
11 ° 《 Memperhatikan 》
Memang benar, awal mula dari rasa suka adalah tertarik. Tertarik untuk memperhatikan lalu berusaha mengenal secara perlahan.
~•~
Ini pertama kalinya Ranya merasa berdebar saat berhadapan dengan seorang cowok. Demi apa pun, Abyan hanya berdiri di depannya lalu memberikan sebotol minuman isotonik yang sudah dibuka cowok itu, tapi jantungnya sudah berdetak tidak beraturan. Kurang memalukan apalagi dirinya? Padahal Barga jelas sering melakukan hal sesederhana itu, tapi dirinya tidak pernah berdebar seperti ini. Astaga.
"Habis ini, mau latihan band, ya?"
Kepala Ranya mengangguk lalu meneguk minuman yang diterimanya dari Abyan.
Tenang, Ranya. Tenang. Lo harus kalem. Jangan kelihatan norak. Intinya, jangan bikin malu!
Menarik napas dalam diam, akhirnya Ranya mulai bisa bersikap lepas seperti biasanya setelah memberikan sugesti pada dirinya. Sambil berusaha mengabaikan debaran pada jantungnya.
"Btw, lo nggak capek berdiri terus? Mau ke kantin aja nggak?"
Itu tawaran dari Abyan. Bukan dari Ranya. Padahal jelas-jelas saat ini mereka sedang di SMA Nusa Cendekia, SMA tempat Ranya menuntut ilmu.
"Lo nggak apa-apa?"
Abyan terkekeh geli. "Ya nggak apa-apa. Sekalian gue mau lihat, kata anak-anak sekolah gue yang pernah main ke Nuski, katanya kantin sekolah lo bagus banget," ujanya. "Jam segini, kantinnya masih buka, kan?"
Kepala Ranya mengangguk. Dalam hati mengagumi betapa kerennya style cowok di depannya ini. Santai tapi menarik. Apalagi saat Abyan mengangkat sebelah tangannya untuk melihat jam. "Ya udah. Yuk."
Dengan langkah yang berusaha santai sambil kadang menyapa adik kelas atau kakak kelas yang menyapanya lebih dulu, dalam hati Ranya tersenyum penuh kemenangan. Berharap kalau cewek-cewek penggemar Barga, dengan otak bergeser yang selalu mengatakan bahwa dirinya bagaikan lintah yang selalu menempel pada Barga, melihat bahwa dirinya bisa jalan dengan cowok yang juga menarik seperti Barga.
"Eh, Ranya. Bareng siapa?"
Nah, ini salah satunya.
Ranya berdecak malas saat melihat siapa yang menyapa dengan gaya sok manis, di depannya ini. Namanya Sindy. Salah satu kakak kelas cewek yang paling sensi dengan dirinya. Jangan tanya pada Ranya, apa alasannya. Karena Ranya sendiri pun tidak tahu. Kemungkinan terbesar adalah karena si Sindy ini amat sangat mengagumi Barga. Karena waktu Barga baru masuk di SMA Nusa Cendekia, si Sindy ini yang paling sering menghampiri Barga untuk mengajak cowok itu makan siang dengan tidak tahu malunya. Padahal Barga selalu menjawab dengan lempeng, "Duluan aja, Kak. Saya bareng sama Ranya."
"Kok kepo, Kak?"
Sindy melebarkan matanya, berusaha memperingati Ranya untuk tidak kurang ajar dengan dirinya, yang adalah kakak kelas.
Melihat itu, Ranya memutar bola matanya sambil tersenyum malas. Apa si Sindy ini pikir, dirinya akan takut berurusan dengan kakak kelas, yang juga adalah salah satu anggota geng dari anak kepala sekolah, si Faricha? Bah! Dia belum tahu siapa Ranya, kalau begitu.
"Udah. Ah. Jangan ganggu saya, Kak. Saya lagi males ngurusin patah hatinya kakak sama sahabat saya. Bhay!" Ranya langsung menarik lengan Abyan untuk meninggalkan Sindy, yang sudah terbengong karena sikap kurang ajar Ranya barusan.
"RANYA!! Kurang ajar lo, ya?!"
Ranya masa bodoh saja dengan teriakan Sindy. Bukan tanpa alasan Ranya malas berurusan dengan cewek itu. Dulu, awal-awal Ranya merasa kalau Sindy selalu sensi dengannya, apalagi saat dirinya sedang berdua dengan Barga, Ranya masih biasa saja. Masih belum mau melawan, dan menganggap angin lalu semua tatapan sinis bahkan kadang mulut nyinyir dari Sindy.
Tapi waktu dengan kurang ajarnya si Sindy, tiba-tiba membuatnya sengaja terjatuh dengan menjegalnya saat kantin di lantai 1 yang sedang ramai-ramainya, Ranya tidak lagi tinggal diam. Ranya langsung menumpahkan jus alpukat yang berada di atas meja Sindy ke wajah si dedemit itu dengan kesal. Siapa yang tidak kesal saat sengaja dibuat jatuh, yang menyebabkan makanan dan minuman yang dipegangnya tumpah sampai mengotori baju seragamnya?
Dan karena hal itu, Ranya harus berurusan dengan Bu Retno, guru BK yang judesnya minta ampun jika berhadapan dengan murid cewek di sekolah mereka. Berjam-jam diceramahi membuat Ranya waktu itu akhirnya paham mengapa guru BK tercinta milik SMA Nusa Cendekia ini, belum menikah sampai sudah berumur kepala empat.
Intinya, sejak saat itu, yang Ranya tahu, mendiamkan segala tingkah tidak berguna dari Sindy adalah perbuatan merugikan. Jadi akhirnya, setiap kali Sindy menatapnya sinis, Ranya akan balas menatap lebih sinis. Saat Sindy mengata-ngatainya, Ranya bukan membalas dengan balik mengata-ngatai. Tapi justru membalas dengan kalimat sarkas yang dinadakan dengan santai, jadi membuat si Sindy, semakin beringas seakan ingin memakannya hidup-hidup.
"Yang tadi kakak kelas lo?"
Ranya menoleh kecil. Ya ampun! Dirinya hampir lupa kalau di sebelahnya, ada Abyan. Kemudian Ranya tertawa garing lalu bergumam, mengiyakan.
Abyan tertawa kecil. "Suka ngelawan kakak kelas, ya?"
"Enggak, sih. Tapi yang satu itu, suka kurang ajar kalo dibiarin. Kayak bisul yang mau pecah."
Perumpamaan itu membuat Abyan kembali tertawa. Sering bertukar chat dengan Ranya selama lebih dari seminggu ini, juga ditambah dirinya jadi lebih sering menonton vlog Ranya dan kawan-kawannya di youtube channel milik SALTZ, kurang lebih membuat Abyan merasa kalau Ranya memang cewek yang memiliki berbagai macam ekspresi untuk mengungkapkan perasaannya.
"Ih. Serius, deh. Lo belum kenal aja sama tu cewek. Kalo udah kenal.. beuh! Asli! Lo tahu Nyi Pelet? Nah, tu cewek salah satu titisannya." Ranya mulai mencak-mencak, sampai benar-benar lupa menjaga image di depan Abyan.
Abyan memperhatikan raut kesal Ranya dengan senyum. Untuk pertama kalinya, dia berterima kasih pada Abigail, sang adik, yang sudah mengenalkannya pada sebuah band yang selalu menghasilkan cover lagu yang luar biasa enak didengar. Yang akhirnya, membuat Abyan penasaran melihat video-video band itu lalu semakin lama, semakin tertarik pada vokalis utama dari band tersebut. Ranya Maheswari namanya. Cewek yang sekarang masih mencak-mencak, tanpa ada rasa jaim sama sekali.
"Haduh, gue capek," keluh Ranya setelah mereka duduk di kursi kantin. "Ngomel-ngomel sambil jalan, makan energi juga ternyata," lanjutnya. "Lo mau pesen apa?"
"Gue aja yang pesen." Abyan sudah berdiri lebih dulu. "Katanya lo capek kan, habis ngomel-ngomel tadi. Istirahat aja. Biar gue yang pesen. Pesen apa?"
"Gue ikut aja, deh." Ranya berdiri.
"Yaelah. Gue pesenin aja, Nya. Serius. Pesen apa?"
"Ya udah. Gue pesen bakso," jawab Ranya. "Jadi, gue pesenin minum aja. Lo mau pesen apa?"
Abyan menarik napasnya. Ini mungkin akan menyenangkan. Untuk pertama kalinya, Abyan tertarik pada cewek yang cukup keras kepala.
"Teh botol aja."
"Ceileh. Korban iklan ya, Nak? Jadi makan apa pun, minumannya teh botol," canda Ranya lalu bergegas berjalan ke arah counter minuman. Sambil berkali-kali berusaha bersikap santai.
Sedangkan Abyan sudah mengeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ranya.
Selang sepuluh menit kemudian, keduanya sudah kembali duduk di kursi kantin dengan bakso dan juga mie ayam lengkap dengan es jeruk dan teh botol yang sudah berada di depan mereka.
Ranya berusaha tidak canggung. Mengimbangi sikap santai yang ditunjukkan oleh Abyan. Awal saat duduk berhadapan tadi, masih belum mudah. Masih sama seperti saat dirinya belum memberikan sugesti pada pikirannya. Tapi lambat laun, Ranya mulai kembali banyak bicara. Bersama Abyan yang selalu membawa topik soal SALTZ, membuat Ranya semakin menggebu-gebu saat menjawab pertanyaan Abyan.
"Biasanya tiap hari latihan band?"
"Enggak, sih." Ranya kembali menyuapkan bakso ke dalam mulutnya. "Sebisanya anak-anak aja. Tapi kalo emang lagi mau manggung atau mau cover lagu, pasti latihan dulu."
Kepala Abyan mengangguk. "Manggung di kafe kemaren, kapan lagi, Nya?"
"Oh." Ranya berhenti sejenak untuk mengipas-ngipas wajahnya yang terasa panas karena pedasnya kuah baksonya.
"Pedes, ya?" tanya Abyan sedikit meringis saat melihat wajah Ranya yang sudah memerah dan berkeringat.
"Dikit. Tapi sumpah, enak banget."
Dikit katanya? Melihat bagaimana Ranya memasukkan sambal ke mangkuk bakso cewek itu, Abyan yakin kalau istilah yang cocok untuk semangkuk bakso di depannya ini bukan lagi 'bakso yang diberi sambal' tapi 'sambal yang diberi bakso'. Kepala Abyan menggeleng kecil sambil menahan senyumnya, lalu menyodorkan tisu ke depan Ranya.
"Thank you," ucap Ranya. "Eh, tadi jawaban pertanyaan lo itu. SALTZ ada manggung lagi, Sabtu depan. Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa." Gue mau nonton.
"Nggak apa-apa kalo mau nonton. Gue paham kok, SALTZ emang gampang bikin orang jatuh cinta," ucap Ranya asal, setelah meminum es jeruknya.
Dan Abyan kembali dibuat tertawa dengan perkataan Ranya. Kepalanya bahkan sudah menggeleng, tidak percaya ada cewek se-ekspresif ini. Padahal, mereka belum berkenalan cukup lama.
Ranya ikut tertawa. "Bercanda lho, ya. Jangan dimasukin ke hati."
Tawa Abyan masih tersisa. "Suka bercanda banget ya, Nya?"
"Bokap sama nyokap gue tuh, suka banget bercanda di rumah. Terus temen-temen gue juga kebanyakan cowok koplak semua. Jadi ya, beginilah hasilnya. Gue jadi absurd," kekeh Ranya. "Sorry, ya."
Selucu apa cewek di depannya ini? Karena yang Abyan sadari, dirinya justru semakin ingin mengenal lagi.
"Duh, mampus, kan!" Ranya tiba-tiba melotot saat melihat ponselnya.
5 missed call dan 7 chat dari Barga.
2 missed call dari Niko.
1 missed call dari Bayu.
"Kenapa?" Abyan mengerut bingung, setelah meminum teh botolnya.
Ranya memberikan cengiran kecilnya. "Gue harus balik ke kelas, nih. Temen-temen gue kayaknya udah di kelas." Kemudian dia meletakkan selembar uang berwarna hijau di atas meja. "Bayar bakso gue tadi."
"Lho, nggak usah! Emang siapa yang minta ganti?" Abyan berusaha tidak terlalu menunjukkan ketidaksukaannya.
"Nggak ada yang minta. Tapi gue harus ganti." Itu prinsip Ranya. Tidak mau dibayarin. Walaupun memang tidak berlaku saat berhadapan dengan Barga, atau orang-orang tertentu yang sudah dianggapnya dekat. Karena itu, sekalipun berdebar saat di dekat Abyan, cowok itu belum masuk dalam kategori dekat dengannya. Jadi, dia tidak akan menerima traktiran apa pun dari Abyan.
Memilih tidak mau bertengkar, Abyan hanya menarik napasnya. "Berarti gue juga mau bayar teh botol gue."
"Eh, nggak usah." Ranya langsung menolak saat Abyan kembali memberikannya uang hijau itu. "Harga teh botol nggak semahal itu kali!" sungutnya.
"Bakso juga nggak semahal ini." Abyan membalas. Sedikit tidak menyangka kalau berurusan dengan Ranya akan seperti ini. "Ya udah. Berapa harga teh botolnya?"
"Nggak tahu. Nggak hapal."
Jawaban itu membuat Abyan berdecak kecil. "Ya udah. Goceng," balasnya sambil memberikan lembar sepuluh ribu rupiah. "Kembalian duit lo tadi, sama bayaran teh botol gue."
"Nggak-"
"Jangan curang, Nya. Gue pantang dibayarin cewek."
Mau tidak mau, Ranya mendengus geli saat mendengar kalimat itu. Jadi akhirnya, keduanya memilih memasukkan uang mereka masing-masing. Dalam hati, Abyan benar-benar merasa geli, karena untuk pertama kali pula, dirinya bertengkar dengan cewek, hanya karena masalah membayar makanan. Astaga.
"Perlu gue anter ke depan gerbang?" tawar Ranya saat keduanya sudah berjalan keluar kantin.
"Nggak usah. Gue hapal jalan ke depan gerbang, kok," sahut Abyan dengan senyum.
"Oke, deh. See ya."
Kepala Abyan mengangguk. "Nanti malem, gue chat lagi, boleh, kan?"
Please, muka jangan merah. Biasa aja. Biasa aja. Tolong.
Ranya berdeham setelah pikirannya kembali memberikan sugesti hina. "Boleh. Dah. Hati-hati, ya."
"Lo juga."
Setelahnya, baik Ranya maupun Abyan langsung membalikkan tubuh. Abyan berjalan menuju pintu gerbang. Sedangkan Ranya berjalan menuju kelasnya.
"Buang aja hape lo kalo ditelepon tapi nggak diangkat."
"Oh, my God! Ya Tuhankuuu!!!" Ranya langsung terkejut dengan suara melengking. Karena Barga yang ternyata sudah berdiri dengan punggung bersandar tiang tembok, dan menatapnya dengan tatapan datar.
Barga berjalan, menghampiri Ranya yang masih menatapnya sebal. "Tahu fungsinya hape nggak?" tanyanya sambil mengetuk-ngetukkan ponselnya ke dahi Ranya.
"Apa sih, Bar?!" Ranya berusaha menepis tangan Barga.
"Tahu nggak?"
Ranya berdecak. "Tahu!"
"Terus kenapa telepon gue nggak diangkat? Chat juga nggak dibales," balas Barga, menuntut.
"Hape gue silent. Jadi nggak tahu ada yang chat sama nelepon."
Barga berdecak kecil. Kemudian tangan kirinya sudah terangkat untuk memiting leher Ranya, dengan pelan. "Lain kali, kasih kabar kalo mau ketemu sama cowok."
"Barga, lepas!"
"Bilang iya dulu?" Barga belum melepaskan pitingannya.
"Aduh! Gue malu, babon! Ini di koridor sekolah!" Ranya masih berusaha melepaskan tangan kiri Barga.
"Udah sepi, pendek! Lagian siapa juga yang mau ngelihatin lo? Pede banget jadi manusia," cibir Barga setelah melepaskan pitingannya.
Ranya hanya mencibir, kesal. Lalu berjalan meninggalkan Barga.
Dengan gerakan cepat, Barga langsung mengikuti langkah Ranya. Berjalan beriringan dengan Ranya sambil sesekali melirik cewek itu. Kali ini, dengan memikirkan perkataan Aurel saat dirinya di tempat les tadi.
~•~
Hai! Iya, aku sering telat update. Maafkan yah. Maklumlah, Nak. Nggak ada Dilan yang bisa nanggung beratnya apa yang kurasakan -.-
Di sini nggak ada peran antagonis, yang kayak Mischa di Cinta Fitri, kok. Tenang aja. Semuanya baik-baik. Kayak aku #halah.
Ada yang tau, kira-kira Aurel bilang apa ke Barga? :"
Btw, boleh kali yah, follow akun instagram ini :
Akun official cerita BARGA : ofc.barga
Akun penulis (yenny marissa) : yenny.mrs
Akun SMA Nuski : nuskihitz
Kenapa nggak bikin akun sendiri buat Barga sama Ranya? Alasannya cuma satu; takut gak kepegang. Haha. Jadi, aku buat satu akun aja buat cerita ini. Nanti di sana juga bakal ada Ranya yang nyanyi. Ada Barga juga. Ada Abyan juga pas lagi deketin Ranya. Dan banyak lagi deh, pokoknya. Hehe.
Sekian dan terima kasih, guys.
Ditunggu vote dan komen kalian ^^
Salam,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro