maybe the next waltz.
Cukup lama si puan bersandar dan melamun, sebelum dirinya tiba-tiba tersadarkan dan segera berdiri tegak.
"Anda tidak ke dalam? Di luar udaranya cukup dingin, dansa juga sudah dimulai," ujar Rinnian kepada Vil sambil tersenyum.
Vil kemudian balik bertanya padanya, "Apa nona mau masuk?"
Kalimat itu lantas mendapat tatapan heran dari Rinnian. Ia kan menanyakan Vil? Kenapa sang pangeran malah balik menanyainya?
"Umm. Saya tidak begitu menyukai dansa," balas Rinnian tersenyum simpul.
Ia kembali bersandar, kali ini lebih menegakkan badannya. Matanya melihat lautan manusia di dalam aula dansa lewat jendela di sana.
"Mau coba berdansa dengan saya?"
Tawaran itu mengejutkannya. Dilihatnya Vil yang sudah mengulurkan tangan untuknya.
"Tidak ...?"
Rinnian tersenyum miring kepadanya. Sungguh berat menolak ajakan sang pangeran, namun ia benar-benar bukan penggemar kegiatan seperti itu.
"Aah, jangan-jangan bukannya tidak mau berdansa, tapi tidak bisa, ya?"
Senyum itu berubah menjadi seringai jahil. Membuat sang puan merajuk dan wajahnya memerah. Ia tak bisa membantah kalimat itu. Memang dirinya kurang piawai dalam bergerak di lantai dansa.
Membuatnya sebisa mungkin menghindari kegiatan seperti itu.
"Rinnian? Kenapa diam saja?" tanya Vil dengan senyum jahilnya.
"Anda sangat ingin melihat saya berdansa?"
Sang Putri Adipati berdiri tegap dan melangkahkan kakinya, berjalan mendekati Vil.
"Saya cukup penasaran dengan kemampuan dansa nona. Anda bisa berdansa, kan?"
Kali ini Vil tersenyum lagi, tangannya ia ulurkan kepada Rinnian. Berharap gadis itu mau menerimanya.
"Tentu saja saya bisa, Yang Mulia."
Rinnian berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan seulas senyum percaya diri. Meski begitu, tak dapat dipungkiri senyum itu terasa kaku baginya. Kenapa juga ia malah menjawab iya?!
"Bagus, kalau begitu ...."
Vil berjalan mundur beberapa langkah sebelum membungkuk penuh hormat, lagi. Badannya ia naikkan sedikit namun kepalanya benar-benar menatap ke arah Rinnian. Tangannya ia ulurkan kepada sang gadis muda.
"Maukah anda menerima uluran tangan saya, Nona Gareth?" tanyanya mantap.
Entah mantra apa yang menyihir aula dansa, Rinnian merasa tempat itu kini hangat. Segalanya nampak bercahaya dan berkilauan. Padahal ini malam musim gugur.
"Tentu saja, Yang Mulia Schoenheit."
Terbuai akan suasana, dan karena merasa harga dirinya akan hancur jika menolak dansa itu, Rinnian menerima uluran tangannya dengan anggun. Vil menarik lembut tangan sang putri adipati, mengecup singkat punggung tangannya.
Singkat, namun cukup untuk membuat gadis itu merona merah. Ia rasakan aliran listrik yang menjalar, terasa geli menggelitiki tubuhnya.
Vil segera bangkit, tangan kirinya merayap, merengkuh lembut tubuh Rinnian dan menariknya lebih dekat. Perlakuannya spontan mendapat pekikan pelan dari sang gadis.
"Ada apa? Merasa malu?" tanya Vil tersenyum sombong.
Tak ada jawaban dari Rinnian, ia hanya mengeratkan gengamannya seraya meletakkan sebelah tangannya ke pundak Vil.
Keduanya menunggu hingga musik selanjutnya dimainkan. Dan ketika lantunan musik kembali terdengar, Vil kembali memposisikan tubuhnya.
Vil mulai melangkah, berdansa mengikuti lantunan nada. Tubuhnya ia tegakkan dengan gagah. Berbeda dengan Rinnian yang menunduk, enggan melepas pandangannya dari lantai keramik.
Vil sendiri yang sedari tadi menatap Rinnian, lama-kelamaan merasa risih karena pasangan dansanya terus menatap ke kakinya.
"Ada apa Rinnian? Kalau anda menatap ke bawah terus, nanti malah tersandung, loh. Mata saya ada di sini" ujar Riddle.
Kalimat itu sontak membuat sang puan menatap pasangan dansanya, "S-saya ...," lidahnya kelu.
"Takut membuat kesalahan?" terka Vil.
Rinnian menggeleng.
"Takut terjatuh?" terkanya lagi.
Kembali, Rinnian menggeleng lemah.
"Nikmati saja dansanya. Kau berdansa dengan baik."
Pujian itu terdengar jujur dan tulus. Iris ungunya tak pernah lepas dari milik Rinnian yang biru.
"Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu jatuh."
Perlahan, Rinnian pun semakin terbuai dengan kalimat manis yang keluar dari mulut sang pangeran. Sebentar ramah, kemudian menjadi jahil, dan selanjutnya ia berperilaku manis bak pangeran dari negeri dongeng?
Rinnian sungguh tidak paham dengan orang ini.
Sudah setahun sejak keduanya bertemu, namun rasanya masih banyak sisi dari pemuda itu yang ia tak ketahui.
Membuatnya ingin sekali mengenal pemuda itu lebih jauh.
Namun, Rinnian sendiri munafik jika berkata bahwa ia tak merasa tenang dengan semua tutur kata yang diucapkan Vil. Perlahan bahunya yang tegang pun melemas. Seiring dengan langkah dansa sang putri adipati yang makin mantap.
Yang ia khawatirkan bukan mempermalukan dirinya sendiri. Sang puan tidak ingin mengakuinya, namun, jujur saja Vil kini benar-benar menghipnotisnya, sangat menawan.
Hingga ia rasa tak mampu bertatap pandang dengan sang pangeran.
Keduanya kini melangkah, berputar, menari mengikuti alunan merdu dari orkestra.
Bagai dongeng Cinderella, keduanya tak mengindahkan sekitarnya. Hanya sibuk berdua, melenggak-lenggok, tenggelam dalam dunia dansanya sendiri.
Menunggu hingga jam berdenting, menunjukkan waktu tengah malam.
Ya, mungkin acara perjamuan bukan hal yang buruk juga?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro