22| Awkward
Hehehehehe. Aku update xD
Semoga suka! Soalnya yang aku rasain biasanya kayak kalimat Bana di bagian akhir part ini :')
-----
22| Awkward
Bersandar kita pada rasa nyaman
Dekatlah kita tanpa kejelasan
Rasa kita seperti ilusi
Datang dan pergi tanpa permisi
Lambat laun berubah menjadi obsesi
Lalu mencuat akar emosi
BIBIR KILA TAK BERHENTI. Ia terus menyenandungkan lirik Perahu milik Bana. Sebesar-besarnya rasa sebal Kila terhadap sikap Bana tempo lalu, pikirannya tidak bisa berbohong. Bana ada di kepalanya dengan setumpuk pertanyaan. Kapan saja ia senggang, lelaki pemain bass itu selalu muncul. Seperti sekarang, saat Kila tengah berjalan di dekat jam gadang kampus menelusuri jalan teduh.
Lirik Perahu sulit hilang dari kepala sesulit hilangnya bayangan Bana.
Kila berhenti sebentar di depan toko koperasi kecil yang sesak oleh banyak orang. Ia ikut mengantre di ATM samping koperasi itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Wajahnya menyiratkan seolah ia tengah berpikir keras.
"Heran. Kenapa seolah jadi bikin adiktif kayak gini?" Kila berbicara sendiri.
Orang di dalam bilik ATM keluar. Awalnya Kila tak sadar sampai suara dehaman lelaki di belakang Kila mengingatkannya untuk menempel antrean depan. Kila langsung maju selangkah dan kembali menunggu dengan otak sibuk.
"Nggak boleh banget penasaran sama sesuatu. Nyaris gila dan rasanya kadar penasaran gue udah hampir bikin kepala mau meledak."
Dehaman di belakang terdengar lagi. Cukup dekat dengan telinga Kila sampai ia merasa risih. Kila langsung maju ke depan lagi untuk menempel antrean. Kerisihan itu tak berhasil mengalihkan pikiran. Kila masih sibuk mempertanyakan banyak hal di kepalanya. Kenapa Bana mengatakan tiga kata itu? Ada yang salahkah dengan mereka berdua? Apa sekarang hubungan mereka selesai?
"Dan kenapa gue masih nggak berhenti mikirin itu?"
Dehaman terdengar lagi. Kesal dengan ketidak sabaran orang di belakangnya, Kila berniat menoleh. Ia akan mencari tahu siapa dalang yang berisik sejak tadi. "Mas kalau mau—" Suara Kila tertahan di mulutnya. Matanya tidak mungkin salah melihat. Kepalanya tidak mungkin salah mengingat.
"Kamu emang sering ngomong sendiri ya?" Lelaki itu bertanya dengan suara pelan.
Hening.
Bibir Kila rapat serapat-rapatnya. Mungkinkah Bana ini semacam jin yang bisa muncul tiba-tiba di waktu yang sangat amat tepat? Ah, ya. Kila lupa kalau Bana memang berpotensi muncul dadakan seperti yang sering terjadi sebelum-sebelumnya. Seharusnya Kila tak lagi heran dengan kemampuan munculnya Bana. Dia si Mr. Sulit Ditebak.
"Kamu bisa masuk." Ujung dagu Bana menunjuk bilik ATM di belakang Kila.
Enggan menatap Bana lama-lama, Kila mengalihkan tatapannya ke belakang. Ia adalah orang terakhir yang mengantre dan ATM di sana memang sudah kosong. Kila mengarahkan wajahnya lagi pada Bana—tanpa menatap. Dahi Kila bertautan. "Silakan kalau mau pake duluan. Kayaknya buru-buru banget."
"Aku lebih—"
Kila langsung berjalan ke belakang Bana tanpa aba-aba, memotong kalimat Bana, juga memaksa secara tak langsung untuk Bana segera masuk ke dalam bilik. Kila tak mau tahu bagaimana mimik Bana sekarang. Ia cukup lega saat Bana menuruti apa maunya.
Dia pernah bilang, muka gue transparan. Kalau gue tadi nggak pindah, dia pasti sadar gue panik.
Setelah Bana keluar, Kila langsung masuk. Ia masih enggan menatap Bana. Rasanya pertemuan mereka cukup sampai sini saja. Kalau Bana memang tidak mengharapkan kedekatan mereka, seharusnya penghindaran ini adalah gagasan yang tepat. Selain itu, Kila belum siap mengobrol secara biasa. Kila yakin, ia akan sangat amat salah tingkah.
Usai mengambil uang dari mesin ATM, Kila keluar bilik dengan wajah kaget. Bana masih di sana, menyandarkan punggungnya ke tembok dekat pintu koperasi dengan kedua tangan masuk saku celana. Bana seolah menunggunya.
Mungkin dia masih ada urusan di sini, pikir Kila sembari berusaha berjalan menjauh, tidak acuh pada rasa penasaran di kepalanya. Kila memilih melanjutkan perjalanannya untuk menuju parkiran Seni Rupa. Tanpa diduga, Bana sudah mengikutinya di samping. Mereka berjalan beriringan, seolah memang datang bersama dan akan pergi bersama.
"Mau ke mana?" Kila berusaha sebiasa mungkin.
"Kamu ... mau ke mana?
"Gerbang keluar Seni Rupa." Kila mengabaikan keheranannya akan sikap Bana sekarang. Terlalu banyak hal yang mengherankan. Kila memilih untuk menelannya, menganggap hal-hal yang membingungkan memang wajar melekat pada Bana.
"Beli cilok telur?"
Dia inget curcolan gue yang sering beli itu.
"Bukan."
"Hmm."
Awkward.
Kila membiarkan keheningan ada di antara mereka. Ia tak berniat mengambil kendali obrolan karena ia sendiri masih bingung maksud Bana mengikutinya sekarang. Menunggu dan membiarkan Bana yang bergerak adalah pilihan yang dirasa tepat. Kila tahu Bana bisa agresif dan Kila tak munafik kalau ia menunggu Bana yang maju.
Namun, nyatanya, hening itu masih berlanjut sampai dekat parkiran. Kila beranggapan, orang lain yang melihat mereka berdua jalan sembari diam-diaman ini mungkin mengira mereka sedang bertengkar.
Bana berbelok ke parkiran motor. Kila memilih jalan lain menuju pintu keluar.
"Kila."
Suara Bana menghentikan langkah Kila. Ia menoleh perlahan, tanpa menjawab.
"Aku bawa dua helm."
Terus?
"Hari ini jadwal zumba kan? Aku mau ke arah sana."
Kila mengumpat di dalam hati. Siapa yang kemarin bilang kedekatan mereka salah?
+++++
"Kenapa ikut masuk?" Kila bertanya setelah mereka berjalan melewati beberapa toko di lantai dasar. Sekarang, di sinilah ia dan Bana sekarang. Balubur Town Square. Tempat Bana dulu menemaninya zumba. Tempat Bana dulu mau menunggunya. Belum ada enam bulan, tetapi Kila merasa itu sudah lama sekali.
Bana tidak menunjukkan tanda-tanda akan menjawab. Mereka sejak tadi hanya berjalan, berjalan, dan berjalan dalam diam. Betapa canggungnya. Suasana di antara mereka tak lagi sama dengan sebelumnya. Kemarin, Kila bisa bercerita apa saja pada Bana. Sekarang, terasa begitu sungkan. Sedangkan Bana yang kemarin sering tertawa membodohi Kila, sekarang hanya memasang wajah datar.
Kila diam-diam merindukan gelakan Bana.
Kila merindukan Banananya, kucingnya, harimaunya.
"Silakan...," ujar salah satu penjaga toko baju yang dilewati mereka.
"Dicoba dulu, Teh. Banyak celana dalam sama BH baru."
Hening.
Apa yang harus Kila rasakan ketika jalan dengan seorang laki-laki lantas melewati penjual BH yang dengan lantang menawarkannya? Kila memejamkan mata, sebelum kemudian membukanya kembali dan dengan perlahan melirik ke arah Bana. Ia berharap Bana tak acuh dengan keadaan super aneh saat ini.
"BH lagi diskon, Teh. Boleh dicoba dulu."
Dan Bana ternyata tengah meliriknya dengan kedut-kedut senyum di bibir, bahkan nyaris tertawa. Lesung pipinya seolah memaksa muncul tanpa bisa ditahan. "Kamu mau ... coba?" Telunjuk Bana menunjuk ke arah toko itu.
Saat Kila membelalakkan matanya, pandangan Bana turun, melirik ke arah dada Kila. Refleks, Kila memeluk tubuhnya sendiri demi menutupi daerah yang ditatap Bana. Bukannya merasa bersalah, Bana justru langsung tergelak.
Kila mempercepat jalannya dan Bana mengikuti langkah Kila. Begitu sadar mereka sudah ada di tempat yang cukup sepi, Kila merengut. "Kamu kok mesumnya nggak sembuh-sembuh?" Ya ampun, dia ketawa puas banget! Jadi, dari sekian banyak cara buat balikin ketawa dia, lagi-lagi harus dengan gue yang malu?
"Kamu nggak beli?" Bana masih menggodanya. Lesung pipinya semakin tercetak jelas.
"Diem kamu!"
Bana tertawa semakin kencang.
"Kamu seneng banget ngetawain kebegoan aku." Kila cemberut.
Setelah tawa Bana reda—yang ternyata agak lama, Bana berujar, "Kamu nggak berubah. Kila masih Kila."
Pikiran kamu yang gampang berubah! Belum sebulan kamu bilang kedekatan kita salah, sekarang pamer lesung pipi lagi. Tebar pesona lagi. Bikin kesemsem lagi. Bikin kesel lagi.
Itu kalimat paling berani jika berhasil Kila ucapkan saat ini. Sayangnya, ia bukan Isell yang bisa sarkastik.
Gue udah bilang ke Isell kalau gue nggak seharusnya kayak anak kecil yang kalau ketemu orang di masa lalu jadi menghindar. Itu kekanak-kanakan. Kalau Bana bisa bertindak seolah kita berdua nggak ada apa-apa, atau emang nggak ada apa-apa, gue juga seharusnya bisa.
"Menurut kamu, aku emang bisa berubah jadi apa? Spiderman?" Kila mencoba melucu, walaupun sebenarnya tidak lucu.
"Aku lebih suka Iron Man. Kamu bisa berubah jadi Iron Man?"
"Biar apa? Biar kamu bisa suka sama aku?"
Eh!
Eh! Eh! Eh!
Pinter banget, La, keceplosannya. Pinter banget. Bener kata Bana. Gue ini kok kayak polos-polos modus! Aduh, please, itu nggak sengaja.
Kila berdeham, berusaha meredakan kecanggungan. "Aku harus naik. Kecuali kamu seneng lihat aku telat." Awalnya Kila berniat menambahkan 'kamu mau ikut?', tetapi batal karena kalimat itu terasa agresif sekali. Jual mahal dikit dong, Kila.
Kila mulai meneruskan langkah kakinya, mengarah pada eskalator terdekat.
"Kenapa kamu ikut zumba?" Bana masih mengikuti Kila, bahkan tanpa ajakan.
"Karena aku suka." Tentu saja Kila tidak menjawab 'karena ingin kurus'. "Ugh, zumba itu olahraga paling menyenangkan menurutku! Nari-nari, gerak, ngeluarin tenaga yang kadang bisa jadi pelampiasan emosi, terus sekalian berkeringat. Paket komplit kan? Bikin bahagia dengan cara sehat."
"Kamu suka?"
"Iyap. Aku suka."
"Kayak kamu suka Astronomi?"
"Hmm..., itu dua hal yang aneh buat dibandingkan. Tapi..., ya bolehlah."
Bana mengangguk. "Kamu selalu lakuin hal-hal yang kamu suka."
"Nggak aneh kan kalau aku berkutat dengan hal yang aku sukai? Otak manusia kan pada dasarnya selalu fokus dengan dua hal, mencari kenikmatan atau menghindari kesengsaraan. Rasanya wajar kalau aku tertarik berkutat di bidang yang aku seneng. Seolah aku emang cari kenikmatan di sana. Aku cuma berusaha jadi diri aku."
Hening cukup lama saat eskalator mulai naik dan Bana ternyata memilih berdiri di tangga yang sama. "Kamu beruntung nggak masuk ke dalam bagian orang-orang yang nggak tahu hal apa yang mereka mau atau yang mereka suka."
Lengan Kila terasa menghangat saat tak sengaja bersentuhan dengan lengan Bana. Sulit menjaga jarak pada anak tangga dengan lebar terbatas ini. "Kamu juga kan? Kamu suka musik. Aku bisa lihat cara kamu main bass dan cara kamu nyanyi. Kamu bahagia. Kamu seneng. Bahkan aku yang cuma lihat bisa ikut ngerasain power itu."
Zumba ada di lantai paling atas. Kila, yang baru di lantai 2, mau tak mau harus berjalan mencari eskalator lain. Herannya, Bana masih saja mengikutinya.
"Gimana dengan orang-orang yang nggak bisa ngelakuin hal yang mereka suka?"
Kila berpikir sebentar. "Itu menyedihkan."
"Hm. Menyedihkan."
Kila menemukan eskalator yang dicarinya. Ia sadar, Bana masih ikut naik, juga memilih berdiri di tangga yang sama dengannya lagi. Ini hal sederhana yang mengherankan lainnya dari sekian banyak hal mengherankan yang melekat pada Bana. Dia tahu cara bikin cewek penasaran bahkan dengan usaha kecil. Ngeselin kan?
Kila mengangkat bahu. "Tapi sering kejadian sih. Orang-orang takut miskin, takut dipandang rendah, takut nggak bisa bergengsi. Banyak yang memilih menekuni bidang yang lebih menghasikan dan keren kata orang, cuma karena tiga hal itu. Mirisnya, mereka nggak memikirkan apa yang membuat bahagia."
Bana diam. "Gimana dengan orang-orang yang nggak bisa lakuin hal yang mereka suka karena kondisi? Karena situasi? Atau karena ... paksaan pihak luar? Misalkan, orang yang siang-malam kerja kantoran padahal mereka benci itu."
Dengusan napas keluar perlahan dari mulut Kila. "Itu ... paling menyedihkan dari yang menyedihkan."
"Hm." Bana menghentikan langkahnya tepat di ujung tangga. Tak ada orang lain di eskalator itu. "Gimana kalau orang yang kamu kenal mengalami itu?"
"Itu pertanyaan sulit."
"Kamu nggak bisa jawab."
"Sulit kan bukan berarti nggak bisa." Kila menekan dagunya dengan satu telunjuk. "Kurasa..., aku bakal nemenin dia ngelakuin hal lain yang dia suka juga. Misalkan, kalau dia seneng ngobrolin buku, aku akan ajak dia ngomongin itu. Kalau dia suka bahas makanan, aku bisa ajak dia bahas itu. Hm, aku nggak tahu banyak tentang buku sih. Tapi, semoga dia suka makan. Soalnya aku suka makan."
"Kenapa?" Bana berjalan lagi, mengimbangi Kila yang sudah mulai melangkah. "Kamu nggak hibur dia? Kan yang dia alami menyedihkan."
"Karena aku nggak tahu cara menghibur. Lagipula, yang namanya sedih tetep sedih. Tiap orang punya kesedihan masing-masing. Apa yang sedih menurutku, belum tentu sedih menurut si A. Apa yang sedih menurut si A, bisa jadi nggak seberapa bagi si B. Tapi, semuanya tetep menyedihkan bagi yang mengalami. Seenggaknya, aku bisa nemenin dia ngomongin hal-hal menyenangkan. Menyenangkan bagi dia kan artinya harus yang dia suka juga. Aku harap itu jadi salah satu cara buat bikin dia bahagia."
Diam beberapa saat sampai Bana menarik senyum hambar. "Kamu mengejutkan. Itu bagus, tapi juga nggak bagus." Mata Bana meneduh saat sedikit menunduk, terlihat lemah dan pasrah dalam waktu bersamaan. "Dan kamu tahu cara menghibur."
Kila ingin menanyakan maksudnya, tetapi ia tahan. Eskalator terakhir sudah ia naiki dan Bana ternyata masih tetap berjalan di sampingnya. Entah karena apa.
"Tugas KWN udah aku kumpulin minggu lalu." Kila mencari topik lain. "Semua aku usahakan sesuai dengan konsep kita di awal. Aku udah pastiin nama kita tercantum di daftar mahasiswa yang mengumpulkan tepat waktu."
Kila mendapati Bana menatapnya dengan tampang merasa bersalah. "Maaf. Aku ... lupa tugas kita."
Kila mengangkat bahu. "It's okay. Nggak banyak yang aku tambahin kok. Aku cuma revisi beberapa hal. Aku udah cari kamu di kelas, tapi kamu nggak pernah masuk." Kila ingin menanyakan alasan Bana bolos lagi, tetapi kembali ia urungkan. Ia menghindari dirinya banyak bertanya, tak ingin seperti sebelum-sebelumnya.
"Thanks."
Kila anggap respons singkat Bana sebagai tanda kalau Bana masih saja belum mau membuka diri. Lagipula, siapa Kila sampai-sampai ingin Bana menceritakan semuanya? Kila tahu, ia bahkan tidak punya hak untuk itu.
"Kamu di kelas cari aku?"
Kila menoleh, mendapati mata Bana yang tak jauh darinya. Ini kali ketiga mereka berdiri di satu tangga yang sama, berdekatan, dengan sisi lengan saling bersentuhan yang mengalirkan degupan tersendiri untuk jantung Kila. Kila memalingkan pandangan, enggan menatap lama-lama. "Aku kan cari kamu karena tugas."
"Oh karena tugas."
Diam beberapa saat sebelum Kila bertanya, "Kamu ikut naik karena mau zumba juga?"
Bana tak menjawab. Mereka kemudian hanya meneruskan perjalanan dalam diam. Begitu tiba di dekat belokan menuju tempat zumba, Bana berhenti. Kila ikut mengakhiri langkahnya, memberanikan diri menatap Bana.
"Aku mau anterin kamu. Juga minta maaf. Kalimat aku sebelumnya, waktu itu, mungkin berlebihan." Bana tersenyum tipis dengan pandangan yang sulit Kila artikan.
Kila tahu maksud dari waktu itu yang diucapkan Bana. Juga kalimat di kali terakhir mereka bertemu. Kedekatan kita salah, pernyataan yang masih memenuhi kepala Kila. Jadi, Bana mengantarkannya sebagai permintaan maaf? Hanya itu? Kila merasa senang dan kecewa di dua sisi yang berbeda.
"Aku punya kabar bagus buat kamu. Hm. Mungkin bagus." Bana bahkan tak menunggu Kila menerima kata maafnya atau sekadar mengucapkan satu-dua kalimat.
"Apa itu?"
"Aku ikut audisi."
Dahi Kila bertautan. "Au-disi?"
Bana diam, menunggu Kila mengerti sendiri.
"Audisi?"
Mendapati wajah bingung Kila, Bana tertawa. Tawa renyah tanpa lelah, juga tanpa rasa bersalah. Berbeda dengan tawa sebelumnya. "Kamu pelupa."
Kerutan di dahi Kila perlahan memudar. "Oh! Audisi I-Radio?!" katanya histeris, terlalu histeris. "Kamu ikut audisi I-Radio?! Itu beneran?!" Kila tersenyum lebar. Kedua tangannya menutupi mulut, berusaha meredakan kegembiraan yang meluap. "Kamu penuhin satu mimpi aku! Aku mau dukung GLYN paling depan!"
Senyum di mulut Bana melembut. "Kamu ... seneng?"
Kepala Kila mengangguk berlebihan. Bersemangat. Dan itulah yang membuat Bana tertawa lagi. "Ternyata seneng rasanya saat hal yang aku sukai juga bisa menyenangkan orang lain."
Ada yang ikut bahagia saat kamu bahagia. Itu sederhana, tapi rasanya luar biasa. Kila ikut tersenyum. "Karya bagus layak meluas. Orang berbakat layak dikenal."
+++++
===============
Part 22, yeay!
Panjang kan kan kan kan? Ini hampir 2400 kata loh :3
Pada akhirnya kita sadar. Berapa orang pun yang suka Bana, kalau part-nya cuma Bana tanpa Kila, pasti kerasa biasa aja. Sama kayak part Kila tanpa Bana. Karena akan lebih greget saat ada Kila di part Bana. EAK.
Jadi, kalian hey kalian, jangan Bana terus wkwkwk. Semoga bisa suka juga sama Kila :')
SEE YOU :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro