11| Aku Suka
11| Aku Suka
"AKU MAU nasi, ayam paha atas yang original, perkedel, cream soup, mocca float, sama pom—" Kila merasakan tatapan aneh Bana di sampingnya. Ketika menoleh dan mendapati lelaki itu tengah memasang mimik kaget, Kila melanjutkan, "Enggah deh. Udah pesennya itu aja." Ada kekehan dipaksakan di ujung kalimatnya.
Bana tersenyum—yang lebih terlihat menertawakan. "Mau nambah pom tilla juga boleh."
Kila menggeleng cepat. "Nggak. Itu aja." Kila sadar Bana menertawakan makan banyaknya.
"Bener?"
Kila mengangguk. "Mmm." Matanya kemudian beredar ke sekitar, menyisir keramaian. "Aku tunggu di sana," tunjuk Kila pada kursi merah di pojok dekat jendela. Shakila Thalia Asri sudah melangkah sebelum Bana menjawab.
+++++
"Kenapa kulitnya dipisah?" tanya Bana begitu melihat Kila melepas kulit ayamnya.
Kila menyicip cepat sisa bumbu di ujung ibu jari. "Bagian paling enak dimakan terakhir," katanya tanpa mendongak. Sekarang, Kila sudah sibuk menata segala jenis makanan di depan mata, sedikit kebingungan ingin duluan memakan bagian mana.
Beberapa detik kemudian, Bana tesenyum tak percaya. Kila—yang tadi menolak diajak makan—sekarang sudah lahap menyantap pesanannya. Cubit ayam, cubit perkedal, cubit nasi, kemudian kunyah habis sebelum menyendok sup. Kembali pada cubit ayam, cubit perkedel, cubit nasi, dan seterusnya.
"Beneran makan ya judulnya," sindir Bana. "Lapar?"
Dengan mulut masih mengunyah, Kila mendongak. "Mmm?"
"Abisin dulu aja," kata Bana diiringi senyum lebar. Gadis di depannya itu benar-benar jadi diri sendiri saat makan. Gadis lain mungkin akan malu-malu, menjaga image, atau memperlihatkan keanggunan. Kila nyatanya berbeda.
Setelah menghabiskan makanannya tanpa bicara, Kila mencuci tangan, lalu kembali ke meja dan baru akan menyentuh mocca float-nya. Bana sudah selesai makan sejak tadi—hanya memakan nasi dan dada ayam saja.
"Yah ... sedotannya!" Kila menatap miris sedotan yang tadi akan ia masukkan ke dalam gelas justru tak sengaja jatuh. Bibir Kila ditekuk. "Harus minta lagi."
Tanpa bicara, Albana Wicaksono mengambil sedotan miliknya di nampan dan memasukkannya ke gelas Kila. Gerakan itu terlalu cepat untuk Kila sadari. "Eh? Masa masukkin yang bekas?" tanya Kila dengan kerutan di dahi.
"Aku minum soft drink langsung, nggak pake sedotan.
Kerutan di wajah Kila perlahan menghilang. Kila menutupi malunya dengan pura-pura sibuk minum. Perasaan ... gue bareng dia udah daritadi. Kok baru kerasa deg-degan sekarang ya? tanya batin Kila. Kayaknya gue terlalu sibuk makan. Tadi malu-maluin nggak ya makannya? Kenapa gue bisa nggak sadar, ya? Duh. Gara-gara sarapan dikit doang nih, jadi laper.
"Mas? Tadi yang pesen dua puding, ya?"
Suara seorang pria memudarkan lamunan Kila. Pelayan itu menyimpan puding ke meja. Mendapati Bana yang hanya mengangguk atas pertanyaan tadi, Kila memanggil pria itu sebelum dia pergi. "Mas! Makasih, ya!" seru Kila dengan senyum ramah.
"Kenapa kamu nggak bilang makasih sama mas tadi?" tanya Kila pada Bana sebelum langsung menyambar pudingnya.
"Mau makan puding itu sekarang juga?" Bana salah fokus.
Sadar kalau Bana tengah keheranan dengan porsi makannya, Kila mengembalikan lagi pudingnya ke meja. "Megang doang," katanya sebelum kembali pura-pura sibuk menyeruput mocca float. Karena es krimnya sudah meleleh dan menyatu dengan mocca, Kila jadi tak kesulitan menyedotnya meskipun sedotan Bana diameternya lebih kecil.
Bana tak menimpali. Ia hanya sedikit tergelak.
"Kenapa kamu nggak bilang makasih sama mas tadi?" ulang Kila. Karena Bana tak menjawab setelah ditunggu beberapa detik, Kila melanjutkan, "Kamu tahu, nggak? Ucapan makasih itu sederhana, tapi efeknya bisa lebih dari yang kamu tahu. Seseorang bisa merasa dihargai saat ada orang lain mengucapkan terima kasih untuk hal sepele apa pun yang dia lakukan."
Bana masih tak menimpali. Ia lebih memilih menyambar puding di meja.
"Misalkan, kalau abis nonton konser nih," Kila kembali bersuara. "Konsernya seruuu banget. Lalu aku mention si pemusiknya lewat twitter. Di antara kalimat 'Kak, lanjut dong konsernya! Ada lagi ya nanti!' sama 'Kak, makasih banyak buat konsernya! Aku suka. Aku akan tunggu konser selanjutnya!', kamu lebih seneng dikasih ucapan mana?"
Bana menyugar rambutnya sebentar. "Contohnya lucu," katanya yang lagi-lagi salah fokus.
"Kalimat pertama terasa memerintah, sedangkan kalimat kedua terasa menghargai." Kila menjawab sendiri. "Aku yakin kalau kamu dikasih ucapan makasih, pasti ngerasa tersanjung, yang selanjutnya jadi pengen ngasih lebih. Itu termasuk sopan santun. Mas tadi bisa jadi makin semangat kerjanya, loh. Nanti, kalau nganterin makanan jadi bisa lebih cepet."
Bana tersenyum untuk keberanian Kila menceramahinya, juga untuk kenyataan kalau ternyata Kila orangnya peduli. Itu terlihat sekali dari cara Kila memikirkan palayan tadi dan cara Kila memberitahu Bana. Kila juga ternyata orangnya suka bicara. Shakila yang kemarin sering kikuk, sekarang sudah lebih lentur mengobrol dengannya.
"Lagian," Kila melanjutkan, "bilang 'makasih' nggak bikin kita rugi, malah menunjukkan kalau kita tahu cara balas budi. Untuk hal sekecil apa pun, loh."
Bana mengangguk-angguk santai. "Tapi, kamu nggak bilang makasih buat sedotan tadi," tembaknya.
Mata Kila langsung membesar. Terlihat sekali mimik kagetnya di sana. Bana ini frontal juga, ya! kata batin Kila. Selanjutnya, Kila berdeham salah tingkah. "Iya deh," katanya dengan suara pelan—sangat pelan. "Makasih sedotannya." Mata Kila sama sekali tak berani menatap Bana.
Bana yang merasa menang langsung tergelak tanpa suara.
+++++
"Kenapa kita harus makan di sini sih, Sell?"
"Katanya mau nemenin gue?" tanya Isell balik di sela jalan kakinya. Kantin Barat Laut sudah terlihat dari tempatnya berdiri. Kantin itu penuh. Antrian di dekat kasir terlihat cukup panjang. Meja kosong hanya tersisa satu-dua.
"Ini jauh loh dari gedung Planologi sama Arsitektur," Nuno masih berkilah. "Gedung kita deket daerah timur. Itungannya jadi jalan dari ujung ke ujung."
"Gue tadi nggak maksa lo ikut, No. Lo bisa makan sama temen jurusan lo."
Nuno menggaruk telinga tak gatalnya. "Iya, iya. Gue temenin."
Walaupun Nuno, Isell, dan Kila satu SMA, Nuno baru benar-benar dekat dengan Isell dan Kila sejak masuk kuliah. Isell maupun Nuno sama sekali tak pernah perhatian satu sama lain sebelumnya. Kenal saja tidak. Paling hanya sekadar tahu nama dan kelasnya. Baru semenjak masuk perguruan tinggi ini saja ketiganya akrab.
"No."
"Hmm?"
"Gimana lo sama Andita?"
Nuno diam sebentar. "Ya nggak gimana-gimana, Sell."
"Andita cantik, No. Lo beneran nggak mau sama dia? Dia nanya-nanyain lo mulu ke gue."
Dahi Nuno mengernyit. "Kenapa dia nanya ke lo?"
"Karena dia taunya lo paling deket sama gue. Karena dia cuma kenal gue—anak SMA kita yang kuliah di sini bareng lo. Gue heran. Di kampus dia padahal cowoknya tajir-tajir, ganteng-ganteng. Kenapa dia masih aja pengen sama lo?"
Nuno pura-pura cemberut. "Maksudnya apa tuh?"
Isella Nurriska terkekeh.
"Dia nggak akan mau sama gue kalau gue nggak ganteng, Sell."
"Njir. Pede abis." Isella menepuk keras bahu Nuno. Hal yang terlalu sering ia lakukan pada Nuno sampai Nuno pun sudah biasa dan tak pernah marah. "Emang, lo lagi deket sama cewek lain?" tanyanya ringan.
"Kenapa gitu?"
"Gue heran aja sama lo. Gue biasa cerita apa aja ke lo, begitu juga dengan lo ke gue. Sampe ke kampus belum mandi aja lo selalu cerita ke gue. Tapi, lo nggak pernah bahas cewek. Gebetan lo siapa, kecengan lo siapa. Cewek sekelas Andita aja lo hindarin. Lo gay ya?"
Nuno menoleh dengan mata membesar. "Kampret!"
Isella Nurriska tergelak. Gelakan itu baru terhenti ketika langkah mereka mulai masuk kantin. "Yah ... hari ini nggak ada juga," kata Isell dengan kecewa.
"Apa yang nggak ada?" Nuno mengamati mata Isell yang sejak tadi sibuk menyisir sekitar. "Lo cari orang?"
"Ada cowok yang bikin gue penasaran, No."
Jeda sekian detik untuk Nuno diam berpikir sebelum bertanya, "Siapa?" Bukan hanya suara Nuno yang datar, mimiknya juga.
"Lo inget kan pas gue makan di sini lupa bawa dompet? Nah, waktu itu, dia yang minjemin gue duit. Gue nyari dia mau sekalian balikin uangnya. Tapi, gue belum aja ketemu dia. Nggak tahu sih. Yang jelas, gue nggak bohong kalau gue emang tertarik sama dia."
Kejujuran Isella Nurriska terlalu khas di telinga Nuno. Isell yang ia kenal memang sering blak-blakan. Biasanya, Nuno tak pernah keberatan dengan cerita-cerita Isell. Celotehan Isell apa saja mau didengarnya. Kecuali ini. Kecuali tentang laki-laki yang menarik perhatian Isell. Nuno tak suka mendengarnya.
+++++
"Kamu suka apa?" tanya Bana pada Kila.
Shakila Thalia Asri memutar kedua bola matanya. "Aku suka ... banyak," jawabnya sebelum menyedot mocca float di tangan. Mendapati Bana masih diam menunggu kelanjutan jawaban Kila, Kila menambahkan, "Aku suka warna kuning, suka makanan apa aja selain mentimun, suka minuman cokelat panas, suka baca novel, suka lagu-lagu lirik puitis, suka juga sama ... astronomi!"
Mendapati Kila antusias menyebut 'astronomi', Bana tersenyum. "Coba cerita tentang astronomi."
"Cerita tentang ... astronomi?" Ada nada heran di kalimat Kila.
Senyum Bana semakin terlihat, menampakkan lesung di kedua pipinya. "Hmm."
Sesaat, Kila meragu. "Beneran nggak apa-apa kalau aku cerita tentang astronomi?"
Bana mengangguk pasti.
"Kamu mau dengerin?" tanya Kila lagi.
"Mau."
Dia ini emang cuek atau baik ya mau dengerin cerita gue? Bikin bingung. Daritadi ngomongnya irit-irit pula! Sariawan, apa ya?
"Hmm, oke deh," kata Kila akhirnya diikuti senyum mengembang. Ia berjanji, kalau besok giliran Bana yang bercerita tentang hal yang disukainya, Kila akan menjadi pendengar yang baik. Karena sekarang Kila baru mengerti. Menyenangkan rasanya saat mendapati orang mau jadi pendengarnya. Hati Kila terasa sedikit hangat.
"Angkatanku sekarang lagi dapet tugas buat meriksa bintang."
Bana lebih mendekatkan duduknya pada meja. "Meriksa bintang?"
"Nama matakuliahnya Laboratorium Astronomi Dasar. Praktikum wajib di Bosscha tiap weekend. Aku seneng! Aku disuruh ambil data gerak planet, citra galaksi atau nebula, juga spektrum bintang. Aku seneng meskipun susah ngambilnya. Soalnya, harus prediksi waktu terbit. Harus peduli sama cuaca cerah atau berawan. Apalagi kalau ada bulan."
"Bulan?"
"Hmm," angguk Kila pasti. "Kalau ada bulan, bintang atau objek lain itu tertutup jadinya. Saking terangnya bulan."
"Susah meriksa bintang?"
"Hmm." Kila terlihat berpikir. "Tergantung. Beneran tergantung cuaca dan kondisi. Bintang salah satu bukti untuk aku percaya, di dunia ini, ketidakpastian itu benar adanya. Kalau lagi susah diperiksa, aku jadi nggak bisa kerja. Kalau udah gitu, anak Astronomi jadinya main kartu doang. Kamu tahu nggak kartu Matcha? Pokoknya, itu kartu matematika sambil bermain gitu. Ada karakter Plux, Multibot, Minustro, sama Divida."
Percakapan terus berlanjut. Kila bercerita banyak tentang matakuliahnya. Tentang hal yang Kila senangi dan hal yang dirasa berat selama ini. Satu jam lebih Kila berbicara, sama sekali tak terasa. Kila senang-senang saja meskipun Bana lebih banyak memberikan respons untuk Kila dibanding balik bercerita.
"Sabtu ini, kami praktek lagi di Bosscha," kata Kila.
"Hari libur tetep buat belajar?"
Kila mengangguk. "Tapi aku seneng."
Bana tersenyum.
Diam-diam, Kila merasa tak percaya. Di luar dugaan, bercerita pada Bana membuatnya nyaman. Bana pendengar dan pemberi respons yang baik. Hilang sudah anggapan 'berengsek' yang kemarin ia rasakan. Bana tidak seburuk yang Isell bilang. Bana tidak seburuk dugaannya. Albana Wicaksono mempunyai caranya sendiri dalam bergerak. Kadang begitu pasif, kadang tiba-tiba agresif. Kila cukup tertarik dengan karakter Bana itu.
Di tengah lamunan, Kila mendapati seorang laki-laki tersenyum ke arahnya. Kila harus sedikit menyipitkan mata untuk menyadari identitas orang itu.
Loh?
Dia kan.....
Sadar kalau laki-laki itu masih tersenyum di meja seberang, Kila balas tersenyum seraya mengangguk sopan. Terbilang wajar rasanya kalau lelaki itu ada di sini, mengingat tempat makan ini memang tak jauh dari kampus.
Bana menoleh ke belakang sebentar sebelum kembali menatap Kila. "Siapa?"
"Orang lain," jawab Kila asal, tak sadar dengan tatapan heran Bana. Nyatanya tidak. Lelaki itu pernah bukan sekadar jadi 'orang lain' untuk Kila. Dialah satu-satunya laki-laki yang pernah dekat dengan Kila. Namun, tak mungkin juga Kila mengatakannya pada Bana. Entah kenapa, Kila tak ingin Bana tahu tentang orang itu.
"Ng ... balik yuk," ajak Kila.
Kedua alis Bana terangkat. "Abisin dulu pudingnya," ujarnya seraya menunjuk puding utuh Kila dengan dagu.
"Aku ada kelas lagi nih. Kalau aku telat masuk, kamu ya yang tanggung jawab!"
Bana tersenyum miring, membentuk mimik 'harimau' yang Kila kenal. "Belum apa-apa udah minta tanggung jawab." Bana menjeda. "Kamu ternyata polos-polos modus."
"Ih!" Kila membelalakkan matanya, membuat Bana terbahak.
+++++
---------------
Part 11, yeay!
Asyik update-nya lumayan cepet ehehehe
OPEN FOLLOW/DEDICATE
Anny mau follow/dedicate random people nih. Mau, nggak?
Anny akan pake Random Number Generator gitu deh buat nentuin orangnya. Jadi, alat yang menentukan pemenang. Bukan aku.
Ini buat asik-asikan aja yak. Biar rame~ wkwkwk
Pemenangnya nanti bisa banyakan terserah aku haha
Syaratnya:
1. votes cerita ini
2. masukkan cerita ini ke library
3. masukkan cerita ini ke reading list
(reading list apa aja bebasss)
(aku akan cek buktinya di akhir)
4. ketik "BassKiss" di komentar
Tolong bedakan antara komen untuk ikut ini sama komen emang ngomen cerita ya. Jadi kamu bisa tinggalkan dua komen, misal. Satu untuk ngomen cerita, satu untuk ketik "BassKiss" doang. Nanti aku kasih nomor buat yang ikutan.
Oke deh! Yuk ramaikan ehehehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro