Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Yang Lebih

     Tsabita merengut. Urat malunya memang sudah putus sejak lama. Namun, terkapar seperti tadi di dekat Ashraf bukanlah hal yang patut dibanggakan. Apalagi keningnya sampai benjol besar sekali. Sedikit malu, iya cuma sedikit, Tsabita tidak berani melirik Ashraf yang sedang mencuci mobil di halaman rumah tepat di bawah pohon akasia bersama Zaid dan Zara sambil cekikikan tidak jelas. Cepat sekali adiknya akrab dengan lelaki itu.

   Tsabita menguap. Umi tidak memperbolehkannya ke mana-mana. Ini membosankan. Sebagai anak SMA yang baru lulus dan keterima SNMPTN membuatnya hanya bisa ongkang-ongkang di rumah.

   "Semalam Ashraf nginep di hotel, tapi nanti malam dia tidur di kamar tamu. Umi udah bersihin kamarnya."

   Hah? Umi bilang apa barusan?

  "Apa, Mi?" Tsabita mencoba mengumpulkan nyawa yang nyaris melayang karena ngantuk.

   "Ashraf nginep di sini," balas Umi.

   "Kok gitu, Mi?" Perasaan tidak senang merayap di dada. Walau ternyata Ashraf tidak seperti bayangannya, anak manja kaya raya yang sering menghamburkan uang, tetap saja Tsabita tidak menyukai keberadaan Ashraf, terutama karena niatnya yang ingin melamar Tsabita.

   Sudah punya apa Ashraf mau melamar Tsabita?

     Tsabita mengerang dalam hati. Lelaki itu jelas punya segalanya dan menjadi percaya diri. Pantas, wajah Ashraf familier. Tsabita baru sadar ketika Umi bercerita bahwa Ashraf punya tempat kursus memasak di Yogyakarta, tempat kelahiran Ashraf. Tempat kursus itu sudah buka cabang di Magelang, Semarang, Malang, Bandung, Bogor, bahkan saat ini hendak membuka cabang di Jakarta. Gimana mukanya nggak familier kalau setiap nginep di kos-kosan Binar, temannya itu memutar video tutorial memasak yang Ashraf bagikan di channel youtubenya seminggu sekali. Yang Ashraf bagikan cuma tangannya saja, sih. Tapi, ada beberapa vidio Ashraf yang diundang jadi bintang tamu acara TV juga dulu yang sempat Tsabita lihat karena Binar tergila-gila sama chef satu itu.

   CHEF!

   Tsabita sangsi. Dia pernah bilang pada Binar bahwa alasan mengapa dia lahir dengan bakat alami kalau masak keasinan itu karena kelak, suatu hari nanti, suaminya adalah seorang chef! Lumayan, kan. Tsabita tidak bisa memasak, tapi dia doyan makan. Doyan banget. Semua jenis makanan masuk ke perutnya. Bisa dibayangkan kalau suami Tsabita chef yang tidak pelit, gentle, dan perhatian. Rasanya pasti seperti hidup di surga dunia. Dilayani, dimasakin, dibelai. WAAA TSABITA INGIN.

    Namun, dia tarik kata-katanya kalau orang yang hendak melamarnya adalah Ashraf. Bayangan Tsabita soal chef itu ya yang rambutnya gondrong dan sering diikat ke belakang. Punya badan atletis dengan kulit sawo matang. Chef yang misterius dan nggak mengumbar diri di sosial media. Ouh, so sexy, walau kata Binar cowok kayak gitu nyarinya bukan di dapur, tapi di tempat gym-gym-an.

     Bodo amat. Itu tipenya, bukan chef modelan kayak Ashraf yang rambutnya pendek terpotong rapi, badannya sih oke, kayaknya dalemnya juga roti tawar, tapi tipe cowok Tsabita itu yang kulitnya sawo matang, bukan putih kinclong kayak punya Ashraf. Walau sebenernya sih nggak seputih itu. Masih putihan kulit Tsabita ke mana-mana.

   "Sabi, Umi nggak mau berdebat soal ini." Umi tahu anaknya akan mendebat.

  Tsabita menghentakkan kaki kesal. Kenapa nggak boleh? Tsabita kan juga punya hak untuk nolak?  "Umi kenapa kekeh banget mau jodohin Tsabita sama cowok itu? Nggak ada yang lain apa? Yang lebih kekar, yang lebih gondrong, yang lebih cokelat kulitnya dan mukanya sangar. Yang lebih keliatan lakik gitu, loh."

   Umi tertawa. Belum tahu saja Tsabita seberapa 'lakik' Ashraf. "Tipe kamu kayak preman depan gang, Sab. Kamu mau nikah sama Bang Asep? Dia habis menduda itu ditinggal istrinya kalau minat."

   "Enak aja sama Bang Asep! Nggak gitu juga, Umiii," Tsabita merengek.

    Umi semakin tertawa. Umi ini anggun sekali. Tertawa saja sambil ditutupi, berbanding terbalik dengan Tsabita yang kalau ngamuk bisa kelesotan di lantai. Yah, itu, sih dulu waktu masih kecil, tapi tidak menutup kemungkinan sekarang juga masih sama kalau dilihat dari tabiatnya.

    "Dengar." Suara wanita paruh baya itu frekuensinya berubah menjadi lebih serius. "Keluarga kita sama keluarga Ashraf dekat dari dulu. Dari sejak ada Eyang kamu, Sayang."

   "Ya udah sih kalau deket, emangnya kenapa?"

   "Dari dulu, kita pengin mempererat silahturahmi yang sebenernya udah erat ini. Eyang pengin anak dari keluarga kita ada yang menikah sama keluarga Ashraf."

   "Terus? Kenapa harus Tsabita? Kenapa nggak yang lain aja, Umi?"

    "Emangnya siapa lagi, Sab? Sahabat Eyang, Kung Malik, cuma punya Papa Ashraf. Papa Ashraf anak tunggal. Dia cuma punya Ashraf dan adiknya Asiyah. Masa iya Asiyah yang umurnya lebih tua dari kamu mau dinikahin sama Zaid? Kalau masih ada Zulaikha, Umi akan nikahkan mereka berdua."

    Mendadak, kerongkongan Tsabita kering.

   Zulaikha ....

    Tsabita jadi diam seribu bahasa. Mulutnya terkatup rapat. Dia hanya bisa menatap Umi yang balik menatapnya nanar. "Kamu tahu kenapa Ashraf nggak canggung sama Umi? Kecilnya dia udah di sini, Sab. Dia sahabat Zulaikha. Kalau Zulaikha masih ada, Umi nggak akan maksa kamu. Umi udah bicara sama Ashraf, tapi dia nggak keberatan menikahi kamu. Jadi sekarang semuanya ada di tangan kamu," Umi menggenggam jemari putrinya yang berkeringat dingin, "Umi mau Tsabita bahagia. Mama kamu juga mau kamu jatuh ke tangan laki-laki yang tepat. Umi atau Mama percaya sama keluarga Ashraf. Kita bisa jamin kalau Ashraf bisa buat kamu bahagia. Umur kalian mungkin terpaut jauh, kamu sembilan belas tahun, Ashraf dua puluh tujuh. Tapi itu bukan masalah, itu justru bagus untuk kalian."

    Tsabita menarik jemarinya dalam genggaman Umi. Matanya menatap martabak manis di atas meja yang sama sekali tidak menggugah seleranya. Kenapa harus Tsabita? Dia masih mau bersenang-senang. Lulus SMA dan kuliah, mengembangkan skill-nya, bukan dijodohkan atau dilamar atau disuruh menikah seperti ini.

     "Umi nggak pernah minta apa-apa sama kamu."

    Hati Tsabita mencelos. Ya, benar! Umi tidak pernah meminta atau mengatur-atur Tsabita.

    "Umi bisa minta apa pun, tapi jangan ini .... Tsabita mau pilih pasangan Tsabita sendiri, tapi nanti. Tsabita mau fokus sekolah dulu. Tsabita masih mau menikmati masa muda." Namun, kalimat itu sama sekali tidak keluar dari mulutnya.

Durhaka lo Sab kalau bilang begitu. Lo bahkan belum pernah sekalipun balas kebaikan Umi.

   "Sekarang, ini akan jadi satu-satunya permintaan Umi seumur hidup Umi ke kamu, Sayang."

   Tsabita tidak ingin mendengarnya. Tidak, dia tidak akan mendengarkan. Namun, kuping Tsabita justru terbuka lebar-lebar.

    "Menikah sama Ashraf, ya, Sayang? Terima lamarannya."

    Dan sialnya, tubuh Tsabita mengkhianati hati dan pikirannya. Karena dia menjawab lirih, "Ya, Umi."

    Tsabita menggangguk, membuat Umi tersenyum dan seseorang yang tak jauh dari mereka menatap sedih pada Tsabita—Zaid, dengan tawa yang lenyap dari parasnya yang tampan.

   Bagi Zaid, tidak ada yang lebih menyedihkan dari melihat ketidakberdayaan kakaknya sekarang.
   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro