23| Tembok Runtuh
Aku mau tanya pendapat tentang #annychallenge2 nih. Ada di akhir. Di bawah. Cek abis baca cerita part ini ya ^^
Ugh, aku suka sama foto Bana yang di mulmed.
--
23| Tembok Runtuh
"KALIAN NGGAK ngerasa kecepetan?"
Kila, yang baru saja menutup pintu kamarnya, langsung menoleh. "Cepet gimana?"
Isell mengangkat bahu. "Elo. Sama si Bana Bana itu. Agak drama aja rasanya. Pertama ketemu, dia cium lo. Terus, setelah seolah ilang berbulan-bulan ditelan tanah kering—kayak lagu dia—dia dateng lagi ke lo dengan segala pendekatan yang gue merasa aneh denger ceritanya. Apa namanya? Klise. Gue yakin dia anggep lo lebih dari temen. Tapi, gue juga nggak yakin dia serius sama lo. Entahlah. Feeling aja."
Kila tertawa kecil, salah fokus. "Sok tahu banget. Judul lagu dia itu Tanah Sepi. Please."
"Dan kenapa kalian sekarang jadi deket lagi? Setelah yang dia bilang waktu itu? Really, Kila? Segampang itu dia minta maaf?" Isell melipat kedua tangannya di dada sembari bersandar ke tembok dekat dapur. Matanya masih terlihat berpikir saat Kila menatapnya sebelum menuju kulkas.
"Menurut gue nggak. Why not kalau misalnya semua kerasa cepet? Bahkan dua orang yang nggak saling tahu nama pun bisa cepet deket kalau di antara mereka ada chemistry."
"Jadi, maksud lo, kalian punya chemistry?" Isell tertawa mengejek. "Dua orang yang bisa cepet deket-padahal-nggak-saling-tahu-nama itu cuma ada di film-film. Atau novel roman picisan."
Kila mereguk air dingin dari gelas miliknya di kulkas. "Kata siapa? Gue sering ngalamin kok. Dan ini nggak sepicisan yang lo kira. Ini nyata. Itu loh. Misal, gue dan tukang cilok telur di gerbang Seni Rupa. Gue sama dia jelas aneh kalau saling tanya nama. Kami nggak tahu siapa nama kami. Tapi, bukan berarti kami nggak bisa saling ngobrol pas dia bumbuin cilok pesenan gue kan? Gue tahu penjual itu udah nikah dan punya anak balita umur 3 tahun. Dia tahu gue sering ke Boscha buat ngintipin bintang."
"Jadi, maksud lo, lo sama tukang cilok telur punya chemistry?"
Kila tertawa. "Gue udah bro banget sama mamang itu. Kadang dikasih bonus kalau beli."
"Lo mau nyamain tukang cilok telur sama Bana?"
Kila tertawa lagi. "Nggak semua orang akan nikah setelah pacaran bertahun-tahun. Nggak semua orang harus ketemu dan merasa cocok sama orang dengan cara biasa. Ada yang dijodohin, dikenalin mantan pacar, ketemu online, cinlok di lokasi syuting. Banyak loh. Mungkin rasanya drama, tapi itu bener kejadian. Sama kayak kita ngerasa pembunuhan bayi itu drama banget, padahal beneran ada. Bahkan bisa jadi ada di sekitar kita."
"Rasanya creepy, La." Isell menyipitkan matanya. "Lo nggak sadar-sadar. Lo nggak takut deket sama Bana? Dia cium lo saat kalian belum saling kenal. Inget. Dia cium lo tiba-tiba. Itu ... beneran ... nakutin."
"Iya ya?" Mendengar kata 'cium', Kila cengengesan.
"Ya Tuhan. Dan sekarang ekspresi lo udah beda saat inget kejadian itu. Dulu, lo kesel kalau gue ingetin. Lo malu. Ugh. La, itu creepy. Serius. Sekarang, si cowok creepy itu lagi-lagi deketin lo. Padahal, sebelumnya, udah kayak gitu. Seenaknya deketin, seenaknya jauhin. Feeling gue nggak bagus."
Kila diam beberapa saat.
"La?"
"Gue mungkin ngerti saat lo sering punya feeling. Tapi, lo inget, Sell? Feeling lo nggak selalu bener, walaupun emang sering bener. Feeling lo nggak enak pas nyokap lo naik haji. Tapi nyokap kan selamat sampai pulang. Dan kayak lo, saat ini, entah kenapa, gue punya feeling juga. Gue merasa Bana nggak sejahat yang dibayangkan. Gue nggak tahu ini semacam chemistry atau apa namanya, tapi gue merasa benar saat bareng dia."
"Sama kayak lo merasa benar pas ngobrol bareng tukang cilok telur?"
Kila tergelak, tetapi juga mengangguk mantap. "Bisa. Sama kayak gue merasa benar pas ngobrol bareng tukang cilok telur. Atau mungkin merasa benar yang lebih dari itu."
Begitu Isell tak merespons kalimat terakhir Kila, ia bernyanyi lagi. Lagunya masih sama, masih Perahu karya Bana. Bukan hanya Isell yang mendengar lagu itu berulang-ulang-ulang. Kila menyanyikannya hampir di setiap tempat.
Anya, satu-satunya yang jadi teman Kila di tempat zumba, sampai bertanya asal lagu yang Kila nyanyikan. Tentu saja Kila hanya mengaku itu lirik lagu milik temannya. Begitu juga pada Putri, Nika, dan Melati. Ketiganya sampai bosan saat Kila menyanyikan itu sepanjang makan siang. Sedangkan, Nuno hanya menyindir Kila dengan menyetel radio keras-keras. Itu Nuno lakukan agar Kila diam.
Sayangnya, bagi Kila, menyanyikan lagu Perahu terasa lebih menyenangkan dan tak bisa ditahan dibanding mendengarkan teguran teman-temannya.
"Bana jadi ke rumah? Jadi ikut mancing?" Isell bertanya sembari mengemas barang-barangnya di sofa. Binder, pouch isi alat tulis, charger, dompet, semua masuk ke dalam tas tangannya. "Gue masih heran kalian beneran bisa janjian semacam ini."
Senyum Kila semakin merekah. Wajahnya super ceria seperti anak SD yang semangat saat masuk sekolah pertama kali. "Yap. Tadi sih di Line bilangnya lagi mau jalan. Dia abis dari tempat Kak Dipa dulu. Eh? Oh iya, lo sama Kak Dipa gimana?"
Isell mengenakan jaket himpunannya. "Ya deket biasa aja, La. Dia masih bantuin proyekan himpunan gue. Gue kenalin dia sama ketua Divisi Pengembangan Bakat. Terus, kadiv gue itu jadi banyak tanya-tanya masalah musik sama dia. Gue seolah jadi penghubung mereka berdua. I admire him. Dipa itu orang yang pantes buat gue kagumi. Dia beneran profesional dan baik."
"Gue setuju." Kila mengangguk-angguk. "Kak Dipa itu sosok kakak idaman."
"Jadi, Bana beneran bakal ikut mancing? Really?" Kembali ke topik sebelumnya.
Senyum Kila juga kembali seperti tadi. "Udah. Lo pergi sana. Katanya mau rapat himpunan jam sebelas? Tiga puluh menit lagi loh. Keburu siang, keburu panas di jalan."
Isell cemberut. "Nanti cerita ya! Awas kalau nggak. Salam sama Ibu sama Ayah."
Kila mengiyakan dan menyuruh Isell hati-hati di jalan saat sahabatnya itu melangkah menuju pintu keluar.
Bana mau ke rumah.
Hanya dengan mengingat itu, pipi Kila terasa pegal. Ia tersenyum terlalu lebar.
Seperti apa kata Isell, sejak dua hari lalu ia bertemu dengan Bana di Balubur Town Square, mereka memang jadi dekat. Tidak sedekat yang dibayangkan Isell sebenarnya. Kila belum bertemu Bana lagi. Namun, sejak hari itu, ia dan Bana tak pernah putus mengobrol di Line. Bana yang pertama kali mengontaknya.
GLYN pilih lagu Perahu buat audisi nanti.
Itu kalimat pertama percakapan mereka.
Selanjutnya, Kila lebih banyak bertanya tentang audisi itu. Seperti kapan tanggalnya, bagaimana sistemnya, bagaimana jadwal latihan GLYN, atau bagaimana acara audisi semacam ini biasanya. Walaupun Bana dan Kila tidak saling balas on time, alias percakapannya dibalas minimal satu jam sekali, percakapan tetap tak pernah putus. Kila balas jam lima sore, Bana balas setengah tujuh. Lalu, dibalas lagi oleh Kila pukul setengah 8. Terus saja seperti itu.
Percakapan berlanjut. Kila bercerita tentang acaranya hari ini. Bana bilang ini menarik. Sampai kemudian, Kila berani menawarkan Bana untuk bergabung dengannya. Mancing. Ajakan yang rasanya aneh dari seorang perempuan ke laki-laki, tetapi ini benar-benar Kila lakukan. Mereka akan pergi memancing setelah bertemu di rumah Kila.
Setidaknya, sekarang lebih baik.
Kila tak lagi memusingkan segala tanda tanyanya untuk Bana. Ia cukup menikmati hubungan mereka sekarang. Mungkin ini hanya masalah waktu. Seperti apa yang ia niatkan, ia akan membiarkan Bana yang bergerak. Kalau dia sayang, dia datang. Itu kata Nuno.
Suara bel menyadarkan Kila dari lamunan. Ia tersenyum dan langsung menuju pintu.
"Hai," sapa Bana disertai lesung pipi manisnya.
Iya. Manis kalau kata Kila.
Hari ini, Bana terlihat lebih fresh dan rapi. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak biru navy dengan lengan digulung. Rambutnya masih berantakan seperti biasa. Kacamatanya masih membuatnya terlihat dua kali lipat lebih manis seperti biasa. Justru, celananya yang tidak seperti biasa. Jeans hari ini tanpa robek sama sekali. Tumben, pikir Kila.
"Masuk dulu. Ibu sama Ayah masih di jalan. Mau aku buatin sesuatu?"
Bana masuk mengikuti langkah Kila. "Hari ini nggak bikin ketawa lagi?"
Kila berbalik sebentar. "Ketawa?"
"Itu. Baju kamu nggak kebalik lagi."
Butuh beberapa detik untuk Kila tersadar kalau Bana sedang mengejeknya. "Ugh. Ngeselin."
Mereka berjalan ke meja bar dekat dapur. Bana duduk di salah satu kursinya, sedangkan Kila terus melangkah menuju kulkas.
"Ada sesuatu yang pengen kamu minum?" Kila bertanya tanpa menoleh. "Tapi, di kulkas cuma ada kantung teh, susu bubuk, sama kopi instan." Kila menoleh dan melemparkan senyum jahilnya ke arah Bana. "Aku cuma bisa tawarin tiga minuman itu. Atau mungkin dua. Soalnya kopinya mau habis. Tinggal remahnya."
Bana tertawa. "Empat."
"Apa?"
"Air mineral?"
Kila tertawa. "Okay. Aku anggap kamu mau itu."
Setelah mengambilkan gelas berisi air es untuk Bana, Kila duduk di depan laki-laki itu.
"Makasih, Kila." Saat Kila hanya diam dan terlihat tak mengerti dengan ucapan Bana, Bana melanjutkan, "Seseorang pernah ngajarin aku buat ngucapin makasih sama orang lain."
Kila tertawa. "Ingatan kamu bagus."
Beberapa menit berlalu dalam diam. Kila merasa Bana terus memerhatikannya, tetapi ia tak mau kegeeran. Kila pura-pura mengecek ponselnya, membuka akun Instagram. Bana masih melihatnya. Kila tahu itu. Rasanya aneh ketika ia merasa seorang lelaki menatapnya begitu intens. Dan lebih aneh lagi ketika ia harus pura-pura tak sadar. Kila yakin Bana tahu Kila tengah pura-pura. Namun anehnya, Bana justru seperti semakin terang-terangan menatapnya. Selain jantung Kila jadi tak keruan, Kila pun semakin salah tingkah.
"Salah nggak kalau ada orang yang kasih kesempatan buat diri mereka sendiri seneng?"
Kila mendongak dan akhirnya berani membalas tatapan Bana. Mata itu terlihat sekarat. Tidak seperti Bana yang biasa ia lihat. Anehnya, Bana tampak lebih manusiawi dengan mata ini. Tak ada tameng, tak ada topeng. Pandangannya seolah pasrah dan meminta pertolongan. Ada apa dengannya?
"Kenapa salah?" Kila mendeteksi arah pembicaraan Bana dari mata itu.
"Karena manusia banyak minta. Bahkan saat rasanya mereka nggak pantes minta itu."
Tak ada tanda-tanda yang bisa dimengerti Kila. Ia tak paham dengan maksud Bana, tetapi enggan untuk bertanya. Bana bukan orang yang bersahabat dengan pertanyaan. "Tiap orang wajar cari kebahagiaan buat diri mereka sendiri."
"Bukannya itu egois?" Bana bertanya dengan nada pelan, hampir berbisik.
Kila diam. Ia memikirkan kalimat Bana, entah itu maksudnya, sasarannya, atau apa pun. Apa Bana tengah membicarakan dirinya sendiri? Atau ini menyangkut orang lain? Lantas, kenapa pertanyaannya begitu? Dan kenapa tatapannya begitu? Apa ini berhubungan dengan semua hal yang Bana sembunyikan?
"Kila...."
Kila menelan ludah. Bana tengah manatapnya dengan pandangan teduh. "Iya?"
"Aku suka musik. Suka ngomongin apa aja yang berhubungan dengan musik. Lebih suka tempat sepi dibanding ramai dan seneng kabur ke tempat tinggi sendirian. Biasanya, aku cari atap. Aku juga bukan orang yang tahu banyak soal buku. Tapi boleh kalau mau diajak ngomongin makanan. Makanan kesukaanku daging sapi. Dan aku benci rokok."
Kila diam lumayan lama. Ia tercengang. Antara bingung dan takjub dalam waktu bersamaan. Apa maksudnya? Kenapa Bana tiba-tiba membicarakan itu? Apa hubungan ucapannya barusan dengan pertanyaan sebelumnya? Sampai kemudian Kila teringat dengan percakapannya dan Bana dua hari lalu di eskalator.
"Kurasa..., aku bakal nemenin dia ngelakuin hal lain yang dia suka juga. Misalkan, kalau dia seneng ngobrolin buku, aku akan ajak dia ngomongin itu. Kalau dia suka bahas makanan, aku bisa ajak dia bahas itu. Hm, aku nggak tahu banyak tentang buku sih. Tapi, semoga dia suka makan. Soalnya aku suka makan."
"Karena aku nggak tahu cara menghibur. Lagipula, yang namanya sedih tetep sedih. Tiap orang punya kesedihan masing-masing. Apa yang sedih menurutku, belum tentu sedih menurut si A. Apa yang sedih menurut si A, bisa jadi nggak seberapa bagi si B. Tapi, semuanya tetep menyedihkan bagi yang mengalami. Seenggaknya, aku bisa nemenin dia ngomongin hal-hal menyenangkan. Menyenangkan bagi dia kan artinya harus yang dia suka juga. Aku harap itu jadi salah satu cara buat bikin dia bahagia."
Saat itulah perlahan Kila tersenyum.
Tembok tinggi yang menjulang mulai runtuh perlahan. Kila masih bertanya-tanya. Apakah Kila berhasil meruntuhkan pembatas di antara mereka? Atau mungkin Bana yang sudah mulai nyaman membuka diri padanya? Apa pun alasannya, Kila tetap menjadi pemenang di sini. Mendesak Bana dengan pertanyaan, bukan cara yang akan berhasil. Justru, saat Kila tak bertanya sama sekali, Bana datang sendiri. Kenapa tidak dari dulu saja Kila diam? Sungguh, berusaha mengerti Bana adalah hal yang membingungkannya.
Kila masih tersenyum. Ia sampai harus mati-matian menahan senyumnya karena malu jika Bana tahu kalau dirinya langsung bahagia. "Okey." Kila berdeham. Ia mereguk minumnya sekali, mengusir rasa salah tingkah. "Kita bisa ngomongin musik. Atau bahas makanan dari daging sapi. Aku juga suka itu."
Bana menggaruk tengkuknya sembari mulai tersenyum manis. Maniiis sekali, menurut Kila.
"Jangan senyum kalau sebenernya kamu lagi nggak mau senyum." Kila mengingat tatapan sekarat Bana sebelumnya. "Seenggaknya, jangan senyum depan aku."
Senyum Bana perlahan memudar. Mimiknya sulit Kila tebak.
"Kenapa kamu suka aku main musik?" Bukannya menanggapi ucapan Kila, Bana melemparkan pertanyaan lain.
Kila diam sebentar, merangkai jawaban tepat untuk membuat Bana lebih termotivasi. Kila suka Bana main musik. Kila tak mau Bana berhenti. "Karena ... kamu seolah hidup untuk itu. Kamu se-passion itu."
Tangan Bana meraih gelas di meja seolah menumpukan keraguannya di sana. "Apa bedanya dengan pemusik lain? Penyanyi lain? Pemain bass lain? Sama-sama pakai senar dan sama-sama dipetik, sama-sama ngeluarin bunyi."
"Oh, beda. Jangankan main bass atau nyanyi, dua orang yang goreng tempe yang sama bahkan bisa bikin tempe goreng yang beda."
"Tempe goreng?" Bana mengerutkan dahi, terlihat kebingungan.
"Isell kalau goreng tempe selalu dipotong tipis dan digoreng agak kering. Ibuku beda lagi. Biasanya, ibu potong tebal-tebal dan dibikin nggak terlalu kering. See? Padahal sama-sama goreng tempe, yang tinggal potong, celup air garam, lalu goreng. Tapi, mereka berdua bisa punya ciri khas sendiri. Apalagi orang yang berkarya kan? Karya nggak akan jadi sama kalau dibuat dengan ciri khas yang beda."
Mendapati Bana hanya diam, Kila menambahkan, "Jangan aneh kalau kamu nemuin aku kayak gini. Aku kadang suka menganalisis."
Bana tersenyum. Lesung di kedua pipinya muncul. "Menganalisis tempe goreng?"
"Karena tempe goreng enak." Kila tertawa. "Soalnya, tiap orang itu beda-beda banget. Jadinya unik. Jangankan untuk orang yang berkarya. Bahkan, makanan pun ada seninya. Ada bedanya. Jangankan untuk yang masak, penikmat makanan juga beda-beda kan? Ada yang suka makan pakai bawang goreng, ada yang benci bawang goreng. Itu contoh."
"Kamu suka bawang goreng?"
Kila mendelik. "Kamu tuh ya. Dari tadi aku bahas panjang lebar, terus kamu selalu aja salah fokus. Dasar Mr. Salah Fokus." Kila cemberut. "Kamu nangkep maksudku, nggak?"
"Nangkep." Bana mengangguk.
"Terus?"
"Aku tanya kamu suka bawang atau nggak karena katamu, dua hari lalu, kita bisa bahas sesuatu yang lawan bicara kita suka. Sesuai diri mereka. Sedangkan kamu suka makan. Aku bahas apa yang kamu suka. Kalau kamu nggak suka bawang, suatu hari nanti, kalau kita makan bareng, aku nggak akan kasih itu."
Kila membuang muka sembari mati-matian menahan senyum. Apa hanya Kila yang merasa barusan Bana begitu lucu? Begitu manis? Bana tidak hanya mau membuka diri, tetapi juga mulai terang-terangan mencari tahu hal-hal yang Kila sukai. Ada apa dengan Bana hari ini?
"Tadi bete, sekarang senyum sendiri." Bana menyindir.
Kila pura-pura kesal, walaupun bibirnya masih sulit menahan senyum. "Apaan sih? Dasar Mr. Salah Fokus."
"Panggilanku ganti lagi?" Bana mendengus, tampak ikut pura-pura kesal. "Kamu suka banget ganti-ganti nama panggilan orang."
"Biarin. Dibanding kamu, sukanya bikin baper." Eh! Kila langsung menutup mulutnya rapat dan cepat-cepat menunduk, merasa bodoh karena terang-terangan jujur di depan Bana. Pinter banget mulut gue! Ampun deh!
Bana tergelak. "Dasar polos-polos modus."
+++++
---------------
Part 23, yeay!
Aku ada beberapa info nih. Siapa tahu infonya bagus.
(1) Biasanya aku nggak nyetok novel Origamiara. Kalau ada yang mau beli, selalu aku sarankan langsung ke toko buku. Tapi, sekarang, kebetulan aku punya beberapa buku nih. Kalau ada yang mau beli di aku, chat lewat line langsung ya! ID-ku: rezzadwiecha. Harganya Rp. 58.000 (bonus gantungan kunci, TTD+ucapan (kalau mau))
(2) Kalau aku menerbitkan novel lagi, ceritaku yang mana yang paling pengen kalian punya bukunya? Atau nggak ada? Wkwkwkwk.
(3) Kalau aku buat cerita tentang Dipa-Isell-Nuno, ada yang mau baca?
(4) Aku mau ngadain #annychallenge2 nih. Menurut kalian, mending ngapain challenge-nya?
Rencana sih mau berhadiah voucher buat beli novel ehehehe tertarik, nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro