9. Senyum Manis Sudut Ruang
"Semalam tidur di sini, kamu nyaman enggak?"
"Nyaman aja, sih. Enggak ada hantu juga."
"Astaga, masih mikir tentang hantu, Ga?"
"Iya dong, ini rumah tua, wajar aja kalau aku mikir ada hantunya."
Tasya hanya tersenyum melihat tingkah Gaga yang aneh karena menganggap rumah itu ada hantunya. Sejujurnya itu hanya gurauan semata. Selebihnya, Gaga hanya ingin membuat suasana lebih nyaman di kali kedua perjumpaan mereka.
"Oh, iya, ini aku bawain sarapan buat kamu. Semoga senang ya, aku buat sendiri ala kadarnya."
"Terima kasih, ya, Sya, kamu baik banget. Aku enggak tahu gimana cara balasnya, lagi pula kita baru ketemu, tapi kayaknya kamu udah baik banget sama aku."
"Enggak masalah, sesama manusia kita harus saling tolong-menolong."
Gaga tersenyum tipis. Dia tidak menyangka masih bisa menemukan orang baik seperti Tasya yang mau membantunya tanpa melihat latar belakang kehidupannya. Gaga berencana menceritakan tentang apa yang terjadi pada dirinya dan mengaku jika namanya adalah Randu.
"Aku mau ngomong sesuatu, deh."
"Ngomong aja, Ga, penting banget, ya?"
"Iya, ini tentang kehidupanku."
"Silakan, asalkan kamu harus jujur. Aku tipe orang yang tidak menyukai bau kebohongan," ungkap Tasya memberikan syarat.
Gaga terdiam sejenak. Dia berpikir jika kejujurannya malah menjerumuskan dirinya sendiri. Kejujuran itu semua dirasa terlalu cepat. Dia malah beranggapan akan membuat Tasya menjadi berubah pikiran dan mungkin mengusirnya dari rumah itu.
"Ga, kok diam, sih?"
"Kapan-kapan aja aku ceritanya, aku mau menikmati sarapan pagi buatanmu." Gaga mengalihkan topik untuk sesaat.
Tasya pun bergegas ke dapur untuk mengambilkan piring, sendok, juga garpu. Dia ingin memberikan pelayanan terbaik kepada tamunya itu. Entah apa yang terjadi, sepertinya Tasya mulai nyaman dengan keberadaan Gaga. Hal ini malah menguntungkan untuk pemuda dua puluh tahun itu.
"Makan yang banyak biar kamu cepat sembuh," ucap Tasya ketika menuangkan segelas air di gelas.
"Dari mana kamu tahu kalau aku lagi sakit?"
"Ga, terlihat banget dari sorot matamu yang kadang kosong, wajah kamu yang pucat, pipimu yang tirus, tubuhmu yang kurus, dan sesekali kamu juga kayaknya kelelahan. Jadi, aku pikir kamu emang lagi sakit."
"Jangan berpikir sembarangan. Aku, tuh, enggak lagi sakit. Emang kayak gini aja." Gaga mencoba untuk meyakinkan Tasya jika dirinya baik-baik saja.
"Aku aja nemuin kamu di trotoar lagi tergeletak. Apakah itu bisa dikatakan baik-baik saja?"
"Waktu itu aku sudah bilang lagi istirahat kamu aja yang ngeyel bilang kalau aku lagi sakit." Gaga kekeh dengan pendiriannya karena memang niatnya saat itu hanya beristirahat.
"Whatever, yang penting sekarang kamu bisa lebih sehat biar tujuan utamamu mencari kakak kandungmu bisa segera terwujud."
"Aku harap juga demikian. Oh, iya, kamu kan pernah bilang kalau kerja di LBH, kira-kira bisa enggak bantuin kasus gitu?"
"Kasus apa dulu dong, kalau kasusnya berat, ya mungkin aku belum sanggup. Lagi pula ini kan buat bahan skripsi, jadi aku ambil kasus yang mudah-mudah aja."
"Kalau kasus narkoba?"
Tasya menghentikan kegiatan sarapannya. Menatap Gaga dengan penuh tanya. Beberapa saat berlalu, seperti waktu terhenti. Tasya terus menatap pemuda berwajah pucat itu, tidak lantas bertanya siapa dan mengapa bisa terjerat dengan kasus narkoba itu.
"Jangan liatin aku mulu dong. Aku tanya, kamu bisa enggak kira-kira nanganin orang yang kena kasus narkoba? Gaga mengulangi pertanyaannya.
"Jujur ya, kalau narkoba itu berat dan hukumannya enggak main-main, bahkan ada yang seumur hidup atau hukuman mati."
"Dia hanya difitnah, kesalahpahaman, sih."
"Iya, aku enggak bisa ambil keputusan atau memberikan pendapatku sebelum mengetahui dengan jelas permasalahan itu seperti apa."
Tasya tidak lantas memberikan opininya tanpa dasar karena dia ingin semua permasalahan itu jelas agar dapat ditangani sesuai dengan aturan. Tasya memang bekerja paruh waktu di LBH. Selain untuk bahan skripsi, dia juga mencari pengalaman di sana. Hal ini yang membuat Tasya mungkin berbeda dengan gadis pada umumnya. Tasya lebih care kepada sekitar.
"Oke, lain waktu kita bisa bahas ini lagi."
"Ofcouse," sahut Tasya santai.
***
Sofi memeriksa laporan dengan serius. Penjualannya selama enam bulan terakhir tidak begitu memuaskan. Banyak pengeluaran besar yang dia tidak paham digunakan untuk apa. Terlebih, perusahaan kue Cake Store pamornya mulai menurun sejak menjamurnya kue home made yang mengedepankan nilai estetika tanpa meninggalkan kenikmatan makanan.
Perusahaan kue bisa saja terbenam dengan kehancurannya sendiri, jika penjualan tidak kembali ditingkatkan. Terlebih hutangnya di bank sebagai modal semakin hari semakin mencekik, bisa-bisa gulung tikar kalau kondisinya tetap seperti ini. Lesunya peminat pembeli lantaran semua menjadi paham pentingnya makanan sehat untuk kelangsungan hidup ke depannya tanpa meninggalkan estetika makanan.
"Kalian bisa kerja dengan baik enggak, sih?" tanya Sofi pada lima belas karyawannya yang memiliki andil besar untuk pertumbuhan perusahaan kue milik suaminya.
"Maaf, kami juga sudah berjuang dengan segenap kemampuan yang ada, tapi tetap saja hasilnya tidak begitu memuaskan," jawab Pak Robert dari bagian pemasaran.
"Maaf Ibu Sofi, saya rasa perusahaan kue memang harus memiliki terobosan baru. Misal, menyediakan kue kekinian, namun mengunakan imbuhan sehat," tambah Bu Rena memberikan sedikit pencerahan untuk Sarasa bisa kembali hidup.
"Contohnya dengan kue wortel, atau sosis ayam campuran dengan kubis, wortel, juga buncis, bisa disebut burger sehat. Itu lebih menarik dari menu kita saat ini yang hanya mengandalkan campuran telur dan tepung." Pak Sadiman yang menjadi sahabat almarhum Pak Putro mulai buka suara.
"Ok, untuk sementara ide dari kalian saya terima. Untuk sementara pertemuan kita sampai di sini dulu, selanjutnya akan saya beritahukan apa yang harus kalian lakukan."
"Baik, Bu," sahut mereka serentak lalu meninggalkan ruangan Sofi dengan teratur.
Sofi terus penasaran dengan pengeluaran-pengeluaran besar tidak masuk akal untuk perusahannya. "Ada yang janggal, pengeluaran ini tidak masuk akal, aku harus menemukan kekacauan ini."
Di rumah, Sofi memasang wajah sedih. Tanpa gairah Sofi masuk kamar lalu menutupnya. Mario yang melihat mama dengan sikap tidak biasa segera mengikuti ke arah kamarnya, untuk mengetahui sebenarnya apa yang sedang terjadi. Mario paham benar sikap yang mamanya tampilkan sebagai tanda jika mungkin perusahaan tidak dalam situasi baik-baik saja.
Mario membuka pintu kamar mamanya. Berjalan ke arahnya yang membaringkan tubuh lelahnya. Dia melihat mamanya dengan tatapan rasa khawatir untuk ibunya yang mungkin sedang tertimpa musibah. Mario perlahan duduk di tepi ranjang Sofi, menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan sendu untuk membuka percakapan.
"Mama kenapa?" Mario membuka percakapan.
"Ada yang aneh dengan perusahaan, pengeluarannya tidak masuk akal dan penjualan mengalami penurunan drastis." Sofi mengadu pada anaknya, keluarga terdekat yang dia miliki saat ini.
"Coba tanya Pak Sunu, dia yang memegang kendali keuangan."
"Enggak mungkin Sunu seperti itu, Sunu ingin melihat perusahaan tumbuh, berkembang, dan kembali jaya."
"Tidak ada yang tidak mungkin, semua bisa terjadi. Toh, Sunu sampai sekarang belum memberikan sinyal baik untuk terus berpihak kita."
"Mario, ini beda urusan."
"Ma, aku kira sama, tidak seperti saat ini berjalan bersama dengan pemikiran berbeda."
"Aku yakin ada alasan tersendiri kenapa dia belum memihak hingga saat ini. Terlebih usaha yang dia rintis masih sangat membutuhkan dia untuk pengembangannya."
"Ini yang mama khawatirkan."
"Maksudnya?"
"Menyelewengkan dana perusahaan untuk membangun usahanya sendiri."
"Enggak mungkin, Sunu bukan tipe lelaki seperti itu," bela Sofi tidak ingin kekasihnya ternilai buruk di depan anaknya.
"Itu firasat seorang anak, yang mungkin kebenarannya akan terjadi," ucap Mario membenarkan keyakinannya.
"Sudahlah, Mario, ini malah membuatku semakin pusing."
"Oh, iya, kabar terakhir dari Randu cukup membuatku terus merasa penasaran," ungkap Mario sambil berdiri dari tempatnya duduk.
"Aku mau dia segera tertangkap."
"Memang Mama ada rencana?"
"Ini urusanku, semua harus berjalan sesuai keinginanku. Demi warisan itu, Mama akan menghalalkan segala cara."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro