6. Gedung Tua
Perjalanan mereka telah usai. Sampailah mereka pada sebuah bangunan kosong yang sudah tidak terpakai lagi. Randu terlihat celingukan mencari seseorang. Tasya mengikuti dari arah belakang merasa bingung dengan sikap lelaki itu.
"Apa yang kamu cari?" tanya Tasya memberanikan diri.
"Kamu tidak perlu tahu, tunggu aku di luar gedung."
"Tidak bisa, kamu tadi hampir mati, sekarang kamu menyuruhku menunggumu di luar?"
"Tentu, bukan urusanmu lagi jika sudah masuk gedung tua ini."
Tasya tidak begitu saja mengikuti arahan dari lelaki yang baru dia kenal beberapa waktu lalu. Langkahnya semakin matang untuk mengikuti ke mana si pemilik jaket putih dekil itu. Tasya tidak sedikitpun takut, dia yakin semua akan baik-baik saja.
Randu yang mengetahui jika Tasya mengikutinya mulai resah. Nyeri di sekujur tubuhnya tidak lagi dia rasakan.
Pasalnya dia malah fokus melihat Tasya terus mengikutinya, Randu pun kembali memberikan ultimatum agar tidak semakin masuk ke dalam gudang tua. Randu takut rahasianya akan terbongkar.
"Aku mohon, hargai privasiku. Kamu harus menungguku di luar!"
"Cukup, Ga, izinkan aku tetap ada bersamamu. Aku enggak mau terjadi apa-apa denganmu."
"Tasya, aku bisa kok jaga diri sendiri. Kamu tinggal nunggu di luar, kalau ada apa-apa aku bakal teriak dan kamu bisa masuk."
Tasya terdiam sejenak, dia menyadari jika apa yang Gaga ucapkan benar adanya. Seharusnya Tasya tidak terlalu mencampuri urusan pemuda yang baru dia kenal itu. Bukankah tugasnya selesai setelah mengantarkannya?
"Iya, aku akan nunggu kamu di luar. Jangan lama-lama, aku juga takut," ucap Tasya sejujurnya.
"Thank you," sahut Randu dengan cepat.
Tasya mulai berjalan ke luar gedung sesuai dengn intrupsi darinya. Walau hatinya gundah, tetapi berusaha meyakini jika semua akan baik-baik saja. Sejauh ini Tasya tidak menyimpan rasa curiga pada pemuda berjaket dekil itu, entah apa alasannya, Tasya mempercayainya dengan cepat.
Randu mulai masuk ke dalam gudang tua itu. Langkahnya pasti tanpa ragu. Pandangannya mulai mengintai sekitar. Dari arah samping terdengar hentakan kaki yang cukup kencang, membuat Randu terdiam sejenak.
"Siapa?" tanya Randu memberanikan diri.
"Tomi," sahutnya dengan cepat.
Randu merasa lega dengan jawaban itu, "Bang Tomi, tolong aku dong!"
"Minta bantuan apa?"
"Bang, aku Randu, aku butuh minyak ganjamu, tolong berikan padaku," ucap Randu dengan nada rendah.
Secara otomatis Bang Tomi tahu jika Randu adalah anak konsumennya, lantaran beberapa kali nama Randu terus disebut oleh si pembeli setianya. "Biasanya pak Putro yang ke sini. Kenapa sekarang malah anaknya yang datang?"
"Ada suatu hal yang membuat ayahku tidak bisa datang untuk membelinya di sini."
"Tahu dari mana kalau aku ada di sini?"
"Ayahku sering cerita untuk mendapatkan minyak ganja dia harus bertemu Bang Tomi di belakang mall Serosa yang terbengkalai, ada gudang tua dan di situ tempat mendapatkan minyak ganja itu."
Tidak serta merta Bang Tomi percaya dengan apa yang Randu ucapkan. Dia takut semua itu hanya jebakan belaka. Tetapi, melihat Randu yang terus menyebut nama pak Putro membuat Bang Tomi lambat laun mencoba percaya dengan apa yang Randu paparkan.
"Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja. Aku juga tidak bisa memberikan minyak ganja ke sembarang orang lantaran ini ilegal, 'kan?"
"Bang Tomi, minyak ganja itu hanya untuk aku. Tolong, penyakitku ini akan lebih mendingan jika mengonsumsinya."
"Memangnya tidak ada obat lain? Kenapa harus memakai minyak ganja?"
Bang Tomi terus mengejar Randu dengan berbagai pertanyaan untuk meyakinkan dirinya sendiri, jika Randu benar anak dari pak Putro pelanggan setianya. Melihat gelagat Randu dan juga wajahnya yang pucat, Bang Tomi mulai merasa iba. Bang Tomi tersenyum tipis sebelum mengajukan penawaran.
"Ada, tapi cukup lambat tubuhku dapat merespon. Kalau mengunakan minyak ganja ini, tubuhku terasa lebih tenang dan nyaman. Kejangku bisa terkendali dengan cepat."
Tanpa basa-basi lagi, Bang Tomi membuka harga. "Sebotol ini aku jual dua juta, mau ambil atau tidak? terserah padamu."
"Itu terlalu mahal, bahkan aku tidak membawa uang kontan."
"Lantas kenapa meminta minyak ganja kalau tidak membawa uang? aku bukan agen minyak yang siap menyuplai tanpa membayar. Di dunia ini tidak ada yang gratis!" tegas Bang Tomi tidak ingin kecolongan malah bisnis haramnya ini.
Randu melepas jam emas yang ada di pergelangan tangan kanannya. Harta satu-satunya yang dia miliki. Memang benar adanya, obat ilegal itu aalah candu layaknya Randu yang melakukan segala cara guna mendapatkan minyak ganja.
"Ini harganya kalau dijual lebih dari dua juta, aku mendapatkannya dua bulan lalu. Masih tergolong baru."
"Aku tidak percaya, dapat saja kamu membohongiku."
"Aku tidak pernah bohong, aku berkata sejujurnya. Bang Tomi, tolonglah!"
Randu berusaha semampunya untuk meyakinkan si pengedar obat ilegal itu. Randu tidak bisa pergi begitu saja tanpa mendapatkan apa yang menjadi keinginan nya.
"Yakin, ini jam dengan kualitas ori?"
"Yakin, Bang, aku tidak bohong. Aku janji, jika ini barang bodong, Bang Tomi bisa mencariku, bahkan menghabisiku."
"Aku terima pengajuanmu," ucap Bang Tomi mulai percaya dengan apa yang Randu bicarakan.
"Terima kasih, Bang telah menolongku." Randu memberikan jam emas miliknya dengan hati yang sedikit tidak rela lantaran itu peninggalan terakhir dari ayahnya.
Bang Tomi menukar jam emas itu dengan sebotol minyak ganja yang Randu inginkan. Transaksi terjadi dengan sangat cepat. Bang Tomi melihat dengan cermat jam emas pemberian dari Randu.
"Aku pikir ini memang barang mahal."
Randu tidak peduli dengan apa yang Bang Tomi ucapkan. Dia segera membuka botol itu lalu mengoleskan sedikit minyak ganja di bawah hidungnya. Untuk sesaat, kenyamanan menghampirinya, rasa nyerinya menjadi hilang. Randu merasakan rileks yang telah lama dia rindukan, tetapi karena banyak masalah, psikisnya tertekan menjadikannya tegang.
Dari balik jendela gudang tua, Tasya terus mengawasi setiap gerak-gerik pemuda itu. Cukup kaget dengan adegan demi adegan yang dilihatnya, Tasya berusaha diam, namun tetap merekamnya di ponsel. Dia pikir dikemudian hari pasti sangat berguna untuknya.
"Apa yang dia lakukan? Apa benar Gaga adalah pemakai barang haram?" Tasya mulai ragu dengan kebaikan dan segala apa yang diucapkan oleh pemuda berjaket putih itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro