Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9| Haruskah?



Anny's note:

Yeay! Maminya Bana, alias si gue, lagi seneng nih! Akhirnya Banana update juga yaaa HAHAHA.

Kalian baik banget masih mau nunggu! Aku seneng aja yang nge-chat aku bilangnya sejenis, "Kak, aku masih menunggu Bana ya." Woahh. Itu adalah 'cara menagih' paling MANIS :*

Btw, btw, btw, aku lagi nyari-nyari komentar di Origamiara yang bisa diselipkan di novel. Cieee ... nanti akun siapa ya yang akan aku cantumkan? Surprise aja ah. Aku juga sebut beberapa nama pembacaku di ucapan terima kasih. Aw, aw~ itung-itung 'hadiah' buat pembaca yang rajin nongol hehehe

.

.

--


9| Haruskah?


"JADI, ini syaratnya?" adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Bana setelah ia meneguk ludahnya. Kalimat itu pula yang membuat Shakila Thalia Asri mati-matian melipat bibir--berusaha tidak menyembur tawa lebar. Kila membuang muka, menyembunyikan kepuasannya berhasil mengerjai seorang Bana. Coba lihat wajah lelaki berkacamata itu. Harimau tidak sedang menjadi kucing lucu. Harimau berwajah pias seperti ketakutan.

"Itu." Tangan Kila menunjuk kursi di pojokan; tempat yang cukup tersembunyi karena terhalang pintu masuk. "Lo bisa tunggu di sana."

Albana Wicaksono memejamkan mata seraya menarik napas lama-lama. "Kamu yakin aku boleh ada di sini?" Ekspresinya terlihat memelas.

Kila menggigit bibir. Bahunya yang naik turun menunjukkan betapa ia sudah tak sanggup lagi menahan tawa. "Hmm," gumamnya dengan angguk seadanya.

"Kila...." Nada memelas masih mengiringinya.

"Iya."

"Kilaaa...."

Ya Tuhan. Shakila baru kali ini mendapati Bana begitu manja-yang bukannya terasa menyebalkan, tetapi justru menggemaskan. Oh, ayolah. Sebegitu burukkah syarat yang ia ajukan untuk seorang Albana Wicaksono? "Tadi katanya mau ikuti syarat apa aja dari aku?" Shakila baru sadar sebutan aku dari mulutnya begitu kalimat sudah terlontar. Entah kenapa, Kila merasa ingin menyesuaikan panggilan mereka dengan cara Bana berbicara.

"Aku baru tau kalau LINE ID kamu semahal ini."

"Lebay!" Shakila tertawa. "Tapi, yah, seenggaknya kamu jadi tau kalau aku nggak murahan." Kila menatap Bana jumawa; dagunya terangkat bangga. Kila mengingatkan itu seolah menyatakan diri bahwa ia tidak senang dengan perlakuan Bana yang seenaknya. "Ini hukuman buat kamu yang udah bodoh-bodohin aku."

Helaan napas yang keluar dari mulut Bana seolah menyatakan kekalahannya. "Oke. Jadi, harus berapa lama aku nunggu?" tanyanya dengan pandangan menatap risih ke sekitar. Banyak gadis, bahkan ibu-ibu, melihat beberapa kali ke arahnya sejak tadi. Ada yang senyam-senyum, ada yang bisik-bisik. Kenapa tak ada laki-laki lain di tempat ini? Albana Wicaksono merasa seperti sedang masuk toilet perempuan.

Menyadari ekspresi Bana, Kila terkikik. "Biasanya satu jam setengah."

"Kapan mulainya?" tanya Bana berusaha mengabaikan kenyataan dirinya menjadi pusat perhatian. Ia ingin cepat-cepat menuju pojokan tempat duduk yang tadi Kila tunjuk, menjauh dari pintu masuk ini, menyembunyikan diri sendiri.

Kila menilik jam tangan. "Mulainya baru setengah jam lagi."

Albana Wicaksono terlihat pasrah. Tidak usah mengalkulasi berapa lama ia harus berada di sini. Itu hanya akan membuat beberapa jam ke depannya terasa mengerikan.

Mata Kila menyisir sekitar. Ruang zumba berukuran sekitar 6x6 meter itu sangat jauh dari kata sepi. Banyak wanita duduk maupun berdiri. Ada yang sudah berganti pakaian, ada yang masih duduk mengobrol, ada juga yang mulai melakukan pemanasan. Meskipun banyak orang, ruangan sama sekali tidak terasa sempit. Cermin-cermin besar yang menjadi dinding sekitar berhasil membuat ruang terasa lenggang.

"Yakin cowok boleh nunggu di sini?" Bana sudah tahu jawaban Kila, tetapi ia mencoba peruntungan Kila akan menjawab sebaliknya.

Kila terkikik. "Iya. Ini zumba campur. Cuman jarang aja cowok ikut."

Bana menghela lagi napas pasrahnya. "Kamu menyebalkan."

Mata Kila menyipit. "Kamu juga," balasnya dengan bibir ditekuk.

Mendapati bibir Kila memasang sebal, Bana menarik senyum-hal yang baru ia lakukan di tempat ini. Kepala Bana sedikit digerakkan untuk mendekati telinga Kila. "Seneng ya ngerjain orang?" tanyanya dengan suara pelan di antara leher dan telinga gadis itu.

"Hmm." Kila memutar bola matanya-menyembunyikan perasaan takut salah tingkah. "Pertanyaan itu seharusnya buat kamu."

Albana menggeleng tak percaya. Shakila Thalia Asri. Gadis macam apa dia yang menyuruh laki-laki menemaninya senam zumba? Menyuruh Bana melihat ibu-ibu senam! Albana hanya bisa menelan pasrah permintaan aneh Kila yang satu ini. "Aku tunggu kamu. Jangan lama-lama," ujarnya seraya menarik ponsel dari saku celana. Albana cepat-cepat melesat ke sudut ruangan, mengabaikan Kila yang tersenyum menang.

Shakila Thalia Asri sudah tak bisa lagi menyembunyikan senyuman bibirnya. Ah, seharusnya ia yang membuat Bana tidak tenang. Kenapa yang terjadi malah sebaliknya? Albana Wicaksono masih saja bisa membuatnya berdebar tak karuan.


+++++


Dipayana Samudra masih memeluk gitarnya. Beberapa kali jemarinya menarik senar, mengalunkan melodi rendah nan pelan. Akustik itu tidak diragukan lagi merdunya. Bukan keluarga Samudra kalau tidak pandai membuat musik. Ayah Dipa yang komposer, ibunya yang penyanyi, dan kakak perempuannya yang pianis, membuat Dipa terlihat wajar bisa memainkan melodi seindah itu. Mahasiswa Teknik Material ini bisa saja mengenyam pendidikan di bidang musik. Namun tidak ia lakukan. Dipa ingin keluar zona nyaman. Biarlah musik hanya sebagai selingan yang dijalani bersama GLYN.

"Kita gimana mulainya, Kang?" Suara Faldi memecah fokus Dipa. "Jumat ntar teh mau mainin lagu apa? Lagunya Yovie and Nuno yang Juwita? Cocok pisan lagu eta teh euy sama suara kang Bana."

"Oke kita coba." Wajah oriental Dipa memasang senyum. "Melodi gue nanti masuk. Intro. Lo abis itu, Fal. Sedangkan lo, Ndra," Tangan Dipa terangkat ke arah drum di belakang, "coba variasi ya. Kita mulai pake kunci C."

Faldi tersenyum mantap. Tidak salah agaknya ia mengandalkan Dipa sebagai tempat bertanya. Dipayana selalu tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Selain menjadi andalan Bana, Dipa juga menjadi andalan dirinya saat Bana tidak ikut latihan seperti sekarang.

Drrt ... drrrt.

Ponsel Dipa yang disimpan di meja basecamp itu menyala. Dipa menghentikan petikannya dan langsung terdiam begitu mendapati nama Brian Wicaksono di layar.

"Siapa, Kang?" Faldi bertanya. Bukan jawaban suara yang diperolehnya, tetapi layar yang disodorkan Dipa. "Waduh...," kaget Faldi mendapati nama itu. "Sampe nelepon ke Akang lagi artinya si Kang Bana nggak ngangkat terus. Kayak waktu itu pisan. Saya masih inget." Satu telunjuk Dipa di bibir menghentikan celotehan Faldi.

"Iya, halo." Dipayana Samudra bersikap sopan seperti biasa. "Oooh. Kurang tau sih.... Iya, iya.... Nanti disampaikan.... Iya, siap.... Iya. Iya.... Sama-sama, Om." Dipa menutup panggilan itu dengan senyuman. Setelah yakin teleponnya terputus, Dipa menarik napas panjang. "Seperti biasa, Fal, Ndra."

Andra tak bersuara. Ia hanya memasang wajah diamnya seperti biasa. Berbeda dengan Faldi. Ada dahi yang bertautan di wajah laki-laki kurus itu.

Dipa menyimpan kembali ponselnya. "Kita lanjut latihan."

"Kang Bana ... gimana?" tanya Faldi hati-hati.

Dipa tersenyum dengan satu tarikan napas. "Dia akan baik-baik aja. Semoga."


+++++


Kila masih tersenyum-senyum saat ia menyadari tepukan kecil di bahunya. "Eh, iya?" tanya Kila begitu mendapati satu gadis seumurannya tengah memasang ekspresi heran. Sama seperti dirinya, gadis berkucir kuda itu belum ganti pakaian; masih lengkap dengan kaos dan celana pendek. Keringat di bajunya menunjukkan betapa ia bergerak banyak di zumba tadi.

"Lo senyum-senyum sendiri," kata gadis itu sembari ikut duduk lesehan.

Refleks, Kila melirik ke arah seseorang yang menjadi alasannya menarik bibir. Laki-laki itu terlihat bosan. Duduknya di sudut ruang seperti orang malas. Bibirnya ditekuk, tangannya sibuk. Ponsel terus ia mainkan seolah hanya benda itu yang menarik baginya.

"Dia bareng sama lo?" Suara gadis tadi membuat perhatian Kila kembali. Si Kucir Kuda di depannya ikut menoleh dan memerhatikan Bana. "Pantes aja daritadi cewek-cewek sini pada ngelirik sana terus. Zin Dahlia aja ikutan curi-curi tuh. Ada yang bening ternyata." Dagu gadis itu mengarah pada pengajar senam di depan yang tengah duduk selonjoran sambil minum.

Shakila melirik Zin Dahila. Zin; sebutan bagi instruktur senam zumba. "Wah, iya."

"Gue Anya." Gadis itu mengajak Kila bersalaman. Tanpa ragu, Kila menerimanya. "Gue anak kampus sebelah, semester lima, Teknik Lingkungan."

"Eh, sama!" Kila antusias. "Gue juga di kampus itu, Kak. Kila. Astronomi semester tiga."

Tangan Anya dikibas pelan. "Ah. Lo panggil gue Anya aja nggak usah pake Kak."

Shakila tersenyum. "Lo zumba tiap hari apa?"

"Tiap ada Zin Dahlia aja. Lo?" Duduk Anya didekatkan pada Kila.

"Sama lagi. Tapi gue baru beberapa kali."

Anya membuka botol minumnya. "Gue juga belum lama kok. Gue sendirian. Tiap ke sini palingan langsung senam terus pulang. Atau sesekali ikut fitness di ruang sebelah," katanya sebelum meneguk minumannya sampai habis. Tangan Anya kemudian digunakan untuk mengusap peluh di dahi dan sekitaran leher.

Kila tersenyum saat matanya memerhatikan Anya. Gadis cantik itu terlihat sporty dengan otot sedikit kerasan di lengan. Pipi Anya tirus, berbeda dengan pipi Kila yang cukup berisi. Bahkan, kalau Kila boleh terus menebak, berat timbangan Anya pasti lebih ringan darinya. "Kenapa ikutan zumba? Gue liat lo bukan sejenis gue atau ibu-ibu yang ada di sini. Ah, you know lah," ujarnya sembari melihat perut sendiri.

Anya terkikik tanpa suara. "Biar fit. Kebiasaan olahraga juga."

"Oalah." Kila mengangguk-angguk.

"Oh iya, gue perhatiin ... cowok itu vokalis GLYN ya? Bana, kan? Lo siapanya dia?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Kila terdiam cukup lama. Loh, kenapa dia tahu Bana? Bukannya GLYN selama ini nyembunyiin identitas? Shakila Thalia Asri terus memaksa otaknya bekerja. Diliriknya Bana yang masih dalam posisi sama. Apa gue harus jawab jujur? Eh. Sebentar. Jangan. Bana bisa ngapa-ngapain gue ntar!

"Kila?"

Shakila menarik napas panjang. "Gue temennya dia." Akhirnya, Kila menjawab pertanyaan terakhir saja. Kila memilih untuk pura-pura sibuk dengan isi tasnya. "Kayaknya gue mau ganti baju sekarang aja deh."

"Oh. Silakan." Anya mengangguk.


+++++


Motor sport hitam berhenti tepat di depan rumah bercat abu tua. Kila belum turun dari tempatnya duduk, masih tak percaya kalau dirinya dibonceng Bana sampai ke rumah. Punggung bidang Bana masih tepat di depan matanya. Wangi maskulin Bana masih tercium hidungnya. Bukan tanpa alasan Kila diam sepanjang perjalanan. Bana tidak boleh tahu kalau dirinya berusaha mati-matian menjaga jantungnya tetap tenang. Tangan Kila terpaksa menahan punggung Bana agar bagian depan tubuhnya tak langsung bersentuhan dengan laki-laki itu.

"Betah banget duduk di situ," ujar Bana.

Ah, Kila ingin waktu berhenti sekarang juga. Kalau Bana ingin membuatnya malu, Bana berhasil. "Iya, iya." Kila turun dari motor. Tangannya langsung sibuk membuka helm. "Dibilangin nggak usah nganter," cebiknya seraya menyampirkan helm ke depan Bana.

"Emang pulang zumba biasa bareng siapa?"

Jam tangan yang Kila lirik menunjukkan pukul tujuh malam. "Kalau nggak naik angkot yaaa minta jemput Nuno. Kan deket."

"Nuno?" Bana ikut membuka helm, turun dari motor, dan berjalan mengikuti Kila ke dekat pagar. "Siapa Nuno?"

"Kenapa ikutan turun?" tanya Kila mengabaikan pertanyaan Bana. Mendapati Bana tiba-tiba tersenyum dengan ekspresi kucing lucunya, Kila langsung mundur selangkah. "Jangan macem-macem. Aku tau pikiran kamu!" Tangan Kila semangat menunjuk Bana. Tawa Bana yang menyembur membuat Kila semakin takut. "Sumpah. Baru kali ini aku takut liat orang senyum sama ketawa."

Bana menghentikan gelaknya, tetapi tidak dengan senyumnya. "Kamu ber-aku-kamu," kata Bana seperti anak perempuan yang kegeeran.

Mata Kila menyipit. "Udah daritadi dan kamu baru sadar?" Tangan Kila dilipat di depan dada. Bukannya menjawab, Albana hanya terus mengulum senyum. Bukan hanya senyuman biasa kalau Kila yang melihatnya. Entah kenapa, senyum Bana terasa berbeda. Senyumnya seperti punya arti lain. Apa hanya Kila yang melihat senyum Bana mesum? "Aku kan udah kasih LINE ID aku. Mau apalagi? Kamu playboy ya?!"

Bana tertawa lagi. "Kok tiba-tiba bilang playboy?"

"Abisnya rese banget. Bikin deg-degan." Mata Kila terlanjur membelalak saat ia sadar akan ucapannya. Kila akhirnya tidak melakukan gerakan lain selain memalingkan muka. Mampus, La. Mampus! Kelepasannya pinter banget!

"Aku bahkan nggak berani liat cewek senam, Kila."

Belum sempat Kila mencerna kalimat Bana, satu kecupan sudah mendarat di dahinya. Singkat, hampir tak terasa. Ya Tuhan, Kila tahu tempat ini sepi, tetapi kenapa Bana berani sekali? Bukan hanya lupa cara bernapas, Kila pun lupa cara berkedip. Albana Wicaksono lagi-lagi berhasil mengunci tubuhnya. Kila kalah telak.

"Itu hukuman buat orang yang nyuruh aku nemenin senam," kata Bana ringan dengan senyum yang mengembang. "Aku pulang."

Dan Kila hanya bisa mematung. Bana tak pernah sengaja melakukan kontak fisik dengannya sekalipun menyentuhnya seujung jari. Kecuali tadi. Kecuali barusan. Kecupan singkat berhasil membuat jantung Kila terasa akan jatuh ke lantai. Kila merutuki dirinya yang bodoh; hanya bisa menatap punggung Bana menjauh bersama motornya. Oh Tuhan, kenapa tadi Kila diam saja?!

Haruskah sentuhan di antara mereka selalu berupa ciuman?


+++++


Yaaah bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro