12| Stalking
12| Stalking
BARU SAJA KEMARIN Kila merasa Bana tidak seburuk yang ia duga, sekarang anggapan itu terasa meragukan.
Dia kemana? tanya batin Kila.
Bana tidak masuk kelas KWN. Saat ketua kelas meminta Kila mengumpulkan ulang data kelompok, Kila mulai panik. Pasangan penyelamat 'kejombloan' Kila di kelas, entah ada di mana.
Kila memeriksa akun Line Bana, tetapi niatnya mengirim pesan itu langsung diurungkan. Nggak pede mau chat duluan. Kila menggigit bibir. Mencoba peruntungan, ia mengetik akun Bana di pencarian Instagramnya. Siapa tahu Bana unggah foto terbaru.
Bana, kamu di mana? tanya Kila dalam benak.
Drrt ... drrt....
Baru saja Kila sedikit berharap pesan itu datang dari orang yang dipikirkannya, ternyata bukan. Bukan nama Albana Wicaksono yang muncul di pop up Line, tetapi Mas Fedi.
--
Mas Fedi (4)
Nika: Kilaaa, mau makan bareng? Kelas KWN udaaah?
Nika: Kalo mau, buruan ke Kantin Bengkoook
--
Mas Fedi adalah nama grup kumpulan beberapa cewek Astronomi. Putri yang mengganti namanya. Katanya, agar cewek jomblo di Astronomi merasa mendapat pesan dari Fedi Nuril si aktor ganteng. Bukan hanya nama grupnya yang diganti, fotonya juga. Ada foto Fedi Nuril hasil ambil-tanpa-izin dari Instagram terpajang di sana.
--
Mas Fedi (4)
Putri: Kila mau makan sama kita atau sama mas ganteng yang kemarin pake kacamata?
Melati: Siapa sih, La? Gue nggak dikenalin :(
Nika: Ganteng, Laaa. Lesung pipinya nggak nahaaan
Putri: Kila mau sama kita atau yang ganteng?
Melati: Kila pilih kita atau mas ganteng? :(
--
Kila tersenyum-senyum sendiri dengan ocehan teman-temannya. Kila memang tak pernah bercerita pada mereka. Awalnya, Kila agak risih dengan gosip itu. Namun, lama-lama jadi terbiasa. Bahkan, sepanjang mereka bergosip di depan mukanya, sepanjang itu juga Kila hanya menanggapinya dengan tawa. Bagi Kila, bercerita pada Isell sudah lebih dari cukup.
Ah, gue jadi kangen Isell.
Isell beberapa hari ini sibuk. Namun di mata Kila, Isell terlihat hanya menyibukkan diri. Bisa jadi karena Isell masih dalam acara ngambeknya. Beberapa hari lalu, Kila mengabaikan cerita-cerita teman satu rumahnya itu. Orang mana yang suka diabaikan?
Baru saja Kila akan membalas pesan di grup, Kila merasa ada yang memperhatikannya.
Ada yang mengintip di balik jendela.
Kila menyipitkan mata beberapa saat sebelum tersadar akan sosok pria di sana.
Lelaki itu tengah menatap ke arah Kila.
Lelaki itu tengah tersenyum padanya.
Loh?! Ngapain dia si situ?!
+++++
Malam hari di kamar. Kila masih memikirkan kejadian di kelas KWN tadi. Ada penasaran campur aduk di kepala. Kalau ada yang bilang Bana sangat misterius, Kila akan menjadi orang paling semangat yang bilang setuju.
Refleks, Kila meraih ponsel, membuka Instagram, dan mengetik akun Bana di pencarian.
Akun Instagram Bana tidak di-follow-nya. Lagipula, Bana juga tidak follow Kila. Kila gengsi untuk follow duluan. Padahal, Kila sudah sering mengintip akun itu sejak beberapa hari lalu. Tentu saja Kila tahu akun Bana dari hasil stalking. Bukan Shakila Thalia Asri kalau tidak pandai mencari hal-hal seperti ini. Bahkan akun Dipa, Faldi, Andra, sampai teman-teman jurusan Bana, sudah pernah dilacaknya.
Kila tahu Bana lebih memilih memajang alat musik dibanding wajah sendiri.
Kila tahu Dipa sering mengunggah foto bersama seorang perempuan cantik pemain piano.
Kila juga tahu Faldi dan Andra sering memasang foto berdua, pura-pura menjadi kembar.
Benar kata orang. Stalking-nya cewek menyeramkan.
Sebentar. Kembali ke masalah tadi siang. Selain heran dengan tidak adanya kabar dari Bana, Kila juga heran pada hal lain. Di kelas KWN tadi, Kila mendapati seseorang yang pernah dekat dengannya di masa lalu kembali muncul.
"Kak, lo ngapain sih tadi siang? Suka bikin geer gitu. Ketemu terus senyumin gue di jendela. Pas di KFC juga. Apa kabar, Kak? Masih jadi atlit renang?" Kila mengetik akun si perenang itu di pencarian Instagram sembari berbicara sendiri. Wajah lelaki yang pernah mengisi hari-hari lalu Kila, muncul di sana.
Drrt.... Satu pop up Line mengejutkan Kila.
--
Albana Wicaksono
Jumat mau nonton GLYN manggung?
--
Sungguh, Kila hampir menjerit melihat satu nama itu. Apalagi ketika membaca isi pesannya! Hatinya seolah bersorak sorai menyambut gembira yang ia rasakan. Tanpa sadar, Kila langsung membuka pesan itu dan membalasnya.
--
Shakila Thalia Asri
Dimana?
--
Sebenarnya, ada banyak sekali hal yang ingin Kila kirim melalui pesan balasan. Tadi kamu kemana? Kok nggak masuk kelas? Ketua kelas nyariin kamu. Aku nggak nyangka kalo yang chat aku itu kamu. Sadar nggak sih kalau kamu baru kali ini chat aku? Aku kira Mas Fedi lagi. Kok aku lebih suka kamu yang chat ya dibanding Mas Fedi?
Tentu saja rantetan kalimat itu hanya ditelan benak Kila. Gila sekali rasanya kalau Kila benar-benar mengirimkannya. Bana bisa besar kepala.
Drrrt.
--
Albana Wicaksono
Cafe Aroma
Mulai jam 8an
Tapi manggung nggak bawa nama
--
Kila tersenyum. Kila ingat pengakuan GLYN tempo lalu saat Kila pertama kali bertemu mereka di basecamp. GLYN lebih sering manggung sebagai band tanpa nama. Terlanjur senang membayangkan akhirnya ia akan menonton GLYN, Kila mengesampingkan penasarannya perihal GLYN yang menyembunyikan diri.
--
Shakila Thalia Asri
Oke. Ketemu di sana.
--
Baru juga mengirim pesan tanda setuju, Kila sudah semakin deg-degan. Kila mirip anak remaja baru gede yang pertama kali ngobrol dengan gebetannya. Bana padahal sudah membuat Kila bingung seharian, membuat Kila kesal, heran, dan bertanya-tanya secara bersamaan. Namun, Bana masih saja bisa membuat Kila tidak menolak.
Malam itu Kila sadar. Seorang Albana Wicaksono berhasil menyelinap ke dalam hatinya.
+++++
Nuno Baik Deh (Nuno, Isell, You)
You changed the subject from "Jemput Pagi, No" to "Nuno Baik Deh"
You: Nunooo
Nuno: Apa nih? Minta tolong lagi pasti
You: Nuno baik dehhh :3
You: Anterin ke Cafe Aroma mau yaaa
Nuno: Kapan?
You: Jumat malem. Gue mau nonton band di sana. Pulang malem pasti
Nuno: Isell ikut?
You: Seeel, gue tau lo udah baca. Komen dong
Isell: Males ahh
--
Berbeda dengan teman-teman Astronominya yang menggunakan Line, grup Kila bersama Nuno dan Isell ada di WhatsApp. Mereka memang sering iseng mengganti nama grup sesuka hati. Bukan hanya judulnya yang bebas diganti, foto pun suka-suka. Kadang gambar polos kuning kesukaan Kila, kadang foto pantat sapi pilihan Isell. Mengganti nama dan foto grup lebih sering dibanding ganti baju.
"Sell! Lo masih marah ya sama gue?!" teriak Kila dari kamar. Kila tahu Isell baru saja pulang dan masuk dapur.
Kila memilih untuk keluar kamar dan menghampiri sahabatnya. Terlihat Isell tengah membuka kulkas.
"Sell, lo masih marah ya sama gue?" ulang Kila. "Baru pulang." Kila sempat menilik jam dinding rumah itu. Pukul delapan kurang lima. "Di kampus abis ngapain, Sell? Acara UKM lagi? Atau belajar bareng anak Plano? Atau lo abis main?"
"Lo belum nguras kulkas ya?! Kan jadwal bulan ini elo!" hardik Isell, mengabaikan pertanyaan Kila. Atau pura-pura tak acuh? Atau memang sangat peduli pada kulkas?
"Ups." Kila memang bisa jadi manusia paling pelupa di rumah ini. "Besok deh gue kerjain."
Isell duduk di bar dapur, tepat berhadapan dengan Kila. Tangannya sibuk menyeduh teh di cangkir dengan air dispenser di sebelahnya. Wangi melati yang menguar sedikit banyak menenangkannya.
"Sel, gue ketemu si kakak itu kemarin. Ketemu juga hari ini." Kila memilih percakapan ini sebagai pembuka karena tahu kalau Isell pasti penasaran dengan ceritanya. "Di KFC, dia senyumin gue. Terus, tadi gue lihat dia ngintip kelas KWN gue. Dia senyum ke gue lagi."
"Sebentar," sela Isell. Kerut heran terlihat di dahinya. "Kakak ... yang dulu itu?"
Kila mengangguk mantap. "Si perenang."
"Lo masih komunikasi sama dia?"
Diam-diam, Kila tersenyum karena ceritanya berhasil menarik perhatian Isell. "Nggak, kok. Kami benar-benar lost contact entah sejak kapan hari itu. Di media sosial udah nggak komunikasi. Papasan di jalan juga udah nggak pernah lagi. Mungkin dia sibuk di klub renang."
"Pas dia senyum ke lo, lo gimana?"
"Ya senyumin balik."
"Kalian nggak musuhan atau jadi diem-dieman kayak orang asing? Kan suka gitu. Orang-orang kadang berhenti peduli secepat mereka tertarik pertama kali."
Kila tersenyum sebelum menjawab, "Kalau musuhan sih gue nggak mau. Gue sama dia kan bukan lagi anak remaja baru gede yang sering jadi orang asing saat udah nggak ada hubungan lagi. Kita udah harus dewasa. Gimanapun, gue pernah deket sama dia. Gue pernah seneng cerita banyak hal ke dia, begitu juga dia. Sebut aja, gue sama dia balik jadi temen."
"Who knows kalian balik deket lagi abis ini," Isell nyengir.
Senyuman Isell sudah dinantikan Kila sejak tadi. Didiamkan sahabat sendiri itu tidak enak. Kila mau menukarnya dengan mengorek kenangan laki-laki di masa lalu hanya demi mendapati Isell kembali seperti semula.
"Dia sehat, Sell. Itu cukup. Dia masih kayak dia yang gue kenal. Gue akui dia emang nggak ganteng-ganteng banget, tapi wajahnya masih enak dilihat. He is good looking. Gue masih inget sama kekonyolan dia yang sering bikin gue ketawa mulu. Gue juga inget sama wejangan-wejangan dia yang dewasa abis."
Isell tersenyum penuh arti. "Dulu lo pernah bilang sama gue kalau dia itu tipe lo banget."
"Dia baik, Sell." Kila sedikit tertawa. "Gue gampang luluh sama cowok baik."
"Iya deh yang abis ketemu lagi sama teman-tapi-mesranya."
Kila menyambar gelas di meja dan menuangkan air dingin dispenser ke sana. "Teman tapi mesra? Dangdut banget!" Kila terkikik. "Gue sama dia emang pernah deket. Emang cuma temen. Tapi kami sama-sama tahu kalau sebenernya kami lebih dari temen. Yah, gue rasa itu lebih baik dibanding kena friendzone kayak...," Kila melirik Isell penuh arti.
Satu alis Isell terangkat. "Kayak siapa?"
Kila tergelak. "Ah, nggak."
Isell hanya memberengut. "Oh iya. Lo kemarin kenapa, hah? Gue cerita malah dicuekin. Gue tahu lo nyimpen sesuatu dari gue. Kila kan suka keliatan mukanya kalo lagi ada apa-apa. Muka lo itu muka-muka transparan."
"Muka gue sehalus sutra."
"Serius, La."
Kila terkikik lagi. Sesungguhnya, otak Kila tengah bekerja. Haruskah Kila menceritakan perihal Bana pada Isell? Isell belum tahu kalau Bana satu kelas dengannya, bahkan pernah menemani Kila zumba, mengantar Kila pulang, termasuk mencium kening Kila begitu saja. Hmm, yang terakhir cukup membuat darah Kila kembali berdesir.
"Ikut ke Cafe Aroma ya, Sell."
"Jangan mengalihkan topik!"
Kila tertawa. Diteguknya air di dalam gelas sebelum menjelaskan, "Gue mau lihatin sesuatu di tempat itu. Ini berhubungan dengan alasan gue suka bengong selama ini."
Mata Isell menyelidik. "Hmm? Jangan-jangan ... ini berhubungan sama si perenang ya?"
Kila menggeleng dengan mimik centil.
Ada jeda beberapa detik sebelum Isell kaget sendiri. "Eh? Cafe Aroma? Jangan bilang...."
Senyum kecil muncul dari bibir Kila. "Kayaknya gue nggak boleh deh stalking cowok. Bukannya dapet sesuatu, gue malah jadi makin penasaran sama dia. Banget malah. Gue yakin lo ngerti siapa yang gue maksud."
"Ah, Kilaaa." Isell mengembuskan napas pasrah. "Gue bilang, hati-hati sama dia. Hati-hati sama mereka. Lo kan tahu kalau gue orangnya sering punya sejenis feeeling tertentu. Entah kenapa, gue bisa ngerasain seseorang itu baik atau nggak bahkan sejak pertemuan pertama."
"Itu dia kenapa gue mau lo ketemu dia langsung, Sell. Gue mau lo lihat orangnya. Lo kan belum pernah ketemu sama mereka!"
Isell terlihat ragu-ragu. "Males, La. Dulu juga akhirnya batal ketemu. Menyebalkan."
"Kesempatan." Kila menjeda. "Kalau kita udah mikir 'ini nggak akan bener', apa pun yang terjadi, kita akan melihat itu sebagai sesuatu yang salah. Karena kita udah menutup diri. Mirip dengan kita saat menghadapi sesuatu. Kalimat 'Ini susah dan gue nggak bisa' akan bikin kita sendiri kena sugesti dan jadi nggak mau usaha maksimal. Itu fakta dan sering terjadi."
"Tapi, La—"
"Kesempatan, Sell. Gue cuma mau satu kesempatan dari lo buat orang ini. Kita tahu kalau gue bahkan bebas mau minta pendapat lo—atau nggak—untuk urusan hidup gue. Lo tahu kan kenapa gue memilih minta? Gue percaya sama lo."
Isell kalah. Ia menyerah untuk mendebat Kila lebih lanjut. Satu pertanyaan terlintas dalam benaknya, "Apa sih La yang bikin lo segini tertariknya sama dia? Dari beberapa kejadian sebelumnya, gue nggak ngerasa kalau dia itu tipe lo. Mana ada orang baik nyosor kayak soang?"
Kila langsung menertawakan frontal-nya Isell.
"Loh? Malah ketawa. Serius, La."
"Hmm." Kila menjeda. "Kalau definisi baik hanya ada pada satu ciri, akan membosankan sekali hidup ini. Gue bingung. Belum sepenuhnya bisa bilang dia orang baik atau bukan. Gue juga nggak tahu maksud tindakan dia selama ini tuh apaan. Makanya gue mau tahu itu. Gue mau kasih diri gue sendiri kesempatan buat kenal dia sebelum judge macem-macem."
Embusan napas pasrah kembali keluar. "Oke deh." Isell mengangkat bahu. "Kita kasih dia kesempatan."
+++++
===============
Part 12, yeay!
Alhamdulillah dulu karena cerita ini akhirnya dilanjut di sini juga. Yehaaa!
Ada yang mau ikutan giveaway novel perdanaku, Origamiara?
Mau? Yuk pantengin Instagramku! Aku mau bagi-bagi empat novel dalam waktu dekat.
IG: rezzadwiecha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro