17| Need You
Hari ini demam, sampe tadi siang aku izin nggak kerja. Untungnya sore baikan dan bisa lanjut nulis~ (lah dia curhat) Belom bales komen part 16. Nanti kucicil yaaak.
Dedikasi untuk yang menjawab benar di fun fact part 16, kupilih acak! xD
enjoy!
17| Need You
SEPI.
Selalu itu yang Bana dapati setiap pulang ke rumah. Ruang tamu yang rapi seperti tak pernah disentuh, ruang televisi dengan AC mati, dan dapur yang lebih sering terlihat kosong. Hanya ada suara samar-samar dari belakang. Bana sudah hafal. Itu pasti Bi Nini yang menonton sinetron di youtube pada ponselnya.
Bana melangkah menuju kamar sembari melakukan panggilan dengan ponsel.
"Ya?" tanya seseorang begitu panggilan tersambung.
"Gue ke rumah lo ya." Bana yang baru masuk kamar langsung duduk di tepi ranjang. "Rumah sepi, Bro."
Terdengar kekehan samar dari seberang. "Seinget gue, rumah lo emang nggak pernah rame ... kecuali ada perang lempar barang."
Bana tertawa. "Sialan."
"Gue mau pergi. Temen Kila minta tolong gue."
"Temen Kila? Siapa?"
Dipa menjawab, "Isell. Isell banyak ngobrol sama gue pas gue anter pulang waktu itu. Anak-anak jurusannya, Planologi, mau bikin acara musik. Ceritanya panjang. Singkatnya, gue setuju bantu kasih beberapa masukkan buat acara mereka."
Usai memutuskan percakapan dengan Dipa, Bana memutuskan untuk memanggil dua temannya yang lain. Pertama, Faldi.
"Saya ada latihan di UKM, Kang," jawab Faldi yang memang aktif juga ikut kegiatan UKM Seni Sunda.
Bana tak perlu repot-repot menelepon Andra karena dia juga pasti ada di tempat yang sama dengan Faldi. Meskipun Andra betawi asli, Andra mau ikut UKM Seni Sunda hanya karena Faldi yang mengajaknya.
Bana menyerah. Ia tak punya pelarian lain.
Ia memilih merebahkan diri di tempat tidur. Ia membuka Line dan mencari hal-hal yang berkemungkinan dapat membantunya membunuh waktu. Saat itulah Bana melihat kontak Kila. Bana membuka home gadis itu dan melihat-lihat status yang pernah Kila buat.
--
Setelah sekian lama, akhirnya bisa belajar spektrum muehehe
--
Pilih anggota jadi gugus bintang lebih gampang, nggak perlu diskusi sama calon anggota, cukup lihat fisiknya. Kalau cocok langsung masuk. Beda sama pilih manusia buat jadi calon pacar. Yhaaa curhat.
--
Karena nggak punya paper clip, pakai aja penutup bungkus roti tawar. Abis kenyang, sepah nggak dibuang. Yey!
--
Ih lupa jeruk di kulkas sepotong lagi belum dimakan.
--
Bana tersenyum. Semakin Bana melihat ke bawah, semakin lebar senyuman di bibirnya.
Kila, kalau bukan tentang Astronomi, pasti update tentang makanan. Bukan hanya di dunia nyata, ternyata Kila pun senang curhat di dunia maya. Namun, curhatan Kila selalu masalah sepele—seolah hanya iseng dan tidak serius. Buktinya, Bana tidak menemukan curhatan galau tipikal ABG yang sering mengeluh masalah pribadi. Masalah pribadi memang bukan hal yang layak diumbar-umbar.
Bana membuka room conversation-nya dengan Kila.
Bana diam sebentar sebelum menekan tanda close.
Senyum di bibirnya sudah hilang, berganti mimik datar.
Dalam kepala, Bana berpikir. Apa salah jika ia melibatkan Kila dalam hidupnya?
+++++
https://youtu.be/HrihnDl2JQ4
I am not my own for I have been made new
please don't let me go, I desperately need you
(Meteor Shower – Owl City)
--
Kila tercenung mendapati suara Bana terdengar di telinga. I-Radio sekarang sering memutar lagu-lagu yang di-cover GLYN. Barusan, I-Radio memutar Meteor Shower dari Owl City. Suara Bana yang berat nan rendah terasa dalam saat menyanyikan liriknya. Kila merasa lagu itu seolah benar-benar disampaikan hati Bana.
Kenapa lagu-lagu yang Bana nyanyikan selalu menyampaikan lirik kesedihan? Selain lirik Vanilla Twilight yang dinyanyikan Bana di Cafe Aroma kemarin, lirik Tanah Sepi buatannya pun isinya begitu. Apa memang itu cerminan dari perasaannya? Atau hanya kebetulan saja?
Namun Bana sama sekali tidak pernah terlihat bersedih. Senyuman manis Bana, juga tawanya yang renyah, selalu menutup semuanya.
Kila menghela napas. Baginya, ternyata bukan hanya perempuan yang sulit dimengerti. Laki-laki juga bisa. Bana tidak menghubunginya sama sekali sejak bertemu di Cafe Aroma tempo lalu. Untung saja weekend ini Kila sibuk mencari bintang di Bosscha. Ia jadi tak begitu larut memikirkan hilangnya Bana.
Bana yang sulit ditebak, Bana yang sering datang tanpa diundang, Bana yang juga sering mengilang.
Semakin Kila memperhatikan Bana, semakin Kila penasaran dengannya.
Haruskah Kila mulai terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan Bana itu?
Haruskah Kila menebak-nebak isi hati Bana hanya dari lirik yang dinyanyikannya?
+++++
Mendapati bosan terus menggerayanginya, Bana akhirnya memilih mengambil gitar dari tempat persembunyian di kamar; belakang lemari baju. Bana mencoba beberapa lagu, dari mulai asal cover sampai serius memainkan satu lagu penuh. Hidup selalu terasa lebih baik jika ada musik. Musik, bagi Bana, bukan hanya sekadar teman, tetapi juga sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Saat itulah sebuah panggilan masuk ke ponsel Bana.
"Ya?" tanya Bana setelah menekan tanda angkat.
"Lagi apa?"
"Main gitar," jawab Bana pelan.
"Emang boleh sama Papa?" Suara perempuan di seberang terdengar sedikit kaget. "Kan kamu tahu kalau Papa nggak pernah suka kamu main musik. Udah berapa banyak barang kamu yang dibakar Papa?"
Bana enggan menjawab.
"Mbak tumben telpon," ujar Bana mengalihkan perhatian.
"Oh iya! Aku mau kasih tahu kalau Rio disunat besok lusa dan Rizki aqiqah minggu depan. Aku telpon Papa tapi nggak diangkat. SMS juga nggak dibales. Ya udah, aku telpon kamu. Nanti kamu bilang ya ke Papa."
Bana diam. Papa selalu sibuk bekerja. Profesinya sebagai manajer konstruksi mengharuskan beliau sering berada di lapangan—mengecek proyek ini-itu. Papa selalu tidak punya waktu, termasuk sempat peduli dengan kakaknya yang sudah menikah dan ikut suami tinggal di Semarang. Bana yakin kakaknya pun tahu hal itu. Meskipun Papa mendengar kabar tentang hari penting cucu-cucunya, Papa selalu tidak bisa datang. Namun Kakak tak pernah absen memberikan kabar.
"Nanti, kalau kamu mau nikah, kamu harus banyak ngobrol ya sama suami aku," ujar Alrina mengabaikan diamnya Bana. "Aku ngerasa beruntung bisa sama dia."
"Emang Mas Angga gimana?"
"Masku suami yang paling pengertian. Mas ngerti banget aku nggak pernah diajarin Mama masak, nggak pernah diajarin Mama cara ngurus anak, cara jadi istri yang baik, cara jadi menantu yang baik, cara nyenengin suami. Mama udah pergi sebelum sempet ngajarin aku banyak hal."
Bana diam lagi. Kenapa Kakak harus mengingatkannya kembali pada Mama?
"Dan aku bilang gini sama kamu karena aku tahu Papa juga kemungkinan besar belum sempat ngajarin kamu jadi laki-laki yang bener." Ada helaan napas di ujung kalimatnya. "Termasuk jadi pasangan yang baik, jadi suami yang baik, jadi imam yang baik."
Bana cukup pedih saat mengiyakan hal itu.
Keluarganya memang berantakan. Betapa lucunya ketika sebuah keluarga terasa tidak seperti keluarga. Anggota di dalamnya sibuk masing-masing. Papa, yang seharusnya memegang peran sebagai kepala keluarga, lebih sering sibuk sendiri. Papa hanya akan meledak saat tahu Bana melakukan hal yang tak disukanya. Kakak sudah punya keluarga baru yang harus diurus.
Bana selalu pulang, tetapi tak pernah merasa benar-benar pulang.
Usai menutup telepon dari Alrina, Bana membuka laci meja di samping tempat tidur. Ada pigura berisi foto keluarganya di sana. Keluarganya pada gambar itu masih lengkap. Masih ada Mama. Di sana, mereka semua tersenyum sembari duduk bersama di ruang tengah dan makan kue ulang tahun Bana buatan Mama.
Sekarang, foto itu hanyalah keping-keping kenangan yang tersisa
Tidak pernah ada lagi yang benar-benar tersenyum seperti gambar di sana.
Mereka sama-sama gagal untuk saling menguatkan.
Papa selalu berpura-pura seolah tak pernah terjadi apa-apa di keluarganya. Kakak pun sama. Semua diam. Semua menganggap hal yang lalu memang seharusnya seperti itu dan dibiarkan saja berlalu. Mereka yang mengajarkan Bana senyum pura-pura. Mereka yang mengajarkan Bana mengubur semua lukanya begitu saja.
Mereka hidup dengan kebohongan. Berjalan dengan kebohongan. Tertawa dengan kebohongan. Luka yang menyayat tak perlu dianggap. Kenangan yang sudah lewat tak perlu diingat. Orang lain tak perlu tahu. Keluarganya yang sama-sama mengalami saja bisa tak peduli, bagaimana dengan orang luar?
Bana menghela napas. Dipetiknya kembali gitar tadi. Ia memilih Meteor Shower milik Owl City sebagai lagu yang kini dinyanyikannya—sambil memandang foto Mama.
I am not my own for I have been made new
please don't let me go, I desperately need you
(Meteor Shower – Owl City)
Saat itulah Bana tak sadar kalau Brian sudah pulang. Papa membuka pintu kamar dengan wajah marah—seperti biasanya. Papa berteriak lagi. Papa meledak lagi. Secara fisik, Papa tak pernah kasar. Papa tak pernah memukul atau melakukan kekerasan tubuh lainnya. Hanya saja, tindakan nyata yang Papa pilih selalu berhasil memukul mental Bana.
Gitar itu diambil lagi.
Bana menghempaskan diri di tempat tidur. Ia tahu apa yang selanjutnya akan Papa lakukan pada gitarnya. Sebesar apa pun Papa marah, setinggi apa pun suara Papa, ia tak pernah berani melawan. Mama tak pernah mengajarkan Bana untuk melawan.
Mama.
Diambilnya kembali pigura foto yang tadi sempat tertutup bantal, dilihatnya lagi wajah Mama yang begitu ia rindukan.
I am not my own for I have been made new. Please don't let me go, I desperately need you.
+++++
===============
Part 17, yeay!
Untuk yang penasaran aspek penilaian #AnnyChallenge1
1. Syarat lengkap
Wajib ada tag, kota, novel yang dimau, hashtag.
Semua wajib ada. Wajib. Aku nggak akan hitung yang bilang "novel apa aja, novel bebas, novel terserah". Hey hey, kamu aja nggak tahu apa yang kamu mau, gimana aku ya? Nanti aku pusing pilihin novelnya. Jangan nyusahin ya. Nggak tahu harga novel? Ayo browsing!
Silakan diedit kalau merasa belum lengkap.
2. Niatnya
Bismillah aja yang ini mah. Kamu berdoa dulu niat yang bener wkwkwk
3. Caption
Well, nggak perlu pandai berkata-kata juga sih sebenernya. Aku hanya akan melihat seberapa serius kamu menceritakan alasan baca tulisan aku. Beda gambar, beda caption, itu lebih baik hehe. Lebih keliatan niat juga.
Yuk ah mari.
SEE YOU!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro