Part 3 : Partner
Take it slow!
••••
Dhaffi baru akan berjalan menuju kelasnya setelah tadi ia menerima tugas dari petugas piket sekolah yang mengatakan ibu guru yang bersangkutan tidak dapat mengajar hari ini. Dhaffi mewakili kelasnya menghadap petugas harian sekolah sedetik setelah suara dari interkom memanggil kelasnya.
Baru selangkah ia berjalan, Dhaffi bertemu dengan Lara dan Sazwan yang tujuannya mengarah ke ruang BK. Lantas Dhaffi tersenyum, senyum cerah yang berhasil membuat Lara bergetar. Dhaffi pasti tak menyadari pengaruhnya begitu besar.
Tanpa bersuara, Dhaffi kembali melangkah meninggalkan dua sejoli yang masih diam itu, menurutnya kewajiban silaturrahminya kepada sesama sudah tunai, hanya tersenyum dan itu cukup. Tak membutuhkan waktu lama, Dhaffi sudah sampai di kelas, setelahnya ia menuliskan tugas Kimia yang barusan ia dapat.
"Lah, bu gurunya ga dateng Dhaf?" Itu suara Fia.
Jika tadi Lara bergetar saat Dhaffi melemparkan senyum jenaka itu, kali ini Dhaffilah yang bergetar mendengar suara yang aksennya lembut meski terdengar tegas milik Fia itu. Dhaffi tak langsung menjawab, mencoba mencerna jawaban apa yang sekiranya dapat membuat gadis itu puas, dan mengatur suaranya agar tak terdengar gugup.
"Ya," Dhaffi hanya berhasil mengeluarkan suara sesingkat itu.
"Entar dikumpul ke lo 'kan Dhaf?"
"Iya."
Dhaffi beranjak menuju kursinya, letaknya mengharuskan ia melalui posisi duduk Fia yang Dhaffi lirik sekarang gadis itu sedang mencatat sesuatu yang barusan ditulis Dhaffi di papan tulis.
Hanya berlalu, Dhaffi tak berniat menyapa Fia kali ini. Ia tau gadis itu pasti masih menahan kesal terhadapnya, ia sedikit menarik bibirnya ke atas, membuat sebuah senyuman tipis yang jika dilihat Lara maka gadis itu mungkin akan pingsan di tempat. Fia adalah tipe Dhaffi sekali, Dhaffi menyukai gadis yang tidak kekanakan dan cukup dewasa. Fia kalau marah dengan Dhaffi, ia hanya mendiamkan Dhaffi, selalu begitu. Tak seperti gadis kebanyakan, berteriak bahkan akan menjadi tempramental dalam sekejap.
Nanti, Dhaffi akan memperbaiki situasi ini. Secepatnya. Tak terasa ia sampai di kursinya, kelas ini sudah hening, penghuninya tenggelam pada lembaran putih dan berkutat dengan tulisan-tulisan yang menghiasi putihnya kertas hasil ciptaan dari serat kayu itu.
••••
Lara masih termenung, benarkah tadi ia melihat Dhaffi tersenyum? Beberapa saat setelah ia dan Sazwan diam di tempat tadi, Lara dengan sangat teganya menghadiahkan sebuah pukulan di pipi kanan Sazwan.
"Wawan, jangan bilang yang tadi itu mimpi."
"Hoy! Lo habis pukul gue ga minta maaf? He?"
"Hehe, sorry sorry, gue reflek. Tadi itu serasa kea mimpi makanya gue pukul lo biar buktiin ini nyata."
"Kenapa harus gue? Pukul aja pipi lo sendiri, kan bisa."
Sazwan jelas emosi. Pipi kanannya kini dalam kondisi yang terbilang cukup mengenaskan. Merah, dan mungkin besok warnanya akan menjadi biru bahkan mengungu.
"Ya maaf, udah sih. Tapi gue seneng Wawan, ka Dhaffi tadi senyum ke gue."
Lara berteriak seraya mengguncang bahu Sazwan, meski ia harus berjinjit agar tangannya mampu menggapai bahu yang diam-diam diakui Lara cukup peluk-able itu.
"Halah lebay, gue bilangin nih ya ka Dhaffi itu sebenarnya ga lebih tampan dari gue."
Bruk!
Sekali lagi, Lara memukul Sazwan, kali ini bagian pipi kirinya yang mungkin nanti akan membiru. Lalu Lara tertawa seakan pukulan yang barusan ia layangkan tak mengenai pipi pria di depannya ini.
Lara kira Sazwan akan meneriakinya seperti tadi, atau malah balas memukulnya tapi yang dilakukan Sazwan adalah berjalan tanpa suara menuju sebuah ruangan yang berjarak hanya satu meter dari tempat mereka berdiri.
Seakan tak peduli Lara malah memikirkan senyum Dhaffi -lagi-. Dan berjalan santai menyusul Sazwan di depannya. Selama ia berjalan, retinanya tertuju pada kelas yang pintunya berwarna biru tua itu, kelas Dhaffi. Mata Lara yang tak sinkron dengan kakinya menyebabkan ia hampir terjerembab karena tersandung batu. Untungnya tubuhnya masih seimbang.
••••
"Kalian akan jadi partner selama dua bulan kedepan. Selama satu bulan siapkan program kalian, tapi tenang saja kalian akan dibimbing oleh guru mata pelajaran IPA. Kemudian selama tiga minggu kalian akan dikarantina, dan sisa satu minggu itulah final, kalian akan melaksanakan seminar hasil program kalian yang dibuat selama satu bulan itu."
"Tapi kenapa jadi kami yang dipilih pak? Masih banyak bukan yang lebih berkompeten?"
Sazwan bertanya demikian karena jujur saja ia bingung. Mereka ini baru kelas sepuluh dan sudah dipilih menjadi perwakilan sekolah. Ia tau saat ini Lara juga ingin mengutarakan pertanyaan yang bunyinya sama dengan pertanyaan Sazwan tadi.
"Persyaratannya mengharuskan tiap sekolah mengirim perwakilan anak sepuluh. Dan kami pihak sekolah, sebenarnya sudah menyeleksi dari nilai-nilai mata pelajaran yang sekiranya akan mempengaruhi penilaian seminar nanti.
"Dan sangat kebetulan sekali, Sazwan ketua kelas lalu Lara sekretaris kelas bukan? Kalian adalah partner yang cocok."
"Ha? Partner? Cocok? Yaampun bapak aja yang gatau, Sazwan itu rese banget pak selalu gangguin saya, mana bisa jadi partner."
Tanpa pikir panjang Lara menyuarakan protesnya, tak sadar ia sedang berbicara dengan siapa.
Bapak Izan tersenyum, ia sebenarnya tau perihal perang mulut yang selalu terjadi jika Sazwan dan Lara bertemu. Tapi karena itu masih dalam batas wajar, pak Izan tak mempermasalahkannya. Mereka hanya masih remaja beranjak dewasa, wajar saja ada sifat kekanakan yang tertinggal pada diri mereka.
"Aw! Eh Wawa..a,"
Belum sempat Lara menuntaskan kalimatnya yang cukup nyaring itu, Sazwan membekap mulut Lara dengan tangan kirinya.
"Sopan dikit Ra, lo ngomong sama guru, " Sazwan sudah melepaskan tangannya dari mulut Lara.
Lantas Lara tersenyum jenaka yang ia lemparkan ke hadapan Pak Izan.
"Hehe, maaf pak. Lara reflek habisnya 'kan kaget."
"Iya, bapak maklum. Yasudah, kalian kembali ke kelas. Dan siapkan program kalian."
"Kami permisi pak, selamat siang," Pamit Sazwan sekaligus mewakili Lara dan diangguki oleh Pak Izan.
Mereka keluar ruangan dengan suasana hati yang tidak baik, atmosfer sekitarpun terasa panas. Tapi hanya Sazwan dan Lara yang merasakan.
"Tadi lo injek kaki gue, tanggung jawab. Merah nih," Tunjuk Lara ke bagian kakinya.
"Lo pikir pas lo mukul gue dua kali itu gamerah? Ini udah biru, lebih parah dari lo," Sazwan balik pojokkan Lara dan membuat gadis itu bungkam. Barulah Lara sadar, tadi itu pukulannya cukup kencang dan sekarang tatapan mata Lara mengarah pada wajah -tampan- Sazwan.
"Gue obatin ya Wan, gue gaenak sama lo, sumpah. Tadi emang kenceng banget ya? Sampe udah mau biru gitu"
"Udah lah Ra, kea bukan Lara banget tau ga sok-sokan nyesal gitu."
"Eh kampret! Pas gue mau tanggung jawab malah dikatain. Mau lo apasih? Heran gue," Lara kembali hendak memukul bahu Sazwan tapi ditahan pria itu.
"Mau gue lo gausah mukul-mukul lagi, jadi cewe petakilan banget."
"Serah gue lah, hidup gue ini. Emak gue bukan, kok ngatur?"
"Sebagai ketua kelas yang mengayomi anak buahnya, gue berhak ngatur lo."
"Bahasa lo Wan, mau muntah gue," Lara berlagak hendak muntah, serta ekspresinya dibuat semenderita mungkin.
"Ngomong sama lo ga bakal kelar, mulut lo ada seribu gitu. Cem emak-emak rumpi."
Setelah itu, Sazwan terlebih dulu melangkah menjauhi Lara menuju kelas mereka. Memilih menulikan telinganya dengan gerutuan -yang ditujukan padanya- yang intonasinya cukup keras itu.
Terdengar bunyi berderit, hasil gesekan sepatu dengan lantai keramik putih di samping Sazwan. Sazwan tak menoleh, sudah dapat ia tebak manusia di sampingnya ini adalah Lara. Mereka berjalan beriringan tanpa suara, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali Lara menoleh pada Sazwan yang pandangannya tertuju ke depan.
"Kelas masih jauh ya," Suara bening ini memecahkan diam mereka tadi.
"So?" Sazwan menoleh pada Lara.
"Gue ga ngomong sama lo," Lara berucap judes.
Seketika Lara berlari meninggalkan Sazwan sendirian. Sazwan yang ditinggal biasa saja. Memilih tak menghiraukan meski hatinya gondok dengan kelakuan Lara yang seakan mengabaikan jawabannya tadi.
••••
Fia duduk bersisian dengan Dhaffi di sebuah bangku taman kecil yang posisinya sedikit di pojok, setelah tadi mengerjakan tugas Kimia Dhaffi mengajak Fia ke sini. Fia yang sebenarnya bingung hanya mampu mengiyakan, dan hasilnya sudah satu menit mereka duduk di bangku ubin bercat hijau ini tapi tak ada yang membuka suara.
"Jadi kita ngapain Dhaf?"
Dhaffi menoleh seraya menaikkan sebelah alisnya, berikut dengan dahinya yang berkerut. Fia tersenyum saat mendapati Dhaffi yang berekspresi demikian.
"Gausah digituin juga kali Dhaf mukanya."
Dhaffi balas tersenyum, mengubah air mukanya yang tadi muram kini mencerah. Melihat Fia tersenyum -dan itu untuknya- selalu membuat Dhaffi senang, itu tandanya Fia tidak marah lagi 'kan?
"Kamu ga marah lagi 'kan?"
"Kapan aku marah coba?"
Fia menyangkal pertanyaan Dhaffi, ia malah balik bertanya.
"See? Ga mau ngaku nih? Yaudah," Dhaffi berdiri, berlagak hendak meninggalkan Fia di taman ini.
"Apasih Dhaf? Kamu yang ngajak ke sini kok kamu yang mau ninggalin aku?"
"Yaudah kita ke kantin aja deh yuk."
"Terus kita ngapain ke sini? Lagian inikan masih jam masuk belum istirahat. Nanti dimarahin Dhaf. Dhaffi ihh."
Pria ini tertawa, ucapan wanita di hadapannya membuat sesuatu menggelitik hatinya. Lantas Dhaffi mencubit hidung lancip milik Fia pelan, respon gadis itu hanya merengut tanpa protes.
"Ish, bawell deh. Yaudah ikut aja."
Fia tersenyum saat Dhaffi menarik lengan kirinya dan menggandengnya lembut. Dhaffi sama senangnya, pasalnya melihat Fia yang hari ini banyak tersenyum meyakinkan Dhaffi bahwa gadis itu jelas sudah tak marah lagi padanya.
'Karena masalah hanya perlu dikomunikasikan, sesimple itu.'
••••
Regards, Love
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro