2| Bersembunyi
2| Bersembunyi
MESSY MOHAWK rambut Bana tertiup angin. Tiduran sendiri di tengah atap terbuka membuat pria 182 cm itu mengangkat tangannya, membiarkan lengan melindungi matanya dari sinar matahari. Tidak biasanya langit siang kota Bandung secerah ini. Sepertinya musim hujan sudah berlalu.
Bana menarik lengannya turun, menyipitkan mata saat matahari menerjangnya melalui lensa kacamata. Pria berkaos putih polos, bercelana jeans cokelat dengan robekan di lutut, juga bersepatu converse itu tengah menggembungkan mulutnya saat ponsel di saku celananya bergetar.
Ditariknya ponsel itu dan terlihat satu hal yang tengah dihindari.
Brian Wicaksono is calling.
Bana mengembalikan ponselnya ke dalam saku, menarik napas lama, memejamkan mata, dan bertahan menikmati belaian angin di wajahnya hingga getaran ponsel berhenti. Laki-laki berkulit cokelat terang itu mengambil earphone dari tas ransel di sampingnya sebelum menghubungkan benda itu ke ponsel dan telinga.
--
"Masih di I-Radio bareng gue dan Cantika! Apa kabar hari Senin kalian? Lo semua harus liat muka Cantika sekarang udah kucel banget kayak gembel. Katanya sih doi tadi abis lari-lari gitu deh demi gak telat praktikum." Terdengar suara Raymon—penyiar I-Radio—tertawa.
"Gilaaak! Senin gue gila, Mon." Suara Cantika menimpali. "Jam tujuh pagi gue udah lari-lari ke lantai empat."
Raymon tergelak. "Duh, kasian amat. Lo mau gue puterin lagu nggak? Kayaknya lagu Tanah Sepi dari GLYN versi remix bisa jadi moodbooster."
"Waaak, ada suara Bana dong?!" Cantika histeris. "Mau dong dinyanyiin sama vokalisnya." Bibir merah tipis Bana sedikit mengulas senyum begitu mendengar Cantika menyebutkan namanya.
"Ngomong-ngomong soal Bana, hari ini I-Radio dapet banyak sms lagi. Isinya masih sama." Senyuman di bibir Bana perlahan memudar.
"Pasti nanyain tentang identitas GLYN lagi kan? Cieee yang pada kepo." Cantika tertawa.
"Nah! Pas banget. Buat yang penasaran sama GLYN, gue ingetin lagi. Hari Sabtu GLYN bakal nampil di acara gedenya anak Teknik Mesin. Jadi bintang tamu. Jangan lupa dateng ya! Gratis. Banyak hiburan yang lain juga. Tau sendiri lah ya kalo anak Teknik Mesin bikin acara bisa sekeren apa?"
"Wah pastinyaaa. Kalian harus saingan sama gue ntar kalo mau nonton Bana paling depan!"
"Bener banget. Yaudah, dari pada keburu mupeng, gue puterin sekarang aja lagunya. Enjoy Guys! Tanah Sepi."
--
(Tanah Sepi – lirik oleh just-anny, remix dan suara oleh martabakmal)
Menari kau dalam pilu
Terjerat kau dalam sendu
Terbelenggu, terbelenggu kau tanpa mengadu
Menari kau dalam pilu
Terjerat kau dalam sendu
Tercengkram kau dalam kumpulan ragu
Menangis, menangis saja
Lalu tak ingat yang mengajakmu tertawa
Mau pergi, pergi saja
Lalu tak hiraukan yang bersihkan bahu untuk kausandarkan raga
Sedih kau sendiri bermelankolis
Resah kau lalu berubah jadi dramatis
Berubah jadi egois
Kemudian lupa bagaimana cara berealistis
Nyanyian riang kau enyahkan
Lingkungan senang kau anggurkan
Seperti berkutat pada diri sendiri
Nyanyian riang kau enyahkan
Lingkungan senang kau anggurkan
Seperti senang diam di tanah sepi
--
Terdengar suara berat nan rendah diiringi melodi yang mengalun. Albana Wicaksono mendengarkan suaranya sendiri tanpa ekspresi. Lagu itu sudah berulang kali masuk ke telinganya, tetapi hatinya masih saja berdesir. Lirik Tanah Sepi terlalu mencerminkan egonya sendiri. Tanah Sepi adalah buah tangan pertamanya yang berhasil masuk radio kampus. Siapa sangka berkat lagu itu kini GLYN dan dirinya dikenal orang?
Pria dua puluh tahun itu masih menikmati lagunya saat ia merasakan ponselnya kembali bergetar. Diambilnya lagi ponsel itu dan langsung menggeser tanda angkat begitu melihat nama Dipayana Samudra terpampang di sana.
+++++
"Lo bolos kuliah lagi?" Dipa langsung melemparkan pertanyaan begitu panggilan ponselnya diangkat. "Kabur ke mana sekarang?" tanya pria keturunan Jerman itu dengan senyuman tenang.
"Ada yang nyariin gue lagi?"
Dipa selalu tahu, sampai kapanpun, seorang Albana Wicaksono tidak akan memberitahukan keberadaannya tiap lari dari masalah. "Yap. Anak Teknik Elektro semester lima lagi-lagi kehilangan temen sekelasnya." Dipa tersenyum kecil. "Kata mereka, lo udah absen tiga mata kuliah minggu ini."
Dipa yang sejak tadi berjalan di lorong sepi kini membuka salah satu pintu, didapatinya Faldi yang tengah menyetel gitar dan Andra yang berdiri memegang stik drum di ruangan kedap suara itu. Dipa mengangkat tangannya dan tersenyum lebar saat dua laki-laki dengan rambut gaya mangkuk serupa itu menyapanya.
"Gue mau batalin manggung kita hari Sabtu."
Senyuman di wajah Dipa memudar seketika. Langkah Dipa terhenti. Kalimat singkat Bana langsung merebut seluruh perhatiannya. Ia melebarkan matanya ketika duduk di sofa ruangan serba merah itu. "Jangan-jangan...," ujar Dipa menggantung kalimatnya.
"Hmm," sahut Bana cepat.
"Are you okay?" tanya Dipa. Pria jurusan Teknik Material semester lima itu tahu, ini bukan pertama kalinya Bana membatalkan acara tampil perdana mereka.
Bana tidak langsung menjawab. Ada helaan napas terdengar di seberang sana. Dengan nada berat, akhirnya Bana berujar, "Gue bisa ngandelin lo kan buat bilang ke panitia acara? Sekalian ke Faldi sama Andra juga."
Dipayana Samudra memandang bergantian ke arah Faldi yang kini mulai memetik gitar rythm-nya dan Andra yang sudah duduk di kursi drum. "Gue ini sebenernya gitaris GLYN atau asisten pribadi lo?" gumam Dipa diiringi candaan. Dipa tersenyum. "Oke. Gue urus seperti biasa."
"Thanks Dip."
Dipa menurunkan ponselnya dari telinga. "Fal, Ndra. Gue mau ngomong bentar," ujarnya langsung menghentikan latihan-latihan kecil yang tengah Faldi dan Andra lakukan. "Ini penting." Dipa melontarkan kalimatnya hati-hati. "Masalah manggung kita."
Faldi dan Andra tidak kembar. Keduanya lahir dari keluarga yang berbeda, juga mempunyai darah suku yang tak sama. Bahkan, mereka kuliah di jurusan yang berbeda pula. Faldi di Seni Rupa Murni dan Andra di Desain Komunikasi Visual. Hanya karena badan kurus dan potongan rambutnya yang persis itu orang-orang sering tertukar mengenali keduanya.
"Kenape manggung kita, Bang?" tanya Andra dengan khas betawinya. Andra duduk di samping Dipa dengan menopang satu kakinya pada lutut.
"Itu barusan Kang Bana ya yang nelpon?" Faldi menarik satu kursi lain ke depan mereka. "Mungkin kita mau ganti konsep. Bener nggak tuh, Kang?" tanyanya. Berbeda dengan Andra yang asli Jakarta, Faldi sejak lahir hanya hidup di Bandung. TK, SD, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah pun di Bandung. Kenyang sekali rasanya Faldi dengan segala hal berbau Bandung.
"Kita...," Dipa memaksakan ulasan senyum di bibirnya, "manggungnya kapan-kapan aja. Manggung bagi kita masih belum jadi prioritas utama kan?" tanya Dipa hati-hati. "Kita ... batalin aja ya manggung nanti Sabtu."
"Lah, kok batal Kang?" tanya Faldi dengan tatapan tidak mengerti. "Batal gimana?"
Andra hanya mengangkat kedua alisnya.
Protes itu sudah diperkirakan Dipa dalam benaknya bahkan sebelum melontarkan pernyataan. Diembuskan napasnya panjang. Dengan hati-hati, Dipa menatap dua personil yang duduk di semester tiga itu. "Bana...," ucapnya menggantung, "kena lagi."
Faldi membuka mulutnya lebar, mengerjap satu kali, dua kali, dan Dipa melihat sinar tanda tanya itu perlahan menghilang dari wajah Faldi. "Jangan-jangan ... sekarang Kang Bana kabur lagi," tebak Faldi membuat Andra di depannya menautkan dahi. "Kasian atuh ya."
Dipa mengangguk-angguk dengan lipatan tangan di dada. Pria berwajah perpaduan Indonesia-Jerman itu selalu tersenyum mendengar logat sunda khas Bandung dari mulut Faldi. "Kalian masih bisa ngerti kan?" tanya Dipa. Setelah melihat Faldi mengangguk, ia menatap ke arah Andra yang sejak tadi hanya diam. "Gimana, Ndra? Gak masalah kan?"
Andra memiringkan dagunya sedikit. Berbeda dengan Faldi yang sering berbicara, Andra lebih senang diam. "Gue sih ikut aja," ujarnya dengan suara berat.
"Nggak apa atuh ya, Ndra? Asik juga kok kalo saya pikir-pikir mah." Faldi mengacak-acak rambut gaya mangkuknya sendiri dengan kedua tangan. "Kan kita jadi dicari-cari gitu, "ujarnya dengan senyuman senang. "Saya mah seneng. Asik pisan euy sok misterius."
Dipa tertawa kecil. Masalah Faldi dan Andra selesai tanpa kendala sama sekali. Sekarang tugasnya sisa satu: meminta maaf pada panitia acara untuk batalnya tampil mereka. Dipa yakin ini tidak akan sulit baginya. Ia hanya perlu bicara sopan dan menjelaskan alasan yang bertanggung jawab. Dipa sudah terbiasa bersikap seperti itu.
"Tapi, Kang...," Suara Faldi menarik kembali perhatian Dipa, "mau sampai kapan kita teh sembunyi dari orang-orang?"
Pertanyaan Faldi dibenarkan dalam benak Dipa. Dipa sadar, mereka tak bisa selamanya seperti sekarang. Sepandai apapun menyembunyikan identitas, lambat laun baunya akan tercium juga. Nomor kontaknya sudah tersebar. Meskipun ia hanya mengaku sebagai perpanjangan tangan GLYN, bukan personil GLYN, tapi banyak yang sudah curiga. Anak-anak I-Radio bahkan sudah sering menebak dirinya termasuk salah satu personil.
Bukan hanya masalah eksistensi mereka yang dikhawatirkan pria umur dua puluh tahun itu. Namun juga masa depan Bana dan GLYN selanjutnya.
Hidung Dipa meraup udara banyak-banyak. Ia hanya bisa berharap apapun yang terbaik.
+++++
---------------
Part 2, yeay!
lagu full Tanah Sepi bisa ditemukan juga di youtube dengan keyword: Tanah Sepi just-anny
cek ulang part 1, aku masukin cast Isell di sana, kemarin lupa~ siapa tau ada yang mau liat~
ditunggu votes dan komen-komennya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro