Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10| Tanda Tanya


10| Tanda Tanya


KILA TAK PEDULI pada cerita Isell bukan tanpa alasan. Isella sudah mengoceh panjang lebar, tentang Bi Inah yang minta mengganti jadwal mengurus rumah dari Rabu-Jumat ke Selasa-Kamis, mama Isell yang menanyakan tagihan listrik, sampai tentang keluarganya di Bogor yang sering heboh. Isella masih saja bicara, tetapi seolah ucapan panjang lebarnya hanya mampir lewat di telinga Kila.

"Isyana ngamuk gitu, La. Nggak mau pake baju katanya ke sekolah. Emak gue sampe-La?"

Tepukan Isell di lengan Kila memudarkan lamunannya.

"Hah? Iya, Sell? Kenapa?"

"Nasi lo tumpah." Dagu Isell menunjuk sendok di tangan Kila.

Kila hanya terkekeh tanpa merasa berdosa saat menyadari kebodohannya. Sejak tadi, pikirannya terbagi hanya pada dua hal. Tentu saja salah satunya bukan tentang cerita Isell, juga bukan tentang sarapan sotonya pagi ini.

Pertama, Kila bingung. Seorang laki-laki menciumnya di awal-awal pertemuan mereka. Bahkan, dulu, Bana menciumnya saat mereka belum saling mengenal. Kila tidak merasa sedang melakukan sejenis pdkt dengan orang itu. Atau Bana memang tengah menyatakan rasa sukanya tanpa bicara? Kalau begitu, tidak salah agaknya Kila berpendapat kalau Bana sejenis manusia tidak mudah ditebak.

"Isyana lari-lari di rumah nggak pake baju. Udelnya kemana-mana." Isell tertawa. "Bang Islan sebelum berangkat kerja ikutan ngamuk. Dia bilang, 'Lo anak TK apa anak tarzan sih?'. Kakak gue emang frontal abis. Nggak beda jauh sama gu-La?"

Tepukan Isell kembali memudarkan lamunan Kila.

Isell menautkan dahinya beberapa saat seraya mendeteksi perilaku aneh Kila. "Gue tes, ya!"

Kila membelalakkan matanya. "Hah? Tes apa? Gue belum belajar!"

Wajah panik Kila itu yang spontan membuat Isella Nurriska terbahak. Namun gelakannya hanya berlaku beberapa saat. Isell langsung menodongkan pertanyaan, "Siapa yang lari-lari nggak pake baju?"

Kila melotot. "Haaah? Ada yang nggak pake baju?!"

Isella Nurriska memijat pelipisnya. "Oke, sip. Gue ngomong sama sendok."

"Siapa yang nggak pake baju?" Kila hanya bisa merengut tak mengerti. Beberapa detik kemudian ia sudah mengabaikan Isell lagi dan menyuapkan soto Bandungnya. Lobak hangat terasa lembut di mulut.

Hangat? Salahkah Kila berpendapat kalau perilaku Bana terasa hangat? Bana yang selalu tersenyum untuknya, selalu mengejutkan hatinya. Bana yang mau menunggu Kila zumba, bahkan Bana yang peduli mengantarkan Kila pulang. Shakila belum pernah merasakan jenis perhatian seperti ini. Baiklah. Kila ingat, sebelum dengan Bana, Kila pernah dekat dengan seseorang. Namun, rasanya berbeda. Bana terlalu mendominasi pikirannya.

Ada gitu orang yang nggak jadi kepikirian kalau digituin sama Bana?

Pikiran kedua yang menganggu Kila yaitu tentang kejujurannya pada Isell. Kila sejak tadi menimbang-nimbang. Apa ia harus menceritakan perilaku Bana pada sahabatnya itu? Atau sebaiknya disimpan sendiri dulu? Kila tak lupa pada larangan Isell untuk ia jangan dekat-dekat Bana. Bagaimana kalau Isell memarahinya?

Terdengar bunyi kursi ditarik. Kila mendongak. Isell sudah berdiri dan memasang mimik sebal.

"Lo mau nebeng Nuno juga, nggak? Kalau mau, cepet makannya." Ada kesal tertahan di suara Isell. "Udah. Nggak usah minta maaf udah nyuekin gue. Gue tanya-tanya malah diem mulu. Cepet abisin."

Kila hanya bisa menelan ludah.

+++++

Tidak usah melihat orang lain bergerak kalau jadi diri sendiri nyatanya lebih enak. Pikiran semacam itulah yang terus melekat di pikiran Bana. Namun, sudut pandang ayah selalu berbeda.

Bass putih di tangan dipetiknya berulang. Albana Wicaksono memainkannya dengan pikiran terpecah. Koleksinya di rumah lenyap lagi. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya, senar yang baru dibelinya berhasil ditemukan dan dibakar. Padahal Bana sudah menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Kemarin, koleksi pick gitar Bana yang menjadi korban selanjutnya. Dua puluh pick yang selama ini Bana kumpulkan berubah menjadi abu.

"Gimana?" Suara Dipa memudarkan fokus Bana. Dipayana Samudra duduk di sofa merah basecamp, mengambil botol air mineral di meja, kemudian meminumnya. "Gimana kemarin? Rumah panas lagi?"

Bana tersenyum seraya membuat efek chorus pada gitarnya. Harmonisasi terbentuk di sana. "Biasalah."

Dipa bangun dari duduk. "Itu gitar jangan pernah lo bawa pulang." Dipa menunjuk benda di tangan Bana dengan botolnya. "Dan kalo lo jadi beli Vox Virage, mending taro di sini atau rumah gue."

Efek chorus di tangan Bana berubah menjadi efek delay. Efek yang merupakan pengembangan dari echo klasik ini biasa digunakan untuk mengulang suara dengan selang waktu tertentu.

"Oh, iya. LocaFore kemarin pecah banget!" seru Dipa bersemangat.

Bana menghentikan petikannya. "Iya? Gimana kemarin?"

"Kalau ngomongin LocaFore kemarin, gue bakal ngomongin kualitas sound sama stage setting-nya. Untuk ukuran acara gratis, itu keren banget! Beda lagi sama Faldi. Mungkin dia bakal bahas exhibition designer-nya atau Barry Likumahuwa dan Raisa yang tahun ini nggak dateng lagi. Beda sama pas 2013."

Dipa selanjutnya bercerita detail tentang LocaFore Art Design and Jazz Festival yang beberapa hari lalu hadir di Kota Baru Parahyangan, Padalarang. Acara dengan amphitheater stage dan green stage itu adalah acara yang sering ditunggu para penyuka jazz.

Bana mengacak messy mohawk-nya. "Barry Likumahuwa. Seandainya gue bisa nonton." Bana langsung membayangkan salah satu bassist yang diidolakannya itu. Barry Likumahuwa, juara pertama kategori bass pada Indonesia Music Festival yang diadakan Fender tahun 2003.

Dipa menepuk bahu Bana sebelum duduk di kursi drum. "Kemarin emang keren. Tapi, ya ... gimana lagi? Kalau lo kemarin kabur dari rumah demi nonton, gue nggak bisa bayangin kurungan lo bakal nambah berapa lama."

Bana tersenyum kecut. Dibenarkannya pendapat Dipa dalam benak.

+++++

Berlebihan rasanya kalau Kila bilang ia jatuh cinta. Cinta adalah perasaan abstrak yang tak bisa dirasakan instan. Cinta butuh proses. Itulah menurut Shakila Thalia Asri. Kila tak mau menyimpulkan perasaannya sebagai rasa cinta. Cinta terdengar terlalu dangdut di telinga. Mungkinkah Kila hanya tertarik?

Oh Tuhan. Ini gawat. Kila bahkan sudah menganalisis jenis perasaan di hatinya. Ternyata Isell benar. Bana berbahaya. Efek perilaku Bana berhasil menembus tameng pertahanan Kila, mengacaukan kineja otak realistisnya. Sadar, La. Bana itu berengsek!

Sedetik kemudian, Kila menautkan dahi.

Aku pilih dapet nilai E bukan tanpa alasan.

Kalimat Bana itu tiba-tiba menyelinap di kepalanya. Kila percaya, akan selalu ada alasan untuk seseorang melakukan suatu hal. Bana bilang, ia punya alasan sehingga memilih nilai E. Tidak menutup kemungkinan untuk Bana pun punya alasan memperlakukan Kila seperti ini. Lalu, apa alasannya?

Mungkinkah Bana menyukainya?

Mendapati gagasan itu terlintas di kepala, tanpa sadar, Kila tersenyum.

"Kenapa senyum sendiri, La?" tanya Nika, gadis kurus berambut tipis sepunggung. Hanya Nika sepertinya yang menyadari gelagat melamun Kila di tengah-tengah perkumpulan gadis Astronomi lainnya. Kumpulan itu sibuk membahas oposisi neptunus.

"Eh?" Kila salah tingkah. Senyumnya benar-benar sulit ditahan untuk tak keluar. Jantung Kila berdetak cukup cepat. Diarahkannya tatapan ke arah lain demi mencari jawaban. "Daun itu bagus ya, Nik!" Kila menunjuk pohon dekat gedung Astronomi.

Nika mengikuti arah telunjuk Kila. "Daun? Bagus?" Ada nada heran di ujung kalimatnya. "Perasaan ... itu pohon mangga doang deh, La."

Suara Nika masuk telinga tanpa dicerna. Bayangan Kila masih pada Bana. Tindakan-tindakan lelaki itu seolah menjadi film pendek yang diputar di kepalanya. Senyum lesung pipinya, gelaknya, seringaiannya, wajah tenangnya, atau suara berat nan rendah dari mulutnya. Kila suka suara Bana. Itu fakta. Sejak Kila pertama mendengar Tanah Sepi di I-Radio, suara Bana sudah berhasil mencuri perhatiannya.

"Merkurius bisa diliat sore-sore sampai 7 September, sedangkan jupiter sampai 15 September," jelas Melati, salah satu gadis di kumpulan. Bahasan sudah berpindah menjadi tentang fenomena langit bulan. Mereka mendengar kabar bahwa ada beberapa planet yang bisa dinikmati tanpa alat di September ini.

Kila hanya mendengarnya sebagian, tak begitu perhatian pada bahasannya. Ia sudah tahu tentang kabar itu. Kila sudah baca berita di internet. Lagipula, ponselnya terasa lebih menarik dari planet. Kila membuka LINE. Tidak ada lagi. Notifikasi dari Bana tak datang juga di hari ini.

Sudah hampir seminggu Kila keheranan. Ngapain dia minta ID kalo nge-add doang? Setelah seenaknya mencium kening anak orang, Bana menghilang. Setelah mengacak-acak pikiran Kila, Bana tak ada kabar. Berengsek, nggak tuh?

Desas-desus di kumpulan itu tiba-tiba menarik perhatian Kila. Teman-temannya tak lagi membahas planet, bulan, fenomena langit, atau sejenisnya. Mereka tersenyum-senyum kecil seraya 'berkode-kode' ke arah belakang Kila. Mata mereka terlihat usil.

"Itu pacarnya ya, La?" Melati si tubuh gempal bertanya.

Kila menarik satu alisnya sebelum menoleh ke belakang.

Oh Tuhan.

Benar dugaannya.

Itu dia.

"Kemarin didatengin ke kelas, sekarang dijemput." Putri ikut mengompori. "Iya, iya. Gue ngiri. Nggak nyangka aja Kila bisa punya pacar juga."

Bukan hanya Melati dan Putri yang berbisik-bisik. Nika juga, yang lain juga. Kila hanya bisa menahan malu di sana. Sialan, batin Kila. Kila kembali membelakangi Bana yang berdiri di dekat pohon itu. Ngapain dia ke sini? tanya Kila dengan senyuman kecil di bibir yang akhirnya keluar juga. Ah, kenapa senyumnya ini sulit sekali diatur?

"Gue pergi dulu deh, ya." Kila bangun dari duduk, mengabaikan desas-desus yang semakin hebat. Sesuai dugaanya. Teman-temannya itu tak akan diam saja saat melihat Bana masuk kelasnya tempo lalu-terang-terangan menjadi pusat perhatian. Bana rese! Fiks! Gue jadi bahan gosip seangkatan.

"Ngapain ke sini?" todong Kila.

"Makan siang yuk."

Suara Bana santai, mimik Bana juga biasa saja. Kalimatnya pun kalimat standar. Namun, semua berbeda saat Kila yang mendengarnya. Bukan hanya wangi maskulin Bana yang membuat Kila tak keruan, suara berat Bana juga, bibirnya juga, terlebih dengan dada bidangnya. Kila bohong kalau bilang semuanya tidak menarik perhatian.

"Makan apa?" tanya Kila berusaha terlihat biasa.

"Apa aja yang penting ada sapinya."

Kila mendelik. "Kenapa harus sapi?"

"Aku suka."

"Kalau aku nggak mau?" Kila tak mengerti kenapa ia masih saja mengikuti panggilan ­aku-kamu yang biasa Bana keluarkan.

"Coba dulu," jawab Bana masih tanpa senyum sama sekali.

"Ayam aja. Aku mau makan ayam." Awalnya, Kila berniat untuk menolak. Namun, tolakannya salah. Bukannya mengatakan 'nggak mau', Kila terlanjur mengatakan alternatif lain-seolah setuju makan bersama.

Semingguan ini Bana sudah membuatnya bingung. Apa itu? Wajahnya biasa saja seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Harusnya Kila menghindari harimau berbahaya ini. Namun, satu sisi, Kila penasaran. Rasa penasaran sering berhasil mengalahkan ego. Bana ini kenapa? Ada apa sebenarnya? Terlalu banyak hal yang membuat Kila bertanya-tanya tentang Bana. Haruskah Kila mengikuti cara main Bana?

"Oke. KFC?"

Kila berpikir beberapa detik sebelum kemudian akhirnya menjawab, "Oke deh."

+++++


--------------

Yeay, part 10!

Aaak, aku rinduuu~

Untuk kamu, siapa saja yang menanyakan kabar Origamiara, sebentar lagi aku akan posting sesuatu di lapak sana. Cek aja ya!

See you! Aku akan langsung nulis BassKiss part 11. Semoga kelarnya cepet xD

Bales komennya nyicil dulu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro