Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18| Kunjungan

#AnnyChallenge1

Kamu boleh edit caption-nya kalau merasa tidak sesuai kriteria. Novel yang kamu sebut lebih mahal dari 62.800? Aku nggak akan sungkan buat nggak menilai postingan kamu. Bagiku, syarat yang aku sebut itu WAJIB terpenuhi. Percayalah, novel bagus di bawah 62.800 itu buanyaaak. Hihi.

Rela nggak kalau udah ikutan tapi kalah karena bandel nggak ikut syarat?

Kalau pesertanya banyak, aku rela tambahin hadiahnya.

Part 18, enjoy!

        

   

18| Kunjungan

      

"SELL! Cokelat gue sepotong lagi, mana?" teriak Kila sembari mendongak ke dalam kulkas. "Kok nggak ada? Ih, mana? Lo makan ya?! Kok nggak bilang gue?"

Isell keluar kamar dengan handuk masih menggulung kepala. "Cokelat?"

"Iya. Yang gue beli pas pulang dari Bosscha. Ini pasti kerjaan lo, kan? Lain kali gue garemin aja deh makanan gue di kulkas."

Isell tergelak. "Posesif banget elah sama makanan."

Belum selesai Kila marah masalah cokelat, ponselnya di meja makan sudah berbunyi. Ada satu notifikasi Line terdengar. Kila tak acuh dengan suara itu. Ia lebih memilih mengecek makanan-makanan lain miliknya yang ia sembunyikan di dalam kulkas rumah. Kila takut Isell memakan es krim yang diam-diam ia selipkan di freezer.

"Ada chat tuh," ujar Isell dengan mata mencuri pandang ke ponsel Kila.

"Ah, paling Official Account." Kila masih sibuk di depan kulkas.

"Oh. Ada Official Account namanya Albana Wicaksono?"

Hening beberapa detik sebelum Kila berbalik. "Hah?!" Kilat mata Kila menunjukkan seolah pesan itu tiba-tiba datang dari dosen wali yang mengajaknya sekolah S2 gratis di luar negeri. Hal yang paling-paling Kila impikan selama ini.

Isell tergelak lagi. "Aduh denger namanya disebut aja udah kayak apaan, La."

Begitu sadar dengan gelagat Isell, Kila langsung menekuk sebal bibirnya karena merasa Isell berhasil membodoh-bodohinya lagi. "Bercanda lo nggak lucu banget."

Isell memberengut. "Bercanda? Gue serius, La. Itu Bana nge-chat. Mau gue bacain?"

"Ih jangan!" Kila langsung berlari ke meja makan dan tersenyum begitu membaca isi pesan di ponselnya. Kila menatap Isell dengan wajah super ceria; senyumnya tak berhenti mengembang. "Dia mau dateng. Gue pake baju apa ya, Sell?"

"Hm?" Isell menarik satu alisnya. "Ya baju itu aja, La. Kan di rumah." Dagu Isell menunjuk kaos dan celana pendek yang Kila kenakan. "Tiap Nuno ke rumah juga kan kita nggak pernah sengaja ganti baju."

"Masa gue compang-camping gini, Sell? Ini kan bukan Nuno yang dateng." Kila memberengut. "Baju gue belel kayak gembel."

"Terus mau baju apa? Kebaya? Long dress? Gue males sebenernya bilang gini, tapi lo nggak jelek-jelek banget kok walaupun pake baju seadanya."

"Gue cantik ya, Sell?" tanya Kila sembari tersenyum dan memegeng-megang pipi.

"Cantik atau nggak, ya udah sih, La. Dia emang dateng ke sini mau apa? Mau ngajak nge-date? Ngajak kondangan? Atau ngajak ke KUA?"

Kila melempar tisu di meja ke wajah Isell. "Yeee. Udah sana pergi. Jangan ganggu."

"Kalian jangan macem-macem ya di rumah gue."

"MAU!" teriak Kila sudah kepalang kesal.

      

+++++

        

"Yang ini atau ini? Ini atau ini? Ini ... atau ini?"

Kila mengangkat dua baju pilihannya. Setelah mengacak-acak lemari, akhirnya dua baju itulah yang ia pilih. Pertama, baju kuning terang dengan leher sedikit terbuka kesukaannya. Kedua, baju kuning gelap yang baru dijahitkan ibunya. Ibu Kila menempelkan motif mirip planet Saturnus yang bulat dan bercincin di baju itu.

Ting

"Nah loh dia dateng!"

Kila panik. Ternyata, Bana datang lebih cepat dari perkiraannya. Atau memang Kila yang terlalu lama membuang waktu memilih baju?

Usai memakai asal atasan bermotif Saturnus tadi, Kila langsung lari ke dekat pintu. Ia merapikan sebentar baju dan roknya sebelum tersenyum lebar menyambut Bana.

"Hai," panggil lelaki tinggi itu tepat di depan Kila. Bana berpenampilan biasa seperti pulang kuliah, lengkap dengan tas ransel di punggung.

Kila tak bisa menahan senyumnya yang kian mengembang. Kila tak tahan merasakan jantungnya berdentum tak keruan. Oh Tuhan, kenapa jantungnya tak mau diam? Kenapa pipinya tak berhenti melebar? Beginikah rasanya didatangi kencan?

Geli banget istilah kencan, ujar Kila dalam hati—masih senyum sendiri.

"Kamu selalu begini kalau di rumah?"

Mendapati senyum Bana yang juga begitu lebar, Kila salah tingkah. "Kenapa gitu?" tanya Kila yang hatinya langsung terbang ke angkasa, mendekati bintang-bintang. Bana pasti mau bilang gue cantik! Baju bikinan ibu emang lucu banget, sih!

Bana terkikik. "Baju kamu kebalik, Kila."

Mata Kila langsung melebar sebelum perlahan turun memeriksa pakaiannya. Mampus! Beneran kebalik! Ya ampun! Ya ampun! Aduh! Malu-maluin banget!

Bukannya prihatin, Bana malah tergelak. Tawanya begitu keras dan terasa puas.

"JANGAN KETAWA!" teriak Kila dengan wajah malu campur kesal.

      

+++++

        

"Kamu yang cari bagian bab I sama bab II, aku cari bab III," jelas Kila. Bana mengangguk, menurut saja apa yang dikatakan Kila. Keduanya sudah sibuk dengan laptop masing-masing—sembari duduk lesehan di meja ruang tengah. Kila sibuk membaca materi kuliah, sedangkan Bana sibuk browsing kepentingan makalah.

Hari ini, KWN tak ada kelas. Sebagai gantinya, mereka diminta mengumpulkan tugas kelompok. Kebetulan sekali. Kelas-kelas Kila di Astronomi juga dipindah jadwalkan ke hari lain. Dosennya masih di luar negeri. Karena itulah Kila langsung mengiyakan saat Bana mengajaknya kerja kelompok di rumah Kila.

Kila tidak pernah menyangka kalau Bana akan benar-benar serius datang ke sana.

Kila mencuri pandang ke arah laki-laki itu. Kila sibuk mengamati dan tersenyum sendiri saat menemukan wajah serius Bana. Cowok kalau lagi serius jadi dua kali lipat lebih ganteng! Kila membatin.

Memperhatikan Bana diam-diam menjadi hal kedua yang paling menyenangkan selain mendengar tawa renyahnya. Mungkin akan naik jadi posisi pertama kalau Bana tersenyum menampilkan lesung pipi saat diperhatikan. Tangan Kila sebenarnya sering gatal ingin mencolek-colek 'pipi bolong' laki-laki itu.

"Kamu tadi kuliah?" tanya Kila. Melihat Bana yang terlihat heran, Kila menambahkan, "Aku cuma mastiin kamu nggak bolos kuliah. Kayak kamu sering bolos KWN tahun lalu."

"Kamu bawel." Bana pura-pura menatap sinis. "Aku kuliah, Kila. Tiga matakuliah masuk semua. Mikroprosesor, Kontrol Digital, Elektronika II."

"Bagus, bagus. Anak baik."

Ada senyuman yang langsung muncul di bibir Kila. Bana hari ini rajin. Tadi pun Bana yang menghubunginya duluan dan mengajaknya kerja kelompok. Kila tenang mendapati Bana seperti sekarang. Entah sejak kapan, Kila jadi peduli dengan apa yang Bana lakukan—termasuk dengan rajin atau tidaknya Bana di kampus. Wajarkah saat seorang perempuan peduli pada hal semacam ini?

"Suka lewat gerbang deket lapangan Seni Rupa, nggak?" tanya Kila lagi. Setelah memastikan Bana menoleh dan memasang wajah tanya, Kila melanjutkan, "Aku sering beli cilok telur di situ. Bukan sering lagi, tapi tiap hari. Sayangnya, hari ini, aku yang nggak kuliah. Aku jadi nggak bisa jajan itu."

Bukan Kila namanya kalau tidak curhat colongan.

"Kamu nggak kuliah sama sekali hari ini?"

"Yap. Kelasku kosong semua," jawab Kila.

"Kalau kamu nggak ke kampus, nanti ada yang kangen kamu."

"Oh ya?" Bibir Kila perlahan mengulum senyum. "Siapa?" Kila malu-malu. Kila salah tingkah.

"Yang jual cilok telur."

Dan Bana selalu berhasil membuat Kila kegeeran.

Kila memperhatikan Bana yang sekarang sudah tertawa. Tawa renyah itu adalah tawa yang selalu Kila suka. Bana yang tertawa selalu menjadi kegemarannya. Kila jadi teringat ucapan Ibu. Orang yang bisa tersenyum, atau tertawa, adalah orang yang hebat. Seberat apa pun cobaan dia, sepahit apa pun masalah yang disimpannya, dia tetap punya cara untuk menjadi kuat. Dia tetap menghargai dan menikmati hidup.

"Bana," panggil Kila dengan suara pelan, "kalau kamu ada apa-apa, kamu bisa cerita ke aku."

Karena seorang pendengar yang baik pun butuh didengar. Bana pernah menjadi pendengar yang baik untuknya. Sesuai janji Kila waktu itu, ia pun akan melakukan hal serupa untuk Bana.

"Kalau kamu nggak mau cerita karena takut aku sok-sokan nasihatin kamu, menghakimi kamu, kamu tinggal minta aku diem. Aku nggak akan kayak gitu," tambah Kila. Manusia terkadang tidak butuh nasihat. Mereka hanya butuh pendengar. Nasihat dari banyak orang sudah terlalu melelahkan. Orang yang menasihatilah yang justru sering tidak mendengarkan dengan baik.

"Kamu ... ada pacar?" tanya Bana ringan seolah menghindari topik obrolan Kila.

Daritadi diem. Sekalinya nanya, langsung frontal abis.

Kila berpikir sebentar. "Tebak!" jawabnya dengan mimik usil. Ia ingin mencoba misterius seperti Bana.

Bana menaikan satu alis sembari mengulum bibir. Lesung pipinya terlihat sebagian. "Kalau dari status-status yang sering kamu update, kayaknya sih nggak."

Kila tertawa. "Kamu ternyata suka stalking juga ya!"

Bana mengendikkan bahunya jemawa.

"Emang kalau punya pacar harus diumbar ke media sosial?" celetuk Kila.

Tak ada jawaban apa pun dari mulut Bana.

Mendapati Bana terlihat heran, Kila tersenyum. "Orang-orang sering lucu. Pas pacaran, sering upload foto bareng. Nama pacar dipajang di bio. Ucapan anniversary diumbar selalu. Giliran putus, semuanya dihapus. Sedih, nggak?"

Giliran Bana yang sekarang tersenyum. "Yaaa bolehlah." Tangan Bana kembali fokus ke keyboard. "Kalau mantan, ada?" ujarnya tanpa menoleh.

Kila memiringkan sedikit dagunya. "Hmm. Pernah deket aja sih. Nggak bisa dibilang pacaran juga. Kenapa? Kepo ya? Aku baru tahu kalau kamu bisa kepo juga." Kila tersenyum malu-malu. "Kalau kamu, ada pacar?"

"Banyak."

Senyum Kila langsung memudar. Wajahnya langsung kaku.

Melihat itu, Bana tertawa. "Muka kamu transparan ya."

Kila cemberut. Ia sekarang tahu kalau Bana barusan hanya mengerjainya. Kenapa Kila selalu berurusan dengan orang-orang frontal? Kenapa dirinya selalu dikerjai orang-orang seperti itu? Untung saja ia sudah terbiasa dekat dengan Isell. Ia jadi tak kaget mendapati satu manusia frontal lagi masuk ke kehidupannya.

Saat Kila ingin menanyakan Bana punya mantan atau tidak, seekor kucing muncul tiba-tiba.

"Eh? Meng-Meng kok bisa masuk? Aku lupa tutup pintu ya, Meng?" Kila berbicara sendiri.

Kucing gelap yang bagian tangannya berwarna putih itu naik ke paha Bana—mengelus-eluskan kepalanya ke baju Bana. Bukannya menanggapi, Bana hanya diam. Ia hanya membuka lengannya dan membiarkan kucing itu betah di sana.

"Itu kucing tetangga. Namanya Meng-Meng," jelas Kila tanpa ditanya. "Kucingnya bersih kok. Aku sama Isell sampe beli makanan kucing buat dia saking seringnya dia main ke sini. Eh, kucingnya kalau aku perhatiin mirip kamu ya."

"Apanya?"

"Iya. Dia suka datang dan pergi tiba-tiba. Kayak kamu," cibir Kila disusul tawa Bana.

Kucing itu semakin menenggelamkan kepalanya ke kaos bagian perut Bana. Bahkan, dia tidur di sana seolah itu adalah tempat nyaman untuk istirahat. Bana masih tak bergerak. Ia membiarkan kucing itu melakukan apa pun di sana, tanpa mengusiknya.

"Kamu nggak suka kucing ya?" tebak Kila.

"Kenapa gitu?"

"Kalau sayang, dielus dong kucingnya." Kila mendekatkan tubuhnya ke sebelah Bana. Telunjuknya mencolek-colek punggung kucing itu. "Kamu nggak lihat ya? Tuh, daritadi dia minta kamu elus-elus."

Tangan kiri Bana menepis telunjuk Kila. Bana membelai kucing itu. Gerakan itu tak lama kemudian berhenti. Tangan Bana yang lain beralih ke puncak kepala Kila. Bana menggerakkan kedua tangannya secara bersamaan di dua tempat yang berbeda: punggung kucing dan puncak kepala Kila. Bana membelai keduanya.

Kila cemberut. "Bana, aku bukan binatang."

Cengiran lebar terpajang di wajah Bana.

Bana hanya tak tahu kalau tindakan kecil yang dilakukannya itu berhasil menggetarkan hebat hati Kila. Kalau sayang, dielus dong. Kila menyesal melontarkan kalimat itu.

Salahkah jika Kila terbawa perasaan?

     

+++++


===============

Part 18, yeay!

Lagi demam bosen diem aja, akhirnya aku nulis. Wkwkwk. Bales komen part 17 belum. Nanti kucicil ya.

SEE YOU!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro