehatan, telah melakukan malpraktik?"
Miss Adaline mengangguk, "Apa Mr. Whetstone mendapatkan bukti? Bukankah akan sulit untuk membawanya ke pengadilan jika tidak ada?"
"Bukti? Tidak perlu terlalu banyak bukti." ucap Viper. "Dia bisa berkilah sesukanya, tapi mayat ini sudah merupakan bukti kalau mereka sudah membiarkan orang mati selama bertahun-tahun lamanya, dan mungkin banyak sekali bukti lain yang sudah dimusnahkan. Dokter Wayne mungkin tidak akan dihukum akibat kelalaian ini, tapi paling tidak dia bisa diganjar sebagai accomplice dengan bantuan saksi kunci."
Viper menghela napas panjang. Semakin mereka turun, semakin jelas perdebatan antara Mitford dan Dokter Wayne terdengar. "... Yah, mudah saya berkata begini, tapi nyatanya ... saya yakin dokter licik itu masih ingin mencari celah untuk kabur atau melenyapkan barang bukti lain."
"Saksi kunci? Siapa yang bersedia?" Miss Adaline bertanya lagi. Dirinya berusaha menyamai langkah detektif itu.
"Tukang kebun, Richard." bisiknya. "Saya rasa anda perlu mengetahui ini untuk waspada. Sisanya saya rasa anda bisa menghubungkannya sendiri. Terima kasih sudah sering membantu Mitford."
Viper memelankan langkahnya, mereka sudah mendekati ante room.
"Berhati-hatilah, Miss Adaline, ini belum semuanya selesai."
Viper mengingatkan Miss Adaline, juga mengingatkan dirinya kembali. Sebelum mereka mencapai Yard, Viper harus tetap waspada.
"Baiklah." Miss Adaline menjawab pelan, sebelum akhirnya dia pun ikut melangkah ke ante-room
⁕
Ketika Viper kembali dengan sosok terbungkus di tangannya, sepertinya pembicaraan hangat sedang terjadi di sana, tapi dia tidak mendengarnya dari awal, jadi dia tidak berbicara apa-apa saat menggeletakkan sosok itu di sebuah kursi panjang yang terletak di ante room.
Viper melipat kedua tangannya, kondisi di sana tidak banyak berubah selain dengan ruangan yang terkesan ribut dan berantakan, juga para kubu yang masih bersilat lidah. Akio yang pemilihan katanya semakin salah sudah seperti kaset rusak. Tidak perlu dia memberitahukan soal sosok yang terbungkus di sana ... kecuali Harold hendak kembali memantik api.
Mitford menyerahkan Harold Wayne untuk Viper interogasi, tapi agitasi lebih lanjut tidak dibutuhkan siapa pun saat ini.
"Rasanya interogasi tidak lagi diperlukan, Dokter Wayne bisa nanti saya temani saja ke Yard bersama Mr. Akio, terutama untuk pertanyaan lebih lanjut seputar, ah, malpraktik yang sudah dilakukannya."
"Saya sudah menawarkan mobil saya kepada rekan Anda," timpal Harold sambil mengedikkan bahu. "Dan saya akan bekerja sama sebisa mungkin dengan Metropolitan Police."
Ya ampun, dia masih berusaha berkelit untuk kabur.
"Begitu? Saya harap bukan anda juga yang menawarkan untuk menyetir?" pungkas Viper. "Toh tidak perlu repot-repot menawarkan diri dan mobil pribadi, mobil polisi nanti juga lebih nyaman dan langsung menuju Yard tanpa perlu jalan memutar, anda tidak perlu capek menyetir."
"Anda atau rekan Anda yang serba bisa itu boleh saja menyetir. Saya tidak masalah."
"Rasanya tidak juga, tidak baik melangkahi wewenang para penyetir di Scotland Yard." balas Viper simpul.
Di luar, hujan masih turun. Hanya tinggal Richard yang masih mengubur Douglas yang belum kembali ke Estate.
"Terserah Anda saja." Harold kembali mengedikkan bahu.
Konsensus sudah dicapai, tapi kehadiran pihak ketiga kembali membuat situasi memanas.
Sang tukang kebun datang dengan air hujan menetes dari baju dan badannya. Tangannya dipenuhi tanah yang tidak repot-repot dibasuh, tanda bahwa dia baru saja menggali dan mengubur sesuatu.
"Semua pelayan sudah mengungsi ke desa," lapornya pada Akio dan Viper sambil mengusap wajahnya dengan punggung tangan untuk menghalau air. Suaranya datar, tidak ada canda yang biasa dia selipkan.
Richard menepis bantuan dari Akio yang hendak membersihkan tangannya, matanya menatap tajam penuh dendam.
"Mr. Whetstone, izinkan aku bersaksi saat ini sebelum hal buruk lainnya terjadi padaku, " ucap Richard seraya berjalan ke arah sang detektif.
"Mr. Kai dan Mr. Wayne lah pelaku dari hilangnya orang-orang yang bekerja di manor. Mereka melakukan eksperimen di ruang bawah tanah gudang dan membawa orang-orang ke sana. Ketika mereka selesai ...." Suara Richard tercekat. "Aku yang menguburkan mayat mereka di taman belakang."
Viper mengerjap. Ingatannya kembali pada buku diari Dorothy Herring. Richard pastilah juga yang mengubur wanita itu - wanita yang sempat mengasihinya.
"Apakah mayat itu termasuk Dorothy Herring yang menghilang tahun ini, Richard?"
Ketika Mitford mengucapkan nama itu di antara mereka bertiga, amarah Richard pecah. Segeralah dia melepaskan kepalan tinju ke arah Harold Wayne, sumpah serapah meluncur dari bibirnya yang membiru karena dingin, wajahnya memerah emosi.
Serangan Richard mengenai pelipis Harold, darah mengalir di sana.
"Kenapa semua orang menyalahkanku?" jerit Harold.
"Kalian semua merasa lebih suci dariku? Hah?" Harold terbahak. Suaranya meninggi, tidak jelas lagi entah dia menangis, tertawa, atau menggeram. "Apakah kalian pikir kalian lebih baik dariku?"
Lelaki yang biasanya berusaha tidak terlibat kini lepas dalam emosi, dia menunjuk-nunjuk Akio.
"Kau, Akio! Menganggap nyawa para pencuri itu tidak ada artinya. Kau yang mengantarkan mereka ke meja bedahku!" jarinya lalu beralih kepada Richard. "Lalu, kau Richard! Sama saja. Kau memilih diam bertahun-tahun demi keselamatanmu sendiri. Selama ini kau mengubur mayat-mayat itu tanpa protes sedikit pun, lalu apa bedanya Dorothy dengan yang lain?"
Setelah itu, Harold menatap nyalang ke arah mayat Henry Myrtle yang dibaringkan di atas kursi panjang. "Sekarang, kalian menyalahkanku, menganggapku monster, tapi apakah kalian akan berpikiran sama jika kutawarkan obat yang bisa menghidupkan kembali orang yang kalian cintai?"
Harold beralih kepada Mitford. Senyumnya menyeringai. "Katakan padaku, hai, Perawan Maria. Jika rekan tersayangmu itu meninggalkanmu lebih dulu, lalu aku datang menawarkan obat yang bisa membawanya kembali, apakah kau akan menolaknya mentah-mentah?"
Usahanya memprovokasi Mitford berbuah hasil, tapi sang reporter lebih tegar dibanding apa yang sang dokter pikirkan.
"Kalau ... Kalau Viper mati ...." Suara Mitford bergetar. "Adakah jaminan ia masih menjadi Viper yang sama kalau dia hidup kembali?"
Mata kelabu Mitford mengerjap. "Setiap manusia memang punya dosa besar, Harold." Wanita itu maju sedikit—masih dalam jarak aman, karena sadar kalau Harold kalap ia tak akan selamat dengan tubuh mungilnya. "Aku tidak pernah bilang diriku suci. Tapi, setidaknya dosaku tidak terkait dengan nyawa tak bersalah!"
Sementara, tudingan Harold kepada Akio membuat kening dan alis sang butler berkerut.
"Nilai ... Manusia?" ulangnya. Dan Akio terdiam lagi, memikirkan pertanyaan itu lamat-lamat. Kebingungan.
"Saya ... Tidak layak menjawab itu," akhirnya dia menjawab. "Karena saya sudah tidak ada nilainya."
Tiba-tiba saja Harold mendekat pada Miss Adaline, target berikutnya.
"Kau. Ya, kau, Gaela! Kau bisa memahamiku," kata Harold dengan mata berkilat-kilat. "Kau lihat sendiri. Obatku sudah hampir sempurna. Lukamu sembuh dalam sekejap. Bayangkan jika obat itu digunakan prajurit-prajurit yang terluka, orang-orang yang kesakitan, anak-anak bertubuh lemah. Sedikit lagi aku bisa menyempurnakannya. Ya, aku pasti bisa menyempurnakannya."
Harold terus meracau sambil mengguncang-guncang tubuh Miss Adaline.
Mitford berusaha menarik tubuh Gaela yang tengah dihentakkan oleh Harold, menjauhkannya dari si dokter yang terus meracau, mencari orang yang masih mempercayainya. Miss Adaline melepaskan genggaman tangan Mitford, sedikit melangkah maju untuk meminta penjelasan. Nadanya kecewa. "Apa maksudmu, Dokter Wayne? Kau memberiku apa?"
Situasi yang hanya semakin mencekam ketika Viper sedikit membiarkan mereka melepaskan amarah masing-masing mulai tidak terkendali. Tidak, bukan Viper sekedar menanti mereka untuk diam. Ketika segalanya sudah hilang karena emosi, sulit untuk mengendalikannya.
Bisa saja ada yang akan melakukan hal di luar nalar, lagi. Viper tidak ingin hal itu terjadi.
"CUKUP!" lolongnya. Viper menarik Richard menjauh sebelum dia lagi-lagi menghajar Harold. "Ini bukan waktunya untuk main hakim sendiri."
Dia mengerling ke arah Harold yang masih berusaha menarik emosi beberapa pihak lain di sekitarnya. "Saya tidak akan mengomentari siapa yang paling suci, tapi saya tahu membawa mereka yang sudah mati tidak akan memberikan kedamaian. Kalian sudah egois merasa kalian bisa mengontrol kehendak mereka yang tiada."
Harold sempat meracau soal obat, jadi beberapa 'korban' itu adalah kelinci percobaannya, bukan tempat dia memanen bahan. Tapi ini bukan saatnya untuk menekan Harold Wayne soal ini. Terlalu lama mereka ribut di sini, yang ada akan ada banyak emosi yang tumpah dan semua akan lebih sulit dikendalikan.
"Ceritakan sisanya di Yard, Harold Wayne. Yang lain, tenanglah."
Viper sudah menarik borgol berikutnya, tujuannya kini Harold.
"Anda ditangkap sebagai tersangka malpraktik dan percobaan manusia di Estate."
Sayangnya, perhitungannya meleset. Harold tetap teguh, tidak seperti Akio yang sudah kehilangan dirinya.
Harold melirik gunting yang tadi dipakainya menggunting pakaian Akio. Benda itu tergeletak di meja, dalam jangkauan tangannya.
"Dalam setiap perang, bukankah harus ada nyawa yang dikorbankan, Detektif?" ucap Harold lirih sambil tersenyum tipis. Lalu, dalam gerakan cepat, meraih gunting di meja. Tanpa ada yang bisa mencegah, Harold menghujamkan gunting itu ke titik paling vital di lehernya.
Darah mengucur layaknya air terjun. Tubuh Harold yang semula tegak perlahan oleng ke samping.
Situasi yang semula mendekati kondusif kembali menjadi rumit.
Harold Wayne yang terpojok berusaha mengambil nyawanya sendiri dengan sebilah gunting. Bila bukan karena tanggapan cepat dari Akio Kai, yang segera menyelamatkan Harold dan membebat jalur lukanya tanpa bertanya, walau dia kesulitan karena diborgol, mungkin dokter itu akan merenggang nyawanya lebih cepat, walau demikian akan sulit membuatnya berbicara lagi.
Miss Adaline, yang menangkap Harold Wayne ketika dokter itu jatuh, melirik ke arah Akio.
"Mr. Kai," dia memanggil, "ada ... obat yang diberi Dokter Wayne pada tasku." Gaela menunjuk tasnya yang tidak jauh berada di sisi ruangan dengan matanya. "Seharusnya, obat itu bisa membuat Dokter Wayne sembuh 'kan?"
Viper membiarkan Mitford dan Akio mengambil alih situasi. Ini semua sudah cukup - jangan lagi ada yang menghabisi nyawanya sendiri atau mengambil nyawa orang lain.
"Saya akan menghubungi Yard." pungkas Viper saat yang lain sibuk mengurusi Harold. "Awasi mereka, Mitford."
Sudah berapa kali nyawa terbuang, atau nyaris terbuang di dalam atap ini yang bahkan tidak perlu disebutkan? Viper melirik ke arah mayat Henry Myrtle yang telah lama menjadi saksi bisu ruangan itu, sebelum dia bertolak untuk menghubungi kantornya memanggil back-up secepatnya.
.
.
.
Ketika Viper kembali dari menghubungi Yard, memberitahukan ada korban yang perlu penanganan medis segera, mereka telah mengonfirmasinya dengan police box terdekat.
Berselang waktu kemudian, para polisi berseragam lengkap sudah datang ke Estate, mereka menerima arahan dari Viper dan mulai meringkus mereka yang menjadi saksi maupun tersangka, juga mengamankan mayat Henry Myrtle yang telah menunggu. Hujan yang terus turun di luar sana mulai mereda dan api bukanlah ancaman bagi mereka lagi, walau Viper meminta Scotland Yard untuk memastikan api dari lumbung belakang itu sudah padam dan ada yang masih bisa diselamatkan sebagai barang bukti atau tidak.
Awan hitam telah sirna perlahan dari Estate megah yang terasing di hiruk-pikuk London, walau masih tersisa sedikit awan petir.
Viper menyalakan rokoknya lagi, menunggu prosesi ditangani oleh Yard sembari dia berdiam dengan catatannya di ambang teras.
Nightmare is far from over, but clouds shall slowly clears to make room for the sunlight.
----
Apakah ini semua sudah berakhir? Nggak tau, salahkan saja GM /heh
Tadinya saya mau menjelaskan sedikit soal pistol tapi ah sudahlah saya simpan untuk halaman belakang.
Shousa, panggilan Akio ke Viper, itu sebenarnya merujuk ke Henry, artinya 'Major' atau pangkat setara.
Seperti biasa, silakan mampir ke sudut pandang para pemain lain di RP ini, seperti biasa, karena mata kami mengamati hal-hal yang berbeda dan mengalami kejadian yang berbeda pula.
Para pelakon
Harold Wayne - amelaerliana
Akio Kai - Catsummoner
Mary 'Mario' Mitford - izaddina
Gaela Adaline - Nanaasyy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro