Extra Part
Untuk kesekian kalinya, Ranya kembali membuka email-nya. Melihat lagi setiap email yang dikirimnya pada sosok yang sudah menghilang tanpa kabar.
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Gimana di sana?
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Sombong banget sih, email gue nggak dibales!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
KATANYA MAU NGABARIN GUE TERUSSSS?!?!?!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Bar, lo marah sama gue, ya? :(
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Hari ini gue 17 tahun. Curang lo, ya! Waktu lo 17 tahun, gue rayain plus kasih kado. Sekarang pas gue ulang tahun, lo malah ngilang!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Terserahlah!! Lo bukan sahabat gue lagi!!! Gue nggak kenal sama lo!!!!!!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Bahkan sampe gue lulus dari Nuski, lo masih nggak ngabarin gue ya, Bar. Hebat. Ngakunya sahabat dari orok. Tapi lo malah begini. Mampus ajalah sana!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Barga, sumpah gue lagi sedih. Lo masih hidup nggak, sih?!
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Bar, gue cuma mau tau kalo lo emang baik-baik aja. Cukup bales satu huruf aja gue nggak masalah kok. Setidaknya, gue tau kalo lo masih napas.
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Gue janji, ini terakhir kalinya gue kirim email menjijikkan begini.
Gue cuma mau bilang maaf. Buat apa pun salah gue ke elo. Karena mungkin selama ini, belum bisa jadi sahabat yang baik, gue minta maaf.
Lo baik-baik ya di sana. Belajar yang bener. Gue juga udah mau bodo amat sama lo. Yang penting lo di sana sehat plus happy. Gue udah males mikirin gimana kabar lo di sana, sedangkan lo aja ngilang nggak berjejak, padahal bilang ke gue mau ngabarin terus. But, it’s oke. Lo pasti udah punya hidup baru di sana.
Oh iya, Bayu sama Niko tuh nanyain lo terus. Kalo lo emang nggak ada niat ngabarin gue, setidaknya kasih kabar ke mereka. Jangan sombong gitu sama temen lama. Nggak baik. Lo harusnya bisa menerapkan ilmu padi. God bless, Bar.
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Gue kangen. Sumpah.
Setiap email itu tak pernah mendapatkan balasan. Sama sekali. Padahal, mati-matian Ranya menekan egonya agar menghubungi Barga lebih dulu. Mengabaikan perasaan terlukanya setelah cowok itu memilih pergi dengan begitu mendadak.
Ranya menarik napasnya, lelah. Karena tak bisa dipungkiri bahwa; Ranya benar-benar merindu. Pada sosok yang sudah belasan tahun selalu berada di sisinya. Yang tumbuh bersama-sama dengannya.
Terlalu terbiasa dengan Barga, jelas memberikan kekosongan dalam dirinya saat cowok itu benar-benar menghilang dari sekitarannya. Ditambah pernyataan terakhir sebelum Barga pergi jelas menimbulkan luka yang lebih sakit dari seharusnya.
Tidakkah Barga sedikit memikirkan perasaannya saat itu? Karena sekalipun sudah tiga tahun berlalu, rasa sakit akan keputusan yang Barga lakukan itu masih terasa. Setiap kali Ranya berusaha melupakan, pernyataan cowok itu justru selalu muncul dan menganggu hati juga pikirannya.
Karena setelah diingat-ingat lagi, jauh sebelum rasanya timbul untuk Erga, desiran halus itu sudah terasa untuk Barga. Hanya saja, Ranya tak paham bahwa itu adalah sebuah perasaan berlebih. Karena saat itu, yang Ranya tahu, perasaannya hanya selalu meluap-luap bahagia saat ada Erga di sekitarannya. Saat si malaikatnya tersenyum, Ranya merasa begitu berbunga-bunga. Lalu ketika Tuhan meminta Erga pada keabadian, Ranya terluka. Terpukul. Merasa begitu kehilangan sampai takut tak bisa melakukan apa pun.
Ketika waktu terus berganti, desiran halus untuk Barga itu justru tak juga menghilang sekalipun Ranya berusaha keras memberontak. Sampai setiap kali Barga mendeklarasikan diri bahwa tak akan menyukainya dan berkali-kali memintanya mencari pacar agar tak merepotkan, Ranya mati-matian memberikan sugesti pada otaknya untuk membunuh bibit rasa yang masih mungil itu, sebelum terlambat dan nantinya akan menamatkan eksistensinya. Bahwa sahabat tak akan pernah bisa menjadi cinta. Begitulah kodrat yang semestinya terjadi.
Karena demi apa pun, tak akan mudah menahan pesona seorang Barga Gaviel. Dan ketika Ranya berhasil, Barga justru datang dengan sebuah pengakuan yang mengoyakkan pertahanannya. Meruntuhkan tembok tinggi yang sudah dibangunnya susah payah. Dan kejamnya lagi, Barga justru meninggalkannya tanpa kabar. Membiarkannya sibuk membenahi perasaannya sendirian. Tanpa cowok itu mau mengerti bagaimana berada di posisinya.
Nanti gue yang selalu ngasih kabar sampe lo bosen.
Pembohong. Lagi, Ranya mengumpat dalam hati. Sebab Barga sama sekali tak menepati perkataannya. Cowok itu jelas benar-benar menghilang. Setiap chat yang dikirimkannya, selalu tak terkirim. Akun media sosial cowok itu pun, tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Barga, sahabatnya itu seakan tak memberinya ruang untuk sekadar memastikan kalau cowok itu baik-baik saja. Padahal Barga pasti sangat paham bahwa kalimatnya tiga tahun lalu, yang mengatakan bahwa dirinya tak akan menanyakan kabar cowok itu, jelas salah. Jelas tak mungkin dilakukan Ranya kepada seorang Barga.
Gue sayang banget sama lo, Nya.
Benarkah? Kalau begitu, mengapa setiap email yang dikirimkannya tak pernah dibalas? Mengapa Barga begitu tega padanya, dengan memilih pergi setelah menjatuhkan sebuah bom pernyataan di depan wajahnya? Sialnya, Ranya tak benar-benar bisa menyalahkan Barga. Sebab sahabatnya itu, pasti sudah mengalami luka yang jauh lebih parah darinya.
Ah, sial. Ranya langsung menghapus setetes air matanya yang terjatuh. Sudah terlalu sering dirinya menangisi cowok sialan itu, selama tiga tahun ini.
Lo jahat banget, Bar. Sumpah.
Sudah terlalu sering Ranya merutuk. Sudah terlalu sering Ranya memaki dalam hati. Atas ketidakhadiran Barga selama tiga tahun ini. Akhirnya, Ranya cukup sadar bahwa ini memang cara Barga meninggalkannya. Mungkin cowok itu sudah terlalu lelah. Tidak lagi sanggup berada di sampingnya.
Masalahnya, bolehkah Barga merasa lelah padahal sama sekali tak pernah berusaha membuatnya mengerti? Secara gamblang. Bukan mengabur seperti yang selalu dikatakan cowok itu dulu.
Lo sebenernya suka nggak sama Barga, Nya?
Pertanyaan Bayu setelah berhari-hari kepindahan Barga, membuat Ranya menarik napas lelah.
Kalo nggak suka, ya nggak perlu galau lah. Sahabat kan ada buat dukung keputusan sahabatnya yang mau maju. Jadi, harusnya lo dukung dia.
Ranya jelas tahu itu. Masalahnya, Bayu tak akan pernah paham bagaimana rasanya kehilangan sosok yang sudah belasan tahun menemani.
Suka nggak suka, lo tetep bakal kehilangan Barga, Nya. Nantinya lo bakal punya kehidupan sendiri. Dia juga gitu. Jadi, anggep aja ini latihan buat lo gak terlalu bergantung lagi sama dia.
Kalimat Niko beberapa bulan lalu kembali terngiang dalam pikirannya. Sekarang atau nanti, dia dan Barga memang akan memiliki kehidupan masing-masing. Sebab, ketika dia memutuskan untuk tidak menahan Barga, dirinya memang membiarkan mereka hidup dengan pilihan masing-masing. Dan memang begitulah yang seharusnya terjadi. Karena baginya, sahabat memang akan tetap menjadi sahabat. Tak bisa lebih dari itu.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Ranya mulai mengetikkan email untuk Barga. Tak peduli kalau cowok itu tak akan membalasnya lagi.
Ranya Maheswari <[email protected]>
To Barga Gavriel
Hai, Bar.
Setelah hampir enam bulan gue nggak ngirim lo email, gue coba kirim lagi. Habis lo nggak pernah bales. Ya, gue juga males ngirim terus.
Tapi gue janji ini bakal jadi email terakhir yang gue kirim. Gue yakin lo pasti bakal kangen. Jadi, gue beneran nggak akan kasih lo kabar apa-apa lagi.
Kalo gue bilang, kayaknya dulu gue pernah suka sama lo, percaya nggak? Gue juga nggak tau sih, itu rasa suka apa enggak. Soalnya yang gue tau, gue selalu deg-degan cuma sama bang Erga. Tapi setiap sama lo, gue selalu ngerasa seneng. Suka aja. Cuma, lo selalu bilang nggak bakal mau sama gue, jadi gue coba tau diri. Apalagi otak gue belum bisa terima dengan yang namanya pacaran sama sahabat.
Eh, sialnya waktu tau lo deket sama Aurel terus jadian sama dia, gue pikir gue bakal biasa aja. Ternyata enggak. Gue sempet nggak suka waktu itu. Tapi emang cuma awalnya. Dan gue pikir itu wajar karena kita bareng selama belasan tahun. Mungkin emang gue takut lo jadi jauh aja dari gue. Hebatnya, gue berhasil dong! Karena akhirnya gue sadar, kita bakal punya hidup masing-masing nantinya. Jadi, lama-lama gue seneng tiap kali lo bisa interaksi normal sama orang selain gue. Terus Abyan dateng. Demi apa pun, Bar. Dia yang bikin gue bener-bener bisa mulai nggak bergantung lagi sama lo. Dia yang bikin gue deg-degan sampe rasanya mules. Dan bikin gue mulai yakin, gue bisa nggak bikin lo repot lagi.
Jadi, waktu lo tiba-tiba bilang suka habis itu pindah, gue bener-bener benci banget sama lo. Gila. Gue mati-matian bikin kita tetep sahabatan. Tapi lo malah seenaknya bikin semuanya rusak. Hancur. Berantakan. Dan malah pergi gitu aja.
Tapi sekarang gue paham. Lo punya hidup yang harus diperjuangin. Semua nggak boleh melulu soal gue. Lagian, kalo lo tetep di sini, gue juga nggak tau bakal bilang apa sama lo, di saat gue belum bisa terima istilah 'sahabat jadi cinta'. Jadi, baik-baik di sana, ya. Gue juga bakal baik-baik aja di sini. Lo tetep sahabat gue, Bar. Apa pun yang terjadi.
Kalo kita ketemu lagi, tolong jangan menghindar, ya. Lo harus inget, dulu gue yang bantuin lo manjat pager sekolah pas SMP. Jadi, jangan lupa bales budi!
Gue sayang banget sama lo, Bar. Kangen juga. Bye.
Air mata Ranya turun seiring dengan ketikannya di email itu. Setelah email itu terkirim, Ranya langsung melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur lalu menelungkupkan diri di sana. Menangis. Untuk yang kesekian kalinya.
Lo itu kayaknya suka sama Barga, Nya. Tapi lo selalu bilang enggak cuma karena nggak mau kehilangan sahabat.
Abyan mungkin benar. Tapi Ranya jelas mati-matian menyangkal. Karena perasaannya jelas hanya rasa sayang sebatas sahabat. Buktinya, tak pernah ada debaran menggebu seperti yang dirasakannya pada Erga dan Abyan. Itu tandanya dia tak memiliki perasaan lebih pada Barga, kan?
Ranya mengangkat kepala saat mendengar ponselnya berdering panjang. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Menarik napasnya sesaat, Ranya menjawab panggilan itu. Kemudian menyapa. Namun detik-detik terlewat, orang di seberang telepon tak juga bersuara.
"Ck! Gue lagi bad mood, nih. Jangan bikin makin kesel," sungut Ranya sambil membersit hidungnya.
"Nggak jelas!" Saat sama sekali belum ada suara, akhirnya Ranya memilih mematikan panggilan.
Belum ada satu menit terlewat, ponselnya kembali berbunyi. Dan Ranya langsung menjawab dengan cepat, untuk memaki. "Lo mau gue tonjok--"
"Bad mood kenapa?"
Suara ini. Ranya sontak terdiam. Tubuhnya menegang sempurna.
"Nya--"
"Ngapain lo telepon gue?!" Dada Ranya sudah naik turun karena tiba-tiba emosi. Dan semakin emosi saat mendengar kekehan kecil di seberang panggilan.
"Untuk orang yang selalu kirimin gue email terus bilang kangen, lo bener-bener nggak konsisten."
Air mata Ranya langsung meluruh. Yang segera dihapusnya dengan cepat. "Gue benci banget sama--"
"Buka jendela kamar, Nya."
"Ngap--" Ranya sontak bangkit dari tempat tidur kemudian bergerak cepat membuka jendela kamar. Dan matanya terpaku menatap seseorang di seberang sana. Yang sedang tersenyum tanpa dosa ke arahnya. Yang kembali membuatnya menangis tersedu karena sesak.
"Ck! Cengeng. Pengin banget gue samper ke sana? Diem. Jangan nangis."
Tapi Ranya semakin menangis. Keras. Tak peduli dengan wajahnya yang akan memerah nanti.
"Gue nggak mau ke sana kalo lo masih nangis."
Ajaibnya, kalimat singkat itu perlahan membuat tangisan Ranya memelan. Berganti dengan sesenggukan kecil.
Dan itu membuat Barga langsung menyeringai. "Anak pinter. Tunggu di sana, ya."
"Diem!!"
Barga sontak terkekeh. Kemudian mengunci Ranya dengan tatapannya. Untuk tahun yang sudah terlewat, tapi rasanya pada cewek itu masih sama. Untuk jarak yang sudah terbentang, tapi tak menghapus bayangan cewek itu di otaknya. Karenanya, Barga amat sadar, sekeras apa pun menjauh, Ranya memang tak akan pernah pergi dari alam bawah sadarnya.
"KE SINI, BARGA!!!!"
Lagi, Barga terkekeh. Geli. Tak masalah kalau pun saat ini Tuhan belum mengijinkannya bersama Ranya. Asal cewek itu sudah tahu. Sudah paham. Dan mengerti. Karena kalau Tuhan menciptakan Ranya untuknya, sekeras apa pun cewek itu menolak, tak akan ada gunanya. Setidaknya, selama tiga tahun ini, ada yang bisa dilakukannya dengan baik. Dia berhasil menyusun kepingan diri. Sekalipun harus mengorbankan rasanya untuk sang sahabat. Karena dalam hidup, memang cinta bukan satu-satunya yang penting, kan?
"Iya, bawel."
~•~
sesuai janjiku extra part, done!
perasaan ranya ke barga, secara gamblangnya ada di novel. ranya masih jadian sama abyan apa enggak, juga ada di novel. yang penting kan aku menyelesaikan hubungan barga dan ranya sesuai dengan karakter mereka. ya, kan? hehe. karena jelas aku gak akan terima kalo udah belasan tahun temenan, terus jadi diem-dieman cuma karena salah satu ada yang suka. kalo temenan baru setahun dua tahun, mungkin masih ya udahlah. tapi kalo belasan tahun sih, aku nangis diem-diem karena kehilangan. haha. lagipula, aku udah janji bakal ada extra part kan.
terus apa bedanya yang di wattpad sama di bukunya, kak? hehe. lumayan banyak bedanya. nanti aku kasih spoiler-spoiler kecil di part abis ini.
oke, segitu aja. terima kasih untuk cinta kalian buat barga dan ranya. untuk setiap dukungan kalian buat mereka. semoga yang baik-baik bisa kalian ambil dari cerita ini. amin.
ditunggu vote dan komennya. juga semoga kalian pada beli novelnya nanti. hahahaha.
kalian punya pertanyaan? silakan tulis di kolom komentar ini yaauu.
oh iya, buat info terbit nantinya, kalian juga bisa follow akun ig ini:
ofc.barga
beliabentang
yenny.mrs
terima kasih, gaes!
salam,
yenny marissa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro