4| Tamu
4| Tamu
ISELL TENGAH BERSIUL SANTAI saat pintu kamar Kila terbuka lebar. Dilihatnya Kila yang tersenyum sendiri. Lagi-lagi ada yang mengherankan. Isell sadar beberapa hari ini seorang Shakila Thalia Asri terasa berbeda. Gadis dengan ekspresi terbaca itu paling sulit menyembunyikan sesuatu—setidaknya bagi penglihatan Isell.
Hidung Kila terlihat mengendus-endus. "Wangi, masa." Senyumnya tersungging ke arah Isell. "Lo masak apa pagi ini, Sell? Wanginya kayak wangi...," Hidung Kila mengembang dan mengempis berulang, "saus kacang?" tanyanya memastikan.
Isell yang sibuk dengan rutinitas dapurnya itu mendengus geli. "Nggak usah ngarang deh, La. Ini tauco. Gue tau lo nggak bisa masak. Tapi wangi tauco kan khas. Bumbu kacang juga. Masa sampe nggak bisa bedain?"
Kila duduk di meja makan dengan bibir diketuk. "Tauco itu terbuat dari apa?"
"Kedelai," jawab Isell sembari menyicip masakannya.
"Nah, kedelai kan kacang juga. Kacang kedelai!" seru Kila. Ada nada merasa menang di sana. "Lagian, gue bisa kok bedain. Bedain...," Isel melihat mata Kila yang terangkat, mencari jawaban, "daging, misal. Gue bisa bedain mana yang daging ayam sama mana yang daging sapi. Apalagi kalo dibandingin sama ikan."
Isell tergelak. "Bodo amat!"
"Hidup itu harus seimbang. Lo terlahir jadi tukang masak di rumah ini. Artinya rumah ini emang butuh seseorang kayak gue yang lahir sebagai penikmat masakan." Kila tertawa sendiri di tengah gaya seriusnya. "Iya. Bener banget. Realistis kan jalan pikiran gue?"
"Bodo amat, La. Bodo amat!" Isell masih tertawa saat berjalan menuju meja makan dengan masakan di tangan. "Nih. Buat penikmat masakan alias tukang makan. Tahu Bumbu Tauco!" Isell meletakan piring masakannya.
Kila menjilat bibirnya sendiri. "Kayaknya enak!"
"Apa coba yang nggak enak buat lo?" tanya Isell yang sudah bisa menebak reaksi Kila. Isell tahu makanan yang ia buat selalu bisa membangkitkan selera makan seorang Kila.
Gadis dengan pipi cukup berisi itu tersenyum. "Duh, gue makan mulu nih. Bisa-bisa nambah berlipet aja perut gue!" Kila memegang sekilas perutnya. "Nanti sore padahal gue mau daftar senam zumba loh! Di Balubur Town Square lantai atas ada zumba tiap sore. Gue liat selebarannya pas beli alat tulis di sana."
Isell teringat dengan satu tempat itu. Balubur Town Square atau biasa disebut Baltos cukup terkenal di Bandung sebagai tempat dengan alat tulis murah. Tempat yang dulunya merupakan pasar tradisional itu kini berubah menjadi mall kecil yang letaknya ada di dekat Taman Jomblo dan Taman Film Bandung, tepat di samping jembatan Pasupati. Isell cukup pergi sejauh 500 meter dari kampusnya untuk menuju ke tempat yang masih di jalan Taman Sari itu.
"Lo mau ikut zumba, nggak?" tanya Kila seraya menyuapkan makanan ke dalam mulut. "Nanti biar kita bareng pulangnya. Gue ambil yang jam setengah lima. Katanya zumba sejam aja udah capek banget! Senam-senam enerjik gitu nanti."
"Zumba ya?" Isell memutar kedua bola matanya, berpikir.
"Jadi itu tuh tempat fitnes sebenernya, Sell. Banyak cowok-cowok yang olahraga di sana. Kali aja lo ketemu abang-abang berotot nan sixpack terus ternyata jadi jodoh lo." Kila terkikik.
"Hmm, ketauan kan ya kenapa lo semangat banget ikut zumba! Mau nyari cowok kan?! Ngaku!" todong Isell yang hanya dibalas kekehan oleh Kila. "Nggak deh. Lo aja. Gue lagi banyak tugas akhir-akhir ini. Ntar malah keteteran."
Kila mengangguk-angguk. "Oke deh. Gue nanti bisa cari temen di sana aja biar nggak sedih-sedih amat zumba sendiri."
Isell menyetujui niat Kila dalam hati. Isell mengakui, bukan hal yang sulit bagi sahabatnya itu untuk mendapatkan teman baru. Di balik kepolosan yang Kila punya, ia memiliki banyak akal. Kila selalu tahu bagaimana cara memulai pertemanannya.
"Seinget gue, hari ini kuliah lo cuman sampe siang. Sebelum zumba mau ke mana dulu?" tanya Isell tiba-tiba.
Isell bisa melihat mulut Kila yang berusaha menahan senyumannya. "Gue ada urusan," jawab Kila tak jelas.
Isell mendelik. Urusan macam apa yang bisa membuat Kila tersenyum seperti itu? Inilah hal yang mengherankannya semenjak konser tempo lalu. Kila sering bilang punya urusan. Namun setiap kali ditanya detail tentang urusannya, Kila selalu menghindar untuk menjelaskan. Isell curiga Kila melakukan sesuatu diam-diam tanpa sepengetahuannya.
Dibandingkan dengan bertanya, Isell memilih pura-pura tidak penasaran. "Ya udah. Kita ketemu lagi nanti malem berarti."
+++++
Kila tidak akan merelakan dirinya untuk menjadi seorang penguntit—kalau saja bukan demi rasa penasarannya yang tinggi. Sudah beberapa hari ini rutinitasnya usai jam kuliah selalu sama. Mengunjungi gedung Teknik Material dan menemui seseorang. Menemui dalam artian tidak yang sebenarnya karena Kila hanya mencari orang tersebut dan diam-diam mengikuti, tanpa memperlihatkan diri.
Tak ada satupun orang yang Kila beri tahu tentang kegiatannya ini, bahkan Isell sekalipun. Bukannya tidak mau jujur pada sahabat sendiri, Kila hanya takut Isell akan berpikir macam-macam atau menceramahinya dari A sampai Z saat tahu hal yang ia lakukan. Terlebih Isell sudah dibuat kecewa oleh GLYN di acara konser sebelumnya.
Hasil dari menguntit seorang Dipayana Samudra dalam lima hari terakhir yaitu: Dipa selalu pergi menuju basement gedung Campus Center Barat setiap sore hari. Dipa akan masuk ke dalam lorong yang ada di basement itu—yang Kila tahu belakangan bahwa di sana ada beberapa sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa.
Kila tidak pernah berani mengikuti Dipa sampai benar-benar ke tempat yang Dipa kunjungi. Apa yang akan ia jawab jika Dipa memergokinya lalu bertanya? Apa yang akan Kila lakukan di sana? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi otaknya setiap malam hanya demi diperolehnya satu alasan.
Hari inilah Kila tahu jawabannya. Ia akan berpura-pura mencari teman. Ya! Ide yang cemerlang. Jika Dipa atau seseorang penghuni kawasan lorong itu bertanya tentang apa yang dicarinya, ia akan menjawab, "Saya cari temen. Namanya Isell. Anaknya suka masak. Dia katanya ke sini. Lalu saya susul. Ada, nggak?"
Tentu saja Kila tidak akan hanya meminta maaf setelah mendapati jawaban tidak ada dari mereka. Dengan ilmu basa-basi yang Kila punya, ia yakin, ia bisa menanyakan apa saja yang menjurus pada GLYN. Atau mata Kila akan menyisir seluruh tempat di sana demi melihat sesuatu berbau GLYN seperti stiker atau apapun itu.
Untuk idenya kali ini, Kila merasa sangat cerdas.
Memasuki lorong yang cukup gelap itu, Kila merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Oh Tuhan, hal gila macam apa yang sedang ia lakukan sekarang? Mengikuti seorang Dipa, tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Kila melihat Dipa masuk ke satu ruangan paling pojok dan menutup rapat kembali pintu itu.
"Lo bisa, La! Lo bisa." Kila menguatkan niatnya sendiri.
Pelan tapi pasti, Kila melangkah ke depan pintu tadi. Keraguan datang di detik-detik terakhir. Tangan berkeringatnya yang sudah terangkat mendekat kenop itu tiba-tiba bergetar sendiri. Hawa dingin menyerang tanpa permisi, menyelimuti sekujur tubuh Kila di tengah keraguannya. Haruskah Kila membatalkan rencananya? Haruskah lima hari penguntitan yang ia lakukan berakhir sia-sia?
Saat itulah pintu terbuka.
Bukan. Bukan Kila yang membukanya.
Seorang pria tinggi berkacamata dengan rambut mohawk berantakan berdiri tepat di depan gadis itu, tengah menggenggam kenop pintu dari dalam. Untuk beberapa saat, Kila dan laki-laki itu saling bertatapan tanpa ekspresi.
Kila belum menemukan kesadarannya sampai satu detik, dua detik, tiga detik kemudian kakinya terasa kesemutan. Dia si pencium itu! Tiba-tiba oksigen dirasa berkurang banyak di sekitarnya. Jangankan untuk menggerakkan tubuh, bahkan hidungnya sendiri seperti tak punya kekuatan untuk meraup udara.
Kila belum mempersiapkan diri. Tak pernah terbayangkan dalam benaknya pertemuan dirinya dengan si laki-laki itu akan dalam keadaan tak terduga seperti saat ini, bahkan sedekat ini! Apa yang harus Kila lakukan sekarang? Haruskah ia melemparkan rasa kesalnya yang tertunda dengan memaki, mengumpat, atau sejenisnya? Adakah kekuatan dalam tubuh Kila untuk melakukan itu semua?
"Hai," sapa laki-laki pemilik bibir tipis itu seraya tersenyum memamerkan kedua lesung pipinya.
Ini bukan kali pertama tubuh Kila terkunci.
Ini bukan kali pertama Kila harus menahan napasnya.
Seperti malam penciuman itu, lagi-lagi pria di hadapannya berhasil membuatnya tak berkutik. Segala kata umpatan atau makian lenyap begitu saja. Tak berbekas, tak bersisa. Segala skenario yang telah Kila buat di kepala seolah menguap semua di udara.
"Siapa, Kang Bana?" tanya seseorang dari arah dalam.
Untungnya Kila masih punya cukup kesadaran untuk mengingat bahwa seorang laki-laki dengan rambut gaya mangkuk yang bersuara itu merupakan laki-laki yang pernah dilihatnya di konser tempo hari. Ada Dipa dan satu orang berambut mangkuk serupa juga di dalam ruangan—tengah menatap Kila dengan wajah keheranan.
Sebentar, sebentar. Sepertinya Kila melupakan satu hal. Apa tadi katanya? Kang ... Bana?
"Tamu gue, Fal!" jawab laki-laki di depan Kila dengan sedikit tolehan ke belakang.
Tamu? Otak Kila sulit mencerna apa yang ia dengar. Segala macam pertanyaan terasa sesak merasuki kepala. Ia masih berusaha menghubungkan potongan-potongan puzzle yang ia dapat untuk sebuah kemungkinan jawaban. Namun apa daya, segala hal mengejutkan ini terlalu hebat menghancurkan daya pikirnya.
"Mau ... masuk?" tanya pria kacamata itu ringan tetapi cukup untuk membuat jantung Kila terasa akan jatuh ke lantai.
Oh Tuhan, jawaban apa yang akan Kila lontarkan?
+++++
---------------
Part 4, yeay!
aku akan memberikan dedikasi part selanjutnya untuk orang yang komentarnya paling menarik di part ini :3
komen di Splash belum dibales. waktu kosongku kupake buat ngetik ini. nanti kubales kok sabar ya hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro