Curtain Call
Should Old Acquaintance be forgot, and never thought upon;
The flames of Love extinguished, and fully past and gone:
Is thy sweet Heart now grown so cold, that loving Breast of thine;
That thou canst never once reflect
On old long syne.
⁕
Hari baru tiba, Myrtlegrove Estate yang setengah terbakar masih berdiri tegak dan dikerumuni kepolisian. Kasus yang telah menjadi teka teki selama tiga tahun terakhir terkuak dan menyingkap rahasia gila dibaliknya.
Walau terendus pers, pemberitaannya tidak banyak, berkat tangan dingin sang asisten Henry Myrtle yang ingin mempertahankan nama baik sang majikan, sebagai penghormatan terakhir pada sosok ramah yang tidak bersahabat dengan takdir.
Langit kelabu masih menggantung memberi tanda bahwa musim dingin semakin dekat, hawa beku menemani mengisi hari-hari para pelakon.
Ada yang semakin sibuk, ada yang duduk terdiam menanti nasib, membuat siapa pun bertanya-tanya, benarkah tirai pertunjukan telah turun?
⁕⁕⁕
1926, November.
Pengadilan yang berjalan selanjutnya terasa seperti angin lalu bagi Viper Whetstone.
Mengingat dua pribadi yang menjadi tersangka, mereka berdua menderita gangguan kejiwaan. Belum banyak hal dapat dilakukan di pengadilan hukum dengan posisi mereka berdua bisa memohon insanity plea, walau demikian hukuman mereka tetap dijalankan setelah saksi-saksi kunci berbicara di hadapan hakim.
Penyelesaian kasus Myrtlegrove Estate bagaikan mimpi buruk, juga Viper tidak merasakan apa pun signifikan dengan penyelesaian kasus itu. Estate megah yang separuh terbakar karena ulah sang dokter yang hendak melenyapkan barang bukti disegel, dan kabarnya mungkin akan dipugar. Bukti yang dapat digali dan diambil dari Estate sudah diamankan oleh Yard untuk menentukan berat hukuman Harold Wayne dan Akio Kai setelah mereka melaksanakan masa rehabilitasi di asylum. Richard yang diberikan oleh Akio Kai hak untuk mengelola sisa-sisa kejayaan Myrtlegrove Estate sudah dibantu untuk mengurus pesangon dan nasib pegawai yang bekerja di bawah Henry Myrtle. Jasad Henry Myrtle setelah diautopsi, dikubur dekat dengan makam milik John Myrtle.
Seharusnya, ini adalah akhir yang baik. Satu kasus selesai, itulah hidup yang dijalani oleh polisi detektif, dan kasus selanjutnya sudah mungkin menunggu, atau Viper kebagian untuk menjaga police box karena pihak kepolisian kekurangan orang. Tidak ada yang berbeda dari kehidupannya.
Viper memeriksa jam di taman tengah. Dia berhenti di sana sekedar merokok, di tangannya masih terbuka surat kabar pagi yang belum sempat dibacanya hingga ia punya waktu luang di siang hari.
Pagi itu, seperti biasa, adalah kunjungan rutinnya menjenguk Akio Kai di sel tahanan Metropol.
⁕
1910, Teater Timur.
Viper Whetstone tidak pernah berpikir dalam soal perang atau tugasnya sebagai tentara berpangkat rendah. Kalau ada kesempatan untuk naik derajat, Viper akan tak acuh, sekedar ikut dengan arus, sekedar mengikuti perintah yang penting dia masih bisa makan.
Kehidupan di Whitechapel yang kumuh dan sekarang tinggal di barak tentara setelah sejak muda dia di-sortie sebagai tenaga perang telah membawa Viper ke berbagai tempat di belahan Eropa. Manusia-manusia rakus dan haus adalah tontonan sehari-hari Viper muda dan ujung senapannya. Terkadang AK buatan Rusia. Terkadang bisa saja dia kebetulan mencecap senapan hasil buatan tangan Amerika dan Inggris. Fokusnya hanya melubangi tubuh yang tidak patuh, dan andai kalau dia mati, dia mati—tidak ada yang akan menantinya di 'rumah' layaknya beberapa prajurit yang kerap kangen untuk pulang, atau Viper adalah seorang heroik yang akan membuat orang mengingat namanya. Viper juga bukan sosok patriotik yang membela tanah air karena ikut perang atas nama negara tempatnya lahir.
Viper sudah tahu siapa dirinya sejak awal: sekedar data di kertas sensus; sewaktu-waktu tinta merah akan mencoret namanya kalau peluru menembus jantungnya.
Apa hidupnya hampa? Tidak juga. Dia sama seperti kebanyakan orang: mengikuti arus, walau bedanya dalam kurun sekian jam, dia bisa saja mati dan mayatnya diinjak oleh tentara lain yang mencoba berlindung atau kabur. Hidup di medan perang hanya sesederhana itu.
Kala itu, Viper tengah ditempatkan di Teater Timur - mungkin lokasi terjauh yang pernah ia satroni selama karirnya di Perang Dunia I. Rusia tengah aktif mendorong kembali Jerman dari perbatasan mereka dan melawan pasukan yang mulai merangsek dari Laut Hitam. Beberapa pakar sudah bersabda kalau Rusia tidak akan bertahan lama dengan serangan-serangan ini, apalagi dengan isu yang beredar kalau di internal Rusia pun pecah 'kekacauan'. Batalion Viper yang ditempatkan di Teater Timur nantinya akan ditarik kembali ke Teater Barat, dan saat itu, Viper tengah mempersiapkan diri untuk menuju Perancis.
Sebelum selesai berkemas, Viper dipanggil atasannya untuk menghadap, dan dia kemudian berada satu ruangan dengan beberapa orang yang sudah dipilih oleh atasannya itu, dan beberapa orang asing dengan pakaian yang berbeda dari kemiliteran Inggris.
"Whetstone," ucap sang Komandan. "Kita mendapat sedikit hadiah perpisahan dari Rusia, beberapa prajurit terlatih yang dulu mantan angkatan udara yang sudah dibubarkan-"
Salah satu prajurit di sana, wanita dengan rambut pirang pucat, berdeham. Logat bahasanya hampir seragam dengan kebanyakan orang Rusia yang sempat diajak Viper berkomunikasi: lantang, aksentuasi di huruf 'r' layaknya cadel. "Interupsi, Komandan, Sir. Pasukan kami sudah tidak dibutuhkan dan dialihfungsikan sebagai angkatan darat."
Beberapa orang yang berdiri di samping Viper menyeringai, sementara Viper hanya menaikkan alis. Tidak asing bagi beberapa angkatan berbeda ditukar posisinya dengan kondisi peperangan yang sulit diprediksi. Senjata memang semakin berkembang dan banyak sekali opsi serangan dapat dilakukan, tapi untuk terus menjaga pasukan udara atau pasukan laut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Perang yang berangsur semakin larut tentunya membutuhkan banyak sekali pengorbanan, tidak cuma sekedar hitungan nyawa layaknya rumput di padang bunga.
"... Ya itulah." sang Komandan mengernyitkan dahi. "Maaf sudah lancang, Miss Kuznetsova."
Komandan menyuruh mereka diam. "Kamu nantinya akan disiapkan menjadi Major untuk batalyon berikutnya, tapi itu tergantung kamu bisa mengatur beberapa pinjaman dari Rusia dan Italia."
Viper mengangguk tanda paham. Komandan pun membubarkan pertemuan singkat itu, tapi sebelum Viper sempat kembali ke barak, wanita tadi memblok pintu masuk.
"Sebentar, jadi kamu yang akan jadi ketua kami, Whetty?"
"Whetty?" ulang Viper.
"Whetstone. Namamu susah. Whetty saja." ucap wanita itu sambil mengedikkan bahu. "Kukira Komandan akan menunjuk orang lain, aku tidak pernah mendengarmu bicara sama sekali."
"Lalu?" Viper sekedar membuka tangannya. "Apa menurut anda saya kurang pantas ditunjuk bertugas?"
"Hmm, nggak juga sih. Tapi sebagai bagian dari peleton, kurasa akan lebih baik kalau kita bisa lebih mengenal satu sama lain, ya?" wanita itu mengulurkan tangannya. "Kamu berbeda dengan Komandan atau pria Inggris lain yang taunya cuma sok omong besar. Aku bisa lihat dari matamu."
Viper menyipitkan mata, merasa wanita ini terlalu menganggap tinggi dirinya yang melihat semua manusia sama saja. Dia menyambut uluran tangan wanita itu sekedar sebagai tanda sopan.
"Elvira Kuznetsova, Whetty." ucapnya. "запомнить меня."
Viper sekedar mengangguk dan meninggalkan ruangan itu, kembali ke tugas awalnya.
Mungkin itu adalah awal segalanya mulai berubah untuknya tanpa Viper sadari.
⁕
1926, Desember.
Viper mendengar kalau Gaela Adaline dan Mary Mitford kerap menjadi tamu Harold Wayne di asylum, dan Viper tidak pernah mengunjungi sang dokter bila tidak diperlukan.
Perlu sedikit waktu untuk sang dokter mengakui apa yang sudah diperbuatnya sesuai dengan apa yang Richard katakan sebagai saksi, tapi Viper bisa mengira obsesi sang dokter tidak akan berhenti disitu saja. Viper sudah pernah melihat bagaimana obsesi mengubah seseorang, bagaimana mereka yang tadinya akan berlaku lembut akan berubah ketika dihadapkan pada situasi ekstrim. Dia sendiri tidak akan pernah bisa paham apa yang sudah dialami sang dokter dan apa motivasinya, karena mereka adalah dua individu yang sangat berbeda. Viper selalu melihat dari kacamata perang, kacamata sebab akibat yang dampaknya akan langsung terlihat di depan mata. Oleh karena itu, Viper sebagai pengamat selalu berusaha untuk membiarkan.
Toh tidak ada gunanya mencoba mengubah kebiasaan manusia.
Viper mengingat kembali Harold Wayne yang selalu kukuh dengan suci dan kesucian, alih-alih 'cara' yang sudah ditempuhnya adalah sebuah kodrat dari Tuhan. Dia pun tidak pernah merasa dirinya suci, atau berada di pihak yang 'benar' seperti apa tuduhannya di hari berpenghujan itu. Tidak ada tentara yang sudah menumpahkan darah dalam jentikan pelatuk bisa dibilang suci, dan tidak ada satu pun yang bisa mengukur harga sebuah nyawa.
Viper selalu datang besuk paling pagi sebelum dia melakukan tugas hariannya, rutinitas itu sengaja dibuatnya berulang di hari dan jam yang sama, dan sosok pria yang kini lebih kurus dan sedikit bungkuk di hadapannya akan menyapanya seperti biasa.
"Selamat pagi, Shousa, apa tidur anda nyenyak?"
Baik bahasa Latin, bahasa Perancis, bahasa Rusia, maupun bahasa Jepang yang telinganya tangkap, Viper selalu berusaha mencari artinya. Sama seperti semua orang yang mengira kebiasaannya untuk membaca buku ketika waktu luang adalah hal percuma karena mereka hanya mengandalkan otot dan insting, mempelajari bahasa lain yang terucap oleh setiap pasang mata yang ditemui Viper sebenarnya tidak terlalu berguna.
Akio Kai menjalani hukuman layaknya sebuah kehormatan, ia melaksanakan itu sebagai 'tugas' yang diturunkan oleh Viper, 'master' barunya setelah Henry Myrtle tiada. Viper tidak pernah menganggap dirinya sebagai atasan, namun dia membiarkan Akio memperlakukan dirinya sesukanya, membebaskan pola pikirnya walau dia mungkin akan lama sekali mendekam di balik jeruji itu.
Mereka pun akan bercengkrama seperti dua teman lama, dan biasanya selain bertanya tentang kabar, Viper akan meminta Akio bercerita saja soal Jepang. Bagi Viper, Akio tidak berbeda dengan beberapa orang yang pernah diinterogasinya: mereka yang sorot matanya menatap sosok selain Viper, lagi berbicara dengannya; atau mereka yang menderita trauma dan tidak mampu melihat lagi mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
Mungkin, bila Viper tidak merasakan bagaimana rasanya menimbun mayat teman-temannya sendiri yang sudah tidak berbentuk, atau realita kalau ada sekelompok manusia yang memang dikirim ke tempat bengis untuk sekedar dimatikan, dia akan berada di 'penjara' pikir yang sama.
⁕
1914, Bataille des Frontières.
Viper mulai kehabisan kertas untuk menuliskan nama siapa saja yang sudah mati sejak pasukan itu terbentuk di akhir 1910.
Semakin mereka bergerak dari satu kamp ke kamp lain, serangan Jerman semakin berfokus. Jerman sangat kuat saat itu, dan mereka mengambil kemenangan demi kemenangan di sepanjang jalur Perancis, membuat pihak sekutu kewalahan.
Jerman yang memenangkan Teater Timur keadaannya sudah sama dengan berbagai negara yang lelah berperang dan mulai kehabisan amunisi, tapi bukan berarti dua pihak akan menyerah.
Kala itu bahkan sampai tidak ada lagi merchant datang dan Viper tidak bisa mengganti buku catatannya. Masih ada sedikit waktu sebelum mereka bergerak dari Nancy untuk membuka serangan pada Jerman di Marne. Waktu kosong itu dimanfaatkan kebanyakan dari mereka untuk berdiam diri, atau bahkan sekedar mabuk untuk menghilangkan rasa kaku karena sudah lama mendengar desing senjata, lolongan sebelum seseorang mati, atau suara tangis.
Suara tangis yang Viper tidak tahu berasal dari mana.
Viper yang kehabisan kertas mulai mencari di perbekalannya, dan menemukan sebuah buku yang ternyata sudah lama ada di sana.
Buku yang pernah dia curi dari sebuah toko buku di Whitechapel, Hamlet.
"Whetty, dipanggil Travis tuh. Katanya kalo kamu nggak kesana, kamu nggak dapet jatah Mead."
Salah satu tentara menghampirinya, terlihat dari wajah pria yang merona itu kalau dia sudah cukup mabuk.
"Habiskan saja." Viper mengedikkan bahu. "Tapi jangan ngaco, sebentar lagi mungkin pembawa surat dari Perancis akan datang—dan kenapa kalian juga ikut panggil saya Whetty?"
"Habisnya—hic—kita semua tahu kalau Major itu Whetty! Kalo mau salahkan gadis Rusia itu!" komentarnya menunjuk ke arah meja seberang tempat mereka tengah berbagi minuman.
Viper memang tidak terlalu peduli bagaimana orang lain memanggilnya, dia bukan seorang yang gila hormat. Pangkatnya yang sekarang ini, Major, pun didapatnya tanpa sengaja karena kepala peleton sebelumnya mati tertembak. Rencana awal Komandannya di 1910 tentang pasukan gabungan sempurna pupus dengan pertarungan yang terus intens, dan karena kekosongan posisi barulah Viper dinaikkan pangkat.
Viper melirik ke arah meja yang ditunjuk pria tadi dan pandangannya menyapu ke arah wanita yang segera melihatnya balik.
Elvira Kuznetsova, selalu menjadi pusat keramaian. Wanita supel itu mulutnya cukup kasar kalau sedang sibuk di tengah-tengah pertempuran, tapi dengan bagaimana dia bertarung, anggota kelompok mereka pun cukup segan dengan wanita itu.
Viper tidak hafal penghargaan pasukan udara, tapi dia pernah sempat melihat Elvira menggosok-gosok beberapa medali.
"Oi! Bawa mead-nya ke tengah! Major Whetty belum kebagian!"
Viper tertegun ketika kini keramaian segera pindah ke mejanya sekedar dengan tangan Elvira menunjuk.
"Saya malas minum." ucap Viper.
"Oh ayolah, Whetty, anggap saja ini bagianmu, untuk mereka yang sudah nggak bisa minum hari ini." sambar Elvira. Dia sudah meminta Paulo, pria jangkung di sampingnya menuang segelas tinggi untuk Viper. "Untuk keajaiban di Marne!"
Ya ampun, decak Viper dalam hati, dia tidak punya pilihan selain menerima gelas itu dan meneguknya sampai habis. Para prajurit di sekelilingnya mulai bersorak-sorai.
"Gitu dong."
"Gitu dong apa?"
"Kukira kamu virgin, nggak pernah minum alkohol."
Viper tertawa hambar. Dia tidak minum setelah itu, tapi keramaian di sekitarnya tidak padam. Viper mengabaikan mereka dan mulai menggunakan bagian kosong di buku Hamlet untuk menorehkan nama-nama.
Di luar dugaan Viper, Elvira tetap di sana, melihatnya menulis, tidak turut dengan mereka yang sibuk berbagi mead.
"Mereka kadang bingung kalo kamu itu manusia apa bukan, Whetty. Tapi sekarang aku bisa lihat kamu ternyata demen buku dan bisa minum alkohol."
Viper sekedar menggelengkan kepala. "Memang itu penting?"
"Oh, penting! Walau kita semua tahu kita akan mati besok atau lusa—paling tidak kita tahu ketua kita benar-benar manusia." sahutnya lantang sambil terbahak.
Viper kembali menulis, Elvira masih terus memerhatikan. Rambut pirangnya sedikit kecoklatan di ujung, bekas tadi dia terkena meriam yang menghempas titik utara. Dia tidak mati, tidak terluka parah, masih bisa tertawa, sama seperti banyak dari mereka yang sudah mati rasa karena terlalu banyak melihat orang mati dan dimatikan.
"Jadi kamu suka Shakespeare?"
"Nggak juga, cuma ini kebetulan buku yang bisa diambil dari toko."
"Wow, jadi dulu kamu maling."
Dahi Viper mengkerut, dia tidak membela diri.
"Sama sih, tapi aku nggak makan buku. Biasanya aku ambil roti dari etalase toko."
"Saya juga nggak makan buku."
"Kamu suka baca, tapi 'kan? Hobi yang bagus, kok. Aku baru bisa baca tulis setelah diambil asuh kru penerbangan." sahut Elvira lagi. Mereka seperti dua orang yang tengah duduk di tavern, abai dengan kondisi di luar sana dengan dentum senjata. "Aku lebih suka buku bergambar ketimbang dicekoki rumus. Sialnya tapi Mathuska menyuruhku belajar biar jadi teknisi pesawat."
"Teknisi pesawat? Anda kok tapi bisa tahu Shakespeare?"
"Ah, itu salah satu hobi Mathuska. Di antara volume-volume buku insinyur, ada buku-buku cerita itu. Novel. Plays. Mathuska ingin sekali nonton teater." ucap Elvira, mata hijaunya mengawang. Dia meneguk lagi segelas besar Mead tanpa henti. "Sayang tapi dia harus mati muda."
Seperti itu saja, pembicaraan mereka mengalir tanpa ada pertanyaan awal. Elvira menceritakan soal Rusia, dan Viper bertukar tentang ganasnya musim dingin sebagai anak jalanan di Whitechapel.
Segalanya sesederhana itu, seperti dua orang yang dipertemukan dengan cara yang tak biasa—dan kemudian Viper lebih mengenal anggota-anggota batalyon-nya lebih dari sekedar nama.
⁕
1916, Maret.
Setelah berbagai pertempuran selama musim dingin, tidak ada waktu bagi batalyon Viper untuk tetap berada di Verdun.
Mereka yang tersisa malam itu baru saja selesai mengubur tulang-belulang yang bisa mereka temukan dan mereka berdiam diri di kamp, duduk di tanah setelah lama sekali berkutat dalam trench warfare yang menyiksa. Rasanya tidak melihat tikus atau bangkai selama beberapa saat adalah distraksi yang menyenangkan, sementara batalyon mereka tengah menunggu telegram sebelum bertolak ke wahana berikutnya.
Viper yang terakhir kembali ke kamp setelah mencuci tangannya berulang kali hingga lecet. Rasanya nanah Travis seperti menempel di tangan, dan sosok mayatnya yang sudah tidak berkaki terbakar di memorinya. Dia meminta untuk dikubur di lubang berbeda dengan yang lain, yang tentu tidak bisa dikabulkan Viper.
Travis tertawa saja saat Viper memberengut, dan itu adalah suara terakhir yang didengar Viper dari Travis. Wakil ketuanya itu kemudian dikuburnya paling akhir di tumpukan yang sudah semakin menggunung, sebelum Viper-lah yang menutup tanah setelah yang lain meninggalkan lokasi penguburan.
"Masih hidup, Whetty? Kok diam aja?"
"... Elvi." Viper mengerjap, dia lalu menyadari kalau kamp itu kosong. Sayup-sayup mereka yang sepertinya keluar ruangan mencari udara segar sambil bernyanyi tidak jelas dapat terdengar—sebuah hiburan di tengah suasana pelik.
Sudah untung mereka tidak gila, pikir Viper. Walau sudah banyak mereka yang gila dan terpaksa 'dipulangkan'.
"Tadi Grigori pun nggak sempat tertolong. Perutnya bolong. Habis sudah orang Rusia di sini kecuali aku." Elvira bersungut, menopang dagu. Mereka berkata tentang mereka yang mati layaknya matahari bersinar di pagi hari, sudah tidak bisa tertolong, tubuhnya sudah hancur, bagian tubuhnya terburai.
"Kamu nggak ingin kembali saja ke Rusia?" tanya Viper. "Kudengar Rusia sudah menarik semua pasukan dan akan mendeklarasikan mereka mundur dari perang ini."
"Kalo ada uangnya, aku sudah kembali mungkin?" ucap Elvira. "Malas, tapi. Soviet dingin. Di sini cuacanya biasanya lebih hangat dan bersahabat, belum lagi mereka pasti tidak akan membiarkanku kembali ke kokpit."
Viper mendengar cerita ini sebelumnya, dan bagaimana mereka yang tergabung sebagai 'wanita' dalam perang sengaja disisihkan. Elvira dan teman-temannya yang sudah masuk namanya di catatan panjang Viper adalah mereka yang kerap membicarakan hal itu ketika ada yang bertanya soal Soviet Air Crew.
Wanita berambut pirang panjang itu menghela napas panjang, sebelum dia kembali menatap Viper.
"Oh, aku tahu!" ucapnya. "Whetty, andaikan kita selamat hingga akhir perang ini, bagaimana kalau kita menikah saja?"
"Hah? Ide dari mana itu!?"
"Ayolah!" seru Elvira. "Dengan ini aku bisa bebas kembali ke Soviet, atau mungkin bisa ke opera yang Mathuska bilang tanpa harus orang banyak bertanya kalau aku orang Rusia atau bukan. Kamu 'kan English Gentleman!"
"Ngaco." Viper bersedekap, tapi sama dengan Elvira, senyumnya menyeringai. "Jadi kamu mendekatiku karena ingin privilege?"
"Hah, хорошо, Whetty. Kapan nggak?"
Dan mereka berdua pun tertawa terbahak, layaknya guyonan yang selalu mereka berdua haturkan setiap saat.
It was not a bad deal, really, who wouldn't love an adventurous woman like her?
⁕
1920. Scotland Yard.
Tumpukan surat terenkripsi datang lagi untuk Viper saat itu, lagi dia sebagai cecunguk baru di Yard belum punya waktu untuk membaca.
Laporan-laporan mengenai kalau formasi pasukan di Somme sudah dibocorkan ke Jerman melalui bagian intelijensi sudah sangat jelas, tapi intelijen Inggris yang dihubungi Viper tidak bisa menemukan sumber kebocoran itu. Sepertinya yang membocorkan itu adalah orang dalam, kemungkinan tentara Inggris - sayangnya Viper tidak pernah mendapatkan namanya, atau mereka sudah mati.
Andai, andai bila formasi mereka tidak bocor ke pihak Jerman, apa batalyonnya tetap hidup? Apakah paling tidak separuh dari mereka bisa pulang, tidak harus dihantam oleh serangan udara yang datang tanpa permisi? Andai Viper bisa lebih andil dan bertahan di trench selama waktu yang ditentukan, apa Viper bisa menyelamatkan mereka yang sudah Viper kubur satu persatu di dalam tanah?
Apa matanya yang sekarang buta bisa menjadi pengganti ribuan nyawa itu?
Viper tertawa kecil saat dia membaca surat enkripsi dari badan intelijen, merobek semuanya dan membuangnya segera ke tempat sampah.
Sebuah pamflet yang berisi pertunjukkan Hamlet yang hendak diadakan di London selepas Perang Dunia turut bersama surat itu, habis ditelan abu rokok yang Viper nyalakan terus-menerus mengisi siang dan malam.
⁕
1927, Februari. Somme.
Mereka bilang, bunga Popi selalu mekar di tengah-tengah medan perang antara dua trench, mewarnai No Man's Land dengan warna merah seakan darah telah membuat bunga itu subur.
Ironisnya, bunga itu juga-lah yang dijadikan lambang 'kedamaian'.
Butuh setengah hari dari Inggris ke Perancis, tapi Viper tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bisa menuju Somme, terutama di bulan Februari atau Juli. Dia akan membeli sebuket bunga, sebotol kecil Vodka yang bisa didapatnya dari koneksi tertentu, dan dia akan memakai dog tag di lehernya.
Di pelataran taman yang masih dibangun, berdiri monumen-monumen bisu yang masing-masing berisi nama untuk mengingat mereka yang sudah tiada. Terkadang kalau Viper beruntung, akan ada satu atau dua orang memainkan terompet atau alat musik lain, sebuah lagu yang sudah akrab di telinga Viper melebihi mars angkatan darat.
Dia akan memberi hormat pada monumen itu sekali, seakan dia masih muda dan tegap, dan di hadapannya adalah barisan tentara yang akan menatapnya sambil berseri-seri.
Viper akan berjongkok lama di depan sebuah monumen yang tertera di sana, menaruh bunga dan Vodka, dan mulailah dia akan menyalakan sebatang rokok yang sama sekali tidak dia hisap.
Masih segar di ingatannya tentang seorang dokter yang ingin membangkitkan orang mati, dan mereka yang tidak bisa lepas dari sosok-sosok yang sudah tiada yang telah membuat mereka lebih hidup ketimbang mereka yang sudah menjadi satu dengan tanah. Abu rokoknya perlahan jatuh, seiring gerimis turun perlahan di atas kepalanya dan bahkan mematikan rokoknya.
Nama terakhir di monumen itu dan di dog tag-nya sama, Elvira Whetstone, dan Viper perlahan akan membacakan bait demi bait dari Hamlet yang sempat ditontonnya sebelum mampir ke Somme di Februari penghujan itu.
Apa ini semua juga mimpi? Pikirnya, dan bait dari Hamlet-lah yang menjawab:
Let the doors be shut upon him, that he may play the fool no where but in's own house. Farewell.
.
.
.
Selamat datang di epilog yang paling normal (gagitu), anda telah berhasil duduk melihat roller coaster Myrtlegrove Estate dan kini pintu teater sudah dibuka, dan anda harus segera beranjak keluar.
Dibandingkan karakter lain yang bergulir di RP ini, Viper bisa dibilang bukan karakter kompleks (menurut saya), dan bukan juga sosok hero, walau tidak bisa disebut beliau adalah sisi abu-abu. Beliau hanya detektif yang melaksanakan tugas, dan keyakinannya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu, hanya pandangannya soal kematian yang berbeda.
Saat awal registrasi RP karena banyak dibutuhkan karakter pria, saya berpikir untuk buat karakter pria sekali-sekali (haha). Banyak remah-remah soal WW1 saya selipkan untuk membangun Viper, salah satunya adalah pertempuran yang paling memakan banyak korban di masanya, Somme. Kutipan-kutipan pembuka chapter saya ambil dari beberapa buku nonfiksi yang membahas WW1, dan kurang lebih saya membuat Viper sebagai sosok yang sudah tertempa perang dan 'mati rasa' karena perang itu sendiri.
Semoga sudut pandang Pak Pol ini bisa menghibur kalian yah.
Sekian dan terima gaji.
Jangan lupa mampir ke sudut pandang lainnya beserta epilog mereka yang lebih berwarna:
Akio Kai, Butler Catsummoner
Harold Wayne, Doctor amelaerliana
Mary "Mario" Mitford, Reporter izaddina
Gaela Adaline, Maid Nanaasyy
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro